Pagi itu, Damar akhirnya menerima kenyataan. Ia bukan lagi seorang dosen yang santai. Kini, ia adalah Arman Wijaya, seorang CEO besar dengan kehidupan yang tampaknya dipenuhi ketegangan. Setelah bersiap dengan setelan jas yang sudah tergantung di lemari, Damar berjalan keluar kamar, saat ia tiba di depan kamar Wilona yang sedikit terbuka, ia melihat Wilona sedang bersiap-siap.
Wilona tampil elegan seperti biasa, mengenakan gaun berwarna krem yang anggun dengan perhiasan berkilauan. Damar teringat sesuatu.
Tadi malam, saat mencari informasi tentang Arman di internet, ia menemukan bahwa Wilona bukan hanya seorang istri. Ia adalah pemilik toko perhiasan antik terkenal. Ia memiliki jaringan bisnis yang cukup luas di kalangan sosialita. Toko miliknya termasuk butik perhiasan eksklusif yang hanya menerima pelanggan kelas atas.
Mengingat informasi itu, Damar menyapa Wilona dengan hangat.
“Selamat pagi. Jadi, kamu mau berangkat ke butik hari ini?”
Wilona yang sedang memakai anting langsung berhenti dan menatapnya tajam. Sorot matanya penuh curiga. Arman yang asli tidak pernah menanyakan kegiatannya. Arman tidak pernah berbicara dengan nada hangat seperti itu.
Setelah beberapa detik diam, Wilona hanya mendengus pelan dan mengambil tasnya tanpa menjawab. Damar menghela napas. Jelas sekali, hubungan Arman dan Wilona jauh dari kata harmonis. Mereka pun turun bersama.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Zizi turun dengan santai, mengenakan seragam sekolah dengan rok yang lagi-lagi terlalu pendek di mata Damar.
Begitu melihatnya, Damar spontan berkata, “Zizi, kenapa roknya pendek sekali?”
Zizi berdecak kesal.
Sementara itu, Wilona menoleh dan menatap Damar dengan tajam.
“Jangan ikut campur soal anak. Aku yang mengurusnya,” katanya dingin.
Damar terdiam. Wilona lalu berjalan ke luar, diikuti oleh Zizi yang menatap Damar dengan tatapan kesal sebelum pergi.
Damar hanya bisa mendesah panjang. Kehidupan macam apa yang dijalani Arman Wijaya ini?
Tak lama setelah Wilona dan Zizi pergi dengan sopir mereka, sebuah mobil mewah sudah menunggu di depan rumah. Sopir Arman dengan sigap membukakan pintu untuknya. Damar masuk ke dalam mobil, memandang kosong ke luar jendela.
Di dalam hatinya, ia hanya bisa bertanya,“Bagaimana aku bisa menjalani hidup sebagai Arman Wijaya?”
Mobil pun melaju, meninggalkan rumah megah itu di belakang.
Damar tiba di kantor dengan perasaan campur aduk. Ia masih tidak terbiasa dengan perlakuan orang-orang di sekitarnya. Sikap mereka begitu hormat, bahkan terasa seperti ketakutan.
Begitu ia melangkah masuk, sekretarisnya, Karina, segera menghampiri.
“Selamat pagi, Pak. Rapat direksi akan dimulai sebentar lagi,” katanya dengan nada profesional.
Damar hanya mengangguk dan mengikuti Karina menuju ruang rapat. Saat ia masuk ke ruang rapat, semua orang langsung berdiri dan memberi hormat. Damar berusaha tetap tenang, lalu berjalan ke kursinya di ujung meja panjang. Rapat pun dimulai, membahas berbagai proyek baru yang dikerjakan oleh perusahaan.
Direktur proyek mulai memaparkan rencana pengadaan material untuk proyek gedung perkantoran baru. Namun, saat angka-angka anggaran ditampilkan di layar, Damar mengernyit. Angka itu terlalu tinggi. Ia mungkin seorang dosen sebelumnya, tetapi ia juga pernah mengerjakan proyek penelitian tentang bahan bangunan.
Dan dari pengalamannya, harga bahan yang diajukan tidak masuk akal. Damar awalnya berpura-pura tidak peduli, ingin tetap bertindak seperti Arman biasanya. Namun, lama-kelamaan ia tidak tahan juga.
“Tunggu sebentar.”
Semua orang langsung terdiam.
Damar menatap angka-angka di layar dan berkata, “Kenapa harga bahan ini jauh lebih tinggi dari harga pasar?”
Ruangan mendadak sunyi. Para eksekutif yang hadir saling bertukar pandang.
Seorang manajer proyek gugup menjawab, “Itu… harga yang sudah disepakati dengan vendor, Pak.”
Damar menyipitkan mata. "Sejak kapan kita membayar dua kali lipat harga pasar?"
Kali ini, para direksi benar-benar terkejut. Karena biasanya, Arman Wijaya tidak pernah memperhatikan detail seperti ini. Ia hanya fokus pada hasil akhir dan keuntungan, bukan proses di dalamnya. Namun, hari ini, Arman tampak berbeda.
Damar mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja.
“Saya ingin laporan keuangan detail tentang proyek ini,” katanya dengan tegas.
Ia menatap ke arah direktur keuangan. “Kapan bisa saya terima?”
Direktur keuangan yang awalnya tampak santai kini tampak gelisah.
“Saya… saya akan menyiapkannya secepat mungkin, Pak.”
Damar berdiri dari kursinya.
“Saya harap laporan itu sudah ada di meja saya sore ini.”
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung keluar dari ruang rapat. Semua orang hanya bisa terdiam melihat perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Arman Wijaya yang selama ini dikenal dingin dan masa bodoh, kini justru mulai mempertanyakan sesuatu yang seharusnya bukan urusannya.
Setelah meninggalkan ruang rapat, Damar melangkah menuju ruangannya dengan pikiran penuh tanda tanya. Anggaran proyek yang tidak masuk akal, ekspresi gelisah para direksi, dan reaksi Karina saat rapat tadi membuatnya semakin curiga. Saat ia duduk di kursi CEO yang mewah itu, pintu ruangannya diketuk.
"Masuk," katanya singkat.
Karina melangkah masuk, membawa setumpuk dokumen di tangannya.
“Ini dokumen yang perlu Anda tandatangani, Pak,” katanya sambil meletakkannya di atas meja.
Damar hanya mengangguk tanpa banyak bicara dan mulai melihat dokumen tersebut. Namun, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu di atas meja. Sebuah botol kecil transparan dengan label yang sudah sedikit memudar.
Damar mengenali botol itu. Botol yang persis sama seperti yang ia lihat kemarin saat pertama kali terbangun di tubuh Arman.
Tanpa berpikir panjang, ia bertanya, “Karina, ini botol apa?”
Karina yang sedang bersiap untuk pergi tiba-tiba terdiam.
Sekilas, ekspresi gugup muncul di wajahnya sebelum ia menjawab dengan cepat, “Itu obat yang selalu Bapak minum setiap pagi.”
Damar mengernyit. “Obat apa?”
Karina tersenyum tipis. “Suplemen, Pak. Untuk menjaga kesehatan Anda.”
Damar menatap botol itu dengan bingung. Ia bukan tipe orang yang terlalu peduli dengan suplemen, tetapi jika Arman memang mengonsumsinya setiap hari, mungkin itu memang sudah kebiasaannya.
Karina melihatnya tanpa ekspresi, lalu berkata, “Kalau tidak ada yang lain, saya akan kembali ke meja saya.”
Damar mengangguk sambil tetap menatap botol itu.
Setelah Karina keluar, Damar membuka tutup botol dan menuangkan satu pil ke telapak tangannya.
“Suplemen, ya?” gumamnya.
Ia hampir memnium obat itu ke mulutnya saat tiba-tiba teleponnya berdering. Damar terkejut, tangannya refleks bergerak dan tanpa sengaja menjatuhkan botol suplemen itu.
Damar mendecak kesal, lalu meraih ponselnya Saat ia melihat layar, dahinya mengerut. Panggilan dari polisi.
"Siapa yang menelpon pagi-pagi begini?" gumamnya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Dengan sedikit ragu, ia mengangkat telepon itu.
"Halo?"
Suara di ujung telepon terdengar serius.
"Tuan Arman Wijaya?"
Damar menelan ludah.
"Ya, saya sendiri."
“Saya dari kantor kepolisian, anak anda yang bernama Zicho kini berada di kantor polisi karena terciduk bersama dengan geng motor lainnya.”
Damar terkejut, dan hampir kehilangan keseimbangannya. Ada apa lagi ini?
“Ini harus berjalan sempurna,” suara Damar terdengar tegas, menggetarkan ruangan rapat yang kini lebih hidup. Ruang pertemuan yang dulunya sunyi kini penuh dengan kegelisahan dan semangat. Di meja panjang, timnya duduk, mempersiapkan segalanya untuk proyek baru yang sudah dipersiapkan matang-matang. Damar memimpin rapat dengan ketegasan, matanya yang tajam sesekali melirik ke layar proyektor yang menampilkan diagram dan angka-angka yang menggambarkan proyeksi masa depan perusahaan.Rachel duduk di sebelahnya, memegang sebuah tablet, siap untuk mempresentasikan strategi pemasaran yang telah dirancangnya dengan cermat. Rambutnya yang hitam mengilap tergerai rapi, sementara matanya menunjukkan kepastian dan keteguhan. Damar tahu bahwa Rachel adalah tangan kanannya yang tak tergantikan dalam perjalanan baru mereka. Meskipun banyak yang menganggapnya sebagai istri yang hanya berdiri di samping Damar, Rachel telah membuktikan dirinya lebih dari itu.“Damar,” Rachel memulai dengan suara tena
“Damar, ini dia.” Rachel menggenggam tangan suaminya dengan erat, matanya terfokus pada meja pengadilan di depan mereka. Keheningan menyelimuti ruang sidang, kecuali suara detak jam yang terasa semakin keras di telinga. Semua mata tertuju pada hakim yang duduk dengan wajah serius, memegang palu yang telah siap dipukul. Ini adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu—saat keputusan akhir akan dibacakan.Damar menatap ke depan, namun hatinya terasa berat. Sidang ini sudah berlangsung begitu lama, dan meski kebenaran sudah terungkap, meski segala kebohongan telah dihancurkan, perasaan di dalam dirinya tak semudah itu hilang. Richard Santoso, pria yang telah menghancurkan hidupnya, akhirnya harus menanggung akibat dari semua perbuatannya. Tetapi, meski begitu, ada perasaan campur aduk yang tidak bisa ia pungkiri. Marah, lega, dan sedikit takut—takut akan apa yang akan datang setelah semuanya berakhir.“Saudara-saudara, saatnya untuk menjatuhkan vonis,” suara hakim memecah keheningan. “Richard
“Damar!” Rachel berbisik dengan suara tegang, menggenggam tangan suaminya yang duduk di sebelahnya. Pandangannya tertuju pada pria di kursi terdakwa, Richard Santoso, yang kini duduk dengan wajah pucat, matanya menatap kosong ke depan. Kamar pengadilan dipenuhi suara gemuruh dari wartawan dan penonton yang penasaran, membuat udara terasa semakin sesak. Damar memalingkan wajahnya dari Richard, menatap Rachel dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Kita hampir sampai di sini, Rachel,” bisiknya. “Jangan khawatir.”Namun, meski kata-kata itu terdengar menenangkan, hati Damar tidak bisa begitu saja tenang. Sidang ini, yang telah dinanti-nanti, juga berarti akan menutup babak kelam dalam hidupnya. Ia ingat dengan jelas betapa sakitnya kehilangan begitu banyak karena pria di hadapannya itu. Kehidupan yang hancur, kebohongan yang ditanamkan, dan ancaman yang datang dari Richard yang seakan tidak pernah habis. Sekarang, semua itu harus diakhiri. Di ruangan ini, di bawah tatapan para juri dan hakim
"Apakah kamu benar-benar siap untuk ini?" suara Detektif Arif terdengar tenang, namun ada ketegangan yang jelas dalam suaranya. Wilona berdiri di depan meja interogasi, tangan gemetar erat menggenggam dokumen yang ia simpan dengan hati-hati. Rasa sesak di dadanya membuatnya sulit bernapas, namun ia tahu tidak ada jalan lain."Aku... aku harus," jawab Wilona dengan suara serak, mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ada di tangannya ke detektif yang menatapnya serius. "Ini satu-satunya cara agar semuanya berakhir."Detektif Arif mengangguk pelan, memberi isyarat agar Wilona duduk. Namun, wanita itu tetap berdiri, menatap dokumen di tangannya seolah itu adalah benda yang bisa mengubah hidupnya. Begitu banyak waktu yang ia habiskan untuk menyembunyikan segalanya. Selama ini ia pikir dia melindungi dirinya sendiri dengan mengikuti setiap perintah Richard, tapi sekarang, setelah semuanya terbongkar, ia tahu betapa naifnya ia."Jadi, Richard Santoso yang selama ini kamu ikuti, itu benar
"Terbang, terbang sekarang juga!" Richard hampir berteriak, matanya liar, pandangannya gelisah, saat pilot di depan ruang kokpit pesawat pribadi sibuk dengan prosedur lepas landas. Wajah Richard terlihat pucat, lebih pucat dari biasanya. Ia menekan tombol di tangan, menunggu detik-detik yang penuh ketegangan. Sekelilingnya terasa sesak. Pandangannya jatuh pada dokumen yang tergeletak di meja kecil di sampingnya—berisi rincian transaksi ilegal yang akan membawa banyak orang ke dalam masalah besar.Namun, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan itu. Dia harus pergi. Harus keluar dari negara ini. Tidak ada lagi tempat yang aman baginya di tanah ini, tidak lagi setelah semua bukti itu tersebar di media. Damar dan Rachel sudah melakukannya. Mereka berhasil menggulingkan reputasinya, dan ia merasa dunia runtuh di sekelilingnya."Pulang, dan semuanya beres," Richard bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri. "Aku akan memulai hidup baru. Pindah ke tempat yang tidak ada hukum,
"Wilona, jawab telepon ini!" Damar hampir berteriak, matanya menatap ponsel yang tak kunjung memberi tanda apa pun selain suara detakan jantungnya yang semakin cepat. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Rachel duduk di sampingnya, wajahnya penuh kecemasan. Mereka tahu, jika Wilona memang menghubungi mereka, itu berarti ada sesuatu yang sangat penting—dan mereka harus segera datang."Kenapa nggak nyambung?" Rachel bertanya dengan nada gugup. “Apa yang terjadi? Dia nggak bisa sampai dalam keadaan bahaya lagi, Damar. Kamu harus cepat!”Damar mengarahkan mobil dengan kecepatan tinggi, melintasi jalan-jalan kota yang gelap. Hatinya berdebar, tubuhnya menegang. Wilona sudah terlalu lama terperangkap dalam kekacauan ini, dan jika mereka terlambat… Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang terus membuncah. Mereka tidak punya banyak waktu.Akhirnya, ponsel Damar berdering. Wilona. Ia langsung menjawab tanpa ragu.“Damar… cepat ke sini,” suara Wilona terdengar terengah