Share

Telfon Dari Dewi

Penulis: Uci ekaputra
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-19 22:09:23

Aira menghembuskan nafas lelah, sudah dari tadi dia memeriksa angka-angka yang ada di layar laptopnya, tapi tak juga kunjung selesai. Pekerjaannya benar-benar menumpuk.

Itu semua terjadi karena moodnya yang tiba-tiba buruk, setelah mendapat telfon dari sang Ibu yang memaksanya untuk pulang akhir pekan ini.

Bukannya Aira tak mau untuk pulang, tetapi kenangan buruknya saat berada di rumah membuat traumanya kadang kembali lagi. Dia harus sering mengkonsumsi obat kembali jika sudah seperti itu.

Aira menggerakkan tubuh mencoba merenggangkannya, badannya terasa pegal karena dari tadi duduk di kursi. Dia berharap dengan menggerakkan tubuh bisa sedikit mengusir pegal-pegal di badannya karena duduk terus-menerus memandang layar laptop.

Aira berdiri dari kursi berniat membuat secangkir kopi untuk menghilangkan kantuknya. Kaki Aira melangkah menuju dapur, setelah tiba di dapur, dia bergegas membuat kopi.

Aira memanaskan air untuk menyeduh kopi, dia lebih suka kopi pahit tanpa gula sama sekali. Rasa pahitnya mengingatkan kisah hidupnya yang teramat pahit.

Sejauh ini dia masih mengingat semua luka yang pernah dia dapatkan, bahkan bekas luka di tubuhnya masih ada sampai sekarang.

Aira menghela nafas kasar, masih saja dia merasakan tubuhnya gemetar saat mengingat masa-masa yang dulu. Kalau sudah begitu mana bisa dia meneruskan pekerjaannya.

Setelah selesai membuat kopi, Aira bergegas membawanya ke kamar. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum akhir bulan ini.

Hani pasti akan mengomel lagi jika dia tak kunjung menyelesaikannya. Apalagi memang sudah waktunya Aira menyelesaikan semuanya.

Netra Aira kembali berselancar menatap layar laptop, dia bermaksud menyelesaikan pekerjaannya yang tinggal sedikit.

Setelah semua selesai dia ingin segera beristirahat, besok dia harus berangkat pagi menuju kantor.

Saat sedang fokus bekerja, Aira mendengar ponselnya berdering. Netra Aira beralih menatap ponsel yang tergeletak di samping laptopnya.

Tangan Aira terulur mengambil ponsel tersebut, Aira ingin tahu siapa yang menelfonnya malam-malam begini.

"Ibu?" ucap Aira saat melihat ponsel di tangannya.

Aira mendecakkan lidah, begitu mengetahui siapa yang menelfonnya. Ingin sekali dia tidak menerima panggilan telfon dari sang Ibu. Namun, jika dia tidak segera menerima panggilan tersebut, Dewi pasti akan semakin marah.

Tangan Aira pun menekan tombol hijau, dan menyapa Dewi, "Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam." Terdengar balasan Dewi dari sambungan telfon.

"Ada apa telfon malam-malam, Bu?" tanya Aira.

"Kamu lupa atau pura-pura lupa? Bukankah Ibu memintamu untuk pulang akhir pekan ini?" tanya Dewi dengan nada sedikit marah.

"Maaf, Bu. Pekerjaanku sangat banyak, aku belum bisa pulang meninggalkan pekerjaanku," jawab Aira mencoba menjelaskan.

"Halah, banyak alasan kamu! Memang dasar kamu anak tidak tahu diuntung! Kamu bikin malu Ibu saja. Padahal Ibu sudah menghubungi keluarga Pradikta untuk makan malam," hardik Dewi pada Aira.

Sementara Aira hanya terdiam membisu mendengar perkataan sang Ibu yang menyakitkan. Perkataan Dewi menusuk hatinya, hingga membuat nyeri dan sesak di dalam dada.

"Ma-af, Bu," cicit Aira.

"Pokoknya Ibu tidak mau tahu, akhir pekan depan kamu harus pulang! Jika kamu tidak pulang, Ibu akan menyeretmu untuk pulang," ancam Dewi pada sang putri.

Setelah memberi ancaman pada sang putri, Dewi mengakhiri sambungan telfonnya secara sepihak. Tangan Aira gemetar menatap layar ponsel yang telah mati.

Selalu saja seperti itu, setiap Dewi menelfon tangan Aira akan gemetar, teringat rasa sakit yang selalu dia terima semenjak Aira masih kecil.

Bergegas Aira membuka laci di meja kerjanya, tangan Aira mencari-cari sesuatu dengan tergesa-gesa.

Aira mengeluarkan semua barang-barang di dalam laci berharap menemukan apa yang dia cari.

Mata Aira langsung berbinar ketika menemukan apa yang dia cari, sebuah botol kecil berisi obat penenang. Aira segera membuka botol tersebut dan mengambil satu butir obat tersebut, lalu meminumnya dengan tergesa.

Aira menghela nafas lega setelah meminum obat tersebut. Dia menyandarkan punggung di kursi sembari mendongakkan kepala.

"Sampai kapan aku harus seperti ini? Selalu mengkonsumsi obat penenang jika rasa takut ini datang kembali. Aku sudah bosan dengan semua pengobatan yang aku jalani," lirih Aira.

Trauma yang dia terima teramat membekas di ingatannya. Aira sudah sangat lelah, kadang terbesit untuk mengakhiri saja hidupnya. Agar dia bisa terbebas dari rasa sakit akibat traumanya.

Akan tetapi, dosa yang Aira terima jika sampai bunuh diri tidak akan terampunkan. Jika saja bunuh diri itu bukan dosa besar, dia pasti akan melakukannya dari dulu.

Aira merasa tidak sanggup memikul kebencian yang mendalam dari sang Ibu. Kadang dia bertanya-tanya, apa sebenarnya salahnya. Hingga sebegitu bencinya Dewi kepadanya.

Untuk apa Aira dilahirkan jika pada akhirnya dia tidak pernah diharapkan? Untuk apa Aira ada di dunia ini, jika kehadirannya selalu terabaikan?

Padahal Aira sangat menyayangi Dewi, bahkan melebihi rasa sayang terhadap dirinya sendiri. Tapi kenapa Dewi membencinya seolah Aira bukanlah anak kandungnya sendiri?

Aira bangkit dari duduknya melangkah menuju ranjang, segera dia merebahkan tubuhnya begitu sampai. Mata Aira semakin berat karena efek dari obat yang baru saja dia konsumsi.

Sebelum kesadaran Aira sepenuhnya hilang, dada sebelah kirinya berdenyut nyeri. Aira merintih tertahan merasakan sakitnya.

Memang akhir-akhir ini Aira sering merasakan nyeri di dadanya, tapi dia tidak pernah ingin memeriksakannya. Kadang dia juga berpikir, memang hanya rasa sakit yang selalu menemaninya seumur hidupnya. "Apa aku tidak berhak bahagia sama sekali? Apa aku hanya akan merasakan sakit, hingga ajal menjemputku nanti?" batin Aira.

Mata Aira sudah tidak bisa menahan rasa ingin memejam, perlahan dia pun menutup mata merasakan kedamaian yang semu. Jika esok datang rasa sakitnya akan kembali lagi menemaninya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Firasat

    Arman hanya memandangi piring yang berisi nasi dan lauk pauknya. Dari tadi pikirannya sedang melayang, mengingat putri bungsunya yang telah berada di rumah suaminya.Arman pun belum menyentuh makanannya sama sekali. Sejak bangun tidur tadi, hatinya terasa tidak enak. Dia selalu teringat dengan Aira. Entah pikirannya selalu terngiang akan wajah sang putri. Arman ingin sekali mengetahui keadaan Aira saat ini, tapi dia bingung sekali harus bagaimana.Aina yang melihat ayahnya sedang melamun pun meletakkan sendok makannya di atas piring. "Ayah tidak makan?" tanya Aina pada sang ayah.Arman pun tersentak, lalu segera melihat ke arah piring di depannya dengan tak berselera. Piring tersebut masih terlihat penuh, tanpa berkurang sedikitpun. Nafsu makannya benar-benar telah hilang."Ada apa, Yah? Kenapa Ayah tidak makan?" tanya Aina lagi.Dewi yang mendengar pertanyaan Aina pun melirik sang suami, sejak pertengkarannya beberapa waktu lalu dengan sang suami membuat hubungan keduanya menjadi din

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Mala Petaka

    Revan mengerjapkan matanya, dia mendesis merasakan pusing begitu matanya terbuka sempurna. Kepalanya pun terasa sangat berat. Efek dari minuman haram yang ditenggaknya sungguh buruk.Revan bukanlah seorang pemabuk, baru semalam dia menyentuh minuman haram itu untuk melampiaskan rasa frustasinya. Dengan perlahan Revan mulai bangun dari posisinya, lalu dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menyadari bahwa dia tidak mengenakan apapun.Pandangan matanya beralih menatap sisi ranjangnya yang kosong, terdapat noda bercak merah. Mata Revan langsung membulat, lalu dia mencoba menggali ingatannya lebih dalam.Samar-samar gambaran tentang perbuatan buruknya pada Aira melintas di ingatannya. Revan tersentak begitu mengingat apa yang telah dilakukannya pada Aira."Apa yang telah kamu lakukan, Van! Bodoh sekali kamu," maki Revan pada dirinya sendiri sembari memukul-mukul kepalanya.Tidak pernah terbayangkan di benak Revan untuk mengambil kesucian Aira wa

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Terenggut

    Revan menggebrak pintu rumah dengan keras, dia melakukannya berkali-kali. "Buka ... buka pintunya!" seru Revan sembari terus menggebrak pintu rumahnya.Revan berdiri sembari bersandar ke pintu, dia tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Sementara Aira tergopoh-gopoh menuju pintu. Dia terkejut ketika mendengar pintu rumahnya digedor dengan keras, padahal waktu sudah sangat malam. Aira segera membuka pintu begitu memastikan jika yang menggedor pintu adalah Revan, bukan orang yang berniat jahat padanya."Ya Allah, Mas ...!" seru Aira ketika pintu sudah terbuka. Revan terjatuh, tubuhnya membentur lantai yang dingin. Aira memandang Revan dengan tatapan kasihan, suaminya itu pulang dalam keadaan yang sangat berantakan dan mabuk berat.Buru-buru Aira membantu Revan berdiri, dia memapah Revan yang berdiri dengan sempoyongan karena mabuk. Tadi Revan menuju bar setelah pertengkarannya dengan Helen. Dia pun menenggak minuman haram demi melampiaskan rasa frustasinya karena sang kekasih tidak m

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Meyakinkan

    "Tunggu ...!" teriak Aira.Revan menghentikan langkahnya ketika akan menaiki tangga. Dia pun segera menoleh ke arah Aira yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Revan mengernyitkan keningnya saat melihat wanita yang bergelar istrinya itu berjalan mendekat ke arahnya."Ada yang ingin aku bicarakan padamu," ucap Aira ketika sudah sampai di dekat Revan."Ada apa?" tanya Revan dingin, tampak tidak tertarik untuk berbicara dengan Aira. Sebenarnya Revan sangatlah lelah setelah pulang dari tempat kerjanya. Ada sedikit masalah di kantornya. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi dia tidak bisa mengabaikan Aira begitu saja. Walaupun Aira hanyalah istri di atas kertas, secara tidak langsung Revan mempunyai tanggung jawab pada gadis itu.Aira pun menghela napas berat, andai saja tadi Helen tidak datang, tentu dia tidak akan menahan Revan seperti itu. Aira pasti akan enggan untuk berbicara dengan lelaki dingin macam Revan."Apakah kamu tidak memberitahu Helen tentang pernikahan

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Bertemu Fandi

    "Jaga dirimu baik-baik, Ai. Jika kamu tidak sanggup lagi menjalani pernikahanmu, jangan diteruskan lagi, hiduplah dengan baik. Aku siap mendengarkan apapun keluhanmu, jangan pernah merasa sendiri," pesan Hani, ketika Aira mengantarkannya kembali ke penginapan. Sebenarnya Hani merasa sangat berat meninggalkan Aira dalam keadaan yang buruk, tapi mau bagaimanapun Hani ingin, dia tidak bisa tetap berada di samping Aira, dia harus kembali pulang.Aira hanya mengangguk, dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Aira sudah teramat lelah menghadapi masalahnya yang tiada habisnya."Ah ... aku jadi tidak rela meninggalkanmu di sini, Ai." Hani memeluk Aira sembari meneteskan air mata kembali. Dia teramat sedih mendengar cerita dari sahabatnya itu. Hani kira selama ini kehidupan Aira tidaklah setragis itu, dia kira kehidupan Aira menyenangkan. Hani tidak pernah menyangka jika di balik sosok Aira yang cuek itu tersimpan kesedihan yang mendalam akibat perlakuan tidak baik dari keluarganya sendiri.A

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Menjelaskan

    "Perkenalkan nama saya Aira dan sebelum saya menjelaskan semuanya, saya harap Mbak Helen mau menahan diri hingga saya selesai menjelaskan. Bagaimana, Mbak? Apa Mbak Helen bersedia?" Tanpa menunggu lama, Aira pun memulai membuka suaranya setelah mereka bertiga duduk di ruang tamu.Helen pun mengangguk, dia tidak punya pilihan lain selain menyetujui apa yang Aira katakan. Dia ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah terlalu lama menahan semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikirannya tentang siapa Aira dan tentang apa hubungannya dengan Revan, kekasihnya.Aira pun menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan, dia mempersiapkan diri untuk menjelaskan semuanya pada Helen. Dia tidak mau kalau sampai salah berkata hingga membuat Helen marah padanya ataupun Revan. Aira bisa dalam masalah besar jika sampai Helen salah paham dan marah padanya."Sebelumnya saya minta maaf, Mbak. Jika apa yang saya jelaskan ini tidak berkenan di hati Mbak Helen dan tolong jangan salah p

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status