Share

Mencari Jati Diri

Author: Planet Zamzan
last update Last Updated: 2025-05-07 12:20:03

Damar berdiri di lorong lantai atas, dihadapkan pada banyak pintu yang berjajar rapi. Ia menghela napas panjang. Sial, ini rumah atau hotel?

Kebingungan menyelimutinya. Ia sama sekali tidak tahu di mana kamarnya. Satu-satunya cara adalah mengeceknya satu per satu.

Damar membuka pintu pertama di sebelah kirinya. Ruangan itu kosong. Tapi ketika ia melangkah masuk, ia menyadari nuansa kamar itu sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Dindingnya berwarna biru gelap dengan beberapa poster mobil balap dan action figure yang tertata rapi di rak. Ada meja belajar dengan buku-buku pelajaran yang tertata, meskipun tampak jarang disentuh.

Ini bukan kamarnya. Sepertinya ini kamar seorang anak laki-laki, tapi Damar tidak melihat tanda-tanda ada penghuni di dalamnya. Ia mengerutkan kening. Siapa pemilik kamar ini?

Tanpa berpikir panjang, ia keluar dan menutup pintu kembali.

Damar mencoba pintu kedua, tapi ternyata terkunci. Ketika ia hendak mencari cara lain untuk membukanya, matanya menangkap sesuatu yang tergantung di pintu. Sebuah papan nama bertuliskan ‘Zizi’ dengan dekorasi warna pink dan tempelan stiker berbentuk hati.

Damar langsung sadar. Oh, ini kamar Zizi. Tanpa berniat mengganggu putrinya lebih lanjut, ia segera melangkah pergi.

Damar membuka pintu ketiga tanpa berpikir panjang. Di dalamnya, seorang wanita sedang duduk di depan meja rias, menghapus makeup-nya. ‘

Wilona menatap Damar melalui cermin dengan tatapan lelah bercampur kesal. “Ada apa?”

Damar tersadar, ini bukan kamarnya. Tapi karena sudah terlanjur masuk, ia mencoba memastikan.

“Bukankah kamarku di sini?” tanyanya hati-hati.

Wilona yang awalnya masih tenang, kini mendongak dengan tatapan penuh amarah.

Ia mendesah panjang, lalu berbalik menatap Damar langsung. “Jangan bilang kau lupa kalau kita sudah tidak sekamar lagi.”

Damar menelan ludah. Oh, jadi mereka tidur terpisah?

Wilona masih menatapnya tajam, seolah menunggu jawaban. Damar mengangguk cepat, berusaha tidak memancing emosi wanita itu lebih jauh. “Maaf, aku agak linglung.”

Tanpa menunggu respons Wilona lagi, ia segera keluar dan menutup pintu.

Damar membuka pintu keempat dengan hati-hati. Begitu masuk, ia langsung merasa ada sesuatu yang berbeda. Ruangan itu terasa sangat dingin dan kosong.

Tidak ada dekorasi yang berlebihan. Hanya ada ranjang king-size berwarna hitam, lemari besar, meja kerja yang tertata rapi, dan rak buku yang nyaris kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Seakan ini kamar tanpa jiwa.

Damar menyipitkan mata. Apa ini kamar hantu?

Tapi begitu melihat beberapa setelan jas tergantung di lemari dan foto dirinya yang terpajang di meja kerja, ia menyadari sesuatu. Ini kamarnya. Ia akhirnya menemukan tempat tidurnya sendiri. Damar menghela napas panjang. Begitu banyak hal yang harus ia pahami… dan ini baru permulaan.

Damar duduk di tepi ranjang, memandangi kamar yang terasa begitu asing. Meskipun ia sudah menemukan tempat tidurnya, rasa janggal masih menyelimuti pikirannya. Ia butuh jawaban. Siapa sebenarnya Arman Wijaya?

Dengan cepat, ia melihat ke arah meja kerja. Di sana, sebuah laptop hitam yang tampak mahal tergeletak rapi. Tanpa ragu, Damar membukanya dan menyalakan perangkat itu. Layar menyala dengan cepat, menampilkan wallpaper hitam polos tanpa foto pribadi.

Damar langsung membuka browser dan mengetikkan nama "Arman Wijaya" di kolom pencarian. Beberapa artikel bisnis dan ekonomi langsung muncul di layar:

"Arman Wijaya: CEO Termuda yang Membawa Wijaya Corp ke Puncak Kejayaan."

"Arman Wijaya, Strategi Bisnis Tanpa Ampun yang Menjadikannya Raja Industri."

"Dari Pewaris Hingga Penguasa: Perjalanan Karier Arman Wijaya."

Damar membaca artikel-artikel itu dengan saksama. Arman dikenal sebagai sosok yang jenius dalam bisnis, tanpa kompromi, dan selalu mengutamakan keuntungan. Ia berhasil mengembangkan Diamond Contruksi menjadi salah satu perusahaan terbesar di negeri ini. Keputusannya selalu tepat, meskipun sering kali dianggap kejam.

Namun, semakin ia mencari informasi lebih dalam, satu hal yang terasa janggal. Tidak ada satupun berita tentang kehidupan pribadi Arman. Tidak ada informasi tentang istri, anak, atau keluarganya.

Damar mengernyit. Seorang pria sekaliber Arman pasti memiliki kehidupan pribadi yang menjadi sorotan media, bukan? Namun, semua yang ia temukan hanya tentang prestasi bisnis dan kejayaan finansialnya.

Seolah-olah kehidupan pribadi Arman benar-benar tertutup rapat. Damar bersandar di kursinya. Jadi, siapa sebenarnya Arman Wijaya? Dan lebih penting lagi, bagaimana Damar bisa terjebak dalam tubuhnya?

Damar menutup laptopnya perlahan. Hatinya semakin gelisah. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia bukan Arman Wijaya. Ia tidak tahu cara menjadi CEO kejam seperti yang digambarkan dalam artikel tadi. Dan yang lebih parah, semua orang di sekitarnya tampak menjaga jarak.

Ia mengingat kembali interaksi sepanjang hari ini. Semua orang terlihat begitu kaku dan menjaga jarak. Tidak ada satu pun yang bisa ia ajak bicara untuk mencari tahu kebenarannya. Bagaimana ia bisa hidup dalam tubuh ini?

Damar mengusap wajahnya dengan lelah. "Apa aku harus tetap berpura-pura jadi Arman?"

Atau

"Apa aku harus mencari cara untuk kembali ke tubuhku yang asli?"

Namun, bahkan jika ia ingin kembali, ia tidak tahu bagaimana caranya. Damar memandang pantulan dirinya di cermin. Yang ia lihat bukan wajahnya sendiri, melainkan sosok asing dengan tatapan tajam dan aura dingin. Itu bukan dirinya. Namun, untuk saat ini, ia tak punya pilihan selain menjalani hidup sebagai Arman Wijaya.

Setelah berganti pakaian, Damar membaringkan tubuhnya di atas kasur besar itu. Namun, beberapa saat setelah terpejam, Damar tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tubuhnya terasa berat, pikirannya penuh dengan kegelisahan, dan di dalam tidurnya, mimpi buruk kembali menghantuinya.

Dalam mimpinya, ia melihat diri sendiri mengendarai motor di malam hari. Hujan turun deras, jalanan basah, dan lampu-lampu kota terlihat berpendar. Lalu, tiba-tiba sebuah truk muncul dari arah berlawanan. Cahaya terang menyilaukan matanya. Bunyi klakson memekakkan telinga. Dentuman keras mengguncang seluruh tubuhnya. Damar merasakan tubuhnya terlempar, melayang di udara sebelum akhirnya, gelap.

Damar tersentak bangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi dahinya. Dadanya naik turun, detak jantungnya berdetak begitu cepat. Ia menyentuh kepalanya, mencoba menenangkan diri. Mimpi itu terasa begitu nyata. Seolah-olah ia baru saja mengalami kecelakaan itu lagi. 

Damar menoleh ke arah jam di meja. 

07:00 pagi.

Ia tersentak. “Aku terlambat ke kampus!”

Refleks, ia segera bangkit dan berjalan cepat ke kamar mandi. Saat melihat bayangan dirinya di cermin, sosok pria asing dengan wajah dingin dan mata tajam menatap balik ke arahnya.

Damar tertegun. Bukan dirinya yang ia lihat di sana. Bukan Damar Pratama, dosen yang bijaksana. Melainkan Arman Wijaya, pria kaya dan kejam yang tidak ia kenal.

Saat itu, kesadaran kembali menghantamnya dengan keras. Ia bukan lagi seorang dosen. Ia bukan lagi Damar Pratama. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Masalah Keamanan

    “Ini harus berjalan sempurna,” suara Damar terdengar tegas, menggetarkan ruangan rapat yang kini lebih hidup. Ruang pertemuan yang dulunya sunyi kini penuh dengan kegelisahan dan semangat. Di meja panjang, timnya duduk, mempersiapkan segalanya untuk proyek baru yang sudah dipersiapkan matang-matang. Damar memimpin rapat dengan ketegasan, matanya yang tajam sesekali melirik ke layar proyektor yang menampilkan diagram dan angka-angka yang menggambarkan proyeksi masa depan perusahaan.Rachel duduk di sebelahnya, memegang sebuah tablet, siap untuk mempresentasikan strategi pemasaran yang telah dirancangnya dengan cermat. Rambutnya yang hitam mengilap tergerai rapi, sementara matanya menunjukkan kepastian dan keteguhan. Damar tahu bahwa Rachel adalah tangan kanannya yang tak tergantikan dalam perjalanan baru mereka. Meskipun banyak yang menganggapnya sebagai istri yang hanya berdiri di samping Damar, Rachel telah membuktikan dirinya lebih dari itu.“Damar,” Rachel memulai dengan suara tena

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Ingatan Masa Lalu

    “Damar, ini dia.” Rachel menggenggam tangan suaminya dengan erat, matanya terfokus pada meja pengadilan di depan mereka. Keheningan menyelimuti ruang sidang, kecuali suara detak jam yang terasa semakin keras di telinga. Semua mata tertuju pada hakim yang duduk dengan wajah serius, memegang palu yang telah siap dipukul. Ini adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu—saat keputusan akhir akan dibacakan.Damar menatap ke depan, namun hatinya terasa berat. Sidang ini sudah berlangsung begitu lama, dan meski kebenaran sudah terungkap, meski segala kebohongan telah dihancurkan, perasaan di dalam dirinya tak semudah itu hilang. Richard Santoso, pria yang telah menghancurkan hidupnya, akhirnya harus menanggung akibat dari semua perbuatannya. Tetapi, meski begitu, ada perasaan campur aduk yang tidak bisa ia pungkiri. Marah, lega, dan sedikit takut—takut akan apa yang akan datang setelah semuanya berakhir.“Saudara-saudara, saatnya untuk menjatuhkan vonis,” suara hakim memecah keheningan. “Richard

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Jangan Khawatir

    “Damar!” Rachel berbisik dengan suara tegang, menggenggam tangan suaminya yang duduk di sebelahnya. Pandangannya tertuju pada pria di kursi terdakwa, Richard Santoso, yang kini duduk dengan wajah pucat, matanya menatap kosong ke depan. Kamar pengadilan dipenuhi suara gemuruh dari wartawan dan penonton yang penasaran, membuat udara terasa semakin sesak. Damar memalingkan wajahnya dari Richard, menatap Rachel dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Kita hampir sampai di sini, Rachel,” bisiknya. “Jangan khawatir.”Namun, meski kata-kata itu terdengar menenangkan, hati Damar tidak bisa begitu saja tenang. Sidang ini, yang telah dinanti-nanti, juga berarti akan menutup babak kelam dalam hidupnya. Ia ingat dengan jelas betapa sakitnya kehilangan begitu banyak karena pria di hadapannya itu. Kehidupan yang hancur, kebohongan yang ditanamkan, dan ancaman yang datang dari Richard yang seakan tidak pernah habis. Sekarang, semua itu harus diakhiri. Di ruangan ini, di bawah tatapan para juri dan hakim

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Detektif

    "Apakah kamu benar-benar siap untuk ini?" suara Detektif Arif terdengar tenang, namun ada ketegangan yang jelas dalam suaranya. Wilona berdiri di depan meja interogasi, tangan gemetar erat menggenggam dokumen yang ia simpan dengan hati-hati. Rasa sesak di dadanya membuatnya sulit bernapas, namun ia tahu tidak ada jalan lain."Aku... aku harus," jawab Wilona dengan suara serak, mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ada di tangannya ke detektif yang menatapnya serius. "Ini satu-satunya cara agar semuanya berakhir."Detektif Arif mengangguk pelan, memberi isyarat agar Wilona duduk. Namun, wanita itu tetap berdiri, menatap dokumen di tangannya seolah itu adalah benda yang bisa mengubah hidupnya. Begitu banyak waktu yang ia habiskan untuk menyembunyikan segalanya. Selama ini ia pikir dia melindungi dirinya sendiri dengan mengikuti setiap perintah Richard, tapi sekarang, setelah semuanya terbongkar, ia tahu betapa naifnya ia."Jadi, Richard Santoso yang selama ini kamu ikuti, itu benar

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Berhenti

    "Terbang, terbang sekarang juga!" Richard hampir berteriak, matanya liar, pandangannya gelisah, saat pilot di depan ruang kokpit pesawat pribadi sibuk dengan prosedur lepas landas. Wajah Richard terlihat pucat, lebih pucat dari biasanya. Ia menekan tombol di tangan, menunggu detik-detik yang penuh ketegangan. Sekelilingnya terasa sesak. Pandangannya jatuh pada dokumen yang tergeletak di meja kecil di sampingnya—berisi rincian transaksi ilegal yang akan membawa banyak orang ke dalam masalah besar.Namun, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan itu. Dia harus pergi. Harus keluar dari negara ini. Tidak ada lagi tempat yang aman baginya di tanah ini, tidak lagi setelah semua bukti itu tersebar di media. Damar dan Rachel sudah melakukannya. Mereka berhasil menggulingkan reputasinya, dan ia merasa dunia runtuh di sekelilingnya."Pulang, dan semuanya beres," Richard bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri. "Aku akan memulai hidup baru. Pindah ke tempat yang tidak ada hukum,

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Apa Yang Terjadi?

    "Wilona, jawab telepon ini!" Damar hampir berteriak, matanya menatap ponsel yang tak kunjung memberi tanda apa pun selain suara detakan jantungnya yang semakin cepat. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Rachel duduk di sampingnya, wajahnya penuh kecemasan. Mereka tahu, jika Wilona memang menghubungi mereka, itu berarti ada sesuatu yang sangat penting—dan mereka harus segera datang."Kenapa nggak nyambung?" Rachel bertanya dengan nada gugup. “Apa yang terjadi? Dia nggak bisa sampai dalam keadaan bahaya lagi, Damar. Kamu harus cepat!”Damar mengarahkan mobil dengan kecepatan tinggi, melintasi jalan-jalan kota yang gelap. Hatinya berdebar, tubuhnya menegang. Wilona sudah terlalu lama terperangkap dalam kekacauan ini, dan jika mereka terlambat… Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang terus membuncah. Mereka tidak punya banyak waktu.Akhirnya, ponsel Damar berdering. Wilona. Ia langsung menjawab tanpa ragu.“Damar… cepat ke sini,” suara Wilona terdengar terengah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status