Share

Bab 4

Empat tahun kemudian.

Seorang pria berpakaian mewah datang mendekatinya dan menimpa tubuhnya.

Pakaiannya dirobek dan setiap inci tubuhnya diraba dengan lancang oleh pria itu, sementara dirinya tidak bisa mencegahnya sedikit pun ....

Dia sangat ingin melihat wajah pria itu, namun wajah pria itu tidak jelas di dalam ruangan yang remang-remang tersebut. DIa hanya bisa melihat sepasang mata. Sepasang mata yang tajam seperti elang, yang meskipun mereka sedang melakukan hal yang sangat intim, sama sekali tidak terlihat goyah.

Tatapan itu membuat Rachel kaget.

Detak jantungnya tiba-tiba seolah berhenti berdetak, dan kemudian, dia membuka matanya tiba-tiba.

"Ma, Mama mimpi buruk?" Sebuah suara lembut terdengar di telinganya.

Rachel kaget saat menyadari dia bermimpi seperti itu di pesawat.

Dia memimpikan apa yang terjadi pada malam ulang tahunnya yang kedelapan belas lima tahun lalu, ketika dia dijebak oleh Shania ....

Setelah bertahun-tahun, dia sudah mengikhlaskan kejadian itu. Dia benar-benar tidak tahu mengapa dia masih memimpikan pria itu ...

Dia menatap mata putranya yang polos dan jadi merasa sedikit malu, “Mama baik-baik saja, cuma agak capek karena penerbangannya panjang.”

Michael menuangkan segelas air hangat dan menyodorkannya ke Rachel, “Mama, minum air dulu biar lebih enakan.”

Setelah itu, dia mengambil sebuah bantal empuk dan meletakkannya di belakang punggung Rachel, “Begini akan lebih nyaman.”

Hati Rachel seperti meleleh. Dia mencium wajah putranya dan berkata, “Michael, Mama paling beruntung bisa memiliki kalian berdua.”

Dia memandangi gadis kecil yang sedang duduk dan tertidur damai di sisi lain, dengan senyuman puas di wajahnya.

Empat tahun lalu, dia mati-matian melarikan diri dari kebakaran itu dan akhirnya bertahan hidup.

Saat itu, kedua anaknya ini lahir prematur dan berada dalam kondisi kritis. Pihak rumah sakit beberapa kali mengeluarkan pemberitahuan bahwa kondisi mereka kritis.

Fisik Michael lebih kuat, sehingga kondisinya lebih baik, tapi dokter malah menyerah untuk mengobati Michelle.

Dia tidak punya pilihan lain selain membawa anaknya itu ke luar negeri untuk berobat.

Kemudian, nyawa Michelle pun terselamatkan. Namun, dia .....

Ketika Rachel berpikir sampai di sini, gadis kecil itu membuka matanya.

Matanya sangat indah, hitam dan berbinar cerah, seperti bintang di malam hari.

Namun, kalau dilihat lebih dekat, sepasang mata itu membuat putrinya terlihat tidak bertenaga.

Rachel mendorong penyesalan yang dia rasakan kembali masuk ke dalam hati, lalu tersenyum lembut dan berkata, “Michelle, kamu sudah bangun. Kamu mau minum susu atau air putih?”

Namun, tidak ada tanggapan.

Gadis kecil itu menatap kosong ke awan putih di luar jendela pesawat, dengan ketidakpedulian yang biasa terlihat di wajahnya.

Rahel mengerucutkan bibirnya.

Autisme Michelle semakin parah.

Ini juga merupakan salah satu alasan mengapa dia tiba-tiba memilih untuk kembali ke Indonesia.

“Michelle, aku membuatkan susu untukmu. Ayo, pegang dan minum dengan cara seperti ini. Benar, jangan sampai mengotori bajumu.”

Michael menyodorkan susu ke Michelle, dengan sangat sabar mengajari adiknya untuk minum susu. Meski tidak ada jawaban, dia terus berbicara.

Rachel mengelus kepala putranya.

Keberuntungan terbesar dalam hidup adalah memiliki putra seperti Michael.

Tanpa Michael, dia benar-benar tidak tahu apakah dia bisa bertahan hidup selama empat tahun ini ….

“Ma, kalau Mama elus terus, rambutku akan berantakan,” keluh Michael dengan tidak senang.

Rachel tertawa, “Dasar kamu, umur segini sudah memikirkan penampilan.”

Mereka pun mengobrol sambil tertawa.

Waktu berlalu dengan cepat dan pesawat yang mereka naiki itu pun mendarat di Suwanda.

Rachel menggandeng kedua anaknya untuk pergi mengambil koper.

Tiba-tiba, ada keributan di depan.

Seorang anak laki-laki berusia empat atau lima tahun berlari ke arahnya dengan panik, kemudian berhambur ke pelukannya.

Anak itu berpenampilan keren, memakai topi, jaket dan sepatu kulit, sekilas terlihat seperti anak orang kaya.

Rachel tidak ingin terkena masalah, jadi dia menahan tubuh anak itu sampai stabil, kemudian mundur selangkah.

Namun, anak itu meraih tangannya.

“Ada orang yang ingin menangkapku. Jika kamu membantuku, aku bisa memberimu apa pun itu yang kamu mau,” ujar Darren sambil mengangkat dagunya dengan tegas seraya menatap wanita yang ada di depannya.

“Siapa yang mau menangkapmu?” tanya Rachel pelan.

Dia memandangi mata anak itu. Entah mengapa, hatinya terasa seperti disengat sesuatu. Rasanya sedikit sakit.

Darren hendak menjawab, namun tiba-tiba sekelompok orang mengelilinginya di belakang.

“Den Darren, Den nggak boleh lari lagi. Bapak sangat marah!”

“Den Darren, pulanglah bersama kami!”

Pengawal-pengawal itu memohon dengan getir.

Darren berbalik badan dan bersembunyi di belakang Rachel, mencengkeram bagian belakang pakaian Rachel dengan erat.

“Jangan tarik baju mamaku!” Michael datang dan mendorong Darren menjauh.

Begitu didorong pergi, Darren langsung ditangkap oleh pengawal-pengawal itu, “Den, jangan membuat masalah lagi. Bapak akan segera datang, kalau Den masih lari, konsekuensinya akan sangat serius nanti ....”

Darren ditahan oleh pengawal-pengawal itu, sama sekali tidak bisa bergerak.

Dia memandang Rachel. Entah mengapa, dia ingin melihat wanita ini lagi di masa depan.

Dia mengerucutkan bibirnya yang tipis dan berwarna merah muda, “Hei, siapa namamu?”

“Apa hubungannya denganmu?” kata Michael dengan dingin, lalu meraih tangan Rachel, “Ma, koper kita sudah keluar.”

Rachel melirik anak yang tidak dikenalnya itu sekilas, lalu menggandeng kedua anaknya pergi untuk mengambil koper. Sosoknya pun dengan cepat menghilang di tengah kerumunan orang

Mata Darren, putra kedua keluarga Tanjaya yang selalu berkelakuan nakal, berkaca-kaca.

Dia merapatkan bibirnya, lalu berkata, “Aku mau pulang bersama kalian. Tapi, kalian harus mencari tahu semua informasi mengenai wanita tadi dalam waktu tiga hari.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status