Dr. Raka Permadi terperanjat dari kursi rotan peninggalan ayahnya, suara gedoran di pintu joglo membelah keheningan malam. Dia mengenakan sarung batik yang usang, rambut gondrongnya yang diikat seadanya terurai saat Dia berjalan gontai melewati lorong-lorong kayu berukir, menuju sumber kegaduhan.
"Dr. Permadi, kami dari kepolisian!" Suara berat itu terdengar lagi, lebih mendesak agar segera dibukakan pintu.
Raka membuka pintu kayu berdaun ganda. Di depan pintu telah berdiri dua sosok berseragam cokelat gelap, siluet mereka diterangi lampu sorot mobil patroli.
"Ada apa?" tanyanya seraya mata menyipit, berusaha beradaptasi dengan cahaya yang terang benderang yang menyorot.
Seorang polisi muda dengan wajah kaku melangkah maju. "Dengan Dr. Raka Permadi? Filolog dari Universitas Gadjah Mada?"
"Benar. Tapi saya sudah lama tidak aktif mengajar. Ada apa ini?" Raka menggeser sedikit badannya, membentuk celah kecil pada pintu, seolah ingin menutupi apa yang ada di belakangnya.
Polisi muda bernama Bripka Drajat itu menghela napas. "Maaf mengganggu, Dokter. Tapi ada kasus pembunuhan. Kompol Kirana Prameswari yang meminta Anda untuk datang. Beliau menunggu di TKP."
Raka memicingkan mata, dahinya berkerut. Dia mencoba menelaah maksud polisi muda itu, karena dirinya tidak paham ada keterkaitan apa antara dirinya dengan pembunuhan tersebut.
"Saya rasa ada kesalahan. Saya bukan forensik, juga bukan penyidik. Saya hanya sejarawan." Raka mencoba menutup pintu, namun Drajat dengan sigap menahan daun pintu.
"Dr. Permadi, tolong. Keadaannya cukup pelik. Dan Kompol Prameswari sangat bersikeras. Beliau bilang, hanya Anda yang bisa memahami pesan si pelaku." Drajat menatap Raka dengan tatapan memohon, ada jejak keputusasaan di matanya.
Pesan si pelaku? Sebuah firasat tak menyenangkan menghinggapi pikirannya. Dia berupaya membuang jauh-jauh bayangan mengerikan itu.
"Apa ada hubungannya dengan kasus yang kemarin?" Raka bertanya, teringat samar-samar berita tentang seorang konglomerat yang tewas aneh di sebuah lokasi konstruksi. Berita itu membuatnya bergidik, sebab ada desas-desus tentang detail-detail yang sangat mengerikan.
Drajat mengangguk. "Lebih parah. Yang sekarang jauh lebih dramatis. Mohon ikut kami, Dok."
Raka mendesah panjang. Mengabaikan firasatnya, dia akhirnya mengalah, kemudian mengambil kemeja batik yang tergantung di dekat pintu, memakainya dengan tergesa. Setiap gerakannya memancarkan keengganan. Meninggalkan rumah joglo saat malam terasa seperti meninggalkan bagian dari dirinya, menanggalkan perisai isolasi dirinya dari dunia luar.
Perjalanan singkat di dalam mobil patroli terasa panjang dan mencekam. Raka memejamkan mata, berusaha mengabaikan lampu-lampu kota yang melintas cepat dan ingatan-ingatan yang mulai menyeruak. Dia benci keramaian. Dia benci hiruk pikuk, dan dia benci segala sesuatu yang mengingatkannya pada panggung, pada kelir, pada bayangan yang menari diiringi gamelan, sebuah warisan yang benar-benar dia kutuk.
Mereka tiba di sebuah kawasan elit, di depan sebuah rumah yang lebih menyerupai istana modern. Lampu sorot polisi menembus kegelapan, menyinari dinding marmer dan gerbang besi tempa yang megah. Aroma anyir darah samar-samar mulai menusuk hidung Raka.
Di teras, puluhan anggota polisi hilir mudik. Suasana terasa tegang, penuh bisikan dan perintah singkat. Raka melangkah keluar dari mobil, matanya langsung tertuju pada sesosok perempuan yang berdiri tegap di tengah kerumunan, memancarkan aura otoritas yang tak terbantahkan. Dia mengenakan seragam dinas, rambutnya diikat rapi, wajahnya memperlihatkan sikap tegas.
"Dr. Permadi? Terima kasih sudah mau datang." Kirana menyapa, nadanya lugas tanpa basa-basi.
Dia menatap Raka, dari ujung kepala hingga kaki, seolah menimbang setiap inci dari tubuh lelaki itu dengan teliti.
Raka mengangguk canggung. "Kompol Prameswari. Saya masih tidak yakin apa yang bisa saya lakukan."
"Anda akan tahu sebentar lagi." Kirana memberi isyarat ke dalam rumah. "Ikuti saya."
Mereka masuk ke dalam, melewati ruang tamu yang dihiasi patung-patung modern dan lukisan abstrak mahal. Aroma darah semakin kuat, bercampur dengan bau desinfektan dan sesuatu yang asam—mungkin muntahan. Setiap langkah Raka terasa berat, seolah dia berjalan di atas kenangan yang sekian lama dia coba kubur, di atas reruntuhan masa lalu.
Kompol Kirana mengarahkannya menuju ke sebuah ruang kerja yang luas, dihiasi lemari buku dari kayu jati ukir, meja kerja marmer, dan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke taman. Namun, perhatian Raka tak tertuju pada kemewahan dekorasi. Fokusnya langsung jatuh ke tengah ruangan.
Di sana, sebuah panggung kecil telah dibuat. Bukan panggung sungguhan, melainkan sebuah penataan artistik yang mencolok dan mengerikan. Di tengah panggung tiruan itu, tergeletak sesosok lelaki paruh baya, tubuhnya membengkak dan memucat, terbaring dalam posisi yang aneh. Lidahnya ditarik keluar, memanjang secara tidak wajar dari mulutnya, seolah ada tangan tak kasat mata yang menariknya secara brutal. Matanya melotot, pandangan kosongnya menerawang ke langit-langit, ke atap-atap yang berukir rumit.
Sekujur tubuh Raka menegang. Dia tahu posisi seperti itu, bahkan mengenalnya dengan baik. Di sekeliling mayat, terhampar berbagai properti. Ada beberapa buah dadu kuno yang berserakan, sebuah cawan berisi cairan merah kental yang menyerupai darah, dan yang paling mencolok adalah sebuah patung kecil berbentuk burung gagak. Patung itu terbuat dari kayu eboni dengan mata yang terbuat dari batu merah delima, bertengger di bahu si korban.
Bau busuk yang menusuk hidung membuat Raka nyaris terhuyung. Dia menekan tangannya ke mulut, menahan gejolak di perutnya. "Sengkuni," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, sebuah pengakuan yang keluar begitu saja.
Kirana yang berdiri di sampingnya, menoleh. "Apa yang Anda katakan?"
Raka menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Sengkuni. Ini adalah adegan kematian Sengkuni."
"Sengkuni siapa? Maksud Anda ... boneka wayang?" Nada Kirana terdengar skeptis, sedikit meremehkan, menganggap penjelasan Raka terlalu aneh untuk diterima akal sehatnya.
"Bukan boneka. Sengkuni adalah tokoh antagonis licik dalam wiracarita Mahabharata, paman dari para Kurawa, dalang di balik intrik dan kecurangan yang menyebabkan pecahnya perang Bharatayuddha," jelas Raka, tiba-tiba terdengar seperti seorang dosen yang sedang mengajar. Dia berupaya memisahkan dirinya dari kengerian adegan dengan bersikap ilmiah, menarik diri ke ranah intelektual.
"Jadi, Anda bilang pembunuh mereplikasi cerita kuno? Semacam ritual?" tanya Kirana, alisnya bertaut.
"Tidak hanya mereplikasi. Dia mementaskannya," Raka mengoreksi, kemudian melangkah lebih dekat, mengabaikan rasa mualnya yang perlahan mereda.
"Lidahnya yang ditarik keluar... itu adalah ciri khas kematian Sengkuni. Bima, salah satu Pandawa yang melakukannya. Dadu-dadu itu ... Sengkuni adalah ahli permainan dadu, Dia menggunakan keahliannya untuk memenangkan taruhan dalam sebuah pertandingan yang curang, menguras kekayaan Pandawa. Dan gagak ... seringkali menjadi simbol pertanda buruk, atau mungkin, metafora untuk karakternya yang licik dan suka menyebarkan kabar buruk."
"Jadi, Anda bilang semua punya makna?" Kirana menunjuk properti-properti di sekeliling mayat.
"Bukan hanya makna. Ini adalah pakem. Sebuah aturan baku dalam pewayangan, bagaimana sebuah adegan harus ditampilkan, bagaimana seorang tokoh harus mati."
Raka menelusuri setiap detail dengan matanya, perhatiannya beralih dari kengerian ke analisis. Dia melihat guratan pada patung gagak, pola ukiran pada dadu.
"Pengerjaan yang luar biasa teliti. Sangat artistic, terlalu artistik untuk sekadar pembunuhan biasa."
"Korbannya adalah Bapak Hartono, seorang politikus terkemuka, ketua Partai Demi Rakyat," Kirana memberikan informasi sembari menatap tajam Raka.
"Dia ditemukan pagi tadi oleh asistennya. Tidak ada jejak paksa masuk. Tidak ada sidik jari lain selain miliknya. Kamera CCTV di luar rumah rusak sejak semalam. Tidak ada satu pun saksi."
"Politikus ...." Raka bergumam, pikirannya menghubungkan titik-titik. "Sengkuni yang selalu bermain politik kotor. Menciptakan perpecahan, memprovokasi konflik untuk keuntungan pribadi."
"Apakah dia pernah terlibat dalam skandal perjudian? Atau mungkin korupsi besar yang melibatkan manipulasi politik?" Raka bertanya seraya menoleh pada Kirana dengan tatapan penasaran.
Kirana terlihat sedikit terkejut dengan kecepatan Raka menganalisis. "Banyak. Pak Hartono punya banyak skandal. Tapi tidak ada yang sejelas kaitan dengan permainan dadu atau lidah yang ditarik."
"Lidah Sengkuni ditarik keluar karena kebohongan dan fitnahnya yang tak terhingga," Raka menambahkan, nada suaranya terdengar jauh lebih serius sekarang. "Kematian yang ironis."
Kompol Kirana mendekat, suaranya merendah. "Dokter, saya tidak peduli dengan ironi atau filosofi. Saya perlu tahu mengapa. Mengapa pembunuh memilih cara mengerikan sedemikian rupa? Dan apakah ada hubungannya dengan kasus pembunuhan pengusaha Duryudana minggu lalu?"
Raka menatap Kirana. Tiba-tiba dia merasakan beban berat di pundaknya. Kata "Duryudana" menggaung di benaknya. Pengusaha properti yang tewas digada. Dia berusaha menepis, menjauhkan ingatan itu dari alam sadarnya.
"Pengusaha properti Duryudana?" Raka mengulang, mencoba terdengar netral. Namun, ada getar halus dalam suaranya yang tak luput dari perhatian Kirana.
"Ya. Bapak Susanto. Ditemukan tewas di lokasi proyeknya yang terbengkalai. Tubuhnya remuk, seperti dihantam dengan gada. Ada ukiran-ukiran aneh di gagang gada properti yang ditemukan di dekat jasadnya." Kirana mengamati reaksi Raka, setiap perubahan ekspresinya terekam mata jelinya.
Raka memejamkan mata sesaat. Gada. Ukiran aneh. Semua itu adalah pakem ayahnya. Ini terlalu familiar, tetapi juga terlalu mengerikan. Sebuah gambaran muncul dalam benak: tangan ayahnya yang kurus, mengukir dengan telaten setiap detail pada wayang dan properti. Dia bisa mencium bau damar dan kayu ukir. Dia bisa mendengar suluk ayahnya yang parau mengiringi malam.
Dia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melarikan diri dari bayang-bayang sang ayah. Ki Anom Suroso, dalang legendaris yang wafat secara misterius. Sejak kematian sang ayah, Raka menutup diri, menganggap pewayangan sebagai kutukan, peninggalan yang membawa duka dan tanda tanya. Dia mengasingkan diri dalam dunia filologi, di antara buku-buku mati dan manuscript kuno, bertekad untuk tidak pernah lagi menyentuh kelir atau memainkan wayang.
Namun, kini kengerian di hadapannya terlalu mirip dengan apa yang ayahnya pernah ajarkan. Ini bukan sekadar replika cerita. Ini adalah sebuah pertunjukan. Sebuah lakon kematian yang digelar dengan pakem yang sangat dia kenali, pakem yang terukir dalam darah dan ingatan.
"Duryudana adalah pemimpin Kurawa, raja Hastinapura," Raka menjelaskan, suaranya kini lebih berat, tidak lagi murni akademis, melainkan bercampur dengan ketakutan yang mendalam. "Dia seorang yang tamak, haus kekuasaan, dan ambisius. Kematiannya di tangan Bima juga menggunakan gada. Tulangnya remuk."
"Anda tahu detailnya?" Kirana mendesak, matanya semakin menajam.
"Itu adalah bagian dari narasi pewayangan. Tapi ... detail ukiran pada gada yang Anda sebutkan ... apakah itu detail tertentu? Simbol yang spesifik misal?" Raka bertanya dengan pikiran terus mencoba menganalis.
Kirana mengangguk. "Ada simbol naga. Naga Jawa yang sedang melilit sebuah trisula. Kenapa?"
Raka merasakan jantungnya berdebar kencang, memompa darah dingin ke seluruh tubuh lebih cepat. Dia sangat tahu simbol itu, ukiran khas ayahnya, tanda tangannya pada setiap properti pewayangan penting yang pernah dia buat. Sebuah motif yang diajarkan secara khusus pada murid-muridnya yang paling berbakat. Hanya sedikit yang bisa menguasai detailnya, yang bisa meniru kesempurnaannya.
Sebuah kerutan muncul di dahi Raka, keningnya basah oleh keringat dingin. DunDia yang selama ini Dia hindari, kini menyeretnya kembali dengan cara paling brutal, paling personal. Pertahanan yang Dia bangun runtuh dalam sekejap, tak berdaya di hadapan bukti yang begitu nyata.
"Kita harus bicara. Di tempat yang lebih tenang," Raka berkata, suaranya rendah dan serak, matanya menatap tajam ke arah Kirana, seolah baru saja melihat hantu yang familDiar. Sebuah nama, yang selama ini Dia paksa untuk lupakan, kini menari-nari di ujung lidahnya, sDiap untuk diucapkan. Dia merasakan bahaya yang baru, yang jauh lebih personal dari sekadar teori akademis. Pertunjukan mengerikan ini bukan hanya tentang dendam, tapi juga tentang warisan yang Dia tinggalkan, dan sebuah panggilan yang tak bisa Dia hindari. SDiapa pun dalang di balik layar, Dia sedang menantang Raka secara langsung, memaksanya untuk kembali ke panggung yang Dia tinggalkan, ke medan perang Kurusetra pribadinya.
Hening sejenak di ujung telepon, lebih panjang dan lebih berat dari sebelumnya. Raka bisa merasakan Kirana di seberang sana sedang memproses, merangkai setiap kata, setiap makna yang barusan ia sampaikan. Udara di joglo itu terasa membeku, seolah menahan napas bersamanya.“Ksatria yang berani berdiri, tapi menjadi pemimpin yang tuli … memilih teman keangkara-murkaan, menggantungkan hidup di neraka …” Kirana mengulang baris terakhir suluk yang baru saja Raka bacakan, suaranya pelan, lebih pelan dari biasanya, pikirannya sibuk menelusuri teka-teki di benaknya.“Karna tidak suci, hanya bertindak lalai … tidak bisa kembali, naik ke kematian.” Kemudian, ia menarik napas tajam. “Maksud Doktor, ayah Doktor menulis semacam daftar sasaran … atau pembenaran untuk pembunuhan itu?”Raka mengusap wajahnya yang terasa dingin. Buku lusuh di depannya seolah memancarkan aura suram. “Bukan daftar, Kompol. Lebih tepatnya, sebuah manifestasi. Ayah saya adalah seniman yang tidak hanya melihat panggung way
Panggilan telepon dari Kirana Prameswari telah berlalu, namun suaranya yang tegas masih bergema di benak Raka. Ia kembali ke sunyinya Joglo, bayang-bayang percakapan tentang Karna masih menjadi beban batin tersendiri bagianya. Ketakutan itu memberinya urgensi baru untuk menelusuri jejak sang ayah, bukan sekadar mencari jejak seorang dalang, melainkan mencari peta pikiran seorang jenius yang mungkin tanpa sengaja telah menanam benih kegilaan pada seseorang. Jika Sang Dalang mengikuti pakem ayahnya, maka kunci untuk menghentikannya pasti tersembunyi dalam warisan tersebut.Raka tidak lagi melihat tumpukan manuskrip sebagai penjara, melainkan sebagai medan perang. Ia mengarahkan langkahnya menuju sudut perpustakaan warisan ayahnya, sebuah lemari kayu jati yang selalu tertutup rapat, seolah menyimpan rahasia paling kelam. Debu tebal menempel pada ukirannya, aroma apek kertas tua menusuk hidung, bercampur dengan keharuman kayu cendana yang samar. Ia membuka pintu lemari, matanya menyapu se
Panggilan telepon dari Kompol Kirana Prameswari pagi itu terasa seperti suara genderang dari medan perang yang tak terhindarkan. Raka menduga ia akan dipanggil kembali, terutama setelah penemuan jasad Sengkuni yang mengerikan. Namun, mengetahui dan merasakan adalah dua hal yang berbeda. Malam yang dia habiskan dengan buku harian ayahnya dan sketsa kayon yang menusuk telah mengikis lapisan isolasi diri dari dunia luar. Ia sekarang tidak hanya seorang konsultan; ia adalah bidak dalam permainan, dan pengetahuannya yang mendalam tentang lakon wayang kini terasa seperti rantai yang mengikatnya, bukan lagi perisai.Ia tiba di posko sementara kepolisian, sebuah bangunan kosong yang disulap menjadi markas darurat. Kirana menunggunya di sebuah ruang rapat kecil yang remang-remang, meja panjang di tengahnya dipenuhi peta, foto-foto TKP, dan tumpukan laporan. Kompol wanita itu tidak mengenakan seragam, melainkan kemeja kasual yang rapi dan celana panjang yang tegas, mencerminkan pragmatisme yang
Cahaya fluoresen di ruang interogasi sementara itu terasa lebih menusuk dibandingkan sorot matahari Jogja yang baru saja Raka tinggalkan. Udara dingin dari pendingin ruangan menyengat kulit, berpadu dengan bau kopi basi dan kertas-kertas laporan. Raka masih merasakan sisa kengerian dari pemandangan yang disaksikannya di kantor politisi itu, sebuah lakon tragis yang terukir di tubuh mati. Dia duduk di kursi logam yang dingin, meremas jari-jarinya. Kompol Kirana Prameswari duduk di seberangnya, wajahnya tegas, mata tajamnya tak pernah lepas dari Raka. Di sampingnya, Bripka Drajat tampak tidak sabar, sesekali melirik jam tangan."Dr. Raka," Kirana memulai, suaranya lugas, tanpa basa-basi. "Saya tahu ini tidak nyaman, tapi kita butuh penjelasan Anda. Segera."Raka menelan ludah, tenggorokannya tercekat. "Penjelasan apa lagi, Kompol? Saya sudah katakan, yang Anda lihat itu … itu replika adegan kematian Sengkuni dalam Bharatayuddha. Lidah ditarik keluar, dikelilingi simbol-simbol kecurangan
Dr. Raka Permadi terperanjat dari kursi rotan peninggalan ayahnya, suara gedoran di pintu joglo membelah keheningan malam. Dia mengenakan sarung batik yang usang, rambut gondrongnya yang diikat seadanya terurai saat Dia berjalan gontai melewati lorong-lorong kayu berukir, menuju sumber kegaduhan."Dr. Permadi, kami dari kepolisian!" Suara berat itu terdengar lagi, lebih mendesak agar segera dibukakan pintu.Raka membuka pintu kayu berdaun ganda. Di depan pintu telah berdiri dua sosok berseragam cokelat gelap, siluet mereka diterangi lampu sorot mobil patroli."Ada apa?" tanyanya seraya mata menyipit, berusaha beradaptasi dengan cahaya yang terang benderang yang menyorot.Seorang polisi muda dengan wajah kaku melangkah maju. "Dengan Dr. Raka Permadi? Filolog dari Universitas Gadjah Mada?""Benar. Tapi saya sudah lama tidak aktif mengajar. Ada apa ini?" Raka menggeser sedikit badannya, membentuk celah kecil pada pintu, seolah ingin menutupi apa yang ada di belakangnya.Polisi muda berna