Share

Kesurupan

"Sawan?"

Najwa mengerutkan alis, benarkah sawan itu ada? Ah, emaknya hanya terlalu serius menanggapi kemunculan arwah Wulandari.

"Sawan, 'kan hanya pada bayi atau anak kecil?" lirih Najwa bergumam sendiri. Sering dia mendengar jika anak bayi tetangga menangis terus tak berhenti dan badannya terasa panas, si Ibu mengatakan anaknya kena sawan. 

Setelah penampakan arwah Wulandari yang pertama kali, malamnya tubuh Najwa juga langsung panas. Padahal sebelumnya dia tidak sakit apa-apa. Apa itu termasuk sawan?

Benar juga, sudah dua kali ini mereka mengganggu. Pertama penampakan Wulandari, kedua entah benar atau tidak bayinya yang menjahili Najwa. Walaupun tidak menampakkan diri secara langsung. Hanya sekelebatan bayangan bayi yang tangannya menyentuh kaki Najwa, semua itu membuat mata tidak bisa terpejam, apalagi untuk tertidur dengan pulas. 

Najwa memejamkan mata berusaha mengingat-ingat lagi apa saja yang telah terjadi. Adakah kaitan kematian Wulandari dengan dirinya, sehingga ia terus menghantui gadis itu. Lalu apa salahnya Najwa?

"Najwa, kamu dah bangun? Sudah baikan belum badannya?" tanya Mak Darmani sambil melongok dari pintu kamar.

"Sudah Mak, besok Najwa, mau sekolah lagi," jawab Najwa. Rasa pusing dan lemas di badan sudah tidak begitu dirasakannya. 

Kaki Najwa turun dari ranjang,"Mak, Najwa, Laper!" Berjalan perlahan dan memegang perut. "Mak, masak apa?" tanyanya lagi.

Mak Darmani dengan sigap melangkah ke dapur, mengambil sepiring nasi dan lauknya. Lalu berjalan menghampiri anaknya lagi,"ini ada sayur asem, sama pindang goreng. Najwa, masih baru sembuh, ndak boleh makan sambel dulu!"

Dengan terpaksa Najwa menerima sepiring nasi dari Emak Darmani, duduk dan melahapnya tanpa komentar. Ada rasa yang kurang memang, tanpa sambel dunia kurang greget, hambar dirasakannya. Tapi demi kebaikan, Najwa tak protes dan langsung melahap yang sudah disediakan.

"Assalamualaikum." Terdengar Pak Kuswan mengucapkan salam dari samping rumah.

Tidak berapa lama terlihat sosoknya menuju kamar mandi, hendak mencuci kaki dan tangan. Pacul yang disampirkan di pundak di taruh di pojok dapur. Terlihat peluh menetes di wajahnya. 

"Wa'alaikum salam," Najwa dan Mak Darmani hampir serempak menjawab salam.

"Kok baru pulang, Pak?" tanya Mak Darmani menyongsong suaminya yang baru datang.

Sepertinya proyek sedang sepi, sehingga Pak Kuswan membantu tetangga untuk membajak sawah mereka. Peluh di dahi, menandakan jika dia kelelahan. Meskipun pulangnya masih jam 12 siang. 

"Tadi itu, Bapak ngobrol-ngobrol sama Pak Parlan." Pak Kuswan mendekat dari arah kamar mandi sambil mulai bercerita. Emak Darmani berjalan di belakangnya dengan membawa piring dan gelas berisi minuman berwarna hitam.

"Ini, Pak," Mak Darmani menyodorkan piring pada suaminya. 

Pak Kuswan menerima piring berisi nasi juga lauk pauknya. Lalu duduk di samping Najwa.

"Pak Parlan juga didatangi arwah Wulandari." Sambil memasukkan sesendok nasi, Pak Kuswan mulai bercerita.

"Mosok, to, Pak?" ujar Emak, dengan wajah penasaran.

Najwa berhenti memasukkan nasi dan lauknya ke dalam mulutnya. Dia fokus mendengarkan Bapaknya bercerita. 

"Iyo, Mak!" kata Pak Kuswan lagi, dengan wajah serius. Terlihat lekaki itu, mengambil napas panjang sebelum bercerita lalu melanjutkan ceritanya kembali. 

"Kata Pak Parlan, semalam dia lagi mancing ikan di pinggir kali sana, lalu dia denger suara orang menangis. Dipikirnya ada orang lain di dekat dia mancing. Pak Parlan berjalan mencari arah suara itu, eeeh …."

"Eeeh, apa Pak?" tanya Mak Darmani memotong cerita.

"Pak Parlan langsung lari tunggang-langgang saat dilihatnya sosok perempuan berbaju putih, menghadap sungai sambil menangis. Rambutnya menutupi wajah."

Bulu halus di belakang tengkuk Najwa berdiri. Jika berhubungan dengan sosok itu lagi, nyalinya langsung ciut. Najwa tidak berani banyak bertanya pada Bapaknya. Hanya mendengarkan saja dengan seksama. 

"Ternyata banyak yang melihat penampakan Wulandari ya, Pak?" ucap Mak Darmani. 

"Sepertinya ada apa-apa ini, Mak!" Pak Kuswan menatap istrinya serius. "Nanti malam, acara tahlil terakhir di rumah, Mbok Sri. Bapak tak coba ngomong ke mereka!" 

Pak Kuswan menyudahi makan siangnya. Membawa piring ke dapur, lalu masuk ke kamar mandi lagi.

Gadis berambut panjang itu menatap sisa nasi dan sayur di piringnya. Selera makanya mendadak hilang, Najwa mendorong piring di hadapan menjauh. Dia tidak ingin melanjutkan makannya. 

"Mak, Najwa, takut!" ucapnya.

"Ndak boleh takut, kita punya Allah. Najwa, salatnya yang rajin," kata Mak Darmani.

***

Selepas salat magrib, Pak Kuswan masih memakai sarung dan kopiahnya. Dia menyalakan sebatang rokok. Menghisap asapnya pelan-pelan, lalu mengembuskan asap putih dari sela hidung dan mulut. 

Mata lelaki paruh bayar itu dengan serius menatap layar televisi, mendengarkan dengan seksama berita yang sedang disiarkan.

"Bapak, kok, belum berangkat ke rumah Mbok Sri, tahlilan?" tegur Mak Darmani. 

"Deket, Mak, berangkat agak telat aja!" sahut Pak Kuswan yang masih menatap layar kaca.

"Cepet berangkat sana, Pak! Enggak enak masa tetangga deket, datengnya telat," ucap Mak DarmaniLagi.

Tanpa menjawab ucapan istrinya, Pak Kuswan berdiri dari duduknya. Berjalan menuju pintu di samping rumah sambil terus menghisap rokoknya.

Ratih sedang belajar di depan televisi, sedang Surya asyik meminjam dan mencoba perlengkapan tulisnya. Ia mengambil pulpen dan mencoret-coret tembok.

"Surya, jangan!" perintah Najwa padanya. 

"Surya juga belajar, Mbak!" jawabnya tanpa memandang wajah Najwa. Kembali asyik mencoret dinding dan Najwa hanya menggelengkan kepala.

Dibiarkan Surya yang sedang asyik membuat garis tidak beraturan. Najwa memasukkan buku pelajaran satu persatu untuk besok. Tubuhnya sudah benar-benar sehat, besok dia berencana pergi ke sekolah. Tidak ingin banyak tertinggal pelajaran lagi.

Tidak berapa lama, terdengar suara gaduh dari arah rumah Mbok sri. "Mak, suara apa itu rame-rame?" tanya Najwa. 

"Suara apa, Najwa?" sahut Mak Darmani yang sedang membereskan kamar.

Mak Darmani berjalan keluar dari kamar menuju arah pintu samping. Ia menoleh ke kiri dan kanan beberapa kali. "Iya, dari dalam rumah Mbok Sri kayaknya!" ujarnya lagi.

Najwa menutup buku, ikut berdiri di samping Emak. Mendengarkan dengan seksama suara-suara yang terbawa angin. Tidak terdengar bunyi orang membaca kalimat tahlil, atau meng-aminkan doa seperti sebelumnya. 

Rasa penasaran membuat Mak Darmani akan melangkah keluar, "jangan ke sana, Mak. Di sini aja temenin, Najwa!" 

Najwa menarik Emaknya masuk ke dalam rumah lagi. Dengan beralasan dia masih sakit dan Mak Darmani tidak datang bantu-bantu di rumah Mbok Sri hari ini. Sebenarnya Najwa yang melarang emaknya pergi. Jika emak ikut membantu acara tahlil dan Bapaknya menghadiri undangan. Najwa berpikir dia hanya sendiri bersama Ratih, dan Surya di rumah. Dia masih merasa takut dan trauma.

"Ya sudah! Ayo, masuk, Najwa," Mak Darmani seakan-akan mengerti wajah ketakutan dan nada cemas dalam suara anaknya. Mereka melangkah masuk ke dalam rumah lagi, dan Mak Darmani menutup pintu.

Tidak berapa lama terdengar suara langkah kaki mendekat, suara Pak Kuswan mengucap salam lalu membuka pintu. Najwa, Ratih dan Mak Darmani menatap wajah kepala keluarga mereka. 

"Ada apa to Pak? kok, ada suara gaduh dari rumah Mbok Sri?" Mak Darmani langsung bertanya saat suaminya telah duduk di kursi.

Pak Kuswan melepas kopiahnya, mengibaskan ke kiri dan ke kanan beberapa kali. Keringat terlihat menetes di wajahnya. Padahal cuaca tak seberapa gerah malam ini.

"Celaka Mak, tadi ada yang kesurupan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status