Panggilan telepon dari Kompol Kirana Prameswari pagi itu terasa seperti suara genderang dari medan perang yang tak terhindarkan. Raka menduga ia akan dipanggil kembali, terutama setelah penemuan jasad Sengkuni yang mengerikan. Namun, mengetahui dan merasakan adalah dua hal yang berbeda. Malam yang dia habiskan dengan buku harian ayahnya dan sketsa kayon yang menusuk telah mengikis lapisan isolasi diri dari dunia luar. Ia sekarang tidak hanya seorang konsultan; ia adalah bidak dalam permainan, dan pengetahuannya yang mendalam tentang lakon wayang kini terasa seperti rantai yang mengikatnya, bukan lagi perisai.
Ia tiba di posko sementara kepolisian, sebuah bangunan kosong yang disulap menjadi markas darurat. Kirana menunggunya di sebuah ruang rapat kecil yang remang-remang, meja panjang di tengahnya dipenuhi peta, foto-foto TKP, dan tumpukan laporan. Kompol wanita itu tidak mengenakan seragam, melainkan kemeja kasual yang rapi dan celana panjang yang tegas, mencerminkan pragmatisme yang melampaui formalitas. Tatapannya tajam, seolah sedang memindai setiap sudut ruangan, mencari anomali yang luput dari pandangan orang lain.
“Terima kasih sudah datang, Doktor,” sapa Kirana tanpa ekspresi berlebihan. Suaranya datar, namun menunjukkan otoritas. Ia menunjuk kursi di seberangnya. “Kita perlu bicara. Lebih serius dari sebelumnya.”
Raka duduk. Udara terasa lebih dingin karena ketegangan daripada pendingin ruangan. Ia bisa merasakan aura keyakinan yang menguar dari Kirana, keyakinan bahwa setiap masalah memiliki solusi yang logis dan terukur. Ini sangat kontras dengan kerumitan filosofis yang baru saja ia selami di rumah.
“Saya mengerti,” jawab Raka, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. Dalam benaknya, ia masih melihat siluet dirinya di kayon itu, undangan diam dari seorang dalang yang tak terlihat. “Saya sudah melihat laporan awal tentang Sengkuni. Dan dari Duryudana, tentu saja.”
Kirana menyandarkan tubuhnya, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Bagus. Karena saya butuh lebih dari sekadar ‘pengertian’ Anda, Doktor. Saya butuh data. Saya butuh profil. Bukan cerita-cerita pewayangan yang indah.”
Raka menarik napas dalam, menahan diri untuk tidak membalas dengan nada defensif. “Pewayangan bukanlah sekadar cerita indah, Kompol Kirana. Ia adalah cermin peradaban, kode moral, dan sekaligus peta psikologis manusia. Sang Dalang, siapa pun ia, menggunakan kode itu.”
“Dan Anda percaya pembunuhan berantai ini adalah semacam ‘pementasan’?” Kirana mengangkat alis, nada skeptisisme terdengar jelas.
“Bukan hanya saya yang percaya. Pelaku sendiri yang mengklaim demikian,” Raka menjawab, tatapannya menyapu foto-foto korban di meja. “Duryudana. Sengkuni. Setiap detail di TKP, mulai dari posisi jenazah hingga properti pendukung, adalah replika adegan kematian mereka dalam wiracarita Mahabarata, tepatnya Bharatayuddha.”
Kirana mengambil pena dan mulai mengetuk-ngetuk mejanya. “Baiklah. Mari kita mulai dengan dasar. Jelaskan kepada saya ‘filosofi’ di balik kedua karakter ini. Dan yang paling penting, bagaimana filosofi tersebut bisa memotivasi seseorang untuk membunuh para konglomerat.”
Raka mencondongkan tubuh sedikit, seolah ingin berbagi rahasia. “Duryudana adalah figur antagonis utama dalam Mahabarata. Ia adalah raja Hastinapura, yang seharusnya bijaksana, namun dibutakan oleh keserakahan, ambisi, dan rasa iri. Ia adalah representasi dari raja angkara murka, penguasa yang korup yang menggunakan kekuasaannya untuk menindas kebenaran dan keadilan.”
“Dan korban pertama, Tuan Pramono, adalah seorang konglomerat properti,” Kirana menyela, ekspresinya tidak berubah. “Dia terlibat dalam beberapa kasus penggusuran lahan ilegal dan penipuan izin pembangunan. Jadi, pembunuh melihatnya sebagai Duryudana modern, begitu?”
“Tepat sekali,” Raka mengangguk. “Dalam pementasan wayang, Duryudana adalah simbol keangkuhan yang berujung pada kehancuran. Kematiannya digambarkan tragis, dengan gada Pusaka Kyai Sarotama menghantam pahanya. Ini adalah bentuk hukuman ilahi atas segala dosa-dosanya.”
“Gada di TKP,” Kirana mencatat, tanpa mengangkat pandangan dari buku catatannya. “Terukir detail yang sangat spesifik, kan? Anda bilang itu pakem ayah Anda?”
Sebuah getaran halus melintasi wajah Raka. “Betul. Ukiran di gada itu adalah ciri khas mendiang ayah saya, Ki Anom Suroso. Sang Dalang ini … ia mengenal baik gaya ayah saya.” Pertanyaan tentang ‘Banyu’ dan sketsa kayon masih berputar di kepalanya, namun Raka memutuskan untuk tidak mengungkapkannya dulu. Ia butuh lebih banyak waktu untuk memahami implikasi personalnya sebelum menyerahkannya kepada Kirana, yang akan memandangnya hanya sebagai ‘data.’
“Oke. Jadi, Duryudana adalah penjahat yang jelas,” Kirana melanjutkan, suaranya kini sedikit lebih cepat. “Lalu bagaimana dengan Sengkuni? Lidahnya ditarik keluar. Sebuah simbol apa itu?”
“Sengkuni adalah paman dari Duryudana, namun juga otak di balik semua kejahatan Kurawa,” Raka menjelaskan, mencoba menyesuaikan intonasinya agar lebih terdengar seperti penjelasan akademis, bukan spekulasi. “Dia adalah ahli strategi yang licik, master intrik dan provokasi. Sengkuni tidak bertarung di medan perang dengan kekuatan fisik, melainkan dengan racun kata-kata, dengan fitnah, dan tipu daya. Ia memanipulasi Duryudana dan menghasut perang besar.”
“Korban kedua, Tuan Ardi Hartono, seorang politisi,” Kirana menimpali. “Dikenal karena kemampuan orasinya yang memukau, namun juga sering dituduh terlibat skandal suap dan proyek fiktif. Dia pandai berbicara, pandai berbohong.”
“Ia adalah Sengkuni. Lidahnya yang ditarik adalah simbol dari kejahatan mulutnya,” Raka membenarkan. “Ia menggunakan lidahnya untuk menaburkan racun, untuk memutarbalikkan fakta, untuk merusak tatanan. Kematiannya digambarkan sebagai pembalasan atas fitnah dan tipu daya yang ia tebarkan.”
Kirana menghentikan ketukan penanya. “Sangat … simbolis. Tapi apakah ini bukan hanya kebetulan, Doktor? Ada banyak politisi korup dan konglomerat serakah. Bisa saja ini hanya seseorang yang terobsesi dengan wayang dan ingin mencari ‘pembenaran’ untuk pembunuhannya.”
“Kebetulan dua korban pertama persis mereplikasi adegan kematian dua tokoh sentral dalam Bharatayuddha, dengan detail properti yang sangat spesifik, termasuk ukiran khas seorang dalang legendaris?” Raka balas bertanya, sedikit menaikkan volume suaranya. “Kompol Kirana, ini bukan kebetulan. Ini adalah pesan. Sebuah pementasan yang direncanakan dengan sangat teliti.”
“Pesan tanpa pengirim. Pementasan tanpa penonton,” Kirana berargumen, matanya menyipit. “Kami tidak menemukan satu pun sidik jari, satu helai rambut, satu serat pakaian asing di TKP. CCTV di gedung Tuan Ardi mati secara misterius lima menit sebelum kejadian. Sistem keamanan di lokasi proyek Tuan Pramono juga lumpuh sempurna. Pelaku ini terlalu bersih.”
“Tuan Pramono?” Raka mengernyitkan dahi, berusaha untuk mengingat wajah orang yang Kirana sebutkan.
“Iya, diduga dia terlibat kasus pencucian uang. Banyak tender pemerintah yang dia menangkan.”
Raka manggut-manggut mendengar penjelasan Kirana. Dirinya semakin meyakini, bahwa target pembunuhan adalah orang-orang atas yang bermain kotor.
Raka menghela napas. “Dalang sejati bergerak dalam bayangan. Ia mengendalikan lakonnya dari balik layar, tak terlihat. Justru tidak adanya bukti fisik yang jelas adalah bagian dari pesannya. Ia ingin kita memahami bahwa ini bukan sekadar kriminalitas biasa. Ini adalah sebuah pernyataan.”
“Pernyataan tidak akan memecahkan kasus, Doktor,” Kirana menegaskan, nadanya menjadi lebih dingin. “Saya mengerti Anda seorang filolog yang brilian, dan wawasan Anda tentang wayang sangat membantu kami memahami motifnya. Tapi tugas saya adalah menangkap pembunuh, bukan menganalisis suluk.”
Kata-kata Kirana menusuk Raka. Ia merasa diremehkan, dipandang sebelah mata. Bagi Kirana, ia hanyalah sebuah ‘kamus berjalan,’ sebuah alat. Ia tidak melihat urgensi personal yang dirasakan Raka, ketakutan yang merayap ketika ia menyadari bahwa ia sendiri mungkin adalah karakter dalam lakon tersebut.
“Anda harus memahami bahwa dalam filsafat wayang, setiap karakter memiliki pakem-nya, takdirnya,” Raka mencoba lagi, suaranya menekan. “Duryudana dan Sengkuni memang tokoh antagonis. Tapi ada banyak lagi tokoh dalam Bharatayuddha. Apa berikutnya? Apakah kita akan menunggu sampai pembunuh ini memilih korban selanjutnya, lalu baru kita menganalisis apa yang ia maksud?”
Kirana terdiam sejenak, menatap Raka lurus. Bola mata memancarkan kecerdasan yang tak diragukan. “Itu pertanyaan yang bagus, Doktor. Dan itulah mengapa Anda di sini. Jika ini memang ‘pementasan,’ maka Anda, dengan pengetahuan Anda, harus bisa memprediksi lakon selanjutnya. Siapa ‘tokoh’ berikutnya? Dan kenapa? Tunggu sebentar … Anda sebelumnya pernah bilang tentang Karna. Nah, siapa target yang dimaksud itu?”
Raka merasakan desakan adrenaline. Ini adalah saatnya. Ia harus menggunakan pengetahuannya, bukan hanya sebagai akademisi, tetapi sebagai seseorang yang terancam. Ia harus membuat Kirana memahami bahwa bahaya ini lebih dari sekadar kasus pembunuhan biasa. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih pribadi dan terikat pada warisan ayahnya.
“Ada banyak tokoh setelah Duryudana dan Sengkuni,” Raka memulai, suaranya sedikit tercekat. Ia mengingat kembali catatan ayahnya, entri tentang ‘pemurnian’ dan pandangan hitam-putih Banyu. “Tapi, jika sang pembunuh ini benar-benar terobsesi dengan ‘pemurnian’ dan ‘keadilan’ seperti yang tercermin dari kedua korban, maka urutan berikutnya tidak akan selalu tentang tokoh-tokoh jahat yang mati di medan perang.”
Kirana mencondongkan tubuh, sedikit tertarik. “Maksud Anda?”
“Dalam Bharatayuddha, ada satu tokoh yang sangat kompleks,” Raka melanjutkan, sorot matanya kini fokus, seolah melihat jauh ke dalam masa lalu. “Karna adalah seorang ksatria agung, jago perang, yang terpaksa berjuang di pihak Kurawa karena sebuah sumpah dan rasa kesetiaan yang tak tergoyahkan. Ia adalah pahlawan tragis yang berjuang di pihak yang salah, bukan karena ia jahat, melainkan karena terikat oleh takdir dan janji.”
Kirana menyilangkan lengannya lagi, raut wajahnya kembali mengeras. “Karna? Tapi bukankah dia termasuk tokoh ‘baik’? Anda bilang pembunuh ini ‘memurnikan’ kejahatan. Kenapa seorang ksatria yang tragis?”
“Justru di situlah letak kekejaman dan sekaligus kejeniusan Sang Dalang ini,” jawab Raka, mencoba mengendalikan emosinya. “Dia tidak hanya menghukum yang jahat. Dia menghukum yang ‘terikat’ pada kejahatan, meskipun hatinya tidak sepenuhnya busuk. Dia ingin menunjukkan bahwa bahkan orang baik pun, jika ia berpihak pada keburukan, akan gugur.”
Ketukan pena Kirana kembali terdengar, lebih cepat, lebih tegang. “Jadi, menurut Anda, pembunuh ini tidak hanya menargetkan orang-orang jahat. Dia menargetkan … siapa saja yang dianggapnya menyimpang dari ‘pakem’ keadilan versi dia?”
Raka mengangguk pelan. “Bukan sekadar menyimpang, Kompol. Tapi yang terlibat dalam sistem yang dia anggap rusak. Orang-orang yang memiliki integritas, tapi terpaksa mengambil keputusan yang tidak etis demi jabatan, demi sumpah, demi kekuasaan. Seseorang yang terperangkap dalam situasi moral yang abu-abu. Seseorang yang ia anggap sebagai ‘Karna’ di dunia modern ini.”
Kirana bangkit berdiri, berjalan mondar-mandir di ruangan sempit itu. Ia jelas sedang mencerna implikasi dari teori Raka. Logikanya yang begitu kuat dan terstruktur, kini berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih abstrak, lebih metaforis.
“Jadi, kita harus mencari seorang ‘Karna’?” Kirana bertanya, kata ‘Karna’ terdengar aneh di lidahnya yang terbiasa dengan istilah forensik. “Seseorang yang dihormati, tapi punya ‘cela’ tersembunyi. Seseorang yang dianggap ‘terjebak’?”
“Dan yang paling penting, seseorang yang akan menjadi bagian dari lakon yang jauh lebih besar,” Raka menambahkan, suaranya meninggi. Ia memutuskan untuk tidak menyebutkan Banyu atau sketsa kayon itu dulu. Ia perlu waktu, butuh pemahaman lebih dalam tentang musuh yang kini melihatnya sebagai pemain. “Seseorang yang kematiannya akan menjadi pesan bagi kita semua, terutama bagi saya.”
Kata-kata terakhir Raka terdengar seperti bisikan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Kirana. Sang Dalang tidak hanya berbicara kepada dunia, ia berbicara kepada Raka. Itu adalah sebuah tantangan pribadi, sebuah undangan untuk ikut menari dalam lakon kematian.
Kirana berhenti di depan peta besar Jogja yang ditempel di dinding, menatapnya dengan pandangan kosong. Wajahnya menunjukkan perang batin. Di satu sisi, ia ingin menolak, kembali ke bukti-bukti yang bisa diukur. Di sisi lain, dua korban telah gugur persis seperti yang Raka duga.
“Baiklah, Doktor,” Kirana berkata, membalikkan badan, ekspresinya kini campuran antara frustrasi dan keinginan kuat. “Mulai sekarang, kita bekerja secara formal. Anda akan membantu tim saya membuat daftar ‘Karna’ potensial, siapa saja di kota ini yang menurut Anda cocok dengan profil ‘ksatria tragis’ yang Anda sebutkan. Orang-orang yang terhormat, namun terikat pada intitusi korup. Hakim, pengacara, pejabat, bahkan mungkin seniman yang ‘berkompromi’ demi kepentingan tertentu.”
Raka mengangguk. Sebuah daftar. Itu adalah sesuatu yang konkret, sesuatu yang bisa ia kerjakan, bahkan jika di dalam hatinya ia tahu bahwa Sang Dalang mungkin sudah memiliki targetnya sendiri, terlepas dari daftar polisi. Ia merasakan beban tanggung jawab yang berat, bukan hanya untuk menangkap pembunuh, tetapi untuk menghentikan lakon mengerikan yang secara tak terhindarkan menyeretnya ke dalam pusaran.
“Dan Doktor,” Kirana menambahkan, menatap lurus ke matanya, “saya butuh Anda tidak hanya sebagai kamus berjalan. Saya butuh Anda untuk berpikir seperti pembunuh itu. Untuk memahami logika dibalik ‘filosofi’ yang rapuh itu. Karena jika ia memang mengikuti pakem yang ada, maka kita harus lebih dulu melangkah di depannya.”
Raka menahan napas. Ia memandang Kirana, kemudian beralih ke foto-foto korban di meja. Ia tahu, jauh di dalam dirinya, bahwa ia tidak hanya memikirkan seperti pembunuh itu. Ia juga mulai merasa seperti dirinya, seorang karakter yang terperangkap dalam naskah yang tak diinginkan. Dan ia harus bermain. Jika tidak, ia akan menjadi korban berikutnya. Sebuah kayon kecil, yang tersembunyi di dalam peti di rumah joglonya, kini terasa seperti peta menuju takdir yang tak terhindarkan. Dan peran Arjuna … masih kosong.
Hening sejenak di ujung telepon, lebih panjang dan lebih berat dari sebelumnya. Raka bisa merasakan Kirana di seberang sana sedang memproses, merangkai setiap kata, setiap makna yang barusan ia sampaikan. Udara di joglo itu terasa membeku, seolah menahan napas bersamanya.“Ksatria yang berani berdiri, tapi menjadi pemimpin yang tuli … memilih teman keangkara-murkaan, menggantungkan hidup di neraka …” Kirana mengulang baris terakhir suluk yang baru saja Raka bacakan, suaranya pelan, lebih pelan dari biasanya, pikirannya sibuk menelusuri teka-teki di benaknya.“Karna tidak suci, hanya bertindak lalai … tidak bisa kembali, naik ke kematian.” Kemudian, ia menarik napas tajam. “Maksud Doktor, ayah Doktor menulis semacam daftar sasaran … atau pembenaran untuk pembunuhan itu?”Raka mengusap wajahnya yang terasa dingin. Buku lusuh di depannya seolah memancarkan aura suram. “Bukan daftar, Kompol. Lebih tepatnya, sebuah manifestasi. Ayah saya adalah seniman yang tidak hanya melihat panggung way
Panggilan telepon dari Kirana Prameswari telah berlalu, namun suaranya yang tegas masih bergema di benak Raka. Ia kembali ke sunyinya Joglo, bayang-bayang percakapan tentang Karna masih menjadi beban batin tersendiri bagianya. Ketakutan itu memberinya urgensi baru untuk menelusuri jejak sang ayah, bukan sekadar mencari jejak seorang dalang, melainkan mencari peta pikiran seorang jenius yang mungkin tanpa sengaja telah menanam benih kegilaan pada seseorang. Jika Sang Dalang mengikuti pakem ayahnya, maka kunci untuk menghentikannya pasti tersembunyi dalam warisan tersebut.Raka tidak lagi melihat tumpukan manuskrip sebagai penjara, melainkan sebagai medan perang. Ia mengarahkan langkahnya menuju sudut perpustakaan warisan ayahnya, sebuah lemari kayu jati yang selalu tertutup rapat, seolah menyimpan rahasia paling kelam. Debu tebal menempel pada ukirannya, aroma apek kertas tua menusuk hidung, bercampur dengan keharuman kayu cendana yang samar. Ia membuka pintu lemari, matanya menyapu se
Panggilan telepon dari Kompol Kirana Prameswari pagi itu terasa seperti suara genderang dari medan perang yang tak terhindarkan. Raka menduga ia akan dipanggil kembali, terutama setelah penemuan jasad Sengkuni yang mengerikan. Namun, mengetahui dan merasakan adalah dua hal yang berbeda. Malam yang dia habiskan dengan buku harian ayahnya dan sketsa kayon yang menusuk telah mengikis lapisan isolasi diri dari dunia luar. Ia sekarang tidak hanya seorang konsultan; ia adalah bidak dalam permainan, dan pengetahuannya yang mendalam tentang lakon wayang kini terasa seperti rantai yang mengikatnya, bukan lagi perisai.Ia tiba di posko sementara kepolisian, sebuah bangunan kosong yang disulap menjadi markas darurat. Kirana menunggunya di sebuah ruang rapat kecil yang remang-remang, meja panjang di tengahnya dipenuhi peta, foto-foto TKP, dan tumpukan laporan. Kompol wanita itu tidak mengenakan seragam, melainkan kemeja kasual yang rapi dan celana panjang yang tegas, mencerminkan pragmatisme yang
Cahaya fluoresen di ruang interogasi sementara itu terasa lebih menusuk dibandingkan sorot matahari Jogja yang baru saja Raka tinggalkan. Udara dingin dari pendingin ruangan menyengat kulit, berpadu dengan bau kopi basi dan kertas-kertas laporan. Raka masih merasakan sisa kengerian dari pemandangan yang disaksikannya di kantor politisi itu, sebuah lakon tragis yang terukir di tubuh mati. Dia duduk di kursi logam yang dingin, meremas jari-jarinya. Kompol Kirana Prameswari duduk di seberangnya, wajahnya tegas, mata tajamnya tak pernah lepas dari Raka. Di sampingnya, Bripka Drajat tampak tidak sabar, sesekali melirik jam tangan."Dr. Raka," Kirana memulai, suaranya lugas, tanpa basa-basi. "Saya tahu ini tidak nyaman, tapi kita butuh penjelasan Anda. Segera."Raka menelan ludah, tenggorokannya tercekat. "Penjelasan apa lagi, Kompol? Saya sudah katakan, yang Anda lihat itu … itu replika adegan kematian Sengkuni dalam Bharatayuddha. Lidah ditarik keluar, dikelilingi simbol-simbol kecurangan
Dr. Raka Permadi terperanjat dari kursi rotan peninggalan ayahnya, suara gedoran di pintu joglo membelah keheningan malam. Dia mengenakan sarung batik yang usang, rambut gondrongnya yang diikat seadanya terurai saat Dia berjalan gontai melewati lorong-lorong kayu berukir, menuju sumber kegaduhan."Dr. Permadi, kami dari kepolisian!" Suara berat itu terdengar lagi, lebih mendesak agar segera dibukakan pintu.Raka membuka pintu kayu berdaun ganda. Di depan pintu telah berdiri dua sosok berseragam cokelat gelap, siluet mereka diterangi lampu sorot mobil patroli."Ada apa?" tanyanya seraya mata menyipit, berusaha beradaptasi dengan cahaya yang terang benderang yang menyorot.Seorang polisi muda dengan wajah kaku melangkah maju. "Dengan Dr. Raka Permadi? Filolog dari Universitas Gadjah Mada?""Benar. Tapi saya sudah lama tidak aktif mengajar. Ada apa ini?" Raka menggeser sedikit badannya, membentuk celah kecil pada pintu, seolah ingin menutupi apa yang ada di belakangnya.Polisi muda berna