Perkemahan telah kosong.
Sisa asap tipis dari arang membumbung malas—naik ke langit fajar. Qing Yuwen berdiri diam, tatapannya terkunci pada tenda-tenda kosong. Ia tidak bergerak, tidak berbicara. Hanya berdiri di tengah keheningan yang lebih menusuk daripada ribuan teriakan perang. Di tiap detik yang berlalu menggores harga dirinya. Gu Yu Yong bergerak gelisah. Prajurit yang biasanya selalu tenang, kini seperti terperangkap di antara tugasnya yang harus menjelaskan situasi atau berusaha memadamkan amarah yang sedang memuncak dari tuannya. Ia coba membaca air wajah Yuwen, berharap mendapat petunjuk sekecil apapun tentang apa yang harus diucapkan. “Yang Mulia ….” Yu Yong akhirnya memecah keheningan, suaranya serak, penuh keragu-raguan. “Mungkin ini sebuah—” “Pengkhianatan. Jebakan yang sudah dipersiapkan untukku,” potong Yuwen, suaranya rendah, tetapi tajam, seperti pedang yang baru diasah. “Tidak ada dugaan lain.” Yu Yong terdiam. Tidak ada tanggapan yang bisa ia berikan karena tahu diam adalah jalan terbaik. Yu Ying hanya menundukkan kepala ketika dengan tiba-tiba Yuwen berbalik lalu berjalan menuju kudanya yang berdiri tak jauh dari sana. Kuda hitam itu meringkik pelan, seolah bisa merasakan badai amarah yang sedang melingkupi tuannya. Satu tarikan kekang yang tegas, Yuwen melompat ke pelana. Kuda itu meringkik lebih keras, melangkah gelisah di bawah kekangan yang hampir menghancurkan. Yuwen tidak menoleh lagi. Ia menarik kekang lalu memacu kudanya menjauh dari perkemahan. Membawa serta ketegangan yang masih menggantung di udara. Angin menerpa wajah Yuwen saat laju kudanya membelah jalan setapak yang dibatasi pepohonan rimbun. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi ia tidak peduli. Di dalam kepala, pikirannya berputar liar, mengulang-ulang kejadian semalam. Informasi tentang pasukan Mancu yang bergerak ke Selatan—detil yang diterimanya langsung dari istana. Seharusnya tidak diragukan lagi kebenarannya. Namun, itu semua ternyata hanyalah jebakan. “Bajingan,” desisnya, meski tidak ada seorang pun di sana untuk mendengar. Penyergapan itu adalah jebakan. Intrik untuk menyingkirkannya, untuk menjauhkannya dari istana ketika peristiwa penting sedang berlangsung. Seharusnya Yuwen sudah mencium bau kebohongan sejak awal. Bagaimana ia bisa seceroboh ini? Sekarang, waktu adalah musuh terbesarnya. Secepat mungkin, ia harus tiba di istana. Langit mulai berubah warna. Cahaya fajar yang hangat di ufuk timur biasanya memberi harapan baru, tetapi tidak pagi ini. Bagi Qing Yuwen, fajar menyingsing berarti waktu yang tersisa semakin sedikit. Jika ia tidak tiba di istana sebelum matahari benar-benar terbit, semuanya akan selesai. Pernikahan yang digadang bertujuan menyatukan dua kerajaan besar akan menjadi alat yang akan mengalahkan sekaligus mengukung Yuwen. Ketika tiba di gerbang utama istana, pemandangan di hadapannya membuat rahang Yuwen mengeras. Ratusan rakyat berkumpul, memenuhi jalan utama. Bendera-bendera sutra berkibar anggun di atas kepala mereka, berwarna merah dan emas, simbol keberuntungan dan kehormatan. Bagi Yuwen, semuanya hanyalah kebohongan yang dicetak di atas kain mahal. Ia tidak ingin terlibat di dalamnya. Apapun rencana kaisar, Yuwen akan menolaknya. Musik tradisional terdengar dari kejauhan, melodi yang melambangkan cinta dan kegembiraan. Namun, di telinga Yuwen, melodi itu seperti tawa penghinaan. Seorang Kasim yang sedari tadi memang menunggu kehadiran Yuwen tampak lega ketika Yuwen berjalan mendekat. “Yang Mulia, selamat datang,” katanya membungkuk rendah. Suaranya terdengar hati-hati, nyaris gemetar. “Yang Mulia, pernikahan Pangeran Mahkota akan segera berlangsung. Hamba akan membawa Yang Mulia menuju aula utama.” “Pergilah! Aku tahu ke mana harus melangkah!” Kasim itu membungkuk lebih dalam. “Ampun, Yang Mulia, sebaiknya Yang Mulia, mengikuti hamba.” Tanpa menjawab, Yuwen menyerahkan kekang kudanya kepada seorang prajurit yang berada di dekatnya lalu melangkah cepat tanpa memperdulikan lagi permintaan sang kasim. Setiap langkahnya memantulkan suara berat di jalan berbatu, seperti dentang waktu yang menghitung mundur takdirnya. Yuwen tahu siapa yang pertama kali harus ia temui di istana. Ketika ia sampai di pintu utama paviliun, langkahnya tertahan. Dua pengawal berdiri di sana, pedang mereka terangkat menyilang, menghalangi jalannya. “Yang Mulia,” salah satu dari mereka berkata, suaranya bergetar, “Kami diperintah oleh Permaisuri Junsu. Tidak ada yang diizinkan masuk ke paviliun selir agung.” Gu Yu Yong, yang akhirnya menyusul dari belakang, langsung menghunus pedangnya ketika mendengar Yuwen tidak diperkenankan masuk. Matanya menyala dalam amarah yang jarang ditampakkan. “Menyingkir!” serunya. Sebelum pedang Yu Yong bergerak, Yuwen mengangkat tangan—menghentikannya. Ia menatap kedua pengawal itu dengan tatapan dingin, dengan langkah tegas, ia maju hingga ujung pedang mereka hampir menyentuh dadanya. “Jika kalian pikir bisa menghentikan aku,” katanya bersuara rendah penuh ancaman, “lakukanlah,” tantangnya. Pengawal itu saling pandang. Mereka tahu, tidak ada seorang pun di istana ini yang memiliki keberanian untuk benar-benar melawan Qing Yuwen. Penuh keraguan, akhirnya mereka menurunkan pedang. Tanpa menunggu lebih lama, Yuwen mendorong pintu paviliun selir agung yang sering disebut sebagai paviliun bunga. Paviliun bunga adalah tempat yang indah, tetapi pagi ini keindahannya terasa seperti ejekan. Langit-langitnya memang dihiasi kain sutra yang berwarna cerah, dan bunga-bunga segar turut memenuhi setiap sudut ruangan, tetapi ada kedukaan di setiap udara. Mata Yuwen menangkap sosok yang berdiri di ujung lorong. Dialah …. Permaisuri Wei Junsu. Sosoknya hampir seperti dewi yang turun ke bumi. Di bawah cahaya lentera, gaun sutra emas yang dikenakannya berkilauan seperti kulit ular yang baru berganti. “Ah, Pangeran Kedua,” katanya ketika Yuwen mendekatinya. Suaranya lembut, penuh dengan sindiran yang tidak berusaha disembunyikan. “Kau akhirnya datang. Aku mulai berpikir kau lupa bahwa pernikahan ini adalah acara besar yang tidak boleh dilewatkan.” Yuwen tidak menjawab. Ia hanya menatap Junsu, tatapannya penuh kecurigaan, kemudian matanya beralih ke sisi lain. Bangunan yang merupakan kamar ibunya. “Ibu,” kata Yuwen, suaranya rendah, hampir berbisik. Junsu menoleh ke arah yang Yuwen tatap lantas tersenyum, senyum yang lebih seperti ejekan. “Aku tahu siapa yang pertama kali akan kau temui di istana. Ah, aku lega karena pada akhirnya ibumu tahu di mana seharusnya dia berada.” Kemarahan Yuwen hampir meledak, tetapi ia menahannya. Yuwen tahu apa yang Junsu inginkan dan Yuwen tidak sudi memberikannya. Ketika Yuwen ingin berbalik pergi, Junsu berbicara lagi. Suaranya pelan, tetapi setiap kata yang diucapkan seperti pisau yang menembus punggung Yuwen. “Kau pikir kau bisa mengubah apa yang telah aku gariskan?” katanya, “pernikahan ini adalah awal dari cerita sekaligus akhir bagimu, Yuwen. Ingatlah, kau hanya bidak kecil di papan caturku.” Yuwen berhenti sesaat. Napasnya berat. Ia ingin menjawab, ingin menyerang, tetapi ini bukan saatnya. Junsu sedang bermain dalam permainan panjang. Semua langkah harus dipikirkan dengan penuh kehati-hatian. Jadi, tidak ada gunanya meladeni Junsu. Langkahnya kembali terayun. Tiba di depan kamar ibunya, dua pengawal yang sama masih berdiri di sana, pedang mereka kembali disilangkan. Kali ini, Yuwen tidak berhenti. “Singkirkan pedang kalian,” katanya dingin. Suaranya penuh keyakinan, penuh otoritas hingga kedua pengawal itu menundukkan kepala lalu menurunkan senjata mereka tanpa perlawanan. Yuwen kembali menoleh ke sekelilingnya. Keramaian persiapan pernikahan masih berlangsung. Baginya, pesta itu awal dari ambisi sesat yang akan menyeretnya masuk ke dalam intrik istana. Mengapa harus dilibatkan lagi? Bukankah sejak usia tujuh tahun, Yuwen dipaksa meninggalkan istana? Keputusan kaisar yang konon dilapisi oleh janji mulia. Jalan penuh kehormatan dan masa depan cemerlang. Namun, bagi Yuwen kecil, itu hanyalah tipu daya. Ia direnggut dari dekapan hangat ibunya—Shu Qiongshing. Konon katanya Yuwen harus menjadi perisai terkuat kaisar. Kini Yuwen tahu perisai itu bukan simbol kebanggaan, melainkan penjara tanpa dinding yang membuatnya jauh dari sang ibu. Kunjungannya ke istana dibatasi tidak lebih dari lima kali dalam setahun. Di setiap kunjungan rasa asing kian menguat, seolah tempat yang seharusnya menjadi rumah telah berubah menjadi arena pertempuran dingin dan tak bersahabat. “Yuwen-er.” Sebuah suara membuyarkan lamunan. Suara yang dulunya lembut, penuh kehangatan, kini malah membawa luka dalam, seperti angin musim dingin yang menggigit kulit. Yuwen menoleh, lambat. Shu Qiongshing berdiri di sana. Sosoknya telah berubah. Keanggunannya memang masih ada, tetapi sekarang lebih menyerupai sisa-sisa dari mahakarya yang perlahan hancur dimakan waktu. Rambutnya yang dulu hitam pekat, kini dihiasi garis-garis perak. Matanya yang dulu bersinar seperti batu giok dalam cahaya pagi, kini redup tenggelam dalam kabut kesedihan. Shu Qiongshing, sang ibu seharusnya berada di antara para bangsawan, berdiri seperti bayangan kaisar, tetapi di sinilah dia berada. Diasingkan seolah ibunya adalah aib kaisar. Tak ada gaun megah, tak ada perhiasan yang mencerminkan statusnya. Hanya pakaian sederhana yang tak pantas untuk disebut seorang selir agung. Sebuah cincin giok di jarinya—satu-satunya simbol yang tersisa dari kehidupan yang pernah dimilikinya. Bagi Yuwen, ibunya tampak seperti seorang janda—bukan hanya karena kehilangan suami, tetapi karena hidupnya sendiri telah dicuri. Diasingkan dari keluarga, diasingkan dari status kerajaannya. “Yuwen-er,” ulang Shu Qiongshing Kali ini lebih lirih, seolah takut melukai keheningan canggung di antara mereka. Yuwen berdiri mematung. Napasnya terasa berat, seperti ditusuk oleh ribuan duri. Kata-kata menyekat tenggorokan, tidak bisa ia keluarkan. Amarah membara dalam dadanya berselimut rasa bersalah yang menyesakkan menahan segala tindakannya. Ia hanya bisa menundukkan kepala. Satu-satunya bahasa yang tersisa adalah keheningan. Tanpa berkata sepatah kata pun, Yuwen memutar tubuh lantas melangkah pergi. Sepatu botnya berdentum di lantai paviliun, menciptakan gema yang terdengar seperti jarak yang semakin jauh antara ia dan ibunya. Ketika mendekati aula utama, tampak dua pengawal istana berdiri di pintu, mata mereka beradu dengan Yuwen. Seketika air wajah mereka menegang. Ketakutan tampak jelas di mata, tetapi demi mengemban titah, mereka mengangkat pedang, menyilang di depan tubuh—tembok baja tipis yang coba menghentikan kekuatan yang tak terhentikan. Salah satu dari mereka, dengan suara gemetar, coba berkata, “Yang Mulia, ini ... ini perintah.” Kata-katanya nyaris tercekik oleh ketakutan, seolah tahu bahwa perintah itu tak akan berarti. Yuwen terus berjalan, tak melambat sedikit pun. Langkahnya mantap, seperti derap drum perang yang membuat udara seolah menebal di sekitarnya. Ketika ia berdiri tepat di depan pedang mereka, ia berhenti. Dengan gerakan perlahan, ia mendongak, menatap kedua pengawal. “Apa ini yang sungguh-sungguh kalian inginkan?” Suara itu rendah, hampir seperti bisikan, tetapi kekuatannya lebih dahsyat daripada bentakan. Kata-katanya menusuk seperti pisau, meninggalkan bekas di hati mereka yang mendengarnya. Tatapannya menyala tajam, seperti bara yang siap melahap apa saja. Pengawal itu gemetar hebat. Pedang mereka masih terangkat, tetapi tangan mereka terlalu lemah untuk mempertahankannya. Mereka tahu, melawan Yuwen bukanlah pilihan. Untuk menghalanginya berarti menghadapi takdir yang jauh lebih buruk daripada kematian. Yuwen tidak berbicara lagi. Ia hanya menatap mereka seolah-olah waktu telah berhenti. Akhirnya, pedang itu perlahan turun, seperti mengakui kekalahan yang tak terhindarkan. Pengawal-pengawal itu menundukkan kepala, membuka jalan tanpa berani berkata sepatah kata pun.Aroma bunga sedap malam memenuhi ruangan. Di atas meja giok, beberapa kotak ukiran emas dibuka satu per satu, menampilkan perhiasan baru yang didatangkan khusus dari negeri seberang. Gelang, kalung, bahkan sisir berhias zamrud. Semua itu dipamerkan dengan harapan menyenangkan satu orang, yaitu Han Jiali.Jiali menarik napas dalam-dalam. Kemewahan yang disodorkan di hadapannya membuat dadanya sesak menahan muak.Sang kaisar tampak duduk di sebelahnya, mengamati ekspresi Jiali, berharap ada sedikit senyum di sana.“Apakah hadiah ini tidak cukup menarik hatimu?” Yunqin menyentuh gelang emas dengan ukiran naga dan phoenix. Jiali tidak menjawab, tetapi kini ia menatap Yunqin. “Apa Yang Mulia sungguh mencintai hamba?”Yunqin bangkit dari duduk kemudian menghampiri Jiali. Diraihnya tangan Jiali hingga istrinya itu terpaksa berdiri. “Tentu saja. Aku akan memberikan semuanya untukmu. Aku akan membuatmu bahagia.”Jiali menarik tangannya dari genggaman Yunqin. “Bahagia? Yang Mulia ingin hamba
Duka belum lenyap dari langit yang menaungi negeri Zijian. Hawa duka tampak di tiap-tiap wajah, tanpa terkecuali.Langkah Zeming terdengar perlahan di lorong panjang. Di tangannya, ia menggenggam mangkuk kecil berisi ramuan akar wangi. Pelan, ia mendorong pintu kamar ibunya yang setengah terbuka.“Ibu?”Suara parau menyahut dari balik kelambu. “Ming’er?”Zeming masuk, mendekatkan mangkuk itu ke meja di sisi ranjang. Di bawah selimut sutra yang tebal, ibunya tampak pucat. Mata yang biasanya hangat kini memerah, kantung matanya membengkak karena terlalu banyak menangis.Zeming menarik napas dalam-dalam. Sudah berminggu-minggu, tetapi kesedihan ibunya tidak berkurang.“Ibu, minumlah sedikit. Ramuan ini hangat, bisa menenangkan.”Sang ibu menggeleng pelan. “Bagaimana bisa aku menenangkan hati, setelah membiarkan Wei'er kembali ke Anming?”Zeming duduk di tepi ranjang. “Ibu, jangan salahkan diri Ini seperti ini.”Ibunya menggeleng. “Seharusnya aku tahu Wei’er tidak baik-baik saja.”“Ibu, t
“Kurang ajar! Dia membunuh putriku! Meskipun darahku mengalir dalam tubuh Yunqin, aku tidak akan membiarkan perbuatannya tidak dihukum! Hua’er harus mendapatkan keadilan yang setimpal!”Tabib Wang Sanlao segera maju selangkah saat Kaisar Tao mendadak memegangi dadanya.“Ampun, Yang Mulia. Mohon redakan amarah Yang Mulia. Racun dalam tubuh Yang Mulia belum sepenuhnya dinetralisir. Hamba khawatir, amarah seperti ini hanya akan memperburuk keadaan.”Kaisar Tao menoleh. “Kali ini kau tidak perlu mencemaskan aku.” Pelan tangan kaisar mengusap punggung tangan Yuwen. “Meski putraku tidak mengeluh, tapi aku tahu dia terluka. Tabib Sanlao, periksa putraku. Melihat matanya, aku tahu dia sangat kesakitan.”Sanlao mengangguk, pandangannya beralih pada Yuwen. “Mari, Yang Mulia. Hamba akan memeriksa.”Yuwen mengangkat tangannya. “Ada hal yang lebih penting. Kita akan berangkat menuju Zijian. Kita membutuhkan mereka untuk menumbangkan Yunqin.”“Kita akan melakukan itu … setelah kau diobati Sanlao.”
Embun tampak menggantung di antara pohon-pohon pinus yang menjulang. Kabut menyelimuti Lembah Liangxu bahkan keberadaannya secara kasat mata hampir tidak terlihat. Namun, Yu Yong yang berjaga sejak semalam, tetap waspada.Di kejauhan, suara langkah kuda dan roda kereta menggema samar. Yu Yong berdiri. Dari arah barat, di jalur sempit tampak prajurit menebas alang-alang yang menjulang, hingga jalur menuju lembah lebih lebar.Matanya menyipit pada satu titik ketika ia menarik anak panah. Siap membidik. Sejenak ia menurunkan niatnya karena tersadar akan zirah yang dikenakan prajurit bukan bukan berasal dari istana, melainkan ….“Pasukan Menteri Xi,” cicit Yu Yong.Yu Yong kembali menaikkan busurnya. Sudah sekian lama ia tidak mendapatkan kabar dari Yuwen. Meski ia tahu kalau Menteri Xi berada di dalam sekutu Yuwen, tetapi saat ini tidak ada yang bisa memastikannya.Wajah tegang Yu Yong seketika lenyap ketika ia melihat Dunrui yang kemudian berada di belakang prajurit—menunggangi kuda.Yu
“Bagaimana perhiasan baru yang aku kirimkan pagi ini?”Suara itu tenang. Lembut. Memanjakan, tetapi tidak menyenangkan bagi Jiali.Pantas bila Jiali enggan menanggapi. Ia memilih untuk menatap meja kamarnya yang kini dipenuhi kotak-kotak perhiasan berukir emas, permata merah delima, liontin terbuat dari giok langka. Perhiasan istimewa untuk permaisuri yang dianggap hinaan untuk tawanan. Yunqin sudah masuk sepenuhnya. “Tidak menyukainya?” tanyanya lagi mendekati Jiali yang duduk di sisi ranjang.“Hamba tidak bisa memakainya,” jawab Jiali pelan, “hamba rasa tidak perlu memakai itu semua … untuk berdiam diri di kamar.”Yunqin tertawa kecil. “Apa kau bosan? Aku akan menemanimu berjalan-jalan ke taman istana.”“Tidak perlu.”“Aku mengirimkan semua ini agar kau tahu betapa berharganya dirimu kini. Tidak ada wanita di negeri ini yang bisa menandingimu, Jiali.”Jiali tidak menjawab. Semua kata yang keluar dari bibir Yunqin … menjijikkan.Yunqin memandangi wajah Jiali. “Kau mau kita pergi k
“Aku … tidak bisa diam,” desis Yuwen menoleh ke arah Xiumei. “Sekarang … dia benar-benar sendirian! Tanpaku, tanpa ayahnya, tanpa Xiumei!”“Yang Mulia, harap redakan amarah Yang Mulia,” mohon Menteri Xi membungkuk.Yuwen menarik kerah zirah sang menteri. “Kalau satu helai rambut Jiali jatuh atau tubuhnya disentuh Yunqin,” gumamnya, “akan kubakar seluruh istana.”“Kalau itu terjadi, aku akan membantumu menyiapkan obor.”Yuwen menoleh lalu melepaskan cengkeramannya pada Menteri Xi. Qilan mendekat, jubahnya tampak basah. Senyumnya mengembang sempurna ketika ia melangkah di antara keduanya.“Kalau kau mati sekarang, anakmu tidak akan memiliki ayah. Sia-sia sudah pengorbanan Jiali. Yuwen-ge, saat ini kau tidak punya apa-apa.”Yuwen ingin bicara, tetapi Qilan mendekatinya. Qilan menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, tidak terlewat satu senti pun.“Terluka. Dibuang istana. Tidak memiliki gelar. Tidak memiliki tentara atau …. senjata.” Qilan menunjuk kaki Yuwen. “Bahkan kau tidak punya k