Bab 2
"Tenanglah, aku pasti akan menyelesaikannya, sesuai dengan jadwal yang ditentukan," ucap Aira pada Hani melalui sambungan ponsel."Janji ya, Ai. Jangan mundur lagi, aku sudah bosan disemprot Bos melulu," keluh Hani."Iya-iya, sudahlah tidak usah terlalu khawatir, Han. Aku janji akan mengerjakannya tepat waktu jika moodku bagus.""Ih ... kamu selalu begitu Ai, aku sebel banget kalau kamu sudah seperti itu." Ucapan Hani membuat Aira sedikit mengulum senyum."Sudah, jangan merengek terus. Nanti moodku jadi jelek, tidak bisa mengerjakan pekerjaanku tepat waktu, nanti kamu yang dimarahi Pak Fandi baru tau rasa," ancam Aira pada Hani."Jangan, Ai. Aku tidak sanggup mendengar Pak Bos marah-marah lagi," seru Hani takut.Aira tergelak mendengar ucapan Hani, memang sahabatnya itu sangat tidak suka dengan bosnya karena sering dimarahi. Padahal Aira yang berbuat salah tapi selalu Hani yang menjadi sasaran kemarahan bosnya tersebut.Aira dan Hani rekan kerja di sebuah perusahaan yang cukup besar. Mereka bersahabat semenjak Aira bekerja di perusahaan tersebut.Aira bekerja di bagian administrasi di perusahaan yang menaunginya. Sudah dua tahun Aira menjadi karyawan tetap di sana.Alasan tempat kerja yang jauh membuat Aira bisa keluar dari rumahnya. Aira teramat lelah dengan semua kebencian ibunya. Dia yang harus disalahkan jika terjadi sesuatu pada Aina.Kakaknya itu memang terlalu dimanja oleh sang ibu, bahkan Aira selalu tersisihkan. Tidak pernah Dewi memberikan Aira kasih sayang yang sama besarnya dengan Aina. Bahkan Aira tidak meminta kasih sayang yang sama seperti yang Aina dapatkan, dia hanya meminta sedikit saja untuknya.Akan tetapi, Dewi tidak pernah memberikan apa yang Aira harapkan. Dewi hanya selalu memberikan luka untuk Aira, entah luka fisik ataupun batin.Angan Aira melayang mengingat peristiwa sepuluh tahun yang lalu ketika dia duduk di bangku SMP.***Langit semakin menggelap karena mendung di kala seorang gadis telah mengayuh sepedanya untuk pulang ke rumah. Rintik hujan mulai turun membasahi tubuhnya, dia semakin mempercepat kayuhannya."Aku harus segera sampai rumah, jika hujan semakin deras, aku akan basah kuyup nanti," gumam Aira, ya gadis tersebut Aira yang masih berumur empat belas tahun.Fisik Aira sedikit lemah karena sering mendapat pukulan dari sang Ibu, bahkan dia sering mimisan jika terlalu lelah. Tetapi tidak pernah ada yang tahu dengan itu, Aira selalu menunjukkan bahwa dia adalah anak yang kuat.Aira mempercepat laju sepedahnya agar segera sampai di rumah. Jarak rumahnya dengan sekolah memang sedikit jauh, tapi Aira tidak diijinkan berangkat bersama Aina oleh Dewi.Dewi memang sangat keras kepada Aira, tidak pernah sekalipun Aira dimanjakan sama seperti Aina oleh Dewi.Aira tersenyum di kala melihat rumahnya sudah semakin dekat. Untunglah dia sudah sampai di saat hujan mulai semakin deras. Aira langsung memasukkan sepedahnya ke dalam garasi begitu sampai. Dia beranjak memasuki rumah."Dari mana saja baru tiba di rumah?" bentak Dewi begitu Aira hampir memasuki rumah."Ma-af, Bu. Ai tadi belajar kelompok terlebih dahulu," cicit Aira takut."Jangan bohong kamu! Pasti kamu bermain hingga lupa waktu," hardik Dewi membuat Aira semakin menciut."Aira tidak berbohong, Bu," cicit Aira takut."Sudah pinter jawab ya, kamu? Karena kamu pulang terlambat, kamu tidak Ibu ijinkan masuk ke dalam rumah." Dewi dengan tega menutup pintu meninggalkan Aira yang kedinginan di luar.Aira menggigil kedinginan karena bajunya yang basah serta udara yang semakin dingin karena hujan turun dengan lebat. Dia beranjak menuju kursi di teras dan meringkuk di sana.Bibir Aira membiru menahan dinginnya udara, tubuh kecilnya menggigil mencoba mencari kehangatan dengan memeluk tubuhnya sendiri. Perutnya yang kosong semakin membuatnya menderita.Dewi dengan tega memperlakukan Aira dengan buruk hanya karena terlambat pulang. Jika saja Aira diijinkan berangkat dan pulang sekolah bersama Aina tentu saja dia tidak akan terlambat untuk pulang.Dewi selalu memberikan Aina fasilitas yang baik, sedangkan Aira tidak pernah dipedulikannya. Entah Aira dianggap apa oleh Dewi, padahal dia juga anak kandung Dewi sendiri. Kenapa Aira diperlakukan dengan berbeda.***Aira meneteskan air mata mengingat masa-masa penderitaannya akibat perlakuan Dewi.Aira mengusap kasar air mata yang mengalir di pipinya. Dia harus mengerjakan pekerjaannya jika tidak mau diteror Hani terus-menerus.Sebelum memulai mengerjakan pekerjaannya, Aira berusaha memperbaiki moodnya kembali, agar dia bisa fokus dalam menyeselaikannya nanti.Aira bersiap keluar dari rumahnya, dia akan pergi menuju taman dekat rumahnya untuk memperbaiki moodnya. Setiap dia merasa sedih, Aira selalu datang di taman itu. Setelah selesai bersiap Aira beranjak pergi.Sepuluh menit perjalanan, akhrinya Aira tiba di taman, dia duduk di sebuah bangku. Netranya memandang suasana taman yang sedikit ramai, karena memang hari ini adalah hari minggu. Banyak orang-orang yang menghabiskan waktunya di taman bersama keluarganya.Netranya tak sengaja menemukan pemandangan yang membuatnya mengulum senyum. Pemandangan keceriaan sebuah keluarga dengan dua anak yang masih kecil. Satu anak berada dalam gendongan ibunya dan satu lagi digendong ayahnya. Mereka tertawa bersama, bercanda dengan riangnya.Aira merasa iri dengan keluarga tersebut, dia belum pernah merasakan kebahagiaan dari keluarganya. Ayahnya terlalu sibuk bekerja sedangkan ibunya tak pernah menyayanginya.Andai Aira bisa memilih tentu dia ingin dilahirkan di tengah keluarga itu, dibanding dengan keluarganya sendiri, yang hanya membuat luka di hati dan juga fisiknya.Aira menghembuskan nafas lelah, sudah dari tadi dia memeriksa angka-angka yang ada di layar laptopnya, tapi tak juga kunjung selesai. Pekerjaannya benar-benar menumpuk.Itu semua terjadi karena moodnya yang tiba-tiba buruk, setelah mendapat telfon dari sang Ibu yang memaksanya untuk pulang akhir pekan ini.Bukannya Aira tak mau untuk pulang, tetapi kenangan buruknya saat berada di rumah membuat traumanya kadang kembali lagi. Dia harus sering mengkonsumsi obat kembali jika sudah seperti itu.Aira menggerakkan tubuh mencoba merenggangkannya, badannya terasa pegal karena dari tadi duduk di kursi. Dia berharap dengan menggerakkan tubuh bisa sedikit mengusir pegal-pegal di badannya karena duduk terus-menerus memandang layar laptop.Aira berdiri dari kursi berniat membuat secangkir kopi untuk menghilangkan kantuknya. Kaki Aira melangkah menuju dapur, setelah tiba di dapur, dia bergegas membuat kopi.Aira memanaskan air untuk menyeduh kopi, dia lebih suka kopi pahit tanpa gula sama sekali. R
Mata Aira mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan dengan cahaya lampu. Tangannya menggapai jam di atas nangkas, dia ingin melihat jam berapa sekarang. Netra Aira membulat ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit.Buru-buru dia menyibak selimut yang dipakainya, Aira pun bergegas turun dari ranjang menuju kamar mandi. Dia segera mandi dan melaksanakan sholat Subuh setelahnya.Aira bangun kesiangan, padahal pekerjaannya kurang sedikit lagi selesai. Padahal dia sudah memasang alarm tepat jam tiga dini hari. Tapi Aira tidak mendengar bunyi alarm sama sekali.Setelah melakukan ritual pagi, Aira segera menyelesaikan pekerjaannya. Hani bisa mengamuk nanti jika belum juga selesai.Aira mengerjakan sisa pekerjaannya dengan cepat. Dia menghela nafas berat, ini semua gara-gara telfon dari sang Ibu. Jika saja Dewi tidak menelfon tentu semua pekerjaan Aira sudah selesai dari semalam.Setelah semua pekerjaannya selesai, Aira bergegas mengganti pakaian bersiap untuk beran
"Apalagi, Han?" tanya Aira pada Hani melalui sambungan telfon."Kamu tega Ai, cuti tidak memberitahuku terlebih dahulu," rengek Hani."Maaf, Han. Aku cuti juga karena mendadak. Sudahlah, aku sedang menyetir sekarang. Nanti aku hubungi lagi jika aku sudah sampai di rumah." Aira segera mematikan sambungan telfon dari Hani, kupingnya terasa pengang mendengar omelan Hani karena dia tidak memberitahukan cutinya terlebih dahulu pada Hani.Aira memang tidak memberitahukan karena kepulangannya yang mendadak, dan dia juga tidak mau Hani terlalu banyak tanya jika dia mendengarnya.Setelah meletakkan ponsel, Aira kembali fokus menatap jalanan yang cukup ramai di akhir pekan seperti ini. Jika bukan karena desakan sang Ibu tentu dia lebih memilih berdiam diri di kamar daripada harus berkendara di akhir pekan yang selalu ramai dan macet.Jalanan yang berdebu dan ramainya kendaraan yang berlalu lalang membuat Aira merasa malas, mobil yang dia kendarai pun melaju dengan pelan karena sudah banyak kend
Plak!!Sebuah tangan mendarat keras di pipi kanan Aira. Dia merasakan panas mulai menjalar di area pipi yang terkena tamparan. Aira meringis, tangannya sedikit gemetar memegang pipinya yang memerah."Dewi! Apa yang telah kau lakukan?" Arman bergegas mendekati sang putri dan melihat pipinya yang memerah."Iya Ibu, kenapa Ibu menampar Aira?" Aina pun ikut mendekat pada Aira.Aira hanya diam membisu mendapat tamparan dari Dewi. Padahal para tamu baru saja pergi, tetapi Dewi sudah melayangkan tangannya pada Aira. Jujur Aira tidak menyangka jika sang Ibu akan menamparnya begitu para tamu pergi. Aira pikir Dewi akan berubah setelah dia dewasa, tapi nyatanya Dewi tetap saja suka melayangkan tangannya pada Aira.Hati Aira kembali terluka, bahkan rasa bekas tamparan Dewi tidak ada apa-apanya dibanding dengan rasa sakit yang sekarang hatinya rasakan."Aku hanya memberi pelajaran pada anak tidak tahu sopan santun itu. Kamu jangan ikut campur, Mas! Dia pantas mendapatkannya karena telah mempermal
Suasana ruang makan terlihat begitu hangat, Aira menyunggingkan bibir, tersenyum miris. Netranya mengembun melihat pemandangan yang membuat hatinya ngilu. Dewi, Arman serta Aina sedang sarapan bersama dengan bersanda gurau. Nampak mereka sangat bahagia sekali.Aira sedang berdiri di anak tangga paling atas menatap keakraban mereka bertiga dengan tatapan sendu, dia sangat iri dengan suasana hangat di sana. "Apakah aku tidak punya sedikit tempat di antara mereka?" batin Aira bertanya-tanya.Aira ingin sekali bergabung dengan mereka, tertawa bersama mereka. Tapi itu semua mustahil dan tidak akan pernah terwujud. Dia hanya bisa terluka jika mencoba mendekat, tidak ada tempat untuknya di sana.Aira juga bagian dari keluarga itu, tapi kenapa seolah dia ini hanyalah orang asing saja. Sejak dulu pun dia tidak pernah bergabung untuk makan bersama mereka. Aira selalu makan seorang diri setelah mereka menyelesaikan makannya.Aira sudah terbiasa tersisih, tetapi hatinya masih saja sakit jika mel
Terik matahari sudah mulai membakar kulit Aira, tetapi dia masih saja betah duduk berlama-lama di pesisir pantai, menikmati suasana pantai yang sepi karena awal pekan.Setelah dua jam Aira berkendara tanpa arah, dia memutuskan untuk mengarahkan mobilnya ke arah pantai. Aira ingin mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali bekerja.Netra Aira menatap ombak yang bergulung-gulung dengan kuat, dia ingin sekali menenggelamkan tubuhnya di tengah-tengah ombak tersebut. Mungkin dengan begitu dia tidak perlu merasakan penderitaan lagi. Mungkin juga rasa sakitnya akan menghilang bersamaan dengan menghilangnya ombak-ombak tersebut.Hijab Aira berkibar-kibar diterpa angin yang kencang. Dia pun memejamkan mata menikmati suara deburan ombak yang menabrak karang.Rasanya nyaman, tidak ada suara sang Ibu yang memarahi ataupun membentaknya. Sedikit demi sedikit hatinya mulai merasa tenang. Kesendirian membuatnya merasa sangat nyaman.Sendiri juga membuat Aira tidak terluka semakin dalam lagi. Dia mer
"Ai, aku mencintaimu."Kata-kata yang tak pernah Aira bayangkan keluar dari mulut Fandi. Aira bahkan tidak pernah lagi mengharapkan kata-kata tersebut diucap seseorang padanya.Sejak seringkali dikecewakan oleh harapan semu membuat hati Aira beku. Dia tak lagi memimpikan kebahagiaan dicintai oleh orang lain. Hatinya seperti mati rasa sejak itu.Hening.Hanya keheningan yang Aira rasakan walaupun suasana restoran cukup ramai. Dia sedang sibuk merangkai kata untuk menolak Fandi dengan sopan. Dia tidak mau hubungannya dengan sang bos berakhir buruk sebelum dia resign dari perusahaan yang selama ini menaunginya."Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima perasaan Bapak. Karena sebentar lagi saya akan menikah. Orang tua saya sudah menjodohkan saya dengan lelaki pilihan mereka," ucap Aira dengan suara pelan. Takut membuat Fandi semakin kecewa padanya.Hati Fandi langsung mencelos mendengar penolakan dari wanita pujaannya itu. Tidak disangka kalau dia telah terlambat mengutarakan isi hatinya pada
"Ai, kamu tahu nggak Pak Fandi kenapa? Dari kemarin raut wajahnya terlihat suram," tanya Hani sembari menyesap minuman di tangannya.Hani dan Aira sedang berada di sebuah restoran, mereka baru saja pulang kerja dan mampir untuk mencari makan.Aira tersentak mendengar pertanyaan Hani, dia merasa bersalah telah membuat Fandi berubah seperti yang dikatakan oleh Hani. Tapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa tentang perasaan Fandi itu."Sejak pulang dari meeting denganmu itu, dia selalu uring-uringan. Ada saja yang salah di depannya. Aku jadi makin takut jika berhadapan dengannya, Ai," tambah Hani makin membuat Aira tidak enak hati.Tapi Aira juga tidak bisa mengubah semuanya, dia tidak bisa menerima perasaan Fandi di saat dia sudah berjanji akan menerima perjodohan yang diatur oleh keluarganya."Aku tidak tahu, Han. Mungkin Pak Fandi sedang ada masalah pribadi." Aira tidak bisa jujur pasa Hani tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak mau jika Hani mengetahui apapun tentangnya."Apa