"Kesurupan, Pak?" tanya Mak Darmani. Najwa dan Emaknya memperhatikan wajah Pak Kuswan dengan seksama menunggunya melanjutkan cerita.
"Iya, tadi setelah Pak Haji Ramli membuka acara tahlil. Baru beberapa ayat yasin dilantunkan, si Ardi kerasukan." Pak Kuswan duduk di kursi, memulai cerita.
"Ardi, yang anaknya Pak Munir itu, Pak?" sela Mak Darmani memotong perkataan suaminya, yang ditanya mengangguk membenarkan kata-kata istrinya.
"Najwa sering melihat Mas Ardi membonceng Mbak Wulandari, kalo mau berangkat sekolah," lontar Najwa. Semua tahu selain tetangga dekat, Wulandari dan Ardy juga teman sepermainan. Mungkin Karena sekolah mereka sama-sama di kota jadi Ardi mengantarkannya sekalian.
"Jangan-jangan Pak, ada sesuatu di antara mereka?" terka Mak Darmani."Mungkin aja arwah Wulandari memang sengaja memilih Ardi untuk dimasukinya, untuk menunjukkan sesuatu?" duga Mak Darmani lagi.
Najwa mendengarkan percakapan mereka dengan seksama, mencoba berkonsentrasi untuk mencerna arti setiap kata-kata yang disampaikan Emak dan Bapaknya. "Ada yang coba disampaikan lewat merasuki, Mas Ardi, Pak??" ujar Najwa kemudian menduga-duga kemungkinan yang bisa terjadi.
Pak Kuswan terlihat berpikir sejenak, mengingat-ingat semua kejadian saat acara tahlilan tadi."Ah, enggak mungkin." jawab Pak Kuswan cepat.
Alis Mak Darmani mengernyit seperti sedang berpikir. Setelah mengambil napas sejenak kembali berkata, "Lha wong, Ardi itu pacaran sama Lia, yang rumahnya depan balai desa," tuturnya lagi.
"Tadi itu awalnya si Ardi biasa aja, ikut membaca doa-doa dan surah Yasin seperti yang lain. Nah sebelum kerasukan dia keliatan ngelamun. Gak lama Ardi tertawa cekikikan kayak suara perempuan, matanya terpejam …."
"Terus, Pak?" tanya Najwa kepo. Dia begitu Penasaran bagaimana tiba-tiba Ardi itu bisa kerasukan.
"Anehnya walaupun si Ardi matanya merem, dia bisa tau dimana Bapaknya Wulandari duduk." Kata Pak Kuswan.
"Dengan mata terpejam, Ardi ngomong, 'Pak, tolong, Pak!' sambil menghadap Pak Budi, Bapaknya Wulandari." terang Pak Kuswan.
"Apa itu sudah pasti arwahnya si Wulandari yang masuk, Pak?" tanya Mak Darmani.
"Wallahuallam, Mak!" Jawab Pak Kuswan.
"Pak Haji Ramli, Pak Budiono, juga beberapa warga lain ikut memegangi tangan dan kaki Ardi. Waktu Pak Haji Ramli, nekan kepala Ardi dan bertanya siapa yang masuk ke dalam tubuhnya itu, si Ardi, malah nangis, sambil mengatakan Wulan." Pak Kuswan kembali menceritakan saat Ardi kerasukan. Ada raut cemas dan kawatir di wajahnya.
Terdengar bunyi pintu diketuk beberapa kali.
"Astaghfirulloh, jika benar yang merasuki si Ardi adalah Wulan, pasti ada sesuatu ini!" Setelah berkata, Mak Darmani berdiri dari duduknya hendak membukakan pintu.
"Assalamualaikum," ucap suara seorang perempuan ketika pintu dibuka.
"Wa'alaikum salam, oalah Windri," jawab Mak Darmani.
"Ini, berkat acara tahlilan tadi. Berhubung ada hal yang tidak terduga. Belum sempat dibagikan tadi." Windri mengulurkan satu plastik berisi berkat acara tahlilan tadi.
"Matursuwun, terimakasih, ya, Windri," ucap Mak Darmani kemudian. Ragu-ragu Mak Darmani terlihat membuka mulut akan bertanya,"Em, anu, si Ardi, bagaimana keadaannya?"
"Baru saja pulang, setelah kerasukan tadi sempet tiduran di rumah sebentar. Pusing dan lemes katanya," jelas Windri.
"Mari," pamitnya.
Windri tersenyum lalu membalikkan tubuhnya, pulang menuju rumahnya.
Emak masih berada ambang pintu menyaksikan punggung Mbak Windri yang semakin menghilang di kejauhan.
Emak menutup pintu dan melangkah masuk. Menaruh nasi hantaran acara tahlilan tadi di atas meja makan.
"Kata orang-orang, si Windri itu sering marahin Wulan sebelum meninggal," ujar Mak Darmani.
"Gimana enggak marah, to, Mak! Lha si Wulan masih kelas satu SMA sudah hamil. Mana dia nggak ngaku kalo hamil, siapa bapak anak yang dikandungnya aja gak ada yang tahu." Pak Kuswan menyilangkan tangan di dada sambil berkata.
"Apalagi si Windri, kakaknya Wulandari juga belum menikah, pasti merasa malu dan marah dia!" tambah Mak Darmani lagi.
"Najwa, Ratih …."
Najwa mendongak menatap Emaknya. Ratih yang sedang duduk di depan TV mengalihkan pandangannya dari layar kaca.
"Iya, Mak!" Najwa dan Ratih hampir bersamaan menjawab panggilan Emaknya.
"Nanti kalau kalian sudah besar, harus hidup rukun. Ada masalah apa pun harus saling cerita, jangan saling menyalahkan." Dengan lembut dan pelan Mak Darmani berkata. Memberi wejangan pada mereka berdua.
Najwa mengangguk tanda setuju, Mak Darmani menyuruh mereka rukun dan tidak boleh bertengkar,"Iya, Mak."
"Surya, itu Mak, yang suka nakal. Pulpen dan buku Ratih, sering disembunyiin," Ratih membela diri, mulutnya terlihat dimajukan, serta matanya membelalak ke arah Surya. Adik laki-laki itu menjulurkan lidah,"Week."
Tawa dan canda menghiasi malam mereka, sebelum hanyut dalam buaian malam yang masih mencekam karena kehadiran arwah Wulandari.
***
Tiga hari, suasana di desa terlihat tenang dan damai. Tidak ada gangguan, dari Wulandari yang gentayangan.
Akan tetapi, malam ini terasa berbeda. Malam Jumat, malam yang paling disukai oleh para arwah. Di malam ini, kekuatan negatif akan lebih kuat di bandingkan kekuatan positif. Jika, dalam bahasa lain di sebut kekuatan Ying dan Yang.
Bulu kuduk Najwa mulai merinding, takut jika ada teror lagi. Dia merasa ada angin yang menyapu tengkuknya namun, tidak ada orang di dekatnya.
"Emaak!" teriakku, akan tetapi suaranya tidak keluar.
Gadis itu mulai ketakutan. Kejadian seperti ini terulang lagi, kejadian saat ada makhluk astral.
Dengan memberanikan diri, Najwa menoleh ke belakang dan seketika matanya hampir copot dari tempatnya.
Sosok anak kecil dengan kepala yang lebih besar daripada tubuhnya, dan taring yang muncul dari sela-sela bibirnya, menambah detak jantungku berpacu lebih cepat. Makhluk yang seperti bayi namun, memiliki tubuh yang aneh itu melompat-lompat di ranjangnya dengan seriangaiannya.
Perlahan, makhluk itu membuka mulutnya lebar dan mendekati Najwa. Dia seperti siap melahap gadis itu, dengan tubuhnya yang mungil. Namun, dia melewati Najwa begitu saja yang kaku. Najwa mengikuti gerakan makhluk kecil itu, dan,
"Mbak Wulandari!"
Seketika tubuh Najwa menegang, matanya membulat, dahinya berkeringat, dan suaranya tercekat.Arwah Wulandari menatap tajam ke arah Najwa dengan seringainya yang membuat hati gadis itu bergetar hebat. Kedua arwah itu mendekat ke Najwa dan melewatinya begitu saja. Namun, lirikan Wulandari mampu membuat lutut Najwa lemas tidak bertenaga dan tubuhnya luruh ke lantai."Maaak!" teriak Najwa ketika suasana kembali ke semula.Mak Darmani datang dengan tergopoh-gopoh, lalu mendekati Najwa yang diam kaku di lantai. Disentuhnya dahi anak sulungnya, dan beralih ke kaki Najwa yang sangat dingin. Mak Darmani memanggil suaminya, untuk mengangkat tubuh anaknya ke dipan. Dipandangi wajah pucat pasi Najwa, lalu Mak Darmani memegang kaki anaknya."Pak, Najwa kenapa lagi, yo?" tanyanya sembari memijat kaki Najwa, berharap remaja itu segera tersadar."Iki (ini) malam Jumat, apa Wulandari nongol lagi, yo Mak?" Pak Kuswan malah balik bertany
Pak Kuswan mencoba menghapus jejak itu, bukannya hilang jejak itu malah makin banyak bertebaran di dinding.Suasana semakin mencekam, terdengar suara rintihan dari kamar Najwa. Membuat Pak Kuswan dan Mbok Darmani bergegas ke kamar anak sulungnya, Ratih pun mengikuti langkah kedua orang tuanya."Kami tidak mengganggu kalian, jangan ganggu kami!" ujar Pak Kuswan.Semua menatap ke arah Najwa yang berbaring namun, wajahnya berubah sangar dan menakutkan."Wulan?" tanya Mbok Darmani lirih.Kepala Najwa melihat ke arah orang-orang yang baru saja masuk ke dalam kamar. Terlihat rona kebencian di matanya, seakan-akan itu bukanlah Najwa."Wu--wulan?" Suara Pak Kuswan bergetar.Mata Najwa melotot sempurna, menandakan amarah yang siap meledak. Tubuh Najwa yang tadinya berbaring, kini sudah duduk kaku di tepi ranjang dengan tatapan nyalang.Mbok Darmani mencoba mendekati anaknya itu namun, Najw
Setelah berbicara, tubuh Najwa lunglai tidak berdaya. Lalu, tawa histeris terdengar dari bibirnya. Beberapa tetangga mulai bermunculan, karena mendengar suara gaduh di rumah Mak Darmani. Pak Kuswan hanya bisa menatap anaknya miris tanpa bisa berbuat banyak. Seorang tetangga menepuk pundaknya, "Kita ruqyah saja," saran sang tetangga. Entah mengapa di situasi seperti ini, Pak Kuswan tidak berpikir jernih. Dia seakan-akan lupa, ilmu agama yang dia punya. Suara orang mengaji semakin banyak dan rumah pun terlihat adem. Namun, tidak dengan Najwa. Dia meronta-ronta. Bahkan ingin mencekik orang yang ada disekitarnya. "Nduk, eling... Eling!" Mak Darmani mengguncang tubuh anaknya. "Iya, pak. Sampai lupa!" ucapnya. Pak Kuswan langsung berlalu, mengambil air wudhu dan kembali lagi ke kamar Najwa. Mengambil kitab Alquran dan membaca pelan, penuh penghayatan. "Ayo, kita juga," sahut yang lain
Rasa ngeri mulai terasa, akibat suara-suara dari alam ghoib dan juga bau anyir serta bau busuk bercampur menjadi satu.Setiap mata saling memandang tanpa berani berkomentar, lalu pandangan mereka menyapu sekitar. Mencari asal muasal suara-suara yang menggema. Hingga,"I--itu!" tunjuk salah satu tetangga Mak Darmani, yang melihat bayangan kecil berkelebat tidak tentu arah.Membuat Wanita renta yang ingin membantu, sedikit gentar. Namun, dia cekatan mengelilingi Najwa dengan garam yang diambilkan oleh Mak Darmani."Kalian teruskan membaca ayat-ayat suci Al-Quran, agar bisa mengusir setan-setan yang menyerupai almarhumah." Suara teriakan terpaksa di gemakan oleh wanita renta yang biasa mereka panggil Mak Yus.Namun, pandangan mereka kini kembali
Semua mata menuju ke asal suara, dan nampak seorang lelaki gagah dan tampan masuk ke dalam bersama beberapa ajudannya. Usianya sudah tidak lagi muda dan . Dia adalah kades di desa itu, sudah lama menjabat dan belum tergantikan atau tidak bisa digantikan. Begitulah kata para penduduk di sana."Ma-maaf, Pak Kades." Salah satu orang yang ada di sana menjawab.Rasa ngeri mulai terasa, akibat suara-suara dari alam ghoib dan juga bau anyir serta bau busuk bercampur menjadi satu.Setiap mata saling memandang tanpa berani berkomentar, lalu pandangan mereka menyapu sekitar. Mencari asal muasal suara-suara yang menggema. Hingga,"I--itu!" tunjuk salah satu tetangga Mak Darmani, yang melihat bayangan kecil berkelebat tidak tentu arah.Membuat Wanita rent
Pak Irwanto menatap Ardi, dia sedikit memundurkan tubuhnya. Dia ingat siapa lelaki ini, dan juga mulai mengingat siapa Wulandari. Namun, Pak Irwanto bersikap senetral mungkin agar tidak terlihat gugup."Kamu habis mandi?" tanya Pak Irwanto."Ma--maaf, Pak Kades. Saya tadi sedang berjalan di dekat blumbang (kolam ikan), untuk memberi pakan. Tiba-tiba, suara air ber gemericik di sudut blumbang sebelah timur. Saat saya lihat ada wanita yang sedang main air, dan ternyata ...." Ardi diam untuk mengatur napasnya.Tiba-tiba, suara orang jatuh atau benda berukuran besar sangat kentara, di telinga semua orang yang ada di depan rumah Najwa."Apa itu!" tunjuk salah satu tetangga.Cahaya putih berkelebatan, dari belakang pohon yang berukuran besar dan rindang. Lalu, sinar terang berada di atas mobil Pak Irwanto yang sedang melaju ke rumah Bu Bidan.Semua mata hanya menatap, tanpa bisa berbuat apa-apa
Rombongan terhenti, ketika mendengar suara Pak Irwanto yang sangat kuat. Mereka diam dan memandang orang nomor satu di desa itu."Sepertinya, saya harus pulang. Kalian jaga anak itu!" tunjuk Pak Irwanto pada mobil yang melaju pelan di depan sana.Semua mengangguk, ketika mendengar perintah Pak Kades. Tapi, ada perasaan campur aduk di hati para warga yang ikut gabung dalam rombongan. Ketika, melihat cahaya di atas mobil tidak juga pergi, seolah-olah mengawal mobil itu atau memang ada yang diincar."Tenang saja, cahaya itu tidak akan melukai siapapun!" ujarku Pak Irwanto, yang sepertinya mengerti kegelisahan warganya, "kamu temani meraka, dan kamu ikut saya!" imbuh Pak Irwanto pada ajudannya.Pak Irwanto segera berlalu, tanpa menunggu kata, atau pun sergahan dari para warga yang tetap khawatir."Pak, gimana ini?" tanya tetangga Pak Kuswan."Kalau bapak ingin pulang, pulang
Suasana hati Pak Kuswan mendadak pilu, dia mengingat kata-kata Pak Bejo. Haruskah dia membawa anaknya pergi, tapi ke mana.Pak Kuswan keluar dari ruang periksa, dan meminta semua orang untuk bubar. Najwa akan menginap untuk diperiksa lebih lanjut. Begitulah yang dia sampaikan."Kami tunggu di sini, Pak!" ujarku para ajudan Pak Irwanto.Pak Kuswan hanya bisa mengatakan terima kasih berkali-kali, pada para warga dan ajudan yang menunggunya dan kembali ke dalam ruangan."Saya mau menghubungi Pak Irwanto, dulu. Untuk memberitahu, keadaan di sini!" ujarku Rudi."Jangan! Bu Kades sedang sakit dan lagi kambuh!" sela Kirman, salah satu ajudan."Semenjak gadis itu mati! Bu Kades jadi aneh!" ketus Rudi.Mereka tidak tahu, jika pembicaraan mereka terdengar oleh Pak Kuswan. Pak Kuswan hanya bisa diam dan tertunduk, ingin bertanya tapi sudah takut duluan."Maaf