LOGINCahaya fluoresen di ruang interogasi sementara itu terasa lebih menusuk dibandingkan sorot matahari Jogja yang baru saja Raka tinggalkan. Udara dingin dari pendingin ruangan menyengat kulit, berpadu dengan bau kopi basi dan kertas-kertas laporan. Raka masih merasakan sisa kengerian dari pemandangan yang disaksikannya di kantor politisi itu, sebuah lakon tragis yang terukir di tubuh mati. Dia duduk di kursi logam yang dingin, meremas jari-jarinya. Kompol Kirana Prameswari duduk di seberangnya, wajahnya tegas, mata tajamnya tak pernah lepas dari Raka. Di sampingnya, Bripka Drajat tampak tidak sabar, sesekali melirik jam tangan.
"Dr. Raka," Kirana memulai, suaranya lugas, tanpa basa-basi. "Saya tahu ini tidak nyaman, tapi kita butuh penjelasan Anda. Segera."
Raka menelan ludah, tenggorokannya tercekat. "Penjelasan apa lagi, Kompol? Saya sudah katakan, yang Anda lihat itu … itu replika adegan kematian Sengkuni dalam Bharatayuddha. Lidah ditarik keluar, dikelilingi simbol-simbol kecurangan dan pengkhianatan."
Drajat mendengus, "Jadi maksud Bapak, pembunuh ini sedang main wayang? Bapak tahu berapa banyak pekerjaan kami yang harus disisihkan untuk omong kosong semacam ini?"
Kirana mengangkat tangan, mengisyaratkan Drajat untuk diam. "Kami menghargai perspektif Bapak, Dr. Raka. Namun, kami butuh lebih dari itu. Kami butuh motif, metode, dan—jika memungkinkan—identitas pelaku. Kami punya korban pertama, dan sekarang korban kedua. Ada pola di sini, dan Bapak tampaknya satu-satunya yang bisa melihatnya." Dia mendorong sebuah folder tebal di atas meja.
Raka menatap folder hitam itu, sebuah bayangan dingin melintas di benaknya. Dia ragu-ragu, tapi Kirana menatapnya dengan tatapan yang menyiratkan perintah. Dia membuka folder itu perlahan.
Di dalamnya, lembar pertama adalah foto close-up seorang pria paruh baya, wajahnya pucat pasi, matanya melotot. Kemudian, gambar yang lebih luas: pria itu tergeletak di sebuah situs konstruksi yang belum selesai, dikelilingi oleh puing-puing beton dan besi. Tubuhnya kaku, dengan satu tangan terentang ke atas, seolah mencoba meraih sesuatu. Di sampingnya, sebuah gada besar tergeletak, terukir rumit dengan motif naga dan awan.
Raka merasakan jantungnya berdebar kencang. Meskipun Dia telah mengasingkan diri dari dunia wayang, ukiran itu … Dia mengenalnya. Dia mengenalnya dengan kejelasan yang menakutkan, seperti mengenali tanda tangan ayahnya sendiri.
"Ini … korban pertama?" suara Raka serak.
"Betul. Tuan Widjojo, konglomerat properti," jawab Kirana. "Ditemukan tiga hari lalu. Pemeriksaan forensik menunjukkan dia dipukul dengan benda tumpul di kepala, lalu diposisikan seperti itu. Adegan serupa dengan yang Bapak temukan pagi ini?"
Raka mengangguk, matanya terpaku pada foto gada itu. "Gada ini … ini bukan sembarang properti, Kompol. Lihat detailnya. Ukiran naga ini, cara awan-awan ini melengkung … ini pakem yang sangat spesifik. Ini gaya mendiang ayah saya."
Drajat mencibir. "Jadi, pembunuhnya pinjam properti dari bapak Anda? Atau bapak Anda juga terlibat?"
Raka mengepalkan tangan, rasa sakit yang sudah lama terkubur kini berdenyut tajam. "Ayah saya meninggal lima tahun lalu, Bripka. Dia bunuh diri."
Keheningan sesaat menyelimuti ruangan. Kirana melirik Drajat, sebuah teguran tanpa suara.
"Kami turut prihatin, Dr. Raka," kata Kirana, nadanya sedikit melunak. "Tapi bisakah Anda jelaskan apa artinya 'gaya mendiang ayah saya' ini? Apakah itu mengarah pada sesuatu?"
Raka menutup folder, jari-jarinya masih gemetar. "Ayah saya, Ki Anom Suroso, adalah seorang dalang legendaris. Dia tidak hanya mementaskan wayang, Dia hidup di dalamnya. Setiap properti, setiap ukiran, setiap karakter … dia berikan nyawa. Dan pakem ukiran gada Duryudana yang diajarkan ayah saya selalu memiliki ciri khas. Gada itu adalah simbol kekuatan, kekuasaan, dan ambisi. Duryudana adalah Kurawa tertua, pemimpin yang sombong, yang buta oleh keserakahan dan tahta. Kematiannya menandai akhir dari perang Bharatayuddha yang panjang dan berdarah. Dia gugur di medan Kurusetra, dipukul pahanya oleh Bima."
"Paha?" Kirana mengangkat alis. "Tapi Tuan Widjojo dipukul di kepala. Ini tidak sesuai."
"Itu poinnya," Raka menjelaskan, suaranya mulai mendapatkan kembali otoritas akademisnya, meskipun masih dibayangi gejolak emosi. "Duryudana adalah karakter yang sangat kompleks. Kematiannya bukan hanya tentang pukulan fisik, tapi juga tentang kehancuran moral dan martabat. Sang pembunuh tidak hanya meniru adegan, tapi juga interpretasi dari adegan itu. Dalam beberapa versi lakon, kehormatan Duryudana dicabik-cabik sebelum kematian fisiknya. Dipukul di kepala bisa melambangkan kehancuran akal sehat, kehormatan, atau kekuasaan itu sendiri."
Raka membuka folder lagi, menunjuk foto korban Widjojo. "Tuan Widjojo dikenal sebagai konglomerat yang tak segan menggunakan cara-cara kotor untuk mendapatkan tanah dan proyek, kan? Dia menghancurkan banyak lahan persawahan, menggusur warga. Layaknya Duryudana yang serakah akan kekuasaan Hastinapura. Kehancuran fisiknya di situs konstruksi, dikelilingi puing-puing … itu ironi yang sangat kuat. Dia mati di tengah-tengah ambisinya yang hancur."
Kirana menulis cepat di buku catatannya. "Jadi, Anda mengatakan pembunuh ini memilih korban berdasarkan karakter yang mereka representasikan dalam kehidupan nyata, dan kemudian mementaskan kematian mereka sesuai dengan cerita Mahabharata, dengan sedikit sentuhan interpretasi pribadi?"
"Lebih dari itu, Kompol," kata Raka. "Ini bukan sekadar peniruan. Ini adalah pementasan sebuah lakon. Dan ada dalang di balik semua ini." Dia berhenti sejenak, menatap kosong ke depan. "Dan pakem ini … cara ukiran gada itu … ini terlalu spesifik. Ini bukan tiruan umum. Ini tiruan yang sangat personal. Seolah … seolah sang dalang ini adalah seseorang yang sangat dekat dengan ayah saya, sangat menguasai ilmunya."
Pertaruhan personal Raka mulai mencengkeramnya. Ayahnya meninggal karena bunuh diri, sebuah tindakan yang dia yakini dilakukan karena depresi dan kehancuran batin. Namun, mungkinkah ada cerita lain? Mungkinkah kematiannya tidak sesederhana itu? Jika ada seseorang yang begitu menguasai pakem ayahnya dan menggunakannya untuk pembunuhan keji, mungkinkah orang itu juga terkait dengan kematian ayahnya? Rasa jijik pada seni wayang yang selama ini dia pelihara sebagai pelindung, kini mulai retak, digantikan oleh keraguan dan kebutuhan akan kejelasan.
"Oke, Dr. Raka," Kirana menyandarkan punggungnya, menatap Raka dengan saksama. "Jika teori Anda benar, bahwa korban pertama adalah Duryudana dan korban kedua yang baru kita temukan ini adalah Sengkuni … lalu apa artinya semua ini?"
"Sengkuni adalah paman Duryudana, otak di balik segala intrik dan kecurangan Kurawa," Raka menjelaskan, suaranya kini lebih stabil, akademisi dalam dirinya mengambil alih, menekan kecamuk emosi. "Dia pandai memutar kata, menghasut, memecah belah. Lidah ditarik keluar adalah simbol sempurna dari bagaimana Dia menggunakan lidahnya sebagai senjata mematikan. Manipulator ulung yang akhirnya dibungkam. Politisi yang ditemukan tewas pagi ini, Tuan Hartono, saya dengar reputasinya … tidak jauh beda dengan Sengkuni. Penuh skandal, janji palsu, dan kebohongan."
"Dan Anda yakin ini ada hubungannya dengan ayah Anda?" tanya Kirana, suaranya tajam.
Raka menatap Kirana, matanya berkedip, dipenuhi bayangan masa lalu. "Tidak mungkin kebetulan, Kompol. Ukiran gada itu, detail properti lain yang saya lihat di TKP Sengkuni … ada sentuhan yang tidak bisa ditiru sembarangan orang. Hanya seseorang yang belajar langsung dari ayah saya, atau seseorang yang sangat mendalam memahami setiap detail dari setiap pakem yang ayah saya ciptakan."
"Jadi, kita mencari seorang dalang pembunuh yang dulunya adalah murid ayah Anda?" Drajat menyimpulkan dengan nada sarkas.
"Atau seseorang yang terobsesi pada ayah saya, dan pada warisannya," Raka mengoreksi. "Ayah saya sering mengatakan, 'wayang bukan sekadar tontonan, Nak. Wayang adalah tuntunan. Wayang adalah hidup.' Tapi Dia juga selalu memperingatkan akan bahaya jika 'hidup' itu disalahartikan, jika 'tuntunan' itu dibelokkan."
Sebuah pikiran menakutkan menyelinap masuk ke benak Raka. Jika pembunuh itu adalah seseorang yang begitu mengagumi dan menguasai pakem ayahnya, mungkinkah … mungkinkah ada semacam pesan, semacam tujuan yang lebih besar dari sekadar balas dendam? Dan mengapa memilih pakem ayahnya? Apakah ini sebuah penghormatan atau sebuah ejekan?
"Jika ini pementasan, Dr. Raka, kita harus tahu lakon berikutnya," desak Kirana. "Apakah ada pola di balik pemilihan karakter-karakter ini? Siapa target selanjutnya? Kita tidak bisa menunggu sampai ada mayat ketiga."
Raka menghela napas panjang. Beban yang selama ini dia sangkal—beban warisan, beban trauma, beban dari seni yang dia benci namun tak bisa dilepaskan—kini terasa begitu nyata, begitu berat. Ayahnya meninggal sebagai seorang yang kalah, yang patah. Raka lari dari semua kenangan itu. Dia membangun dinding di sekeliling dirinya, mengubur warisan itu di balik tumpukan buku dan debu. Namun, Sang Dalang ini … Sang Dalang ini sedang memaksanya untuk kembali ke panggung.
"Mahabharata adalah epik tentang perang yang panjang, Kompol," Raka memulai, suaranya kini dipenuhi keseriusan yang baru. "Ada banyak tokoh yang gugur, masing-masing dengan kisah dan takdirnya sendiri. Tapi jika kita melihat urutannya … Duryudana dan Sengkuni adalah arsitek utama kejahatan. Mereka adalah inti dari kebusukan di pihak Kurawa. Jika ini adalah 'pemurnian,' seperti yang sering ayah saya bicarakan tentang idealisme seni wayang yang rusak, maka pembunuh ini akan terus memburu para 'Kurawa' di dunia nyata."
"Siapa selanjutnya?" tanya Kirana, mendesak. "Apakah ada petunjuk dalam cerita itu, setelah Duryudana dan Sengkuni?"
Raka memejamkan mata sejenak, gambar-gambar wayang dan halaman-halaman lontar kuno berkelebat di benaknya. Dia tidak suka ini. Dia tidak ingin menjadi bagian dari kegilaan ini. Tapi ukiran gada ayahnya … wajah ayahnya yang hampa saat terakhir kali mereka bertemu … kenangan-kenangan itu memaksanya.
"Ada banyak, Kompol. Tapi ada satu karakter yang sangat penting dalam akhir perang Bharatayuddha, yang kematiannya sering digambarkan sebagai puncak tragedi moral," jawab Raka, membuka mata, tatapannya kini lebih tegas, meski masih ada keraguan yang tersisa. "Seorang ksatria perkasa yang terpaksa berpihak pada kejahatan karena sumpah dan takdir."
Kirana menunggunya, tatapannya intens. Drajat pun terdiam, ikut menunggu.
Raka mengambil napas dalam, membiarkan nama itu keluar dari bibirnya, sebuah bisikan yang membawa janji akan kengerian berikutnya. "Karna."
Udara di ruangan itu terasa semakin dingin, seolah nama itu sendiri telah membuka pintu bagi hantu lain untuk masuk. Raka tahu, pada saat nama itu terucap, ia telah menarik dirinya lebih dalam ke dalam lakon mematikan ini. Dia tidak bisa lari lagi. Dia harus menemukan dalang di balik semua pembunuhan ini, bukan hanya untuk menghentikan mereka, tetapi juga untuk menemukan kebenaran di balik kematian ayahnya sendiri. Kebenaran yang selama ini dia takutkan untuk digali. Sebuah pementasan baru telah dimulai, dan dia baru saja menerima peran utamanya.
Raka Permadi merasakan kata itu menghantamnya bukan sebagai suara, melainkan sebagai getaran. Itu adalah gema yang muncul dari setiap sendi tubuhnya, menanggapi racun perlahan dari wayang ayahnya. Kegelapan menutup pandangannya, meninggalkan hanya sisa bayangan Wayang Ki Anom yang meleleh di tanah dingin Imogiri, sebuah lambang tragis dari cinta yang beracun.Ia tidak sadar berapa lama ia tergeletak. Hanya sensasi kejatuhan, rasa panas yang membakar pembuluh darah, dan rasa dingin dari batu-batu nisan yang mencium pipinya. Samar-samar, Raka mendengar teriakan. Bukan lagi suara anak-anak yang direkam, bukan pula ejekan Wira. Ini adalah teriakan nyata.“Raka! RAKA! Bangun, sialan!”Suara Kirana Prameswari. Kuat, mendesak, dan kini penuh histeria yang belum pernah Raka dengar sebelumnya. Kirana sudah bebas.Raka membuka matanya yang berat. Penglihatannya kabur. Kirana ada di depannya, tangannya gemetar hebat. Ia berhasil melepaskan diri dari ikatan di ruang perenungan, mungkin menggunaka
Coretan itu adalah Wayang Bima, terikat rantai, diposisikan seperti terkurung di sebuah sel. Di sebelahnya, tulisan tangan Kapten Wira: “Bima terkunci, menunggu Arjuna memutus rantai logika.”Raka melanjutkan perjalanan di lorong sempit itu. Coretan di dinding berganti. Kini ia melihat sebuah gambar Kirana, dihiasi detail seragam polisi, duduk di depan wayang-wayang Kurawa yang gugur. Itu adalah pemandangan yang sama persis dengan yang Raka bayangkan selama ini: Kirana dihadapkan pada hasil logis dari kejahatan yang sempurna.Kau sudah hampir di sini, Raka. Jangan sia-siakan kesempatanmu untuk menjadi pahlawan.Raka mendengar suara samar di ujung lorong—rintihan tertahan. Itu Kirana.Ia mempercepat langkahnya, tetapi lorong itu tiba-tiba terbuka ke sebuah ruang perenungan yang kecil, terbuka ke langit malam, dikelilingi tembok batu tinggi. Di tengah ruangan itu, ada batu nisan tunggal, bukan nisan raja, melainkan nisan tanpa nama, diselimuti dupa yang masih mengepulkan asap tebal.Dan
Raka Permadi berdiri di kegelapan Imogiri, seolah dipaku oleh bisikan Bayangan Utama. Di tangan kirinya Wayang Arjuna—dirinya. Di tangan kanannya Wayang Ki Anom Suroso—ayahnya, sang dalang yang bunuh diri. Dan di kakinya, Wayang Bima yang robek, Wayang Kirana yang siap ditumbalkan.Ia menatap ponsel di tangannya. Pesan Kirana: "Raka, ada sesuatu yang kutemukan di mobilku. Di..." Terputus. Ini bukan sinyal hilang, ini adalah Kirana yang terputus secara brutal. Entah teleponnya dihancurkan atau dia diserang.Pilihan itu terasa sangat nyata, panas, dan dingin sekaligus. Wira tidak hanya memaksanya memilih antara menyelamatkan kekasih dan memenangkan lakon; Wira memaksanya memilih antara menjadi manusia atau menjadi dalang.Jadilah Parikesit sejati. Raja yang naik takhta dari tumpukan jenazah orang yang paling kau sayangi.Raka memejamkan mata, memproses ledakan suara yang ia dengar sebelumnya. Itu ledakan kecil, mungkin hanya peledak suara untuk menakuti, atau alarm. Tetapi Wira adalah m
Dan di denah itu, terdapat titik merah di sebuah sudut kecil, disertai tulisan: “DWIPA’S VOICE: FINAL SULUK.”Raka segera bergerak menuju sudut yang ditunjuk denah. Ia mendapati ada lubang kecil tersembunyi di dinding kayu, yang ditutup tirai usang.Dia menyibak tirai itu, dan melihat di baliknya, sebuah kotak perekam digital kecil yang berkedip pelan. Kotak itu dihubungkan ke pengeras suara kecil, dan di sampingnya, ada mikrofon dengan tanda logo DWIPA. Wira sudah pergi, tetapi meninggalkan jejak suaranya—suara DWIPA—untuk didengar oleh siapa pun yang berani masuk ke panggung sunyi itu.Raka menyentuh tombol Play pada perekam digital itu. Dia tahu, dia sedang melangkah ke jebakan audio yang dipersiapkan dengan cermat.Suara itu muncul, tenang dan berwibawa, persis suara Kapten Wira.“Selamat datang di Panggung Sunyi, Raka Permadi. Aku tahu kau akan datang. Dan kini kau melihat apa yang harus kulihat selama bertahun-tahun: semua korban itu hanyalah boneka yang harus gugur. Kau juga bo
Raka memejamkan mata, memproses semua kengerian itu. Ayahnya tahu Wira, tahu potensi gelapnya, tahu bahwa Banyu hanya wayang kecil yang dimainkan oleh tangan besar DWIPA. Raka merasa muak pada diri sendiri—ia begitu sombong mengira dirinya memburu satu dalang, padahal ia sedang diatur oleh sebuah sindikat. Pengkhianatan Wira adalah bukti mutlak: Lakon ini diatur oleh sistem yang sangat cerdas.“Aku harus tahu apa lakon yang Wira mainkan selanjutnya,” gumam Raka, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia pasti menyembunyikan peta.”Raka bergerak di lorong arsip yang berantakan, mencari petunjuk yang ditinggalkan Wira, yang tidak mungkin seceroboh Banyu. Dia mencari apa pun yang tidak seharusnya ada di gudang polisi.Akhirnya, Raka menemukan selembar kertas yang terlipat rapi, terselip di bawah Wayang Drajat yang ditinggalkan Wira. Itu bukan peta geografis, melainkan sepotong suluk, ditulis dengan kaligrafi yang indah.Raka membaca bait terakhir dengan suara pelan:“...Dan di akhir perang, San
Raka melihat ke sudut ruangan yang paling gelap. Di sana, di antara tumpukan arsip usang, ada cahaya redup yang memancar. Cahaya itu datang dari lilin tunggal yang diletakkan di lantai. Dan di balik cahaya itu, terlihat Kelir—selembar kain putih usang, direntangkan di antara rak-rak arsip.Di balik kelir itu, bayangan bergerak.Sosok itu memegang sebuah Wayang yang tampak familier. Wayang Bima. Sosok itu menggerakkan Wayang Bima yang kini tampak utuh kembali, menari dengan gagah di depan kelir, seolah ejekan bagi Raka yang memegang boneka robek.“Selamat datang, Kompol Prameswari. Bima. Saya sudah menunggu kedatanganmu di panggungku,” sapa sebuah suara, sangat tenang, berwibawa, dan sangat berbeda dari suara Banyu.Kirana mengarahkan kerisnya. “Tunjukkan dirimu! Kau yang menusuk Drajat! Kau yang mengancam Raka!”Sosok di balik kelir itu tertawa pelan. Ia menancapkan Wayang Bima di tengah kelir, lalu mengangkat sebuah wayang baru—wayang yang mengenakan seragam polisi. Kirana gemetar sa







