Seketika tubuh Najwa menegang, matanya membulat, dahinya berkeringat, dan suaranya tercekat.
Arwah Wulandari menatap tajam ke arah Najwa dengan seringainya yang membuat hati gadis itu bergetar hebat. Kedua arwah itu mendekat ke Najwa dan melewatinya begitu saja. Namun, lirikan Wulandari mampu membuat lutut Najwa lemas tidak bertenaga dan tubuhnya luruh ke lantai.
"Maaak!" teriak Najwa ketika suasana kembali ke semula.
Mak Darmani datang dengan tergopoh-gopoh, lalu mendekati Najwa yang diam kaku di lantai. Disentuhnya dahi anak sulungnya, dan beralih ke kaki Najwa yang sangat dingin. Mak Darmani memanggil suaminya, untuk mengangkat tubuh anaknya ke dipan. Dipandangi wajah pucat pasi Najwa, lalu Mak Darmani memegang kaki anaknya.
"Pak, Najwa kenapa lagi, yo?" tanyanya sembari memijat kaki Najwa, berharap remaja itu segera tersadar.
"Iki (ini) malam Jumat, apa Wulandari nongol lagi, yo Mak?" Pak Kuswan malah balik bertanya.
Mak Darmani mengambil selimut dan menutupi tubuh Najwa yang mulai menggigil kedinginan, kemudian membalurinnya dengan minyak kayu putih. Lalu, beralih ke hidung Najwa dengan memberinya wewangian agar segera siuman.
"Aduh, Pak. Ini kok belum sadar juga! Sudah satu jam lebih, kita bawa saja ke Bu Patmi Bidan." Mak Darmani terlihat panik, setelah melihat jam di dinding.
"Kita tunggu sebentar lagi saja!"
Mereka berdua memijat tangan dan kaki Najwa, lalu membalurinnya dengan minyak kayu putih lagi. Berharap tubuh anaknya menghangat dan bisa langsung sadar.
"Maaak!" Suara teriakan Ratih, mengalihkan perhatian Mak Darmani dan Pak Kuswan.
"Ada apa lagi!" Mak Darmani terlihat panik. "Bapak jagain Najwa, tak liat Ratih dulu!" tambahnya sambil berlalu.
Pak Kuswan mengangguk dan menatap Najwa, lalu menarik napas panjang. Rasanya dia pun mulai khawatir dengan beberapa kejadian yang terjadi pada anaknya.
"Kamu kenapa, Nduk!" Suara Mak Darmani terdengar hingga kamar sebelah.
Ratih duduk di lantai, dengan memeluk kedua kakinya dengan erat. Matanya terpejam erat, hingga nampak kerutan-kerutan disekitarnya.
Ratih tidak merespon pertanyaan Mak Darmani, dia tetap memejamkan matanya dan diam terpaku. Mak Darmani memegang pundak anaknya yang terlihat sangat ketakutan.
"Tih, ini emak!" ujar Mak Darmani.
Ratih membuka perlahan matanya ketika suara Mak Darmani berulang kali tertangkap oleh telinganya.
"Emaaak!" pekiknya, Ratih langsung menubruk tubuh emaknya hingga terjatuh.
"Kamu kenapa?" tanya Mak Darmani dan dia berusaha berdiri, lalu menyeimbangkan tubuhnya yang terasa sakit karena terbentur lantai.
"Ba--bayi, Mak!" ucap Ratih terbata-bata.
Mak Darmani melihat sekitar kamar anaknya, tidak ada bayi seperti yang baru saja di ucapkan oleh Ratih. Namun, dia melihat beberapa jejak kaki kecil yang tertinggal di tembok, dari bentuknya seperti kaki dan tangan bayi. Mak Darmani berpikir, tidak mungkin bayi manusia bisa memanjat dinding. Lalu, jejak apa itu!
"Ono opo (ada apa), Bu?" Pak Kuswan berteriak dari kamar Najwa.
Mak Darmani tidak langsung menjawab, dia mengangkat tubuh Ratih dan memapahnya ke kamar kakaknya.
"Kayaknya ini sudah tidak wajar, Pak. Semakin lama, mereka menunjukkan diri dan mulai mengganggu!" Mak Darmani langsung nyerocos.
"Tenang dulu, duduk dan tarik napas panjang lalu hembuskan." Pak Kuswan masih terlihat santai.
Mak Darmani duduk, diikuti oleh Ratih. Lalu melakukan apa yang di minta Pak Kuswan tadi.
Ratih memeluk lengan Mak Darmani erat, wajahnya dia sembunyikan di dalam ketiak emaknya.
Pak Kuswan yang melihat itu, merasa ada yang tidak beres. Dia tahu betul jika Ratih anak yang pemberani.
"Ono opo, Nduk?" tanyanya lirih dengan memegang lengan Ratih.
"Bapak liat saja sendiri, ada apa di dinding kamar Ratih! Sekalian telepon bidan, kasian Najwa."
Mendengar ucapan istrinya, Pak Kuswan langsung ke kamar sebelah. Betapa terkejutnya dia melihat banyak bekas telapak tangan anak kecil yang berukuran kecil.
"Ini telapak tangan bayi, apakah itu ...."
Pak Kuswan mencoba menghapus jejak itu, bukannya hilang jejak itu malah makin banyak bertebaran di dinding.Suasana semakin mencekam, terdengar suara rintihan dari kamar Najwa. Membuat Pak Kuswan dan Mbok Darmani bergegas ke kamar anak sulungnya, Ratih pun mengikuti langkah kedua orang tuanya."Kami tidak mengganggu kalian, jangan ganggu kami!" ujar Pak Kuswan.Semua menatap ke arah Najwa yang berbaring namun, wajahnya berubah sangar dan menakutkan."Wulan?" tanya Mbok Darmani lirih.Kepala Najwa melihat ke arah orang-orang yang baru saja masuk ke dalam kamar. Terlihat rona kebencian di matanya, seakan-akan itu bukanlah Najwa."Wu--wulan?" Suara Pak Kuswan bergetar.Mata Najwa melotot sempurna, menandakan amarah yang siap meledak. Tubuh Najwa yang tadinya berbaring, kini sudah duduk kaku di tepi ranjang dengan tatapan nyalang.Mbok Darmani mencoba mendekati anaknya itu namun, Najw
Setelah berbicara, tubuh Najwa lunglai tidak berdaya. Lalu, tawa histeris terdengar dari bibirnya. Beberapa tetangga mulai bermunculan, karena mendengar suara gaduh di rumah Mak Darmani. Pak Kuswan hanya bisa menatap anaknya miris tanpa bisa berbuat banyak. Seorang tetangga menepuk pundaknya, "Kita ruqyah saja," saran sang tetangga. Entah mengapa di situasi seperti ini, Pak Kuswan tidak berpikir jernih. Dia seakan-akan lupa, ilmu agama yang dia punya. Suara orang mengaji semakin banyak dan rumah pun terlihat adem. Namun, tidak dengan Najwa. Dia meronta-ronta. Bahkan ingin mencekik orang yang ada disekitarnya. "Nduk, eling... Eling!" Mak Darmani mengguncang tubuh anaknya. "Iya, pak. Sampai lupa!" ucapnya. Pak Kuswan langsung berlalu, mengambil air wudhu dan kembali lagi ke kamar Najwa. Mengambil kitab Alquran dan membaca pelan, penuh penghayatan. "Ayo, kita juga," sahut yang lain
Rasa ngeri mulai terasa, akibat suara-suara dari alam ghoib dan juga bau anyir serta bau busuk bercampur menjadi satu.Setiap mata saling memandang tanpa berani berkomentar, lalu pandangan mereka menyapu sekitar. Mencari asal muasal suara-suara yang menggema. Hingga,"I--itu!" tunjuk salah satu tetangga Mak Darmani, yang melihat bayangan kecil berkelebat tidak tentu arah.Membuat Wanita renta yang ingin membantu, sedikit gentar. Namun, dia cekatan mengelilingi Najwa dengan garam yang diambilkan oleh Mak Darmani."Kalian teruskan membaca ayat-ayat suci Al-Quran, agar bisa mengusir setan-setan yang menyerupai almarhumah." Suara teriakan terpaksa di gemakan oleh wanita renta yang biasa mereka panggil Mak Yus.Namun, pandangan mereka kini kembali
Semua mata menuju ke asal suara, dan nampak seorang lelaki gagah dan tampan masuk ke dalam bersama beberapa ajudannya. Usianya sudah tidak lagi muda dan . Dia adalah kades di desa itu, sudah lama menjabat dan belum tergantikan atau tidak bisa digantikan. Begitulah kata para penduduk di sana."Ma-maaf, Pak Kades." Salah satu orang yang ada di sana menjawab.Rasa ngeri mulai terasa, akibat suara-suara dari alam ghoib dan juga bau anyir serta bau busuk bercampur menjadi satu.Setiap mata saling memandang tanpa berani berkomentar, lalu pandangan mereka menyapu sekitar. Mencari asal muasal suara-suara yang menggema. Hingga,"I--itu!" tunjuk salah satu tetangga Mak Darmani, yang melihat bayangan kecil berkelebat tidak tentu arah.Membuat Wanita rent
Pak Irwanto menatap Ardi, dia sedikit memundurkan tubuhnya. Dia ingat siapa lelaki ini, dan juga mulai mengingat siapa Wulandari. Namun, Pak Irwanto bersikap senetral mungkin agar tidak terlihat gugup."Kamu habis mandi?" tanya Pak Irwanto."Ma--maaf, Pak Kades. Saya tadi sedang berjalan di dekat blumbang (kolam ikan), untuk memberi pakan. Tiba-tiba, suara air ber gemericik di sudut blumbang sebelah timur. Saat saya lihat ada wanita yang sedang main air, dan ternyata ...." Ardi diam untuk mengatur napasnya.Tiba-tiba, suara orang jatuh atau benda berukuran besar sangat kentara, di telinga semua orang yang ada di depan rumah Najwa."Apa itu!" tunjuk salah satu tetangga.Cahaya putih berkelebatan, dari belakang pohon yang berukuran besar dan rindang. Lalu, sinar terang berada di atas mobil Pak Irwanto yang sedang melaju ke rumah Bu Bidan.Semua mata hanya menatap, tanpa bisa berbuat apa-apa
Rombongan terhenti, ketika mendengar suara Pak Irwanto yang sangat kuat. Mereka diam dan memandang orang nomor satu di desa itu."Sepertinya, saya harus pulang. Kalian jaga anak itu!" tunjuk Pak Irwanto pada mobil yang melaju pelan di depan sana.Semua mengangguk, ketika mendengar perintah Pak Kades. Tapi, ada perasaan campur aduk di hati para warga yang ikut gabung dalam rombongan. Ketika, melihat cahaya di atas mobil tidak juga pergi, seolah-olah mengawal mobil itu atau memang ada yang diincar."Tenang saja, cahaya itu tidak akan melukai siapapun!" ujarku Pak Irwanto, yang sepertinya mengerti kegelisahan warganya, "kamu temani meraka, dan kamu ikut saya!" imbuh Pak Irwanto pada ajudannya.Pak Irwanto segera berlalu, tanpa menunggu kata, atau pun sergahan dari para warga yang tetap khawatir."Pak, gimana ini?" tanya tetangga Pak Kuswan."Kalau bapak ingin pulang, pulang
Suasana hati Pak Kuswan mendadak pilu, dia mengingat kata-kata Pak Bejo. Haruskah dia membawa anaknya pergi, tapi ke mana.Pak Kuswan keluar dari ruang periksa, dan meminta semua orang untuk bubar. Najwa akan menginap untuk diperiksa lebih lanjut. Begitulah yang dia sampaikan."Kami tunggu di sini, Pak!" ujarku para ajudan Pak Irwanto.Pak Kuswan hanya bisa mengatakan terima kasih berkali-kali, pada para warga dan ajudan yang menunggunya dan kembali ke dalam ruangan."Saya mau menghubungi Pak Irwanto, dulu. Untuk memberitahu, keadaan di sini!" ujarku Rudi."Jangan! Bu Kades sedang sakit dan lagi kambuh!" sela Kirman, salah satu ajudan."Semenjak gadis itu mati! Bu Kades jadi aneh!" ketus Rudi.Mereka tidak tahu, jika pembicaraan mereka terdengar oleh Pak Kuswan. Pak Kuswan hanya bisa diam dan tertunduk, ingin bertanya tapi sudah takut duluan."Maaf
Kali ini, Rudi yang menjauhkan ponsel milik temannya. Telinganya langsung berdenging, bahkan suara orang yang bertanya padanya tidak terdengar.Bu Esti menarik, Rudi dan menepuk pundaknya berkali-kali."Masuk ke dalam!" perintah Bu Esti.Wanita yang tidak lagi muda namun, belum berusia senja itu seakan-akan tahu ada sesuatu yang membahayakan."Pak Kuswan, mari kita berlindung pada Allah, agar malam ini terlewati. Sepertinya, ada yang menginginkan anak bapak mati!" ujar Bu Esti, membuat Pak Kuswan lemas."Bagaimana warga yang ada di jalan tadi?" tanya Pak Kuswan lirih.'Hmmm, ini akan sulit di hindari!' guman Bu Esti."Siapa yang berani keluar dan membunyikan ketungan, agar semua warga masuk ke dalam rumahnya?" tanya Bu Esti pada para lelaki parah baya di depannya.Mereka saling pandang, bingung jika harus memilih. Nyawa diri sendiri atau nyawa banya