Share

Telfon Dari Dewi

Aira menghembuskan nafas lelah, sudah dari tadi dia memeriksa angka-angka yang ada di layar laptopnya, tapi tak juga kunjung selesai. Pekerjaannya benar-benar menumpuk.

Itu semua terjadi karena moodnya yang tiba-tiba buruk, setelah mendapat telfon dari sang Ibu yang memaksanya untuk pulang akhir pekan ini.

Bukannya Aira tak mau untuk pulang, tetapi kenangan buruknya saat berada di rumah membuat traumanya kadang kembali lagi. Dia harus sering mengkonsumsi obat kembali jika sudah seperti itu.

Aira menggerakkan tubuh mencoba merenggangkannya, badannya terasa pegal karena dari tadi duduk di kursi. Dia berharap dengan menggerakkan tubuh bisa sedikit mengusir pegal-pegal di badannya karena duduk terus-menerus memandang layar laptop.

Aira berdiri dari kursi berniat membuat secangkir kopi untuk menghilangkan kantuknya. Kaki Aira melangkah menuju dapur, setelah tiba di dapur, dia bergegas membuat kopi.

Aira memanaskan air untuk menyeduh kopi, dia lebih suka kopi pahit tanpa gula sama sekali. Rasa pahitnya mengingatkan kisah hidupnya yang teramat pahit.

Sejauh ini dia masih mengingat semua luka yang pernah dia dapatkan, bahkan bekas luka di tubuhnya masih ada sampai sekarang.

Aira menghela nafas kasar, masih saja dia merasakan tubuhnya gemetar saat mengingat masa-masa yang dulu. Kalau sudah begitu mana bisa dia meneruskan pekerjaannya.

Setelah selesai membuat kopi, Aira bergegas membawanya ke kamar. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum akhir bulan ini.

Hani pasti akan mengomel lagi jika dia tak kunjung menyelesaikannya. Apalagi memang sudah waktunya Aira menyelesaikan semuanya.

Netra Aira kembali berselancar menatap layar laptop, dia bermaksud menyelesaikan pekerjaannya yang tinggal sedikit.

Setelah semua selesai dia ingin segera beristirahat, besok dia harus berangkat pagi menuju kantor.

Saat sedang fokus bekerja, Aira mendengar ponselnya berdering. Netra Aira beralih menatap ponsel yang tergeletak di samping laptopnya.

Tangan Aira terulur mengambil ponsel tersebut, Aira ingin tahu siapa yang menelfonnya malam-malam begini.

"Ibu?" ucap Aira saat melihat ponsel di tangannya.

Aira mendecakkan lidah, begitu mengetahui siapa yang menelfonnya. Ingin sekali dia tidak menerima panggilan telfon dari sang Ibu. Namun, jika dia tidak segera menerima panggilan tersebut, Dewi pasti akan semakin marah.

Tangan Aira pun menekan tombol hijau, dan menyapa Dewi, "Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam." Terdengar balasan Dewi dari sambungan telfon.

"Ada apa telfon malam-malam, Bu?" tanya Aira.

"Kamu lupa atau pura-pura lupa? Bukankah Ibu memintamu untuk pulang akhir pekan ini?" tanya Dewi dengan nada sedikit marah.

"Maaf, Bu. Pekerjaanku sangat banyak, aku belum bisa pulang meninggalkan pekerjaanku," jawab Aira mencoba menjelaskan.

"Halah, banyak alasan kamu! Memang dasar kamu anak tidak tahu diuntung! Kamu bikin malu Ibu saja. Padahal Ibu sudah menghubungi keluarga Pradikta untuk makan malam," hardik Dewi pada Aira.

Sementara Aira hanya terdiam membisu mendengar perkataan sang Ibu yang menyakitkan. Perkataan Dewi menusuk hatinya, hingga membuat nyeri dan sesak di dalam dada.

"Ma-af, Bu," cicit Aira.

"Pokoknya Ibu tidak mau tahu, akhir pekan depan kamu harus pulang! Jika kamu tidak pulang, Ibu akan menyeretmu untuk pulang," ancam Dewi pada sang putri.

Setelah memberi ancaman pada sang putri, Dewi mengakhiri sambungan telfonnya secara sepihak. Tangan Aira gemetar menatap layar ponsel yang telah mati.

Selalu saja seperti itu, setiap Dewi menelfon tangan Aira akan gemetar, teringat rasa sakit yang selalu dia terima semenjak Aira masih kecil.

Bergegas Aira membuka laci di meja kerjanya, tangan Aira mencari-cari sesuatu dengan tergesa-gesa.

Aira mengeluarkan semua barang-barang di dalam laci berharap menemukan apa yang dia cari.

Mata Aira langsung berbinar ketika menemukan apa yang dia cari, sebuah botol kecil berisi obat penenang. Aira segera membuka botol tersebut dan mengambil satu butir obat tersebut, lalu meminumnya dengan tergesa.

Aira menghela nafas lega setelah meminum obat tersebut. Dia menyandarkan punggung di kursi sembari mendongakkan kepala.

"Sampai kapan aku harus seperti ini? Selalu mengkonsumsi obat penenang jika rasa takut ini datang kembali. Aku sudah bosan dengan semua pengobatan yang aku jalani," lirih Aira.

Trauma yang dia terima teramat membekas di ingatannya. Aira sudah sangat lelah, kadang terbesit untuk mengakhiri saja hidupnya. Agar dia bisa terbebas dari rasa sakit akibat traumanya.

Akan tetapi, dosa yang Aira terima jika sampai bunuh diri tidak akan terampunkan. Jika saja bunuh diri itu bukan dosa besar, dia pasti akan melakukannya dari dulu.

Aira merasa tidak sanggup memikul kebencian yang mendalam dari sang Ibu. Kadang dia bertanya-tanya, apa sebenarnya salahnya. Hingga sebegitu bencinya Dewi kepadanya.

Untuk apa Aira dilahirkan jika pada akhirnya dia tidak pernah diharapkan? Untuk apa Aira ada di dunia ini, jika kehadirannya selalu terabaikan?

Padahal Aira sangat menyayangi Dewi, bahkan melebihi rasa sayang terhadap dirinya sendiri. Tapi kenapa Dewi membencinya seolah Aira bukanlah anak kandungnya sendiri?

Aira bangkit dari duduknya melangkah menuju ranjang, segera dia merebahkan tubuhnya begitu sampai. Mata Aira semakin berat karena efek dari obat yang baru saja dia konsumsi.

Sebelum kesadaran Aira sepenuhnya hilang, dada sebelah kirinya berdenyut nyeri. Aira merintih tertahan merasakan sakitnya.

Memang akhir-akhir ini Aira sering merasakan nyeri di dadanya, tapi dia tidak pernah ingin memeriksakannya. Kadang dia juga berpikir, memang hanya rasa sakit yang selalu menemaninya seumur hidupnya. "Apa aku tidak berhak bahagia sama sekali? Apa aku hanya akan merasakan sakit, hingga ajal menjemputku nanti?" batin Aira.

Mata Aira sudah tidak bisa menahan rasa ingin memejam, perlahan dia pun menutup mata merasakan kedamaian yang semu. Jika esok datang rasa sakitnya akan kembali lagi menemaninya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status