“Brengsek kenapa kamu menyakiti kakakku, hah? Kalau memang sudah bosan ceraikan saja dia, tak usah jadi pengecut seperti ini!” teriak Dani marah. Tentu saja dia tak terima kakaknya diperlakukan seperti ini.“Kenapa kamu marah, hah? Bukannya Kamu juga sama brengseknya denganku?! Mungkin kalau dulu Rara punya kakak, kamu akan mati di tangan kakaknya!” ucapan Ken membuat Dani terdiam. Seakan ucapan itu kena di relung hatinya. “Aaarrgg ... tetap saja aku tak terima Mbak Nia kamu buat seperti ini.” Sentak Dani yang sudah babak belur. Dia kembali menyerang Ken, tapi tentu saja dihalangi warga.Wati dan Nia pun sama, tampang mereka tak kalah memprihatinkan. Bekas cakaran dan tamparan ada di wajah mereka. Pak RT dan dua orang warga masih kebingungan untuk memisahkan mereka berempat. Akhirnya pertikaian dapat dihentikan setelah beberapa orang memegangi mereka.“Sudah! Jangan adu fisik lagi. Kalian yang ribut, aku yang capek!” Pak Basri terengah-engah.“Dani, Nia. Kalian kenapa?” Bu Intan d
Sepeninggal Sasa, aku kembali bekerja. Tumpukan berkas di berbagai map melambai-lambai untuk dibuka. Mengurus beberapa restoran membuatku benar-benar pusing. Aku jadi menyadari bagaimana Papa sering terlihat lelah sepulang kerja dulu, sementara aku hanya bisa menghabiskan uang Papa begitu saja. Sekarang setelah tiada, mau tak mau akulah yang harus meneruskan usaha ini. Adikku, Sinta lebih memilih mengikuti suaminya yang menjadi seorang ASN.Aku meregangkan badan, sejenak mengusir rasa penat di mata dan di kepalaku. Netraku memandang foto pernikahan kedua orang tuaku. Ya, ini memang ruangan Papa dulunya. Papa adalah orang yang setia, begitu mencintai Mama dan tak pernah sekalipun berniat mengkhianati Mama. Awalnya aku ingin seperti kedua orang tuaku, yang saling mencintai sampai maut memisahkan, tapi mengingat kedua orang tuaku meninggal karena menjadi korban tabrak lari oleh Ayah Anggita, rasa dendam mendadak lebih besar dibanding rasa ingin setia.Aku memang ingin menikah dengan An
Sialan! Arya menolakku dan Mbak Nia untuk bekerja di sana. Padahal jabatanku dulu kan manager, masa menawarkan kerjaan jadi cleaning servis? Bisa turun dong derajatku. Selama ini aku sudah memasukkan beberapa lamaran menjadi manager di beberapa perusahaan, tapi tetap saja tak ada balasan apa pun. Hanya membuang uang untuk membeli amplop dan fotokopi. Padahal aku ini tampan dan pintar, kenapa mereka tidak mau menerimaku?Selama ini aku bisa bertahan hidup dari uang pemberian Arya, Ibu tak mau membantu mencari uang, mbak Nia pun sama saja, hanya bisa menghabiskan uangku saja. Setengah mati aku membujuk Mbak Nia agar mau bekerja, kupikir- pikir karena kenal dengan Arya makanya dia akan menerimaku, tapi ternyata sama saja. Mbak Nia pun menolak menjadi cleaning servis. Apalagi sekarang, Mbak Nia sering lihat Bang Ken dan istri barunya semakin mesra. Kadang kakakku pun masih menatap pasangan itu sendu. Aku masih ke pikiran ucapan Arya tadi. Kapan dia bertemu dengan Rara? Dan bagaimana me
“Bu, bersikap lembutlah pada pembeli, masa Ibu ketus gitu, nanti mereka pada lari, gak jadi beli di warung kita,” ucapku pada Ibu yang masih asyik menonton TV “Siapa yang nggak kesel coba? Masa Cuma lima belas ribu dia berani melempar uang itu ke Ibu?!” “Ya, kan karena Ibu jualnya kemahalan! Kan udah aku tulis di situ harganya, Bu!” aku mulai kesal dengan Ibu. “Namanya jualan itu cari untung yang banyak, bukan cari rugi! Gitu aja kamu gak tahu, Dan!” “Serah Ibu aja lah!” ucapku ketus. “Ya memang terserah Ibu.” Ibu kembali mengambil camilan dan menonton sinetron kesukaannya. Tak kutanggapi lagi ocehan Ibu. Biarlah warungku nanti bakalan menjadi seperti apa. Semoga saja tidak menimbulkan masalah baru. Besok aku ada interviu kerja. Semoga diterima di sana. Apa kubilang? Aku memang pantas menjadi manager. Dari sekian banyak lamaran pekerjaan yang ku apply, hanya perusahaan ini yang memanggilku. Aku harus tampil sempurna untuk besok! Ponselku dari tadi diam saja tak bersuara. Padahal
“Siapa yang barusan dari ruanganmu, Tuan Putri? Sepertinya aku pernah melihatnya tapi dimana ya?” tanya Alex yang tiba-tiba ada di depanku.Aku yang sedang fokus kerja terlonjak kaget mendengar suara seseorang di depan mejaku.“Alex, kamu mengagetkanku!” sungutku dan melemparkan kertas kecil tak terpakai yang sudah kugulung-gulung.Dia hanya tertawa sambil memperlihatkan giginya yang putih bersih.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Ra!”“Dia Arya, barusan menawarkan kerja sama. Dia ingin usaha kulinernya dimodali oleh perusahaan ini, tapi aku masih pikir-pikir.”“Semacam franchise gitu, kan? “tanya Alex.“Ya, semacam itu. Aku belum menjawabnya. Betewe, ngapain ke kantor? Tumben banget kamu ke sini!” sindirku.“Yaelah, Tuan putri udah pikun. Bukannya kamu mau traktir aku maksi? Gimana, sih?!” Alex mengerucutkan bibirnya. Lucu sekali aku melihatnya.“Haha ... aku lupa. Kuy lah kita berangkat! Pantas aku pusing, kukira sakit, ternyata lapar.”“Ah, dasar kamu ini kebiasaan dari dulu! Bukanny
Aku sendirian di rumah sakit. Ayah dan Ibuku sedang pergi ke luar kota. Suamiku, Mas Dani juga sedang pergi. Pamitnya beli makan, tapi sampai sekarang juga belum kembali.Haahh ....Aku menghela napas cukup panjang. Untunglah nyawaku terselamatkan. Mas Dani mau datang saat aku menghubunginya. Ku kira setelah dia tahu anak ini bukan anaknya, dia akan mengabaikanku, tapi ternyata tidak.Aku jadi ingat peristiwa tadi, Saat aku sedang selesei mandi dan masih memakai handuk. Karena aku tahu kedua orang tuaku sedang pergi, jadi aku tidak mengunci pintu kamar.Aku sangat kaget saat tiba-tiba ada seorang lelaki menerobos kamarku. Aku tidak tahu dia datang dari mana. Dia memaksaku melayani nafsu bejatnya, dengan ancaman pisau aku pun terpaksa menuruti kemauannya. Dia mencium ku dengan sangat brutal, tak mengindahkan teriakan kesakitanku. Meskipun aku berteriak dengan kencang tak ada orang yang mendengar teriakanku. Aku menangis mengiba, memintanya agar berhenti karena aku sedang hamil. Mesk
Aku pun segera membuka mata, “Kamu kapan datang, Ar?” tanyaku pura-pura baru bangun tidur.Dia gelagapan, sepertinya kuatir aku mendengar percakapannya. Dengan cepat Arya menyimpan ponselnya ke dalam saku. “Barusan saja kok.”“Ayah dan Ibu kemana?” tanyaku sengaja mengalihkan perhatian.“Aku menyuruh mereka pulang, kasihan, mereka baru pulang dari luar kota kan? Kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?” tanya Arya perhatian. Tapi menurutku seperti sengaja dibuat-buat.Aku menceritakan garis besarnya kepadanya, tidak sedetail aku cerita kepada orang tuaku. Tapi responnya sungguh diluar dugaanku. Ku kira dia akan bersandiwara kaget, sok panik, bersedih atau semacamnya.Tapi dia tetap tenang. Tidak berkata apa-apa.“Kamu yang sabar aja kalau beggitu.” Hanya itu yang dia ucapkan.Atau jangan-jangan karena dia sendiri yang menyuruh seseorang untuk datang ke rumahku saat tidak ada orang itu? Kalaupun benar, bagaimana aku mencari buktinya? Bermacam pikiran bermukim di otak, tapi tak kutemuka
Aku menatap kepergian Mas Dani. Bahkan Ibu mertua yang biasanya cerewet juga diam saja. Mbak Nia pun sama. Apa mungkin karena sudah mendapatkan uang sebesar dua puluh juta dari Arya?“Bagus, kalian sudah bercerai, meskipun belum secara negara, tapi secara agama kalian sudah bukan suami istri,” ucap Arya lega.“Tidak perlu secara n gara, karena kaki menikah dibawah tangan, hanya nikah siri,” jawabku “Resepsi kemarin juga Cuma reosi saja, tidak ada akad nikah.” Lanjutku agar dia mengerti.“Tapi sepertinya aku belum bisa menikahimu dalam waktu dekat, Sayang. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Arya membelai rambutku dengan sayang.Aku pun mengangguk karena mengerti Arya memang pengusaha yang sibuk. Ya, keputusanku sudah tepat. Mas Dani sudah tidak punya apa-apa lagi. Aku tidak mau hidup miskin. Dengan Arya aku akan menjadi Nyonya. Aku mengambil tangan Arya yang membelai rambutku, lantas menggenggamnya dengan erat. Sekarang fokusku adalah segera pulih. Aku akan menuruti p