LOGIN"Om Gavin?"
Xienna menutup mulutnya, sedetik kemudian ia panik, segera menunduk dan menggunakan tas kecilnya untuk menutupi wajahnya. "Mampus! Kok orang tua itu ada di sini sih? Lihat gue nggak sih?" "Aura sugar daddy-nya kuat banget. Kayaknya dia lagi naksir salah satu diantara kita deh," ujar teman di dekat Xienna. Xienna lantas bangkit tanpa menurunkan tasnya. "Gue duluan." "Eh?" Teman Xienna menahan tangannya. "Baru juga datang, buru-buru banget." Xienna mencuri pandang dan benar saja Gavin melihat ke arahnya. "Lo kenapa, Na?" tegur yang lain ketika melihat tingkah aneh Xienna. "Itu om gue..." ujar Xienna dengan suara yang sedikit dipelankan. "Yang mana?" "Orang yang lo maksud, itu Om Gavin!" Semua orang terperangah kecuali satu orang yang datang terakhir. Mereka menatap tak percaya. "Itu... om lo? Orang yang mau nembak lo?" Xienna mengangguk dengan wajah tertekan. "Lo nggak bilang kalau om lo masih muda. Kalau modelannya kayak gitu sih gue mau-mau aja ditembak." Xienna langsung menggeplak bahu temannya. "Cari mati lo! Gue cabut. Lo semua jangan ada yang deketin Om Gavin. Bisa mampus gue kalau diaduin ke mama." Xienna buru-buru melarikan diri dengan kepala tertunduk dan bahkan sempat menabrak orang. "Kita juga harus pergi nggak sih?" celetuk salah seorang dan seketika wajah semua orang tampak canggung. Mereka menyadari jika mereka pun juga akan mendapatkan masalah jika orang tua mereka tahu tempat yang mereka kunjungin. Para gadis muda itu lantas pergi dengan tenang. ●●●● Gavin tiba di rumah dan menemukan Ailyn duduk di ruang tamu. Gavin berniat mengabaikan kakak iparnya sebelum teguran datang. "Kita bicara sebentar." Mendapatkan undangan, Gavin lantas duduk berhadapan dengan sang nyonya rumah. "Kamu nggak perlu berusaha dekat dengan Xienna," ujar Ailyn tanpa basa-basi. Alih-alih tersinggung, Gavin justru berdiam diri dan membuat sang lawan bicara terintimidasi. "Kejadian hari ini, tolong jangan diulangi." "Kenapa? Kamu udah ngadu ke suami kesayangan kamu?" sarkas Gavin. "Kamu juga tahu, nggak seharusnya kamu dekat dengan Xienna." Gavin tersenyum remeh. "Ada alasan kenapa anak manja itu kurang ajar." "Cukup kali ini," Ailyn memberikan peringatan. "Kamu pikir aku yang akan membawa pengaruh buruk pada anak emas kamu itu? Memangnya kamu tahu dia ngapain aja selama dua puluh empat jam? Kalau kamu memang khawatir, kenapa nggak sekalian kamu tidur dengan anak kamu?" "Itu bukan urusan kamu. Anggap aku minta tolong ke kamu." Ailyn beranjak berdiri. "Ada yang salah kalau aku dekat dengan keponakan aku sendiri?" celetuk Gavin menghentikan niatan Ailyn untuk pergi. Ailyn menjatuhkan pandangannya pada Gavin dan berucap seolah menyindir. "Jangan perlakukan dia dengan cara yang sama, dia anak kamu." Sebelah alis Gavin terangkat. Namun, kala itu pintu terbuka. Xienna masuk dan langsung membeku ketika melihat dua orang dewasa di sana terlibat pembicaraan. "Aduh! Om Gavin beneran udah ngadu ke mama," rutuk Xienna dalam hati setelah melihat wajah sang ibu yang tampak marah. Gavin berdiri dan meninggalkan ruang tamu dengan tenang. Sementara itu Xienna mendekati sang ibu dengan takut-takut. "Baru pulang?" tegur Ailyn. Xienna menggangguk takut-takut. "Kok mama nggak marah? Nggak mungkin mama nggak marah kalau Om Gavin udah ngadu," gumam Xienna dalam hati. "Udah makan?" Xienna kembali mengangguk dan bertanya dengan hati-hati. "Mama sama Om Gavin lagi ngomongin apa?" "Bukan apa-apa. Sekarang kamu ke kamar terus istirahat, mama juga mau istirahat." Ailyn meninggalkan Xienna yang tampak keheranan. "Om Gavin beneran nggak ngaduin gue?" gumam Xienna. Penasaran, Xienna bergegas naik untuk bertanya langsung pada Gavin. Namun, Gavin justru datang dari atas dengan langkah terburu-buru. "Om—" Gavin mengabaikan Xienna dan berjalan ke arah Ailyn pergi sebelumnya. "Om Gavin ke kamar mama." Xienna langsung bergegas mengejar Gavin. Ailyn hendak menutup pintu saat Gavin menahan tangannya, menutup pintu dan mendorongnya hingga punggungnya menghantam pintu cukup keras. Xienna yang melihat hal itu langsung merapatkan telinganya pada pintu. "Apa maksud kamu?" tuntut Gavin dengan tatapan tajam menghakimi Ailyn. "Kamu juga pasti ngerti." Tampak kemarahan dalam sorot mata Gavin seolah Ailyn sudah mengatakan hal yang menyinggungnya. "Xienna keponakan kamu, nggak salah juga kalau aku bilang Xienna itu anak kamu. Karena kamu seumuran mamanya." Ailyn menepis tangan Gavin. Sudut bibir Gavin tersungging. "Itu alasan konyol." Gavin menarik Ailyn dengan kasar menjauh dari pintu. Ia keluar, tapi Xienna sudah tidak ada. Gavin kembali ke kamarnya. Namun, sosok yang kini berdiri di tengah ruangan dengan arogan membuatnya menghela napas. Ia menutup pintu, mengabaikan keberadaan Xienna, Gavin berjalan melewati Xienna sembari melepas jaketnya. Xienna memutar tubuhnya mengikuti pergerakan Gavin. Netranya memicing, menatap penuh curiga. Gavin hendak melepas kaos yang ia kenakan. Namun, urung ketika ia teringat sesuatu. Ia lantas berbalik dan menegur gadis manja itu. "Tiba-tiba jadi bisu? Gunakan mulut kamu, saya bukan ahli baca pikiran." "Om nggak ngadu ke mama?" tegur Xienna dengan tatapan menghakimi. "Tentang kamu keluyuran di klub malam?" "Om beneran lihat aku?" Gavin berpaling, ia mengambil satu kotak rokok dari sana. Tapi karena Xienna masih penasaran, gadis itu mendekat dan merampas korek api di laci. "Taruh," tegur Gavin. "Udah aku bilang kalau rumah ini kawasan anti rokok." "Urus urusan masing-masing. Kamu itu anak kecil." "Asap rokok kayak gini juga nggak bagus buat kesehata Om yang udah tua. Tulangnya Om yang udah mulai keropos itu nanti malah makin parah." Gavin merasa sedikit tersinggung. Meski ia sepantaran dengan ibu gadis itu, tapi ia tidak setua yang dikatakan oleh Xienna. Dia masih lajang dan masih muda, bahkan ia belum memiliki keriput penuaan di wajahnya, usianya pun belum sampai empat puluh tahun. Dia hanya tua karena memiliki keponakan, bukan karena penampilan atau umurnya. "Kamu mau jadi sok bijak? Siapa yang keluyuran ke klub malam bahkan masih di bawah umur," sarkas Gavin. "Saya nggak peduli kamu mau ke klub malam atau hotel. Tapi karena kamu mengganggu saya, saya juga harus melakukan sesuatu agar impas." "Maksud, Om?" "Kita lihat apa yang dilakukan mama kamu setelah tahu putrinya masuk klub malam." Gavin berjalan melewati Xienna. Dengan panik Xienna menahan tangan Gavin. "Om jangan gila!" Gavin tak peduli, ia harus memberikan pelajaran pada gadis muda yang mengganggunya di saat suasana hatinya tak begitu baik. Gavin menepis tangan Xienna, membuat gadis itu sedikit terlempar. "Om, Om! Bentar!" Tak habis pikir, Xienna langsung menahan kaki Gavin. Duduk di lantai sembari memeluk salah satu kaki pria itu. "Om jangan macam-macam. Kalau mama tahu, aku bisa dikarantina." "Apa peduli saya." Gavin berusaha menyingkirkan Xienna, tapi Xienna justru menempel layaknya koala. "Nggak! Om harus peduli. Aku satu-satunya keponakan Om Gavin. Om Gavin nggak mungkin tega sama aku." Dengan terpaksa Gavin berjalan sembari membawa Xienna di kakinya. Meski harus menyeret gadis itu, Gavin berhasil meraih pintu dan melempar Xienna ke luar kamar hingga gadis itu terkapar di lantai. "Om!!!" Xienna langsung bangkit terduduk, menatap tak terima. "Bocah sialan," gumam Gavin yang lantas menutup pintu. Namun, Xienna terlanjur mendengarnya. "Om barusan bilang apa? Sialan?" Xienna bangkit dan menggedor pintu kamar Gavin, tak terima dengan ucapan pria itu. "Om Gavin!!! Lihat aja nanti, tunggu sampai papa pulang. Om Gavin bakal diusir dari sini."Malam itu Linda sampai di Grand Shining Hotel, ia langsung diarahkan pergi ke kolam renang di lantai atas. Mungkin karena malam, tempat itu terlihat kosong. "Padahal tinggal dikasih di rumah, ngapain juga ngajak ketemuan di sini?" gerutu Linda. "Enak banget jadi orang kaya." Linda menyadari sebuah langkah mendekat dari arah belakang. Ia berbalik dan netranya terbelalak saat mendapati bahwa yang datang adalah Gavin. "Pak Gavin?" "Kaget melihat saya?" tegur Gavin. Linda menatap sekeliling. "Pak Gavin—" Ucapan Linda terhenti saat tamparan keras menyambar wajahnya dan membuatnya terlempar ke dalam kolam. Dengan sedikit kesusahan ia pun segera keluar dari air dan menatap tajam ke arah Gavin. "Kamu hanya berani mengancam anak kecil," ujar Gavin. Linda justru tertawa tanpa rasa sakit. "Saya nggak pernah memaksa Non Xienna, saya bisa minta ke Bu Ailyn atau Pak Arnold. Tapi Non Xienna yang memaksa saya menerima uangnya." "Jalang sialan," gumam Gavin, ia kemudian mengangka
"Pa, aku mau kuliah di Jerman," ujar Xienna, memulai pembicaraan di meja makan."Kenapa harus Jerman?" sahut Arnold, tak ada lagi pembicaraan hangat di keluarga itu. Semuanya terasa sangat dingin."Teman aku ada yang ke sana.""Teman yang mana?""Papa nggak akan kenal sekalipun aku kasih tahu. Aku udah pilih kampusnya, tinggal registrasi aja.""Ke mana pun selain Jerman," tandas Arnold."Apa gara-gara Om Gavin," celetuk Xienna yang justru semakin memanaskan pembicaraan."Kamu ke sana karena bajingan itu?""Om Gavin nggak akan kembali ke Jerman, aku dengar Om Gavin udah beli rumah di sini.""Kamu dengar dari siapa?""Orang yang sering jemput Om Gavin. Aku nggak sengaja ketemu dan tanya kabar Om Gavin. Dia bilang Om Gavin akan menetap di sini."Arnold terdiam, tampak tak percaya tapi juga mempertimbangkan ucapan putrinya."Pokoknya aku mau ke Jerman, aku udah nggak betah tinggal di sini." Xienna beranjak dan pergi.Ada sedikit kepuasan di wajah Arnold saat mengira putrinya sudah menjauh
Waktu berjalan begitu cepat bagi bagi sebagian orang. Skandal perselingkuhan antara Gavin dan Ailyn sudah mereda dan tak ada lagi orang yang membicarakan hal itu. Berita itu mulai terlupakan meski Gavin belum bisa membersihkan namanya akibat skandal itu.Setelah hari itu Gavin tidak pernah lagi datang ke rumah Arnold. Ia menetap di hotel dan sesekali berkunjung ke rumah sakit. Sementara Xienna beberapa kali sempat mengunjungi Gavin di hotel. Dari Xienna Gavin mengetahui hubungan dingin antara Ailyn dan Arnold. Namun, sudah satu minggu sejak terakhir kali Xienna datang. Tak ada riwayat panggilan atau pun pesan. Gadis itu tiba-tiba bertingkah di luar kebiasaan.Sore itu Gavin meninggalkan kamar, bergegas ke tempat gym di lantai bawah yang baru saja dibuka bulan ini untuk sekadar mengisi waktu istirahat panjangnya. Tentu saja menjadi pengangguran adalah pekerjaannya selama ini. Dia adalah anak emas yang disembunyikan, tidak perlu repot-repot bekerja hanya untuk uang. Tabungannya pun tida
"Dua kali," celetuk Aiden, duduk di sofa yang berseberangan dengan Gavin.Setelah pemecatannya, Gavin bertamu ke rumah Aiden dan inilah yang terjadi. Tidak ada orang yang menasehati Gavin selama ini selain Aiden."Satu kali kebetulan, yang kedua kalinya bisa jadi direncanakan. Dengan orang yang sama pula."Gavin bersikap tak acuh seolah tak masalah jika ia baru saja dipecat meski belum lama bekerja."Sekarang kamu jujur, kamu memang ada hubungan dengan istri Arnold?""Aku udah klarifikasi, perlu aku jelaskan lagi?""Perlu, sangat perlu. Kamu pikir om tidak tahu jika yang membuat pernyataan itu Allan? Om mau mendengar dari mulut kamu sendiri.""Aku udah punya seseorang.""Siapa? Pacar?""Bukan kakak ipar," tandas Gavin.Mitha yang duduk di samping Aiden mengelus lengan suaminya dan turut berbicara."Jadi semua foto-foto itu memang dipalsukan?""Tidak ada asap tanpa api," celetuk Aiden. "Sekalipun kamu dijebak, harus ada alasan untuk memulai skandal dengan seorang wanita."Gavin menggar
Pagi itu sebuah kabar perselingkuhan menggegerkan media sosial. Istri seorang menteri dengan CEO baru Group Raharja menjadi serbuan para pengguna internet di mana foto-foto yang tersebar menunjukkan wajah Ailyn dan Gavin dengan sangat jelas. Hal itu semakin memanas setelah rumor sebelumnya yang berhasil diredam.Tanpa tahu bahwa dunia sedang gonjang-ganjing karena skandal percintaannya, Gavin memasuki kantor seperti biasa. Namun, sejak ia datang, ia sudah menyadari tatapan orang-orang yang tengah menghakiminya. Gavin tak peduli karena dia adalah bos di sana dan pegawai kecil tentunya tidak akan berani mengusiknya.Kerumunan karyawan segera membubarkan diri begitu melihat kedatangan Gavin. Ketika sudah sampai di ruangannya, sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Gavin. Dua pesan sekaligus dari Allan. Gavin duduk di balik mejanya dan membuka pesan tersebut."Pak Gavin harus melihat ini."Allan melampirkan sebuah link dan Gavin langsung membukanya. Jemari Gavin sontak berhenti bergerak
"Karena aku udah tidur dengan anak kamu."Sebuah pengakuan terucap tapi sayangnya tak akan pernah sampai pada Ailyn karena hanya sebuah hati yang berucap dalam keterdiamanan mulut yang terkatup rapat. Dan senyum remeh itu datang sebagai ganti atas jawaban yang ditunggu."Kenapa aku harus kasih alasan yang udah jelas?"Ailyn sedikit terkejut. Entah kenapa hatinya sangat kecewa."Aku memang nggak tahu diri," ujar Ailyn, tersenyum pahit dan mengambil beberapa langkah mundur."Om Gavin..."Sebuah teriakan dari bawah mengalihkan perhatian mereka. Xienna melambaikan tangannya ke arah mereka. Lebih tepatnya ia memanggil Gavin.Gavin kemudian kembali berbicara pada Ailyn. "Kamu mungkin sedang bingung. Kamu butuh healing agar pikiran kamu kembali jernih."Dengan seulas senyum tipisnya Gavin meninggalkan Ailyn dan menghampiri Xienna. Keduanya lantas pergi ke pantai, mencuri waktu untuk mengukir kenangan romantis berdua ketika Ailyn tak melihat keberadaan mereka. Saat langit sudah gelap, Xienna







