Bab 3
Hilda beserta sekertarisnya, Lusi, tiba di PT Sanjaya 5menit sebelum meeting di mulai, hampir saja dia terlambat karena jalanan yang cukup padat.
Begitu sampai di lobi PT Sanjaya, Hilda dan sekertarisnya langsung diantar oleh staff resepsionis menuju ruang meeting yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Hilda berjalan dengan rasa percaya diri, beberapa staff di perusahaan tersebut juga menyapanya, ya karena memang mereka terlebih dahulu sudah tahu jika Hilda adalah istri Firman yang menjabat sebagai manager marketing di PT Sanjaya.
Hilda memang dulu pernah diajak oleh Firman untuk ikut acara Family Gathering yang biasanya diadakan setahun sekali di PT Sanjaya, namun sejak tahun kemarin Firman tidak pernah mengajaknya lagi, alasannya karena memang sudah tidak diadakan lagi.
“Selamat pagi Ibu Hilda, apa kabar?” sapa Reno sambil menjabat tangan Hilda.
“Selamat pagi Pak Reno, saya baik.” Jawab Hilda dengan tersenyum dan menerima jabat tangan Reno.
“Mari silahkan langsung masuk saja, Pak Alex dan yang lainnya sudah menunggu kedatangan Ibu.” Reno membukakan pintu ruang meeting untuk Hilda dan Lusi.
“Terima kasih Pak Reno,” Hilda menganggukkan kepala lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam, disusul oleh Lusi dan juga Reno dibelakangnya.
Semua orang yang sudah berada didalam sontak langsung memandang ke arah Hilda yang hendak menuju ke kursi yang sudah disiapkan.
Tak lupa Hilda sebelum duduk menjabat tangan Alex yang merupakan CEO PT Sanjaya.
Firman pun yang sedang berada di dalam ruang meeting membeo melihat kedatangan Hilda, terlebih lagi di meja Hilda tertulis Direktur PT Wilis Kencana.
“Sstt, istri kamu keren juga ya Fir, udah jadi direktur sekarang. Masih muda, cantik, jabatan juga ada, widiihh keren.” Ruli, teman Firman yang berada disebelahnya berbisik pada Firman.
Firman hanya tersenyum menanggapi omongan temannya itu, dirinya masih menatap tak percaya ke arah Hilda, bagaimana bisa Hilda duduk di kursi itu.
Hilda yang kini juga menatap ke arah Firman tersenyum dan sedikit menganggukkan kepala sebagai pertanda sapaan.
“Selamat Pagi semuanya!” ucap Reno mengawali meeting.
“Pagi!” jawab semua orang.
“Baik, sebelumnya kami ucapkan selamat datang kepada Direktur PT Wilis Kencana, Ibu Hilda Prameswari. Terima kasih sudah meluangkan waktunya kepada kami untuk membahas proyek kerja sama antara PT Sanjaya dengan PT Wilis Kencana.”
Sontak semua orang yang berada di dalam ruangan memberikan tepuk tangan yang cukup meriah untuk menyambut Hilda, dan Hilda pun tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Meeting berjalan selama 2jam, namun bagi Firman dirasa cukup lama sekali, sebab dia ingin segera menghampiri Hilda, dia ingin bertanya sejak kapan dia menjadi Direktur.
Setelah meeting berakhir, semua staff satu per satu meninggalkan ruang meeting, Firman memilih untuk menunggu semuanya keluar, dia ingin berbicara dengan Hilda.
“Hilda, tunggu!” Firman memanggil Hilda yang ingin meninggalkan ruang meeting.
Hilda yang sudah berpamitan dengan Alex dan Reno hendak meninggalkan ruang meeting terpaksa menghentikan langkahnya, sedangkan Reno dan Alex sudah meninggalkan ruangan terlebih dahulu.
“Iya Mas, ada apa?” tanya Hilda langsung.
“Sejak kapan kamu diangkat menjadi Direktur? Kenapa kamu tidak pernah cerita padaku?” tanya Firman sedikit tersenyum namun tampak gugup.
Hilda menyunggingkan sedikit senyum, “sejak kau sering pergi keluar kota Mas, dan kau jarang pulang.”
“Sayang, aku kan keluar kota untuk bekerja, mencari nafkah untukmu. Dan soal tadi pagi, Mas minta maaf ya. Mas terlalu capek jadi terbawa emosi.” Firman berusaha melunakkan hati Hilda, digenggamnya kedua tangan Hilda.
“Tak apa Mas, aku sudah memaafkan. Mungkin karena kita sama-sama lelah, jadi terbawa emosi.” Jawab Hilda tenang dan tersenyum.
“Namun Mas, aku tetap akan mencari tahu siapa pemilik lipstick itu. Benar teman kantor kamu atau mungkin milik orang lain.” Ucap Hilda berbisik dengan nada penuh penekanan.
Firman terdiam mendengar ucapan Hilda, ada rasa cemas di dalam hatinya sedangkan Hilda nampak tersenyum penuh kemenangan melihat Firman yang sepertinya nyalinya menciut.
“Sayang, nanti malam akan aku jelaskan. Nanti aku akan menjemputmu ya, lalu kita makan malam bersama diluar. Aku rindu kamu.” Firman berusaha menekan rasa cemas dihatinya.
“Oke Mas, nanti aku tunggu kamu ya. Aku pergi dulu Mas.” Hilda mencium takzim punggung tangan Firman yang tadi pagi belum sempat dia lakukan, lalu dia pergi meninggalkan Firman.
Kini Firman sedang berpikir bagaimana cara dia menjelaskan kepada Hilda tentang lipstick itu, dan bagaimana caranya supaya Hilda percaya.
Sedang Hilda, setelah dari PT Sanjaya, dia kini menuju ke sekolah yang tertulis di raport yang dia temukan tadi malam. Hilda menuju kesana dengan menggunakan taksi online, sedangkan Lusi sudah kembali ke kantor dengan sopir dan kendaraan kantor.
Waktu menunjukkan pukul 10.30, Hilda berharap bisa bertemu dengan pemilik raport ini, jika dilihat dari isi raport, siswi pemilik raport ini duduk di kelas 1 SD.
“Kita lihat Mas, kejutan apa yang aku dapat di SD Nusa Bakti ini. Jika kau ingin bermain-main denganku, kau salah orang Mas!” gumam Hilda dalam hati sambil meremas buku raport yang berada ditangannya.
“Aku hanya bercanda Nyonya Firman kedua, jangan dimasukkan ke dalam hati ya,” ujar Albert seraya terkekeh. Hilda memilih diam, hatinya tentu saja tak rela dia disebut pelakor lagi oleh orang yang tak tahu awal ceritanya. Sampai akhirnya taksi yang ditunggu oleh Hilda pun tiba dihadapannya. Bergegas dia langsung masuk ke dalam mobil. Ponsel Hilda tiba-tiba berdering, ada panggilan masuk dari sang papa. “Halo Pa,” Hilda menjawab panggilan tersebut. “Halo Nak, kamu dimana? Papa … Papa Hi … “, terdengar suara Bu Nirmala terbata-bata lalu terisak menangis. “Tenang Ma, jelaskan secara perlahan. Ada apa dengan Papa? Mama ini lagi dikantor dengan Papa?” tanya Hilda sedikit gusar. “Papa ada dirumah sakit Nak,” jawab Bu Nirmala dengan suara lirih masih dengan isak tangisnya. Hilda pun meminta sopir taksi online untuk memutar arah setelah Bu Nirmala mendapat informasi rumah sakit Pak Baskara berada. Dengan kecepatan yang agak tinggi, Hilda menuju ke Rumah Sakit Medical Center. === “Waw,
Suasana mendadak berubah menjadi hening. Semua yang ada diruangan menanti apa yang akan diucapkan olehnya.“Kembalikan rumahku Mas! kembalikan rumah yang kau jual tanpa sepengetahuanku!” pekik Hilda.Wajah Firman nampak pias. Dia tak menyangka jika Hilda akan mengetahui lebih cepat. Firman beranggapan Hilda tak akan kembali ke rumahnya itu.“Hahaha. Kau sudah tahu rupanya? Baguslah, jadi aku tak perlu repot-repot menjelaskan kepadamu,” tukas Firman menutupi kegusaran hatinya. Dia berusaha mengintimidasi Hilda.“Mana uang hasil penjualan rumahku Mas?! Kau tak ada hak menjual rumah itu!” geram Hilda.Albert nampak bingung dengan kejadian ini, dia memang tak cukup paham hubungan rumah tangga Hilda dengan suaminya. Sedangkan nampak terlihat merah padam, kedua tangannya mengepal keras. Dia tak rela jika Hilda disakiti oleh Firman.“Ck, uang penjualan rumah sudah habis Hilda. Uang itu sudah ku pakai untuk biaya pengobatan Alifa, karena kau tak mau membantuku! Anggaplah itu uang sedekahmu un
Hampir pukul sepuluh malam, Hilda sampai dikediaman orang tuanya. Terlihat raut cemas diwajah Pak Baskoro.“Nak Albert? Mengapa Hilda bisa bersama denganmu?” sorak Pak Baskoro begitu melihat Albert turun dari kendaraan.“Pak Baskoro. Ternyata memang benar ya, dunia itu tak seluas daun kelor,” seloroh Albert. Mereka tertawa bersama.“Papa mengenal Albert?” tanya Hilda keheranan.Pak Baskoro dan Albert saling memandang dan tersenyum.“Iya Nak, dia merupakan salah satu kolega Papa. Pemilik Rumah Sakit Bakti Sehat. Muda, tampan, mapan,” terang Pak Baskoro terkekeh sambil menepuk-nepuk bahu Albert.Hilda menatap sekilas ke arah Albert, dia terlihat sedikit salah tingkah.“Berarti rumah sakit tadi itu … “ gumam Hilda.“Kau dari rumah sakit? Siapa yang sakit?” selidik Pak Baskoro mendengar ucapan Hilda.“Te—man Pa. Tadi teman Hilda mengalami kecelakaan, jadi aku membawanya ke rumah sakit. Dan kebetulan sekali tadi aku disana bertemu dengan dia,” jelas Hilda sambil menunjuk ke arah Albert.“A
PoV HildaPerlahan aku meninggalkan rumah sakit dimana tadi aku diselamatkan oleh Albert. Sebenarnya aku masih ingin menunggu hasil dari dokter yang menangani Elisa. Aku yakin dia pasti hanya berpura-pura.Kali ini aku memilih untuk pulang ke rumahku sendiri. Lama aku tak menyambangi, pasti beberapa tanaman sudah terlihat rimbun.Namun betapa terkejutnya aku, setelah sampai dirumah, justru aku melihat seorang wanita asing yang sedang menyirami taman depan.Mungkinkah Mama menyewa seseorang untuk bersih-bersih disini? Aku menerka-nerka.“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu Bu?” sapa wanita tersebut dengan seulas senyum ramah.“Maaf, Ibu siapa ya?” tanyaku.“Oh, saya baru saja menempati rumah ini Bu. Dua minggu lalu saya membeli rumah ini dengan harga yang cukup murah menurut saya,” paparnya lagi.Aku tertegun mendengar penjelasannya. Tubuhku menegang, jantungku seolah berhenti berdetak.“Apa ada yang bisa saya bantu Ibu?” tegur wanita itu lagi membuatku tersadar dari lamunanku.“Ma
Tok! Tok! Tok!Hilda mengetuk pelan pintu ruang rawat tersebut, perlahan dia membuka daun pintu.Seorang wanita yang terbaring didalam sana menoleh ke arah Hilda.“Elisa!” pekik Hilda sambil menutup mulutnya. Dirinya tak menyangka, hari ini dia mendapat kejadian bertubi-tubi.Jadi wanita yang menjadi korban kecelakaan tadi adalah Elisa. Sungguh tak disangka sama sekali.“Siapa kamu?” lirih Elisa lemah.“Siapa Elisa? Siapa aku? Tolong aku … “ rintih Elisa sambil menangis. Salah satu tangannya memegang pelipis kepala.Hilda kembali terkejut, mengapa Elisa tak mengenali dirinya sendiri. Apakah Elisa mengalami cedera serius hingga gegar otak? Tapi bukankah pria tadi bilang jika Elisa baik-baik saja? Hilda bergumam dalam hati.“Elisa!” tiba-tiba Firman masuk ke dalam kamar.“Hilda? Kenapa kamu ada disini? Apa kamu tahu siapa yang membuat Elisa menjadi seperti ini?” cecar Firman.Hilda bergeming. Dia melihat Firman membelai lembut pucuk kepala Elisa. Hilda sudah berusaha membuang jauh rasa
Nampak beberapa awak media ikut menerobos masuk ke dalam ruangan Hilda. Beberapa petugas keamanan yang ada dikantor Hilda tak cukup kuat untuk menahan mereka semua untuk tidak masuk ke dalam.“Apa benar Pak Alex ada hubungan terlarang dengan Bu Hilda?” tanya seorang wartawan lelaki. Sekilas Alex membaca name tag yang dikalungkan dileher pria tersebut.Alex terlihat tenang menghadapi situasi saat ini. Alex tahu, pasti ada seseorang yang menyebar isu kepada orang-orang. Lain halnya Hilda yang terihat pucat dan gugup.“Pak Alex, bisa tolong dijelaskan sejauh apa hubungan anda berdua selama ini?” Wartawan lain pun ikut berseru.“Saya akan menjawab pertanyaan rekan-rekan yang ada disini setelah kalian mendapat bukti nyata jika memang saya dan Bu Hilda ada hubungan terlarang. Namun jika tidak ada bukti … “ Alex berhenti sejenak sambil menatap semua orang yang ada diruangan.“Saya tak segan-segan untuk membuat kalian dipecat dari tempat kerja bahkan akan saya masukkan ke daftar blacklist ke