Share

Kelakuan Gila Kakak Angkatku
Kelakuan Gila Kakak Angkatku
Penulis: See Sha

1. Pengakuan Tidak Terduga

"Papa kemari. Aku butuh Papa. Sekarang aku hancur. Aku hanya mau Papa di sini. Kalau Papa tidak datang, aku mati saja."

Danan menghela napas khawatir, setiap teringat ucapan putrinya di telepon tadi setelah makan malam. Putrinya lebih banyak menangis, tidak menjelaskan apa yang terjadi. Setiap kali Danan bertanya, Olive akan memekik histeris, menuntut Danan untuk segera ke apartemen sewaannya.

"Aku hanya mau Papa saja yang datang. Aku tidak mau ada Mama."

Permintaan yang aneh, tapi tidak sulit untuk dipenuhi karena Nadia; istrinya, ada pekerjaan ke luar kota.

Hampir dua jam Danan menyetir untuk sampai di apartemen Olive. Waktu yang sedikit lebih lama dari biasanya, karena hujan lebat dan beberapa titik perjalanan mengalami macet. Hujan masih cukup deras dan Danan harus setengah berlari dari parkiran ke apartemen.

Danan sampai di lantai dua puluh satu, tempat Olive tinggal. Di depan pintu apartemen, Danan mengetuk dengan cepat. Dia lupa kalau pintu apartemen Olive menggunakan sistem kunci pintar yang kode sandinya sangat diingat oleh Danan.

Pintu terbuka perlahan. Seorang gadis dengan rambut panjang yang dipotong berlayer-layer, berdiri dengan wajah menunduk. Dia mengenakan kaos putih yang sangat longgar dan hanya menutupi sebagian kecil paha putihnya. Itu adalah kaos santai milik Danan.

Danan melangkah masuk dan langsung menangkup wajah putrinya dengan kedua tangan. Didongakkan kepala Olive yang langsung terlihat bagaimana sendunya wajah putri sulungnya itu. Begitu lembab pipi Olive, bekas air mata.

"Kamu kenapa, Sayang? Ribut lagi sama Rasyid?" Danan berpraduga dari yang biasa terjadi kalau Olive sedih.

Bukannya menjawab, Olive langsung memeluk erat ayahnya dan kembali menangis. Tangan kiri Danan, merangkul Olive, sedangkan tangan kanannya menutup pintu. Setelahnya, Danan menggiring Olive menuju ruang utama. Keduanya duduk bersisian, dengan Olive yang masih menangis di dada Danan.

Danan menatap sekitar yang berantakan. Meja tamu dan sofa, bergeser tidak rapi. Bahkan Danan melihat ada pecahan gelas di sudut dekat meja TV dan pecahan vas bunga di sisi yang lain. Tidak biasanya ada keributan hingga menyebabkan adanya barang yang hancur.

"Sekarang masalahnya apa? Kok, sampai berantakan begini?" tanya Danan sembari membelai kepala dan punggung sang putri.

"Papa ambilkan minum, ya? Biar kamu tenang. Biar bisa cerita," tawar Danan.

Tapi, tubuh Danan ditahan dengan pelukan yang semakin erat. Kepala Olive juga semakin terbenam dalam di dada Danan dengan isakan tangis yang semakin jadi. Danan menarik napas dan menepuk-nepuk lembut pundak Olive. Itu salah satu cara untuk menenangkan putrinya.

"Ya, udah..., nangis aja dulu. Abis itu cerita, terus kita pikirkan penyelesaiannya," ucap Danan yang kemudian menyandarkan tubuhnya, membuat posisi nyaman bagi Olive yang menangis di pelukannya.

"Aku putus." Akhirnya Olive bicara, setelah sekian waktu menangis. Tapi, Olive tidak melepaskan pelukannya dan tetap menyandar di dada ayahnya.

Danan tersenyum samar. Itu bukan yang pertama kalinya.

Hubungan Olive dan Rasyid sudah delapan tahun lebih, tepatnya dimulai saat usia Olive tujuh belas tahun. Usia Rasyid, lima tahun lebih tua dari Olive. Selama ini, Danan melihat hubungan keduanya adalah hubungan yang naik turun. Keributan sebenarnya cenderung dimulai dari Olive yang terlalu banyak menuntut dan pencemburu.

Dananlah yang selalu menjadi penengah dan juru damai, karena yakin kalau Olive mencintai Rasyid, dan juga Rasyid adalah calon menantu idaman bagi Danan dan Nadia, karena latar belakang keluarga Rasyid dan kepribadian kekasih putrinya itu.

"Sekarang masalahnya apa?" tanya Danan sabar.

"Aku sudah gak sanggup lagi, Pa. Aku tidak bisa lagi sama dia." jawab Olive dengan tangisan yang semakin menderu.

"Shhh ... kok malah nyaring nangisnya. Udah, dong. Kan sudah ada Papa di sini."

"Aku sudah gak bisa lagi sama Rasyid, Pa. Aku muak sama dia."

"Memang sekarang masalahnya apa?" tanya Danan.

Olive sudah tidak menangis lagi. Meski begitu, Olive belum mau melepaskan diri dari ayahnya. Raut wajahnya juga menyiratkan kesenduan sekaligus kebimbangan untuk menjawab.

"Apa Rasyid ada dekat sama perempuan lain lagi? Atau, kamunya yang deket sama cowok lain dan Rasyidnya cemburu?" Danan berpraduga atas kebiasaan keributan Olive dengan kekasihnya.

Olive masih diam, enggan menjawab.

"Jangan diam saja. Bagaimana Papa bisa tahu masalahnya kalau kamu gak bicara."

"Pa..., aku gak bisa lagi sama Rasyid."

"Memangnya Rasyid buat salah apa ke kamu?" tanya Danan masih dengan ketenangannya. Danan yakin kalau ini hanyalah keributan yang sama dengan sebelumnya, yang pada akhirnya akan kembali bersama.

"Sepertinya, kali ini aku yang salah, Pa."

Danan terkekeh kecil. Dia masih menganggap kalau masalah putrinya pastilah bukan hal yang rumit dan aneh.

"Ya, kalau kamunya yang salah, kamu dong yang minta maaf dengan baik. Bukan dengan ...." Danan mengarahkan tangannya ke sekeliling, ke kekacauan yang tersebar akibat keributan.

"Gak capek apa ribut terus? Memangnya salah kamu sebesar apa sampai bikin keributan sebesar ini?"

Bukannya menjawab, Olive kembali menggelengkan kepala sebagai jawaban. Gadis berambut panjang itu justru semakin merapatkan tubuhnya ke Danan, menempelkan erat kepalanya di dada Danan.

"Aku sulit mencintai Rasyid, Pa."

Kening Danan mengernyit. Tergambar di wajahnya kalau dia agak bingung.

"Sulit bagaimana?" tanya Danan. "Coba ngomongnya yang jelas sama Papa. Cerita yang runut. Biar Papa paham apa yang jadi persoalan kalian."

"Aku bingung ceritanya, Pa. Aku juga takut buat cerita." Kembali Olive menangis. Kepalanya semakin terbenam di dada Danan.

"Bingungnya kenapa? Takutnya juga kenapa?"

"Aku bingung mau cerita bagaimana. Aku juga takut kalau ...."

"Kalau apa?"

"Kalau Papa dan semua orang akan membenciku."

Lagi-lagi Danan terkekeh geli. Diusapnya lagi kepala dan rambut putrinya, lalu ditangkupnya pipi sang putri yang sembab basah. Dengan kedua tangannya yang lebar, Danan memenuhi kedua pipi Olive. Memberikan tidak hanya kehangatan tapi juga ketenangan. Didongaknya kepala Olive, membuat kedua mata masing-masing saling menatap.

"Papa tidak akan pernah membencimu, Sayang. Papa akan selalu ada buat kamu, untuk semua kebenaran dan kesalahanmu," ucap Danan penuh keyakinan. Diusapnya setetes air mata yang berguulir lagi di pipi Olive, dengan ibu jarinya.

"Papa gak bohong? Papa janji untuk itu semua?"

"Papa janji."

"Papa tidak akan membenciku? Papa tidak akan membuangku?"

"Hahaha..., tidak ada alasan apa pun bagi Papa untuk melakukan itu semua padamu, Sayang."

"Tapi kali ini, Papa punya alasan untuk itu semua."

Danan menatap serius putrinya. Ada perasaan aneh yang menyusup. Ada perasaan khawatir yang mulai membuat Danan gelisah.

"Katakan pada Papa, apa itu?" desak Danan pelan.

Olive menatap lekat-lekat kedua mata ayahnya. Ada tarikan napas yang dalam sebelum kemudian Olive menjawab pertanyaan ayahnya.

"Aku mencintai Papa."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status