Mata Aira mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan dengan cahaya lampu. Tangannya menggapai jam di atas nangkas, dia ingin melihat jam berapa sekarang. Netra Aira membulat ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit.Buru-buru dia menyibak selimut yang dipakainya, Aira pun bergegas turun dari ranjang menuju kamar mandi. Dia segera mandi dan melaksanakan sholat Subuh setelahnya.Aira bangun kesiangan, padahal pekerjaannya kurang sedikit lagi selesai. Padahal dia sudah memasang alarm tepat jam tiga dini hari. Tapi Aira tidak mendengar bunyi alarm sama sekali.Setelah melakukan ritual pagi, Aira segera menyelesaikan pekerjaannya. Hani bisa mengamuk nanti jika belum juga selesai.Aira mengerjakan sisa pekerjaannya dengan cepat. Dia menghela nafas berat, ini semua gara-gara telfon dari sang Ibu. Jika saja Dewi tidak menelfon tentu semua pekerjaan Aira sudah selesai dari semalam.Setelah semua pekerjaannya selesai, Aira bergegas mengganti pakaian bersiap untuk beran
"Apalagi, Han?" tanya Aira pada Hani melalui sambungan telfon."Kamu tega Ai, cuti tidak memberitahuku terlebih dahulu," rengek Hani."Maaf, Han. Aku cuti juga karena mendadak. Sudahlah, aku sedang menyetir sekarang. Nanti aku hubungi lagi jika aku sudah sampai di rumah." Aira segera mematikan sambungan telfon dari Hani, kupingnya terasa pengang mendengar omelan Hani karena dia tidak memberitahukan cutinya terlebih dahulu pada Hani.Aira memang tidak memberitahukan karena kepulangannya yang mendadak, dan dia juga tidak mau Hani terlalu banyak tanya jika dia mendengarnya.Setelah meletakkan ponsel, Aira kembali fokus menatap jalanan yang cukup ramai di akhir pekan seperti ini. Jika bukan karena desakan sang Ibu tentu dia lebih memilih berdiam diri di kamar daripada harus berkendara di akhir pekan yang selalu ramai dan macet.Jalanan yang berdebu dan ramainya kendaraan yang berlalu lalang membuat Aira merasa malas, mobil yang dia kendarai pun melaju dengan pelan karena sudah banyak kend
Plak!!Sebuah tangan mendarat keras di pipi kanan Aira. Dia merasakan panas mulai menjalar di area pipi yang terkena tamparan. Aira meringis, tangannya sedikit gemetar memegang pipinya yang memerah."Dewi! Apa yang telah kau lakukan?" Arman bergegas mendekati sang putri dan melihat pipinya yang memerah."Iya Ibu, kenapa Ibu menampar Aira?" Aina pun ikut mendekat pada Aira.Aira hanya diam membisu mendapat tamparan dari Dewi. Padahal para tamu baru saja pergi, tetapi Dewi sudah melayangkan tangannya pada Aira. Jujur Aira tidak menyangka jika sang Ibu akan menamparnya begitu para tamu pergi. Aira pikir Dewi akan berubah setelah dia dewasa, tapi nyatanya Dewi tetap saja suka melayangkan tangannya pada Aira.Hati Aira kembali terluka, bahkan rasa bekas tamparan Dewi tidak ada apa-apanya dibanding dengan rasa sakit yang sekarang hatinya rasakan."Aku hanya memberi pelajaran pada anak tidak tahu sopan santun itu. Kamu jangan ikut campur, Mas! Dia pantas mendapatkannya karena telah mempermal
Suasana ruang makan terlihat begitu hangat, Aira menyunggingkan bibir, tersenyum miris. Netranya mengembun melihat pemandangan yang membuat hatinya ngilu. Dewi, Arman serta Aina sedang sarapan bersama dengan bersanda gurau. Nampak mereka sangat bahagia sekali.Aira sedang berdiri di anak tangga paling atas menatap keakraban mereka bertiga dengan tatapan sendu, dia sangat iri dengan suasana hangat di sana. "Apakah aku tidak punya sedikit tempat di antara mereka?" batin Aira bertanya-tanya.Aira ingin sekali bergabung dengan mereka, tertawa bersama mereka. Tapi itu semua mustahil dan tidak akan pernah terwujud. Dia hanya bisa terluka jika mencoba mendekat, tidak ada tempat untuknya di sana.Aira juga bagian dari keluarga itu, tapi kenapa seolah dia ini hanyalah orang asing saja. Sejak dulu pun dia tidak pernah bergabung untuk makan bersama mereka. Aira selalu makan seorang diri setelah mereka menyelesaikan makannya.Aira sudah terbiasa tersisih, tetapi hatinya masih saja sakit jika mel
Terik matahari sudah mulai membakar kulit Aira, tetapi dia masih saja betah duduk berlama-lama di pesisir pantai, menikmati suasana pantai yang sepi karena awal pekan.Setelah dua jam Aira berkendara tanpa arah, dia memutuskan untuk mengarahkan mobilnya ke arah pantai. Aira ingin mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali bekerja.Netra Aira menatap ombak yang bergulung-gulung dengan kuat, dia ingin sekali menenggelamkan tubuhnya di tengah-tengah ombak tersebut. Mungkin dengan begitu dia tidak perlu merasakan penderitaan lagi. Mungkin juga rasa sakitnya akan menghilang bersamaan dengan menghilangnya ombak-ombak tersebut.Hijab Aira berkibar-kibar diterpa angin yang kencang. Dia pun memejamkan mata menikmati suara deburan ombak yang menabrak karang.Rasanya nyaman, tidak ada suara sang Ibu yang memarahi ataupun membentaknya. Sedikit demi sedikit hatinya mulai merasa tenang. Kesendirian membuatnya merasa sangat nyaman.Sendiri juga membuat Aira tidak terluka semakin dalam lagi. Dia mer
"Ai, aku mencintaimu."Kata-kata yang tak pernah Aira bayangkan keluar dari mulut Fandi. Aira bahkan tidak pernah lagi mengharapkan kata-kata tersebut diucap seseorang padanya.Sejak seringkali dikecewakan oleh harapan semu membuat hati Aira beku. Dia tak lagi memimpikan kebahagiaan dicintai oleh orang lain. Hatinya seperti mati rasa sejak itu.Hening.Hanya keheningan yang Aira rasakan walaupun suasana restoran cukup ramai. Dia sedang sibuk merangkai kata untuk menolak Fandi dengan sopan. Dia tidak mau hubungannya dengan sang bos berakhir buruk sebelum dia resign dari perusahaan yang selama ini menaunginya."Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima perasaan Bapak. Karena sebentar lagi saya akan menikah. Orang tua saya sudah menjodohkan saya dengan lelaki pilihan mereka," ucap Aira dengan suara pelan. Takut membuat Fandi semakin kecewa padanya.Hati Fandi langsung mencelos mendengar penolakan dari wanita pujaannya itu. Tidak disangka kalau dia telah terlambat mengutarakan isi hatinya pada
"Ai, kamu tahu nggak Pak Fandi kenapa? Dari kemarin raut wajahnya terlihat suram," tanya Hani sembari menyesap minuman di tangannya.Hani dan Aira sedang berada di sebuah restoran, mereka baru saja pulang kerja dan mampir untuk mencari makan.Aira tersentak mendengar pertanyaan Hani, dia merasa bersalah telah membuat Fandi berubah seperti yang dikatakan oleh Hani. Tapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa tentang perasaan Fandi itu."Sejak pulang dari meeting denganmu itu, dia selalu uring-uringan. Ada saja yang salah di depannya. Aku jadi makin takut jika berhadapan dengannya, Ai," tambah Hani makin membuat Aira tidak enak hati.Tapi Aira juga tidak bisa mengubah semuanya, dia tidak bisa menerima perasaan Fandi di saat dia sudah berjanji akan menerima perjodohan yang diatur oleh keluarganya."Aku tidak tahu, Han. Mungkin Pak Fandi sedang ada masalah pribadi." Aira tidak bisa jujur pasa Hani tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak mau jika Hani mengetahui apapun tentangnya."Apa
"Kamu tidak lupa kan jika dua minggu lagi kamu akan menikah?" tanya Dewi melalui sambungan ponsel.Aira memutar bola matanya jengah dengan pertanyaan Dewi, mana mungkin dia bisa lupa jika sebentar lagi dia akan menikah. Sudah berkali-kali Dewi menelfonnya hanya untuk mengingatkannya tentang pernikahan. Padahal Aira hanya ingin merasakan ketenangan untuk sebentar saja, sebelum dia menikah."Apa kamu tuli, hingga tidak bisa menjawab pertanyaanku?" sentak Dewi.Hati Aira berdenyut nyeri mendengar suara sang Ibu meninggi. Hal yang biasa Aira terima tapi masih mampu menggetarkan tubuhnya."Aku mendengarnya, Bu. Ibu jangan khawatir, aku pasti akan segera pulang sebelum hari pernikahanku. Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak akan kabur dari perjodohan ini, jadi Ibu tenang saja," sahut Aira benar-benar sudah merasa jengah dengan semuanya."Jika kamu berani kabur, aku pasti akan mencarimu dan mematahkan kakimu itu!" ancam Dewi pada Aira, lalu dia pun memutuskan sambungan telfon.Aira menu