"Papa kemari. Aku butuh Papa. Sekarang aku hancur. Aku hanya mau Papa di sini. Kalau Papa tidak datang, aku mati saja."
Danan menghela napas khawatir, setiap teringat ucapan putrinya di telepon tadi setelah makan malam. Putrinya lebih banyak menangis, tidak menjelaskan apa yang terjadi. Setiap kali Danan bertanya, Olive akan memekik histeris, menuntut Danan untuk segera ke apartemen sewaannya.
"Aku hanya mau Papa saja yang datang. Aku tidak mau ada Mama."
Permintaan yang aneh, tapi tidak sulit untuk dipenuhi karena Nadia; istrinya, ada pekerjaan ke luar kota.
Hampir dua jam Danan menyetir untuk sampai di apartemen Olive. Waktu yang sedikit lebih lama dari biasanya, karena hujan lebat dan beberapa titik perjalanan mengalami macet. Hujan masih cukup deras dan Danan harus setengah berlari dari parkiran ke apartemen.
Danan sampai di lantai dua puluh satu, tempat Olive tinggal. Di depan pintu apartemen, Danan mengetuk dengan cepat. Dia lupa kalau pintu apartemen Olive menggunakan sistem kunci pintar yang kode sandinya sangat diingat oleh Danan.
Pintu terbuka perlahan. Seorang gadis dengan rambut panjang yang dipotong berlayer-layer, berdiri dengan wajah menunduk. Dia mengenakan kaos putih yang sangat longgar dan hanya menutupi sebagian kecil paha putihnya. Itu adalah kaos santai milik Danan.
Danan melangkah masuk dan langsung menangkup wajah putrinya dengan kedua tangan. Didongakkan kepala Olive yang langsung terlihat bagaimana sendunya wajah putri sulungnya itu. Begitu lembab pipi Olive, bekas air mata.
"Kamu kenapa, Sayang? Ribut lagi sama Rasyid?" Danan berpraduga dari yang biasa terjadi kalau Olive sedih.
Bukannya menjawab, Olive langsung memeluk erat ayahnya dan kembali menangis. Tangan kiri Danan, merangkul Olive, sedangkan tangan kanannya menutup pintu. Setelahnya, Danan menggiring Olive menuju ruang utama. Keduanya duduk bersisian, dengan Olive yang masih menangis di dada Danan.
Danan menatap sekitar yang berantakan. Meja tamu dan sofa, bergeser tidak rapi. Bahkan Danan melihat ada pecahan gelas di sudut dekat meja TV dan pecahan vas bunga di sisi yang lain. Tidak biasanya ada keributan hingga menyebabkan adanya barang yang hancur.
"Sekarang masalahnya apa? Kok, sampai berantakan begini?" tanya Danan sembari membelai kepala dan punggung sang putri.
"Papa ambilkan minum, ya? Biar kamu tenang. Biar bisa cerita," tawar Danan.
Tapi, tubuh Danan ditahan dengan pelukan yang semakin erat. Kepala Olive juga semakin terbenam dalam di dada Danan dengan isakan tangis yang semakin jadi. Danan menarik napas dan menepuk-nepuk lembut pundak Olive. Itu salah satu cara untuk menenangkan putrinya.
"Ya, udah..., nangis aja dulu. Abis itu cerita, terus kita pikirkan penyelesaiannya," ucap Danan yang kemudian menyandarkan tubuhnya, membuat posisi nyaman bagi Olive yang menangis di pelukannya.
"Aku putus." Akhirnya Olive bicara, setelah sekian waktu menangis. Tapi, Olive tidak melepaskan pelukannya dan tetap menyandar di dada ayahnya.
Danan tersenyum samar. Itu bukan yang pertama kalinya.
Hubungan Olive dan Rasyid sudah delapan tahun lebih, tepatnya dimulai saat usia Olive tujuh belas tahun. Usia Rasyid, lima tahun lebih tua dari Olive. Selama ini, Danan melihat hubungan keduanya adalah hubungan yang naik turun. Keributan sebenarnya cenderung dimulai dari Olive yang terlalu banyak menuntut dan pencemburu.
Dananlah yang selalu menjadi penengah dan juru damai, karena yakin kalau Olive mencintai Rasyid, dan juga Rasyid adalah calon menantu idaman bagi Danan dan Nadia, karena latar belakang keluarga Rasyid dan kepribadian kekasih putrinya itu.
"Sekarang masalahnya apa?" tanya Danan sabar.
"Aku sudah gak sanggup lagi, Pa. Aku tidak bisa lagi sama dia." jawab Olive dengan tangisan yang semakin menderu.
"Shhh ... kok malah nyaring nangisnya. Udah, dong. Kan sudah ada Papa di sini."
"Aku sudah gak bisa lagi sama Rasyid, Pa. Aku muak sama dia."
"Memang sekarang masalahnya apa?" tanya Danan.
Olive sudah tidak menangis lagi. Meski begitu, Olive belum mau melepaskan diri dari ayahnya. Raut wajahnya juga menyiratkan kesenduan sekaligus kebimbangan untuk menjawab.
"Apa Rasyid ada dekat sama perempuan lain lagi? Atau, kamunya yang deket sama cowok lain dan Rasyidnya cemburu?" Danan berpraduga atas kebiasaan keributan Olive dengan kekasihnya.
Olive masih diam, enggan menjawab.
"Jangan diam saja. Bagaimana Papa bisa tahu masalahnya kalau kamu gak bicara."
"Pa..., aku gak bisa lagi sama Rasyid."
"Memangnya Rasyid buat salah apa ke kamu?" tanya Danan masih dengan ketenangannya. Danan yakin kalau ini hanyalah keributan yang sama dengan sebelumnya, yang pada akhirnya akan kembali bersama.
"Sepertinya, kali ini aku yang salah, Pa."
Danan terkekeh kecil. Dia masih menganggap kalau masalah putrinya pastilah bukan hal yang rumit dan aneh.
"Ya, kalau kamunya yang salah, kamu dong yang minta maaf dengan baik. Bukan dengan ...." Danan mengarahkan tangannya ke sekeliling, ke kekacauan yang tersebar akibat keributan.
"Gak capek apa ribut terus? Memangnya salah kamu sebesar apa sampai bikin keributan sebesar ini?"
Bukannya menjawab, Olive kembali menggelengkan kepala sebagai jawaban. Gadis berambut panjang itu justru semakin merapatkan tubuhnya ke Danan, menempelkan erat kepalanya di dada Danan.
"Aku sulit mencintai Rasyid, Pa."
Kening Danan mengernyit. Tergambar di wajahnya kalau dia agak bingung.
"Sulit bagaimana?" tanya Danan. "Coba ngomongnya yang jelas sama Papa. Cerita yang runut. Biar Papa paham apa yang jadi persoalan kalian."
"Aku bingung ceritanya, Pa. Aku juga takut buat cerita." Kembali Olive menangis. Kepalanya semakin terbenam di dada Danan.
"Bingungnya kenapa? Takutnya juga kenapa?"
"Aku bingung mau cerita bagaimana. Aku juga takut kalau ...."
"Kalau apa?"
"Kalau Papa dan semua orang akan membenciku."
Lagi-lagi Danan terkekeh geli. Diusapnya lagi kepala dan rambut putrinya, lalu ditangkupnya pipi sang putri yang sembab basah. Dengan kedua tangannya yang lebar, Danan memenuhi kedua pipi Olive. Memberikan tidak hanya kehangatan tapi juga ketenangan. Didongaknya kepala Olive, membuat kedua mata masing-masing saling menatap.
"Papa tidak akan pernah membencimu, Sayang. Papa akan selalu ada buat kamu, untuk semua kebenaran dan kesalahanmu," ucap Danan penuh keyakinan. Diusapnya setetes air mata yang berguulir lagi di pipi Olive, dengan ibu jarinya.
"Papa gak bohong? Papa janji untuk itu semua?"
"Papa janji."
"Papa tidak akan membenciku? Papa tidak akan membuangku?"
"Hahaha..., tidak ada alasan apa pun bagi Papa untuk melakukan itu semua padamu, Sayang."
"Tapi kali ini, Papa punya alasan untuk itu semua."
Danan menatap serius putrinya. Ada perasaan aneh yang menyusup. Ada perasaan khawatir yang mulai membuat Danan gelisah.
"Katakan pada Papa, apa itu?" desak Danan pelan.
Olive menatap lekat-lekat kedua mata ayahnya. Ada tarikan napas yang dalam sebelum kemudian Olive menjawab pertanyaan ayahnya.
"Aku mencintai Papa."
***
"Aku sangat mencintai Papa."Untuk sesaat, suasana menjadi sangat hening. Danan terpaku di dalam mata Olive, begitu juga sebaliknya. Masing-masing mencari jawaban dan kebenaran atas lontaran pernyataan, yang harusnya biasa saja. Sampai kemudian Danan tertawa kecil. Didekapnya kembali kepala Olive di dadanya yang bidang."Olive ... Olive ... Anakku tersayang. Cuma ngomong gini aja, kamu sampai harus seperti ini. Papa juga mencintaimu, Sayang. Papa juga sayang sama kamu.""Tapi aku bukan anakmu."Pernyataan Olive seketika menghentikan tawa kecil Danan dan juga usapan lembut jemari Danan di punggung Olive. Wajah Danan berubah menjadi sangat kaku sekaligus tubuhnya menjadi tegang."Jangan bicara sembarangan. Kamu anak Papa, Olive," tegas Danan dengan nada suara yang tidak meyakinkan.Olive melepaskan diri dari pelukan Danan yang hangat. Dia sedikit mendongak, menantang tatapan mata ayahnya dengan serius."Aku tau kalau aku bukan anak Papa dan Mama. Sudah lama aku tau itu."Danan tidak bis
Shanas terbangun dengan tubuh yang kesakitan. Wajar saja begitu karena dia ketiduran dengan posisi masih duduk di kursi belajarnya dengan posisi tubuh telungkup di atas meja. Sebagai asisten pengacara publik yang sedang menangani sebuah kasus, Shanas dituntut untuk turut membantu mengumpulkan fakta-fakta dan merancang pembelaan. Pekerjaan yang berat tapi Shanas tidak keberatan karena memang menyukainya.Baru selesai menguap panjang ketika ponselnya bergetar, tanda ada yang menelepon. Dengan agak malas, Shanas menerima panggilan telepon itu."Halo, Ma," sapa Shanas dan menguap untuk kedua kalinya."Baru bangun, Nas?" tanya suara lembut dari seberang telepon."Iya, Ma. Pagi nanti ada sidang.""Jam berapa?""Jam 10. Kenapa, Ma?" tanya Shanas menyudahi basa-basi. Dia melirik ponselnya yang lain, memeriksa waktu yang masih jam enam pagi."Papamu udah pulang?"Shanas tertegun. Dia baru tersadar kalau belum ada kabar dari ayahnya lagi, sejak pamit pergi setelah makan malam. Danan berpamitan
Malam sebelum hari ini.Mobil terparkir di parkir dalam apartemen, dengan bunyi decitan ban yang nyaring. Sangat jelas kalau mobil diparkir dengan tergesa. Sama tergesa dengan keluarnya seorang pria jangkung dari dalam mobil. Langkahnye lebar menuju lift dengan tangan kanan menenteng kotak lebar berisi kue, kesukaan sang kekasih.Meski sudah membawakan sesuatu yang disukai, tetap saja raut wajah Rasyid tegang. Itu karena dia tahu kalau Olive, kekasihnya tetap akan uring-uringan. Wanita itu meneleponnya sudah dengan emosi karena pekerjaannya yang berantakan. Meminta Rasyid segera datang sejak siang tadi, tapi Rasyid justru baru bisa datang malam hari.Dan benar saja, baru juga Rasyid masuk dan menyapa, sebuah sandal teplek, melayang ke dadanya."Ngapain datang? Ngapain?" teriak Olive. "Aku butuh kamu lagi! Laki-laki gak bisa diandalkan! Gak berguna!""Maaf, Sayang. Tapi kan tadi aku udah bilang kalau aku lagi rapat. Ditambah lagi ada tinjauan proyek di selatan.""Gak usah banyak bacot!
"Papa!" pekik nyaring Olive.Langkah Olive riang dengan senyum yang tersungging lebar. Keriangan ternyata menular pad abanyak orang yang ada di lobi perusahaan. Sebagian besarnya tahu apa hubungan Olive dan Danan, yaitu ayah dan anak, karena mereka adalah bagian dari perusahaan Danan. Sebagiannya lagi sudah bisa menduga hubungan keduanya dari sapaan Olive, karena mereka adalah tamu.Danan yang baru selesia meninjau proyek bersama timnya, terperangah dengan kedatangan Olive. Sebenarnya, itu adalah hal biasa. Hanya saja, karena kejadian semalam, Danan semakin sulit melihat Olive sebagai putrinya."Papa, sudah selesai belum, kerjanya? Makan, yuk," ajak Olive manja. Tangannya langsung menggayut di lengan Danan. Sikapnya benar-benar seperti seorang gadis yang sedang bermanja-manja dengan ayahnya.Dunia Danan berubah dalam sekejap karena apa yang terjadi semalam. Danan menjadi kikuk, tidak tahu harus berbuat apa . Padahal di hari-hari sebelumnya, jika Olive tiba-tiba datang, Danan akan meny
"Shan, bukannya itu papamu sama Kak Olive?" tanya Renata sahabat Shanas.Kedua gadis itu baru keluar dari mobil Renata dan berniat akan makan siang yang terlambat karena Shanas ada jadwal sidang bersama seniornya di pengadilan. Restoran yang dituju kebetulan sama hanya saja Renata terpaksa parkir sedikit jauh karena ini masih jam padat orang makan siang.Shanas ayahnya dan kakaknya dengan cara pandang yang berbeda—pertama kalinya. Gadis itu merasa kedekatan ayahnya dan kakak perempuannya itu agak berbeda, meskipun pemandangan di mana Olive merangkul pinggang ayahnya bukanlah sesuatu yang pertama kalinya. Tapi, Shanas tetap merasa ada yang aneh.Tanpa banyak bicara, Shanas melangkah cepat mendekati ayahnya dan Olive yang sudah hampir dekat dengan mobil."Papa!" panggil Shanas yang langsung menghentikan langkah Danan.Bergegas Danan dan Olive berbalik. Shanas bisa melihat bagaimana keduanya tampak terkejut. Tak hanya itu, tatapan Shanas yang terarah pada rangkulan Olive, seketika membua
Olive menatap wajah Danan dengan perasaan campur aduk antara kesal juga gemas. Danan semakin tenggelam dalam diamnya, setelah bertemu dengan Shanas. Dalam hatinya, Olive terus mengutuk munculnya Shanas di restoran tadi. Dari sekian banyak restoran di Jakarta, bisa-bisanya adik beda darah itu ada di sana.Mobil meluncur ke arah apartemen Olive, bukan kembali ke kantor Danan dulu. Gedung apartemen mulai terlihat puncaknya dan Olive mulai tidak nyaman. Ada perasaannya yang mengatakan kalau hubungannya dengan Danan tidak akan berlanjut lagi. Dirinya akan kesulitan bertemu dengan Danan lagi, mengingat tadi ibu angkatnya sudah menelepon dan mengabarkan akan pulang.Akhirnya mobil berhenti di pelataran depan lobi apartemen. Olive langsung merangkul erat lengan Danan."Papa anter aku ke atas, 'kan?" tanya Olive dengan sikap manjanya."Papa harus kembali ke kantor. Kan kamu dengar sendiri, Papa mau ada meeting lagi.""Tapi, biasanya kan Papa selalu antar aku ke atas.""Ya, tapi ini Papa buru-b
Saat akan memasuki parkir khusus penghuni apartemen, Rasyid tercekat melihat adanya mobil yang dia kenal, sedang berputar untuk mendapatkan parkiran. Melihat itu, rasa penasaran membuat Rasyid tidak jadi parkir di dalam. Dia justru parkir di luar, yang diperuntukan bagi tamu. Dengan sengaja Rasyid parkir di dekat mobil sedan hitam yang dia kenali.Saat melihat seorang pria keluar dari dalam mobil, Rasyid pun bergegas keluar dari mobilnya, dan menghampiri pria berkemeja hitam, yang berjalan menuju lobi apartemen."Pak Gatot!" sapa Rasyid yang langsung mendapat sambutan senyum cemerlang dari pria berkumis lebat itu."Mas Rasyid. Mau ke tempat Mbak Olive, ya?" tanya Gatot ramah."Iya. Pak Gatot ini mau jemput Olive apa bagaimana?" pancing Rasyid."O, itu tadi ngantar Mbak Olive.""Maksudnya?""Tadi Mbak Olive kan ke kantornya Bapak, terus makan siang bareng. Ini lagi nganter Mbak Olive pulang.""Sama Om Danan ke atas?" tanya Rasyid hati-hati."Iya, Mas. Diantar Bapak."Rasyid mengangguk-
Nadia baru kembali dari pekerjaannya mengaudit keuangan anak perusahaan tempatnya bekerja. Pekerjaan yang berat dan sebenarnya Danan sudah berulang kali meminta Nadia untuk berhneti, secara Danan sendiri memiliki perusahaan yang cukup besar. Danan bahkan menawari Nadia untuk menjadi CMO di perusahaannya.Namun, Nadia selalu menolak. Sebagai seorang yang idealis, Nadia ingin menjadi pribadi yang mandiri. Lagi pula, bekerja dengan orang lain, jauh lebih sehat karena minim konflik dengan keluarga.Sebenarnya, seharian bekerja ini, perasaan Nadia buruk. Pikirannya kalut ke mana-mana. Ada syak wasangka yang diam-diam sedang mengganggunya sepanjang hari.Di kamar hotel, Nadia tidak langsung mandi ataupun memesan makan malam. Dia langsung mencoba menelepon Danan, suaminya. Tak lama keningnya berkerut, saat membaca informasi yang tertera di aplikasi menelepon WA. Itu memanggil.Hanya ada tiga kemungkinan. Ponsel mati, ada gangguan jaringan, atau sedang ada di saluran panggilan lain. Nadia men