Share

Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada
Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada
Penulis: Uci ekaputra

Mimpi Buruk

"Ampun ... Bu ... jangan pukul Ai lagi, Bu! Ai tidak akan nakal lagi, Bu," rintih seorang anak kecil bernama Aira dalam tangisnya, dia mencoba memohon pada sang Ibu agar menghentikan pukulannya.

"Makanya kamu jangan pernah mengganggu kakakmu lagi. Rasakan sekarang akibat perbuatanmu!"  hardik Dewi--Ibu dari Aira sembari tetap memukul Aira dengan gagang sapu.

Tangis Aira semakin meledak merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tidak hanya sekali Aira dipukul oleh Dewi, bahkan sering kali dia menjadi pelampiasan kekesalannya.

Dewi menyeret Aira dengan kasar menuju ke gudang setelah puas meluapkan semua emosinya.

"Sekarang kamu renungkan kesalahanmu di sini, sebelum kamu menyadari kesalahanmu, Ibu tidak akan mengeluarkanmu." Dewi menghempaskan tubuh kecil Aira ke lantai begitu sampai di gudang.

Aira tersungkur di lantai, dia meringis merasakan sakit akibat tubuhnya membentur lantai. Perlahan dia merangkak ke arah Dewi.

"Jangan, Bu.  Ai takut di sini, Bu. Aira mohon jangan meninggalkan Ai di sini," rintih Aira dalam tangisnya sembari memegang kaki Ibunya. Dia teramat takut akan kegelapan.

"Lepaskan tanganmu yang kotor itu!" Dewi kembali memukul tangan Aira hingga meninggalkan bekas kemerahan.

Bocah berusia delapan tahun itu pun menjerit kesakitan karena pukulan sang Ibu. Sungguh kejam Dewi memperlakukan Aira seperti itu. Padahal kesalahan Aira hanya sepele, dia hanya tidak sengaja menumpahkan air pada gaun Aina, sang kakak.

"Jangan mengurung Ai di sini, Bu. Ai takut gelap," lirih Aira kembali memohon dalam tangisnya.

"Ini pelajaran buat kamu agar tidak mengulangi kembali kesalahanmu," bentak Dewi meninggalkan Aira pergi dan mengunci pintu gudang dari luar.

"Bu ... tolong Ai takut, Bu. Jangan tinggalkan Ai di sini sendiri," ucap Aira seraya menggedor pintu memanggil manggil nama Ibunya.

Dewi terus berlalu tanpa memedulikan teriakan Aira. Telinganya seakan tuli atas teriakan memilukan Aira. Dari dulu Dewi memang tidak pernah menyayangi Aira setelah kelahirannya. Aira hadir dalam rahim Dewi saat Aina baru berusia satu tahun.

Kehamilan Dewi yang kedua tidak disengaja karena usia Aina masih terlalu kecil. Sempat terbesit di hati Dewi untuk menggugurkan kandungannya jika tidak dilarang oleh Arman--suami Dewi.

"Jangan gugurkan kandunganmu, Wi. Kita akan berdosa jika menolak titipan dari Allah," ujar Arman mencoba menenangkan Dewi.

"Aku tidak mau mengandung lagi, Mas. Aina masih terlalu kecil untuk mempunyai Adik. Bagaimana kelak nasib Aina, Mas?" keluh Dewi sembari menangis.

"Kita tidak boleh menolak takdir Yang Kuasa, Wi. Kita harus tetap menerimanya, apapun keadaannya."

"Tapi Mas, aku tidak akan bisa mengurusnya nanti."

"Pasti bisa, jangan berkata tidak bisa sebelum melakukannya, Wi."

"Aku tidak mau Aina kekurangan kasih sayang, Mas. Aku tidak mau membuat Aina merasa tersisihkan dengan kahadiran adiknya."

"Kita akan memberikan kasih sayang yang sama Wi, percayalah Aina akan senang mendapatkan adik," ucap Arman meyakinkan Dewi.

"Baiklah, Mas. Aku tidak akan menggugurkan kandungan ini, tapi kelak jika dia lahir aku tidak mau mengurusnya. Aku akan tetap mengutamakan mengurus Aina," putus Dewi sembari pergi meninggalkan Arman.

***

"Sa-kit ... jangan, Bu. Maafkan Aira, Bu," rintih seorang gadis dalam tidurnya. Air matanya berlelehan keluar walau matanya masih terpejam rapat. Terbayang betapa mimpi itu sangat mengerikan hingga dia merintih dalam tidurnya sembari menangis.

Gadis itu adalah Aira yang telah berusia dua puluh tiga tahun. Setiap malam Aira selalu bermimpi buruk, bahkan dia sering mengkonsumsi obat tidur agar mimpi buruk itu tidak menghampirinya.

Aira tersentak, terbangun dari mimpi buruknya, dia mengatur nafasnya yang berat. Setelah nafasnya mulai normal, dia beranjak mengambil air minum di meja samping ranjangnya. Dengan rakus dia meneguk air minum hingga habis, tangannya masih gemetar terbayang mimpinya.

Setelah selesai minum, dia meletakkan kembali gelas di tempatnya. Dalam keadaan duduk dia memeluk kedua kakinya. Air matanya masih terus menetes. Selalu akan seperti itu jika mimpi buruk  datang menghampiri tidurnya.

Setelah sedikit tenang Aira turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi. Aira menyalakan kran air dan membasuh wajahnya.

Setelah membasuh wajah, Aira beranjak mengambil air wudhu. Seperti biasa dia akan memilih menumpahkan rasa takutnya di atas sajadah.

Hanya dengan melakukan sholat malam hati Aira akan tenang kembali. Waktu masih menunjukkan pukul dua malam kala Aira terbangun dari tidurnya.

Aira membentangkan sajadah dan memakai mukenanya untuk memulai sholat. Dalam keheningan malam, Aira mencoba mencari ketenangan di hatinya.

Setelah selesai melaksanakan sholat, Aira tak langsung beranjak. Dia akan meneruskan berdzikir sampai tertidur di atas sajadahnya. Karena jika tidak seperti itu Aira tidak akan bisa tertidur kembali.

Sungguh trauma yang Aira terima dari Ibunya masih terbawa hingga dia dewasa. Tidak ada yang tahu akan trauma Aira, dia selalu menutupinya dengan senyuman.

Pernah saat Aira kecil trauma, dia sering berbicara sendiri dengan cermin. Dia akan berceloteh dengan riang dan menceritakan betapa Ibunya sangat menyayanginya.

Dia akan berkata bahwa Ibunya memukul atau menghukumnya karena sang Ibu menyayanginya dan ingin menjadikannya anak yang baik.

Aira tidak pernah bisa membenci Ibunya walaupun diperlakukan dengan tidak baik. Aira yakin suatu saat nanti sang Ibu mau menyayanginya seperti menyayangi sang kakak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status