"Tu-Tuan Caesar, apa yang Anda lakukan malam-malam begini menemui saya?"
Dengan ragu-ragu, Chloe menatap wajah tampan Caesar Leopold yang dihiasi guratan ekspresi panik. Caesar maju satu langkah dan menatapnya lekat. "Maaf mengganggu malam-malam, Dokter Chloe. Saya ke sini menjemput Anda. Alvino sekarang demam tinggi dan tidak kunjung turun sejak beberapa jam yang lalu." "Apa?!" Chloe ikut terkejut mendengarnya. "Saya sudah mengirimkan pesan pada Anda tapi belum ada balasan. Karena itu saya langsung ke sini." Mendengar penjelasan Caesar dan wajahnya yang panik, Chloe pun ikut merasakan hal yang sama. Pasalnya ia sudah berjanji untuk menjadi dokter pribadi Alvino—putranya sendiri. Chloe menatap laki-laki itu lekat. "Kalau begitu saya akan ikut dengan Tuan, tolong tunggu sebentar, Tuan. Saya akan mengambil peralatan saya dulu." Caesar mengangguk. Laki-laki itu tetap berdiri di luar menunggu Chloe yang berlari masuk ke dalam rumah. Chloe berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua. Di sana, Dylan dan Diego menatapnya dengan bingung. "Sayang, Mommy harus pergi sekarang. Ada pasien Mommy yang sedang sakit, Dylan dan Diego di rumah sendiri sebentar, tidak apa-apa 'kan?" Chloe menatap menatap mereka sambil mengambil tas dan jaketnya. Mereka berdua tidak melayangkan protes karena sudah biasa ditinggal shift malam oleh Chloe. "Iya, Mom. Jangan khawatirkan kami," jawab Dylan mengacungkan jempolnya. "Mommy harus hati-hati, harus pulang cepat, dan jangan lupakan kami!" seru Diego menatap Chloe dengan bibir cemberut. Chloe tersenyum hangat. Ia mengusap pipi si kembar bergantian. "Iya, Sayang. Kalau begitu Mommy berangkat sekarang. Kalian jangan keluar dari kamar, ya!" Chloe menatapnya lagi. "Siap!" Keduanya menjawab kompak. Setelah itu, Chloe segera bergegas pergi dan berusaha yakin pada Dylan dan Diego untuk tetap baik-baik saja di rumah. Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di kediaman Caesar Leopold. Rumah megah dua lantai bergaya Italian yang tampak begitu sepi saat ia datang. "Silakan masuk, dokter Chloe." Caesar mempersilakan Chloe masuk ke dalam rumah. Caesar mengajak Chloe ke lantai dua, ke kamar Alvino. Chloe melihat anak laki-laki bertubuh kecil itu terbaring di atas ranjang ditemani oleh pelayan dan ajudan Papanya. "Ya ampun, Alvino." Chloe yang tampak cemas, segera mendekati Alvino. Ia memeriksa Alvino dengan sangat lembut dan hati-hati, berusaha tidak membangunkan tidurnya. Caesar di sampingnya menatap lekat pada setiap gerakan Chloe yang penuh perhitungan. "Bagaimana, Dokter Chloe? Apakah Alvino baik-baik saja?" tanya Caesar, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Chloe melepaskan stetoskopnya dan menggeleng. "Tidak apa-apa, Tuan. Alvino drop sebab kemarin dia baru saja mendapatkan suntikan. Saya akan memberikan obat penurun panas." Caesar mengangguk. "Baik, dok." Chloe segera memberikan resep obat penurun panas untuk Alvino. Setelah pemeriksaan selesai, Chloe segera berpamitan untuk kembali pulang. Chloe menolak tawaran Caesar untuk mengantarkannya. Ia memilih pulang menggunakan taksi. Chloe bisa bernapas lega setelah memastikan kondisi Alvino. Kini ia harus segera pulang karena Dylan dan Diego pasti sudah menunggunya di rumah. ** Keesokan harinya …. "Dylan dan Diego cepat masuk ke penitipan, Mama sudah kesiangan!" Chloe menatap kedua anak laki-lakinya. Mereka baru saja sampai di tempat penitipan. Ia kesiangan sebab Dylan dan Diego susah dibangunkan pagi tadi. Hingga kini Chloe harus kejar-kejaran oleh waktu. Diego cemberut menatapnya. "Mommy nanti siang ke penitipan, 'kan?" "Iya, Sayang. Mommy nanti siang ke sini," jawab Chloe sambil mengecup pipi Dylan dan Diego. "Mommy berangkat sekarang, ya ... Kalian berdua cepat masuk ke dalam penitipan dan jangan nakal, oke?" Kedua anaknya hanya mengangguk paham. Chloe kembali mengecup kedua pipi Dylan dan Diego sebelum ia bergegas pergi sambil melambaikan tangan pada kedua buah hatinya. "Bye-bye, Mommy! I love you!" Diego melambaikan tangannya. Sedangkan Dylan hanya diam bersedekap sambil melirik datar ke arah kembarannya yang heboh sendiri. Setelah melihat sang Mama menyeberangi jalan raya dan masuk ke rumah sakit, Dylan dan Diego masih berdiri di depan gerbang tempat penitipan. "Emm ... Dylan, apa kau tidak ingin pergi jalan-jalan dulu? Aku ingin beli es krim." Diego menatap kembarannya yang diam sejak tadi. Dylan menatap ke dalam gerbang kawasan penitipan yang masih sangat sepi. "Sepertinya bukan ide buruk, aku juga ingin melihat-lihat kota ini." Dylan mengangguk setuju. Wajah Diego langsung tampak berbinar-binar. “Yeayy! Kalau begitu, ayo kita berangkat!” Kedua anak itu berjalan bergandengan tangan meninggalkan penitipan. Dylan dan Diego menyusuri jalanan kota Paris yang cukup ramai pagi ini. Diego sibuk mencari-cari kedai es krim di sekitar sana. Sedangkan Dylan tampak menikmati pemandangan di sekitarnya. Ini kali pertama mereka pergi tanpa pengawasan Chloe. "Wahh, ternyata kota ini sangat besar dan bagus. Lihat di sana, Dylan ... ada taman! Ayo ke sana, kita main perosotan!" ajak Diego menarik lengan kembarannya. Dylan berdecak seketika. "Ck! Kau ini seperti bocah saja, Diego! Kita ini sudah besar, tidak level main perosotan!" gerutunya kesal. "Dylan tidak asik!" seru Diego sambil menghentakkan kaki, ngambek. Dia cemberut dan menggembungkan kedua pipinya karena Dylan selalu menolak ajakannya. "Mau aku tinggal di sini? Biar kau hilang dan jadi gelandangan?" sinis si sulung, tidak terpengaruh dengan aksi ngambek kembarannya. Dylan mendengkus kesal, tetapi masih menggandeng tangan kembarannya yang tengah marah. Bagaimanapun juga, ia tidak mau kembarannya yang pecicilan itu pergi seenaknya dan merepotkannya. Namun, tiba-tiba seorang anak perempuan dengan rambut berpita merah, berlari dari sebuah toko roti mendekati Dylan dan Diego. "Kakak...!" Anak perempuan itu adalah Adele. Ia tidak sengaja melihat dua kembarannya yang ia pikir Alvano dan Alvino. Padahal tadi, Adele hanya pergi berdua dengan Vidia. Kini Adele mencekal lengan Dylan dan Diego, menarik keduanya dengan raut marah. "Kakak kenapa ada di sini? Mainnya tidak boleh jauh-jauh! Nanti Daddy bisa marah-marah!" seru Adele masih menarik lengan Dylan dan Diego. Dylan dan Diego mengerutkan keningnya bingung. "Kau siapa? Sok kenal sok dekat dengan kita!" seru Diego melepaskan tangan Adele. "Cih ... Sok asik! Dasar bocah!" timpal Dylan, tidak suka dengan sikap anak asing di depannya itu. "Huum! Sudah jelek, pendek, cerewet lagi!" imbuh Diego dengan ekspresi sebal. Kedua mata Adele melebar. "Jangan pura-pura, ya! Adele ini—" "Hei, Bocah cerewet! Kalau kau mau sok kenal sok dekat, cari anak-anak yang lain saja! Ayo, Diego." Dylan langsung menarik lengan kembarannya dan bergegas pergi meninggalkan anak perempuan yang terdiam di sana. Adele mengerjapkan kedua matanya dan bibirnya menjadi manyun. Raut wajah imutnya tampak bingung sekaligus kesal. "Kenapa Alvano dan Alvino jadi aneh?” Adele memiringkan kepalanya sedikit, bingung dengan apa yang barusan terjadi. “Aku harus kasih tahu Mami!”"Tu-Tuan Caesar, apa yang Anda lakukan malam-malam begini menemui saya?"Dengan ragu-ragu, Chloe menatap wajah tampan Caesar Leopold yang dihiasi guratan ekspresi panik. Caesar maju satu langkah dan menatapnya lekat. "Maaf mengganggu malam-malam, Dokter Chloe. Saya ke sini menjemput Anda. Alvino sekarang demam tinggi dan tidak kunjung turun sejak beberapa jam yang lalu." "Apa?!" Chloe ikut terkejut mendengarnya. "Saya sudah mengirimkan pesan pada Anda tapi belum ada balasan. Karena itu saya langsung ke sini." Mendengar penjelasan Caesar dan wajahnya yang panik, Chloe pun ikut merasakan hal yang sama. Pasalnya ia sudah berjanji untuk menjadi dokter pribadi Alvino—putranya sendiri. Chloe menatap laki-laki itu lekat. "Kalau begitu saya akan ikut dengan Tuan, tolong tunggu sebentar, Tuan. Saya akan mengambil peralatan saya dulu." Caesar mengangguk. Laki-laki itu tetap berdiri di luar menunggu Chloe yang berlari masuk ke dalam rumah. Chloe berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat Chloe tiba di tempat penitipan anak yang tampak sepi.Chloe melihat satu putra kecilnya berdiri menunggu dengan wajah tertekuk sedih. Sementara satu lagi duduk di teras tempat penitipan. "Mommy...!" Diego berlari saat melihat Chloe, lalu memeluknya erat. "Mommy kenapa lama sekali? Katanya tidak terlalu malam pulangnya!" protesnya sambil mengeratkan rengkuhannya. "Maafkan Mommy ya, Nak. Tadi banyak pasien," kata Chloe.Dylan beranjak dari duduknya, lalu bersedekap dan bersandar pada pilar. "Si cengeng itu tadi menangis, Mom. Benar-benar tidak gentle man!" adu Dylan, melirik kembarannya yang masih memeluk erat sang Mama. Chloe menatap Diego yang cemberut. "Diego kalau tidak suka bermain dengan teman-teman yang lain, main sama Kakak saja, Sayang." "Tapi Kakak tidak mau diajak main gelembung, Mommy! Tidak seru!" ujarnya cemberut kesal. "Aku sudah besar. Tidak suka bermain gelembung air!" seru Dylan membela diri.Chloe terkekeh mendenga
Chloe melepas maskernya dan berjalan mendekati anaknya yang tengah duduk di kursi tunggu."Ya ampun, Sayang, kenapa menyusul Mommy ke rumah sakit? Siapa yang mengantarkan Diego ke sini?" tanya Chloe khawatir.Namun, anak laki-laki itu menatapnya dengan sorot mata bingung. "Namaku bukan Diego, Bu Dokter. Namaku Alvino," ucap anak itu dengan suara lemah. Chloe menyergah napasnya. "Jangan bercanda, Diego. Kita kembali ke penitipan—""Bu dokter, namaku Alvino. Alvino Leopold!" ujar anak itu dengan bibirnya yang cemberut, tampak mulai kesal. Chloe tercengang. "A-apa? L-Leopold?!"Detak jantung Chloe seketika berpacu saat anak itu mengangguk. Ia merasakan napasnya tercekat. Tangannya gemetar saat menyentuh pipi Alvino. Rasanya … sama seperti menyentuh pipi Dylan dan Diego. Chloe susah payah menelan ludah. Sesuatu seolah baru saja menghantam kepalanya. Anak ini … jangan-jangan ….Tiba-tiba terdengar suara pintu kaca depan terbuka. Chloe menoleh. Kedua pupilnya bergetar saat melihat dua
Sementara itu, di kediaman Leopold …."Daddy jangan pergi! Kita bertiga tidak mau ditinggal Daddy!"Suara tangis anak perempuan bertubuh mungil terdengar menggelegar. Ia memeluk erat pria berbalut jas hitam yang membalut tubuh atletisnya dengan erat.Pria tampan itu adalah Caesar Leopold—Papa si kembar tiga. "Daddy tidak akan lama, Princess. Nanti malam Daddy akan pulang,” kata Caesar sambil menenangkan anak perempuannya yang manja.“Alvino tidak mau berobat kalau tidak ada Daddy,” timpal Alvino dengan suara lemah dan bergetar, hampir menangis.Caesar mengusap kepala anak lelakinya. “Daddy akan menemani Alvino berobat nanti, oke?" “Daddy bohong! Daddy pasti akan pulang sangat malam saat kami bertiga sudah tidur!” Adele kembali meraung.Caesar berusaha sabar. "Di rumah masih ada Mami, Sayang. Nanti Mami akan—" "Kapan Daddy peka?! Kami mau Daddy, bukan Mami!" Kali ini, giliran Alvano—si sulung yang melayangkan protes.Di antara mereka bertiga, memang Alvano lah yang paling menonjol.
Lima Tahun Kemudian."Diego ... ayo, Sayang! Jangan marah dong, anak tampannya Mommy. Itu Dylan sudah menunggu." Chloe menatap salah satu anak laki-lakinya yang tampak merajuk. Anak kecil itu bersedekap dengan bibir mengerucut di tengah kerumunan orang di bandara internasional Paris. Dengan sabar, Chloe mendekatinya dan membungkukkan badan untuk mensejajarkan tatapannya dengan si kecil."Tadi sebelum berangkat, Diego sudah janji pada Mommy untuk tidak nakal, kan?" Chloe mengusap pucuk kepala anak tersebut."Diego ‘kan sudah bilang tidak mau ke sini! Ayo kembali ke Nantes, Mom!" seru anak itu menggembungkan pipinya yang memerah. Berbeda dengan kembarannya yang merajuk, Dylan—si sulung yang merasa sudah dewasa, bersedekap dengan alis mengerut tajam, menatap jengah pada kembarannya. Tangannya memegangi koper kecil miliknya dan kembarannya. "Cih! Anak kecil memang selalu saja merepotkan!" ketus Dylan, seolah mereka tidak seumuran.Wajah Diego semakin keruh. "Kakak, kita hanya beda beb
"Vidia? Kau mau membawa anakku ke mana?" Chloe Valencia yang baru saja terbangun dari tidurnya, menatap bingung pada sahabatnya yang tengah memindahkan bayinya ke dalam boks dorong dengan tergesa. Dua hari yang lalu, setelah melalui persalinan yang panjang, Chloe melahirkan lima anak kembar sekaligus. Kebingungannya berubah menjadi panik saat Chloe menyadari bahwa tiga dari lima ranjang bayinya kini sudah kosong, hanya menyisakan dua bayi di ranjang masing-masing. Sementara tiga bayi lainnya sudah dipindahkan ke dalam boks dorong yang dibawa oleh Vidia. "Tunggu, Vidia!" seru Chloe saat melihat Vidia bergegas ke arah pintu sambil mendorong boks bayi tersebut. Chloe berpegangan pada tepian ranjang dan terbungkuk memegangi perutnya yang perih bekas jahitan operasi. "Kau mau membawa mereka ke mana?!" serunya panik. "Aku akan membawa mereka pergi bersamaku,” kata Vidia ringan. Seolah itu adalah hal yang sangat lumrah untuk dikatakan. “Apa maksudmu?” tanya Chloe cemas. “Ini sudah t