Share

Bab 8 Kenyataan

Penulis: Ziya_Khan21
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-25 13:13:23

Bianna masih menatap heran pada wanita yang baru saja menyapanya. Sekeras apa pun dia mengingat, Bianna tetap tidak tahu siapa wanita itu. 

“Namaku Eveline, istri dari Tobias Fernando, kamu mungkin tak tahu aku, tapi mungkin mengenal suamiku.” Wanita bernama Eveline itu memperkenalkan dirinya seakan-akan tahu isyarat kebingungan di mata Bianna. 

Bianna kembali mengingat nama terakhir yang Eveline sebut. Bianna kembali mengumpat dalam hati sekaligus menyesali karena jarang ikut menghadiri pesta dan meeting yang dilakukan oleh Kevin dan ayahnya dulu. Alhasil dia jarang bertemu dengan para relasi perusahaan. Seperti yang terjadi saat ini. Bianna terpaksa tesenyum kikuk karena gagal mengingat nama suami Eveline.

“Maafkan aku Eve. Aku tidak bisa mengingat kalian.” 

Eveline tersenyum simpul. “Sudah kuduga. It’s okay Bia. Seingatku, kita juga baru sekali bertemu saat pesta ulang tahun terakhir ayahmu. Setelah itu aku tidak pernah melihatmu meski terbilang sering bertemu dengan Kevin di sebuah pesta. Dia suka sekali membawa sekretarisnya, tidak heran kalau akhirnya mereka saling jatuh cinta, bukan?” 

Bianna terkekeh, tetapi hatinya nyeri. Benar saja kalau dia tak ada artinya bagi Kevin. Setiap menghadiri pesta, selalu saja Leony yang diajak alasannya itu hanya pesta bisnis dirinya tidak akan pernah mengerti. Namun, ternyata semua itu hanya akal-akalannha saja yang ingin dekat dengan Leony tanpa dia ketahui. 

“Iya, terlebih lagi karena Papa sakit dan butuh perawatan makanya aku jarang ikut Kevin ke mana-mana.” Bianna tetap tak ingin menjelekkan mantan suaminya. Padahal ini kesempatannya membuka aib laki-laki berengsek itu. 

“Benarkah kamu sibuk merawat Tuan Felix, Bia? Kenapa Kevin mengatakan pada relasi bisnisnya kalau kamu telah mengkhianatinya? Dia bilang kamu berselingkuh dan kecelakaan waktu itu juga terjadi saat kalian sedang bersama-sama.” 

“What?” Sontak mata Bianna terbelalak lagi. Dia menoleh pada Damian yang memang sejak tadi berdiri menyimak obrolannya dengan Eveline. Bianna jelas melihat ekspresi terkejut dari pria rupawan itu. Akan tetapi, tak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya. Itu membuat Bianna berpikir apa Damian percaya dengan ucapan Eveline?

“Itu nggak benar, Eve! Dia sudah memutarbalikkan fakta karena sebenarnya dialah yang sudah berselingkuh dengan sekretarisnya sampai menikahinya. Sumpah demi Tuhan, aku nggak pernah main curang di belakang suamiku.” Bianna tekankan kalimat terakhirnya. Untuk pemberitahuan sekaligus peringatan pada Eveline dan Damian agar tidak percaya dengan berita Hoax itu. 

“Kamu harus percaya padaku, Eve,” pinta Bianna saat Eveline tidak memberi reaksi apa pun setelah dia katakan kebenarannya.

“Itu bukan urusanku, Bia. Yang mana yang benar atau salah, aku nggak peduli. Kita juga tidak sedekat itu sampai kamu harus memberi penjelasan padaku. Hanya saja, kamu perlu tahu, dengan berita itu, Kevin berhasil menarik simpati banyak relasi bisnisnya hingga saham perusahaan Harland Group cukup tinggi saat itu.” 

Untuk kesekian kalinya Bianna harus menjaga jantungnya agar tidak berhenti berdetak karena kejutan-kejutan yang dia dengar malam ini. 

“Baiklah, sepertinya aku sudah membuang banyak waktumu, aku akan kembali bergabung dengan teman-temanku di sana. Sekali lagi selamat atas pernikahanmu dan Damian ya.” Eveline mengulurkan tangannya. Mau tidak mau Bianna menyambutnya. Pun begitu saat wanita berambut lurus sebahu itu menatap Damian. “Selamat, Damian. Aku yakin Tobias pasti senang mendengar berita ini.” 

Damian tersenyum tipis. “Thank you Eve, kabari saja kalau dia sudah kembali ke Meksiko. Sepertinya aku butuh bicara banyak dengannya.”

Eveline terkekeh lalu mengangguk mengerti. “Oke. Aku akan sampaikan hal ini padanya.” 

Wanita yang mengenakan gaun biru gelap itu pun beranjak dari hadapan kedua pengantin baru. Namun, baru beberapa langkah, Bianna kembali memanggilnya.

“Ya?” sahutnya setelah menoleh.

“Jangan katakan pada Kevin kalau kamu sudah bertemu denganku, Eve.”

Eveline tersenyum penuh arti. “Tenang saja. Kamu bisa percayakan itu padaku, Bia.”

Bibir tipis Bianna mengukir senyum terpaksa. Hatinya benar-benar sedang tidak baik-baik saja setelah mengetahui kenyataan yang ada. Tanpa dia sadari bulir bening yang dia tahan sejak tadi pun dengan semena-mena turun ke pipi mulusnya. 

“Minumlah.” Bianna kembali tersentak. Cepat dia menghapus jejak basah di pipinya dan menengok pada si pemilik suara.

“Kamu membutuhkan ini. Minumlah sedikit.” Damian menyodorkan satu gelas red wine untuknya. Bianna tatap cairan merah itu dan wajah Damian yang masih tanpa ekspresi berlebihan secara bergantian. Pria itu benar. Sedikit alkohol mungkin bisa menenangkan gemuruh amarah dalam hatinya. 

Bianna sambar gelas itu lalu menenggak habis minuman beralkohol itu dalam hitungan detik. Dia biarkan rasa getir sedikit asam membasahi tenggorokannya. 

“Aku mau lagi!” ucap Bianna sambil mencari pelayan yang menjajakan minuman itu. Setelah menemukan, dia pun melangkahkan kakinya untuk mengambil minuman dalam nampan sang pelayan, tetapi belum lagi tangannya sempat meraih gelas itu, tangan Damian sudah lebih dulu menahannya. 

“Lepaskan aku! Kenapa kamu suruh dia pergi?” Bianna meronta sambil mencoba melepaskan cengkeraman tangan Damian.

“Satu gelas sudah cukup untuk hari ini, Bia!” ujarnya datar, tetapi dengan Dirut mata yang tajam mengintimidasi. 

“Terserah aku mau minum berapa banyak, Dami. Aku butuh minuman itu buat lupakan semua yang aku dengar tadi. Jangan halangi aku.” Emosi Bianna semakin tak terkontrol. Suaranya mulai meninggi yang mana memancing perhatian para tamu undangan yang lain. 

“Jaga sikapmu! Semua tamu di sini sedang memperhatikanmu, Bia,” ujar Damian dengan suara mendesis. Tatapan pria itu semakin tidak ramah menanggapi sikap Bianna yang berubah arogan. 

Karena tak ingin lebih menarik perhatian tamu-tamunya, Damian menarik tangan Bianna untuk menjauhi area pesta sejenak. 

Damian membawa wanita yang kini sedang menangis tersedu-sedu itu ke gazebo sebelah kanan kolam renang rumahnya.

Pria itu pun melepaskan cengkeraman tangannya agak kasar hingga Bianna sedikit terhuyung karenanya. “Menangislah sepuasmu di sini. Tapi mulai besok, jangan ingat-ingat lagi apa yang Eveline katakan padamu tadi dan mulailah fokus pada tujuanmu saja. Paham?” 

Bersambung …

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (43)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
betul kata Damian nangis sekarang mp km puas inget jg sampe km terlihat lemah bia
goodnovel comment avatar
Ratihtyas
Kamu harus bangkit Bia lalu rebut apa yang jadi hak mu
goodnovel comment avatar
b3kic0t
namanya juga baru Dami g mungkin lah langsung lupa,bianna juga kan g hilang ingatan bagaimana dia bisa lupa gitu aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 178 Akhir yang Indah

    Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 177 Kembali ke New York

    Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 176 Haruskah?

    Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 175 Bersatu

    Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 174 Satu Keluarga

    Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua

  • Kembalinya sang Putri Pewaris    Bab 173 Steven Selamat

    Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status