Home / Romansa / Kembalinya Hasrat Sang CEO / Kehidupan Yang Tak Dikenal

Share

Kehidupan Yang Tak Dikenal

Author: Planet Zamzan
last update Last Updated: 2025-06-04 05:06:57

Pagi itu, Damar akhirnya menerima kenyataan. Ia bukan lagi seorang dosen yang santai. Kini, ia adalah Arman Wijaya, seorang CEO besar dengan kehidupan yang tampaknya dipenuhi ketegangan. Setelah bersiap dengan setelan jas yang sudah tergantung di lemari, Damar berjalan keluar kamar, saat ia tiba di depan kamar Wilona yang sedikit terbuka, ia melihat Wilona sedang bersiap-siap.

Wilona tampil elegan seperti biasa, mengenakan gaun berwarna krem yang anggun dengan perhiasan berkilauan. Damar teringat sesuatu.

Tadi malam, saat mencari informasi tentang Arman di internet, ia menemukan bahwa Wilona bukan hanya seorang istri. Ia adalah pemilik toko perhiasan antik terkenal. Ia memiliki jaringan bisnis yang cukup luas di kalangan sosialita. Toko miliknya termasuk butik perhiasan eksklusif yang hanya menerima pelanggan kelas atas.

Mengingat informasi itu, Damar menyapa Wilona dengan hangat.

“Selamat pagi. Jadi, kamu mau berangkat ke butik hari ini?”

Wilona yang sedang memakai anting langsung berhenti dan menatapnya tajam. Sorot matanya penuh curiga. Arman yang asli tidak pernah menanyakan kegiatannya. Arman tidak pernah berbicara dengan nada hangat seperti itu.

Setelah beberapa detik diam, Wilona hanya mendengus pelan dan mengambil tasnya tanpa menjawab. Damar menghela napas. Jelas sekali, hubungan Arman dan Wilona jauh dari kata harmonis. Mereka pun turun bersama.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Zizi turun dengan santai, mengenakan seragam sekolah dengan rok yang lagi-lagi terlalu pendek di mata Damar.

Begitu melihatnya, Damar spontan berkata, “Zizi, kenapa roknya pendek sekali?”

Zizi berdecak kesal.

Sementara itu, Wilona menoleh dan menatap Damar dengan tajam.

“Jangan ikut campur soal anak. Aku yang mengurusnya,” katanya dingin.

Damar terdiam. Wilona lalu berjalan ke luar, diikuti oleh Zizi yang menatap Damar dengan tatapan kesal sebelum pergi.

Damar hanya bisa mendesah panjang. Kehidupan macam apa yang dijalani Arman Wijaya ini?

Tak lama setelah Wilona dan Zizi pergi dengan sopir mereka, sebuah mobil mewah sudah menunggu di depan rumah. Sopir Arman dengan sigap membukakan pintu untuknya. Damar masuk ke dalam mobil, memandang kosong ke luar jendela.

Di dalam hatinya, ia hanya bisa bertanya,“Bagaimana aku bisa menjalani hidup sebagai Arman Wijaya?”

Mobil pun melaju, meninggalkan rumah megah itu di belakang.

Damar tiba di kantor dengan perasaan campur aduk. Ia masih tidak terbiasa dengan perlakuan orang-orang di sekitarnya. Sikap mereka begitu hormat, bahkan terasa seperti ketakutan.

Begitu ia melangkah masuk, sekretarisnya, Karina, segera menghampiri.

“Selamat pagi, Pak. Rapat direksi akan dimulai sebentar lagi,” katanya dengan nada profesional.

Damar hanya mengangguk dan mengikuti Karina menuju ruang rapat. Saat ia masuk ke ruang rapat, semua orang langsung berdiri dan memberi hormat. Damar berusaha tetap tenang, lalu berjalan ke kursinya di ujung meja panjang. Rapat pun dimulai, membahas berbagai proyek baru yang dikerjakan oleh perusahaan.

Direktur proyek mulai memaparkan rencana pengadaan material untuk proyek gedung perkantoran baru. Namun, saat angka-angka anggaran ditampilkan di layar, Damar mengernyit. Angka itu terlalu tinggi. Ia mungkin seorang dosen sebelumnya, tetapi ia juga pernah mengerjakan proyek penelitian tentang bahan bangunan.

Dan dari pengalamannya, harga bahan yang diajukan tidak masuk akal. Damar awalnya berpura-pura tidak peduli, ingin tetap bertindak seperti Arman biasanya. Namun, lama-kelamaan ia tidak tahan juga.

“Tunggu sebentar.”

Semua orang langsung terdiam.

Damar menatap angka-angka di layar dan berkata, “Kenapa harga bahan ini jauh lebih tinggi dari harga pasar?”

Ruangan mendadak sunyi. Para eksekutif yang hadir saling bertukar pandang.

Seorang manajer proyek gugup menjawab, “Itu… harga yang sudah disepakati dengan vendor, Pak.”

Damar menyipitkan mata. "Sejak kapan kita membayar dua kali lipat harga pasar?"

Kali ini, para direksi benar-benar terkejut. Karena biasanya, Arman Wijaya tidak pernah memperhatikan detail seperti ini. Ia hanya fokus pada hasil akhir dan keuntungan, bukan proses di dalamnya. Namun, hari ini, Arman tampak berbeda.

Damar mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja.

“Saya ingin laporan keuangan detail tentang proyek ini,” katanya dengan tegas.

Ia menatap ke arah direktur keuangan. “Kapan bisa saya terima?”

Direktur keuangan yang awalnya tampak santai kini tampak gelisah.

“Saya… saya akan menyiapkannya secepat mungkin, Pak.”

Damar berdiri dari kursinya.

“Saya harap laporan itu sudah ada di meja saya sore ini.”

Tanpa menunggu jawaban, ia langsung keluar dari ruang rapat. Semua orang hanya bisa terdiam melihat perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Arman Wijaya yang selama ini dikenal dingin dan masa bodoh, kini justru mulai mempertanyakan sesuatu yang seharusnya bukan urusannya.

Setelah meninggalkan ruang rapat, Damar melangkah menuju ruangannya dengan pikiran penuh tanda tanya. Anggaran proyek yang tidak masuk akal, ekspresi gelisah para direksi, dan reaksi Karina saat rapat tadi membuatnya semakin curiga. Saat ia duduk di kursi CEO yang mewah itu, pintu ruangannya diketuk.

"Masuk," katanya singkat.

Karina melangkah masuk, membawa setumpuk dokumen di tangannya.

“Ini dokumen yang perlu Anda tandatangani, Pak,” katanya sambil meletakkannya di atas meja.

Damar hanya mengangguk tanpa banyak bicara dan mulai melihat dokumen tersebut. Namun, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu di atas meja. Sebuah botol kecil transparan dengan label yang sudah sedikit memudar.

Damar mengenali botol itu. Botol yang persis sama seperti yang ia lihat kemarin saat pertama kali terbangun di tubuh Arman.

Tanpa berpikir panjang, ia bertanya, “Karina, ini botol apa?”

Karina yang sedang bersiap untuk pergi tiba-tiba terdiam.

Sekilas, ekspresi gugup muncul di wajahnya sebelum ia menjawab dengan cepat, “Itu obat yang selalu Bapak minum setiap pagi.”

Damar mengernyit. “Obat apa?”

Karina tersenyum tipis. “Suplemen, Pak. Untuk menjaga kesehatan Anda.”

Damar menatap botol itu dengan bingung. Ia bukan tipe orang yang terlalu peduli dengan suplemen, tetapi jika Arman memang mengonsumsinya setiap hari, mungkin itu memang sudah kebiasaannya.

Karina melihatnya tanpa ekspresi, lalu berkata, “Kalau tidak ada yang lain, saya akan kembali ke meja saya.”

Damar mengangguk sambil tetap menatap botol itu.

Setelah Karina keluar, Damar membuka tutup botol dan menuangkan satu pil ke telapak tangannya.

“Suplemen, ya?” gumamnya.

Ia hampir memnium obat itu ke mulutnya saat tiba-tiba teleponnya berdering. Damar terkejut, tangannya refleks bergerak dan tanpa sengaja menjatuhkan botol suplemen itu.

Damar mendecak kesal, lalu meraih ponselnya Saat ia melihat layar, dahinya mengerut. Panggilan dari polisi.

"Siapa yang menelpon pagi-pagi begini?" gumamnya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat.

Dengan sedikit ragu, ia mengangkat telepon itu.

"Halo?"

Suara di ujung telepon terdengar serius.

"Tuan Arman Wijaya?"

Damar menelan ludah.

"Ya, saya sendiri."

“Saya dari kantor kepolisian, anak anda yang bernama Zicho kini berada di kantor polisi karena terciduk bersama dengan geng motor lainnya.”

Damar terkejut, dan hampir kehilangan keseimbangannya. Ada apa lagi ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Informasi Yang Mengejutkan

    Rachel, wanita yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya kini ada dihadapannya. Namun, mengapa dia ada di sini?Wanita itu seolah sadar sedang diperhatikan. Perlahan, ia menoleh ke arah Damar, dan untuk sesaat mata mereka bertemu. Bibirnya sedikit melengkung, bukan dalam senyum ramah, tetapi lebih seperti ekspresi penuh arti, seolah menyimpan rahasia yang hanya dia yang tahu.Damar masih terdiam, pikirannya berputar cepat mencoba memahami situasi ini. Apakah dia benar-benar nyata? Ataukah ini hanya ilusi karena pikirannya masih kacau setelah semua yang terjadi?Damar masih memandang Rachel dengan tatapan tak percaya. Wanita itu, yang dulu ia kenal sebagai sosok sederhana dan penuh kesopanan, kini berdiri di depannya dengan senyum genit dan penuh percaya diri.“Tuan Arman Wijaya,” suara Rachel terdengar manis namun mengandung nada menggoda. “Sudah lama sekali kita tak bertemu.”Damar sedikit tersentak. Bukan hanya karena kemunculannya yang tiba-tiba, tetapi juga karena caranya berbicar

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Bayangan Masalalu

    Malam itu, Damar sudah berdandan dengan setelan jas rapi berwarna hitam yang telah disiapkan oleh para pelayan. Kemejanya berwarna putih dengan dasi kupu-kupu yang terpasang sempurna di lehernya. Namun, butuh waktu lama bagi Damar untuk akhirnya bisa mengenakan dasi itu dengan benar. Ia sama sekali tidak terbiasa memakainya, dan sempat kesulitan hingga akhirnya salah satu pelayan membantunya.Saat keluar dari kamar, ia melihat Wilona, Zizi, dan Zicho yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Ketiganya tampak elegan dalam pakaian resmi. Wilona mengenakan gaun hitam panjang yang berkilauan dengan aksesoris berlian yang mencerminkan status sosialnya. Zizi dengan gaun merah marun pendek yang anggun, sementara Zicho mengenakan jas biru tua dengan wajah bosan.Wilona mendengus begitu melihat Damar mendekat. “Kau butuh waktu lama sekali. Kita hampir terlambat,” katanya dengan nada ketus.Damar hanya bisa menghela napas dalam hati. Ia memang membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya karena ke

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Pertengkaran Kecil

    Damar melangkah mendekati Wilona yang masih duduk tenang di sofa. Wanita itu terlihat anggun seperti biasanya, dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Cangkir teh di tangannya tampak berembun, menandakan bahwa isinya masih hangat.Tanpa ragu, Damar berdiri di hadapannya. “Aku ingin bicara.”Wilona meliriknya sekilas, lalu mengangkat alis. “Tentang apa?”Damar menarik napas dalam, berusaha menekan emosi yang masih bergejolak dalam dadanya. “Tentang anak-anak kita.”Wilona menaruh cangkirnya di meja kecil di sampingnya. “Apa lagi sekarang?”Damar melipat tangan di depan dada. “Sebenarnya, bagaimana caramu mendidik mereka? Kenapa tidak ada satu pun yang memiliki sopan santun dan sikap yang baik?”Wilona terkekeh kecil, tapi nada tawanya terdengar penuh sindiran. “Maksudmu, kenapa mereka tidak seperti anak-anak keluarga harmonis di film-film? Kenapa mereka tidak bersikap manis dan memanggil ‘Papa’ dengan penuh kasih sayang?”Damar mengerutkan kening. “Aku serius, Wilona.”Wilona menghel

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Sifat Yang Sulit Dirubah

    Damar melangkah keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Kantor polisi itu tampak ramai, dengan berbagai orang berlalu-lalang, sebagian besar tampak bermasalah. Saat ia masuk, tatapan tajam beberapa petugas langsung mengarah padanya, mungkin karena penampilannya yang sangat berbeda dari kebanyakan orang di sana.Di sudut ruangan, ia melihat sekumpulan anak-anak dengan wajah babak belur dan pakaian lusuh. Mereka duduk di bangku panjang, beberapa menunduk, sementara yang lain bersikap seolah tidak peduli. Seorang polisi menghampiri Damar dengan ekspresi penuh selidik."Anda siapa?" tanya polisi itu.Damar hendak menjawab, "Saya Damar Pratam-" namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Kesadarannya kembali. Itu bukan namanya lagi. Ia mengoreksi diri."Saya Arman Wijaya," katanya.Polisi itu mengangguk, lalu menunjuk seorang anak laki-laki yang duduk terpisah dari yang lain. Anak itu tampak lebih muda, dengan wajah keras yang berusaha menyembunyikan sesuatu."Itu anak Anda, Zic

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Kehidupan Yang Tak Dikenal

    Pagi itu, Damar akhirnya menerima kenyataan. Ia bukan lagi seorang dosen yang santai. Kini, ia adalah Arman Wijaya, seorang CEO besar dengan kehidupan yang tampaknya dipenuhi ketegangan. Setelah bersiap dengan setelan jas yang sudah tergantung di lemari, Damar berjalan keluar kamar, saat ia tiba di depan kamar Wilona yang sedikit terbuka, ia melihat Wilona sedang bersiap-siap.Wilona tampil elegan seperti biasa, mengenakan gaun berwarna krem yang anggun dengan perhiasan berkilauan. Damar teringat sesuatu.Tadi malam, saat mencari informasi tentang Arman di internet, ia menemukan bahwa Wilona bukan hanya seorang istri. Ia adalah pemilik toko perhiasan antik terkenal. Ia memiliki jaringan bisnis yang cukup luas di kalangan sosialita. Toko miliknya termasuk butik perhiasan eksklusif yang hanya menerima pelanggan kelas atas.Mengingat informasi itu, Damar menyapa Wilona dengan hangat.“Selamat pagi. Jadi, kamu mau berangkat ke butik hari ini?”Wilona yang sedang memakai anting langsung be

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Mencari Jati Diri

    Damar berdiri di lorong lantai atas, dihadapkan pada banyak pintu yang berjajar rapi. Ia menghela napas panjang. Sial, ini rumah atau hotel?Kebingungan menyelimutinya. Ia sama sekali tidak tahu di mana kamarnya. Satu-satunya cara adalah mengeceknya satu per satu.Damar membuka pintu pertama di sebelah kirinya. Ruangan itu kosong. Tapi ketika ia melangkah masuk, ia menyadari nuansa kamar itu sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Dindingnya berwarna biru gelap dengan beberapa poster mobil balap dan action figure yang tertata rapi di rak. Ada meja belajar dengan buku-buku pelajaran yang tertata, meskipun tampak jarang disentuh.Ini bukan kamarnya. Sepertinya ini kamar seorang anak laki-laki, tapi Damar tidak melihat tanda-tanda ada penghuni di dalamnya. Ia mengerutkan kening. Siapa pemilik kamar ini?Tanpa berpikir panjang, ia keluar dan menutup pintu kembali.Damar mencoba pintu kedua, tapi ternyata terkunci. Ketika ia hendak mencari cara lain untuk membukanya, matanya menangkap sesua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status