Share

Ruang

Entahlah, aku seperti tidak suka saja dengan rokok. Bukan memang dampak negatif dari rokok, tetapi memang aku tidak menyukai saja cara merokok dan rasa yang akan di hisap saat rokok itu ujungnya menyalah. Sebenarnya aku juga tidak begitu menyukai dengan kepulan-kepulan rokok dari Pak Arief, tetapi aku sebagai teman guru maka aku biarkan saja. 

"Aku tahu apa juga, Pak, tentang teater? Bukan jalurku. Aku di kantor saja sibuk mengurus kerjaan. Kalau pun ngelatih anak-anak teater pembinaan darimu, ya sudah jelas tidak akan sanggup."

Aku menggeleng beberapa kali atas tawarannya Pak Arief itu, terasa aneh saja kalau aku bisa gabung sebagai pembina teater. Dari dulu aku tidak begitu tertarik dengan kesenian, yang ada ketertarikanku hanya pada bidang bahasa Inggris, pesantren dan laptop komputer.

"Kali saja mau gabung."

"Iya, lain kali aku lihat-lihat ke sana. Ruai bukan?"

Pak Arief itu sebenarnya adik kelasku waktu dari Madrasah Aliyah kelas tigaku dulu. Cuman akunya tidak kenal sama Pak Arief, mungkin sebatas tahu saja karena Pak Arief ini adalah ketua OSIS. Katanya sih pas dulu sering dikagumin sama banyak cewek yang ada di Madrasah Aliyah, karena wajah manisnya.  

Tapi tidak mungkin tahu juga kalau Mafayzah tidak bilang ini ke aku. Orang, wajahnya Pak Arief yang dulu sama sekarang agak beda jauh sih. Kalau sekarang sering berkumis kalau pun pernah dicukur kumisnya, palingan pas sempat saja katanya. 

"Iya lah, Pak Iqbal. Tempatnya di mana lagi kalau bukan di situ. Oh iya, nanti siang jam dua ada latihan. Mau lihat?"

"Iya, in sya' allah, ya. Soalnya lagi banyak kerjaan di kantor."

"Oke, aku tunggu."

***

Neng Lia

"Nduk, adikmu nanti kalau mau makan samean masakin nasi goreng." 

"Nggih, Mami."

"Oh, iya, nanti kemungkinan Mami sama Papi pulangnya besok."

"Nggih, Mami."

"Jangan lupa, sore nanti adikmu harus ngaji!"

"Nggih, Mami."

"Ya sudah, jaga diri dan adikmu baik-baik. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Mami mengakhiri telpon di sebrang sana. 

Mami terpaksa harus ikut Papi untuk ke Malabiya, karena Papi yang tiba-tiba dapat panggilan ke sana untuk mengukur seragam siswa sebanyak dua ratus. Selain itu, katanya mau ke rumah saudara sebentar. Ada sunatan keponakannya Mami, yang kemarin belum sempat Mami sama Papi datangin. 

Aku senang dapat berita rezekinya Papi. Hanya saja nanti malam aku tidak jadi balik ke pesantren, padahal sudah aku siapkan. 

Tidak apa, mungkin dengan ini aku bisa puas-puasin sepenuh waktuku bersama keluargaku. Termasuk ke dua adikku. 

Dari luar jendela, aku melihat dua adikku bermain istana pasir dari bekas gelas minuman yang ditumpuk semakin ke atas. Lalu diberi hiasan bunga dan daun-daun di bagian paling atas dan sampingnya.

Adikku Tika, sekarang sudah bisa menghibur Adikku Kencana dengan mengajaknya bermain sederhana karena tadi sempat menangis melihat Papi Mami keluar rumah tanpa mengajaknya.

Adikku Tika usianya sebelas tahun. Dan barusan bulan kemarin lulus dari Madrasah Ibtidaiyah Negrinya. Sementara adikku kencana, usianya masih enam tahun. Dan barusan naik kelas dua di Madrasah Ibtidaiyah Negri yang sama denganku dulu.

"Nduk, Papi sama Mamimu nanti pulang kapan?"

Mbah Putri, Ibu dari Papiku itu datang ke rumah sambil membawakan es teh kesukaan adik-adikku. Mbah Putri selalu ke sini, entah itu pagi, siang dan sore. Kalau malam jarang. Cuma tadi pagi Mbah Putri mungkin lagi sibuk bantu Tente Ima masak, makanya tidak ke sini. 

"Pulangnya insyaallah besok, Mbah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status