“Kenapa kamu tiba-tiba bilang seperti ini, Zahra? Ada masalah dengan pembicaraan kita sebelumnya? Atau ada sesuatu yang mengganjal tentang tindakan saya barusan?” tanya Rasul yang jelas terkejut atas apa yang Zahra katakan.
Akad baru saja diucap pagi tadi tetapi sekarang sang istri malah ragu atas pernikahan keduanya. Bagaimana mungkin suasana hati beralih begitu cepat? Apakah mungkin memang istrinya selabil itu?
“Kak Rasul tidak merasakannya? Semuanya baru terungkap beberapa saat lalu. Zahra jadi takut jika ini bukan keputusan yang benar untuk menikah secepat ini, Kak!” Zahra menundukkan pandangannya sementara jari jemarinya terus asik bermain di bawah mukanya.
“Zahra, saya tidak paham. Apa maksudmu? Bisa tolong jelaskan apa yang membuat kamu tiba-tiba ragu?” tanya Rasul lagi.
Zahra kini mengangkat kepalanya dan membawa satu kakinya ke atas sofa demi bisa menatap sang suami dengan lurus. Tangannya pun, meski dengan cukup gemetar akhirnya menggenggam salah satu tangan Rasul.
“Kak Rasul, mempelai mana yang di hari resepsi pernikahannya malah berjalan-jalan ke mall dan ikut acara televisi yang disiarkan langsung terlebih itu acara pencarian jodoh Take Me Out, Sir!” terang Zahra.
Zahra kini mengubah pandangannya ke arah meja tempat tiga buah cangkir teh kini berpangku dan mengeluarkan asap hangat dari tiap lingkar cangkirnya.
“Dan teh itu! Istri mana yang tidak bisa membuat barang hanya secangkir teh! Bahkan Zahra tidak bisa membedakan mana teh pahit dan teh normal! Menurut Kak Rasul itu artinya siap dengan riuhnya dunia pernikahan?” papar Zahra.
Rasul mengambil alih tangan Zahra dan menutupnya rapat dengan kedua tangannya. Pandangannya kini menatap mata Zahra dengan lembut seolah tak terbebani dengan keluhan Zahra barusan.
“Jadi itu yang membuatmu ragu? Kenapa kamu terlalu memikirkan hal dengan sulit, Zahra. Itu hanya masalah kecil. Tempat ini juga masih baru untukmu. Pantas jika kamu masih salah menuangkan sesuatu dan kebingungan tentang suatu hal,” tutur Rasul.
“Lalu tentang acara pencarian jodoh itu? Bagaimana Kak Rasul bisa menjelaskannya?” tanya Zahra kembali tampak rahu.
“Ambil saja sisi baiknya. Saya bisa mengumumkan pernikahan kita kepada semua penonton dan bisa merayakan pernikahan kita dengan mewah di televisi. Bukankah itu bagus?” tutur Rasul.
Zahra mengerutkan dahinya lalu memandang Rasul yang seolah masih yakin terhadapnya. Pesan Sabit kembali membuatnya terbayang dan ketakutan jika benar ia masih jauh dari kata siap untuk menjalani pernikahan itu.
Meskipun ia dirasa sudah cukup siap, namun tiba-tiba rasa ragu itu muncul seolah tanpa aba-aba dan membuat momennya berkurang.
“Kak, Kak Rasul tidak takut jika Zahra tidak bisa mengurus rumah dengan baik? Kak Rasul 28 tahun sementara Zahra masih 23 tahun. Bukankah ini terlalu dini?” lirih Zahra.
“Sekarang katakan. Apa kamu keberatan dengan pernikahan kita yang sudah terjadi ini, Zahra? Kamu benar ragu?”
“Bukan begitu, Kak. Zahra hanya taut tidak bisa mengurus Kak Rasul yang telah banyak pengalaman dan sangat dewasa ini. Zahra juga takut tidak bisa mengurus rumah dengan baik. Bagaimana jika Zahra malah merepotkan kehidupan Kak Rasul?”
Zahra tampak memberi jeda sebelum akhirnya menarik napas dan sedikit memutar tubuhnya agar tak ketir setiap matanya bertemu dengan mata Rasul.
“Zahra tidak begitu pandai memasak, lho! Bersih-bersih juga tidak serajin itu!” imbuhnya.
“Pekerjaan itu bukan hanya untukmu, Zahra. Saya dan kamu bisa sama-sama belajar dan membaginya untuk saling menyempurnakan. Kita sama-sama baru pertama kali menjalani kehidupan ini apalagi dengan pernikahan. Ini masih hari pertama, tentu ada syok yang tiba-tiba menyerang. Tapi saya harap itu tidak membuat kamu ragu.”
“Saya memutuskan untuk meminang dan menikahimu dengan penuh keyakinan. Kamu pun menerima saya dengan keyakinan yang sama. Jadi jangan ragu atas pernikahan ini, Zahra. Saya yakin, semua masalah atau halangan pada pernikahan kita nanti bisa diselesaikan dengan baik.”
Wajah Rasul jelas menunjukkan keyakinannya, dan perlahan itu menular pada Zahra yang perlahan tenang dan mencoba kembali meyakinkan dirinya bahwa dia akan bisa membangun keluarga kecilnya bersama sang suami dengan baik.
“Umur kita memang terkesan jauh, tetapi dengan begitu kita bisa saling belajar untuk serius dan santai di saat-saat yang memang diperlukan. Jadi kamu masih ragu? Saya harap tidak, karena teh kita akan segera dingin nanti,” tutur Rasul.
“Maaf ya, Kak.”
Hari berganti malam, keduanya telah mengenakan piyama mereka masing-masing. Dan untuk pertama kalinya Rasul kini melihat betapa indah dan lembutnya rambut yang selama ini Zahra tutup di balik hijab panjangnya itu.
Keduanya naik ke atas ranjang dengan rasa cukup canggung. Zahra tampak segera menarik selimut hingga nyaris menutup pundaknya. Sementara itu Rasul tampak memainkan jarinya dan bersenandung kecil untuk menghilangkan canggung dan gugup karena untuk pertama kalinya seorang wanita berbaring di sebelahnya.
Namun tiba-tiba ruangan menjadi lebih sunyi saat Rasul berhenti bersenandung. Keduanya saling menatap atap ruangan seolah tengah menghitung cicak di sana.
“Kak Rasul pasti capek ‘kan?!”
“Kamu pasti lelah ‘kan, Zahra?” ujar keduanya bersamaan dan saling menoleh satu sama lain.
Kekehan keduanya kini saling bertubruk. Lebih tepatnya meringis karena malu mengutarakan apa yang baru keduanya katakan. Jadilah hanya anggukan untuk menjawab pertanyaan satu sama lain.
“Kalau begitu, langsung tidur saja? Besok ada acara pagi untuk bertemu tim Kak Rasul ‘kan?” ujar Zahra sambil meringis.
“Ahh, iya! Benar! Barusan saya juga mau bilang begitu! Baiklah, selamat malam, Zahra! Selamat tidur!” tutur Rasul terasa amat aneh.
“Kak Rasul juga!”
Lampu padam keduanya memaksa kantuk hingga akhirnya tertidur.
Cahaya mentari samar-samar menerjang gorden tipis kamar itu dan membuat Rasul mulai menggeliatkan tubuhnya. Tanpa sadar panggilan telepon sedari tadi mengalun tanpa jawaban.
Melihat Zahra memeluk dirinya erat membuat jantung Rasul berdegup amat kencang. Ia bahkan tak terlalu berani bergerak meskipun harus memeriksa ponselnya yang terus berdering.
“Astagfirullah, Zahra!! Kita terlambat!” pekik Rasul seketika membuat Zahra terkejut.
Keduanya terperanjat dan bangun dari ranjang dengan cukup heboh sebelum akhirnya berlarian menyiapkan diri masing-masing.
“Kak Rasul!! Hijab Zahra hilang!! Di koper tidak ada!! Apa Kak Rasul memakainya untuk handuk tadi?” teriak Zahra dari kamar sembari mengacak-acak kopernya yang ada di atas ranjang.
“Apa, Zahra? Saya tidak dengar! Telurnya hampir gosong! Kamu atasi dulu sebentar ya, saya harus mengangkat kompornya! Eh, telurnya! Astaga,” sahut Rasul yang sama sibuk dengan kompor sementara kemejanya sama sekali belum terkancing dengan benar.
Pagi itu menjadi pagi yang amat heboh untuk keduanya. Pakaian yang entah hilang kemana, kaos kaki yang terselip, sarapan yang belum siap, dan ocehan pagi hari benar-benar tak menggambarkan dunia pernikahan yang tenang.
“Apakah Zahra benar jika pernikahan ini terlalu dini untuk kami berdua?”
“Kak Rasul!!” teriak Zahra bersamaan dengan Rasul yang tampak terkejut dan tersentak menjauh dari sisi kompor. “Astagfirullah Kak Rasul!!” teriak Zahra lagi lalu dengan cepat berlari ke arah Rasul dan mematikan kompor yang telah mengeluarkan asap gosong dari setiap sisi pan yang Rasul gunakan untuk menggoreng telur mata sapi. Mata Rasul melotot melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya. Telur yang beberapa waktu lalu berniat ia angkat agar tak gosong sekarang telah kering dan tampak buruk rupa, bahkan pan baru hadiah pernikahan mereka kini tampak telah hangus. “Kak Rasul kenapa, sih? Melamun? Atau tidak tahu cara mematikan kompor? Kenapa telurnya dibiarkan sampai gosong? Kalau nanti kompornya panas, terus gasnya meledak dan kita mati terpanggang di sini bagaimana, Kak? Kak Rasul mau ada berita tentang kita pakai headline ‘Sehari nikah dua pasangan ini ditemukan gosong?’ Hmm?!” cecar Zahra tak berhenti mengomel. Rasul tak menjawab dan seketika menarik Zahra mendekatinya lalu me
“Mau sampai kapan seperti ini, Zahra? Badan saya rasanya sudah remuk,” lirih Rasul. Mata Zahra seketika terbuka dam dengan cepat tubuhnya melakukan penolakan pada Rasul hingga ia dengan cepat berdiri dari posisi tak aesthetic itu. “Ya salah kak Rasul! Kenapa harus menggoda Zahra tadi. Kalau kak Rasul tidak memulai, Zahra tidak akan memukul dan kits tidak akan jatuh!” ujar Zahra masih saja mengomel. Rasul sambil sedikit merintih bangkit sembari memegangi dadanya. Melihat apa yang terjadi pada Rasul, Zahra langsung mengendurkan emosinya. Ia segera kembali berjongkok dan memegang bahu Rasul untuk memeriksa keadaan sang suami. “Kak, sakit? Maaf ya,” lirih Zahra. “Nggak apa-apa, cuma kaget aja. Bisa bantu saya berdiri?” tanya Rasul sembari mengangkat kepalanya menatap Zahra. Tak menunggu lama, Zahra segera bangkit lalu menjulurkan tangannya untuk membantu sang suami untuk segera bangkit dari posisinya. “Kak Rasul duduk saja dulu di sini, Zahra ambilkan air minum sebentar,” ujar Zahr
“Hah?” celetuk Zahra blak-blakan. Wajah Rasul yang awalnya memasang tampang bahagia seketika berubah datar. “Kamu tidak merasa saya tampan begitu? Tidak ingin memuji suamimu ini? Saya sudah memuji kamu tapi kamu tidak? Kamu benar-benar tidak merasa saya tampan, Zahra?” ujar Rasul. “Ohh, jadi mau balasan? Enggak sih, Kak! Malahan Zahra merasa setelah menikah kak Rasuk jadi jelek! Tidak setampan dulu sebelum menikah dengan Zahra. Padahal kita ‘kan baru menikah sehari. Apa memang kak Rasul aslinya jelek ya? Terus Zahra kena pelet akhirnya nikah, eh habis nikah ternyata jelek!” papar Zahra. “Jahat kamu, Zahra!” putus Rasul lalu dengan cepat dan tanpa menunggu balasan dari Zahra pemuda itu langsung keluar dari mobil dan meninggalkan Zahra yang terkejut atas tingkahnya sendiri dalam mobil. “Tunggu! Apa ini tadi? Dia mengambek? Astaga, apa dia memang semanja ini? Oh my God! Seorang Rasul Asyraf ternyata manja? Oh my God! Lucu banget, sih! Suami siapa! Aha! Suami akulah!” kekeh Zahra lalu
Wajah Zahra seketika mengerut, ia bahkan hingga memundurkan tubuhnya dari Rasul saat mendengar bisikan Rasul yang terkesan menjadi sebuah ancaman itu. “Apa? Kenapa gitu? Kenapa Zahra tidak boleh ikut ke kantor? Karena kak Rasul ingin berduaan dengan kak Alimah?” sahut Zahra seolah tanpa dosa. “Karena kamu! Baru sehari saya ajak kamu bertemu dengan rekan kantor saya, tapi lihat! Kamu sudah bilang ada yang tampan! Beraninya kamu memuji pemuda lain di depan suamimu sendiri!” omel Rasul. Bukannya menciut karena omelan sang suami, Zahra malah tampak tersenyum tipis, raut wajahnya seolah tengah meledek kecemburuan kekasihnya itu. “Ehmm, jadi kak Rasul cemburu? Uhh, ternyata seorang Rasul Asyraf selain manja cemburuan juga?” kekeh Zahra. “Kalau kamu terus ledek saya, saya akan benar-benar kabulkan ancaman saya supaya kamu tidak perlu bertemu dengan rekan kantor saya, Zahra!” ancam Rasul. Zahra seketika melingkarkan tangannya pada tangan kanan Rasul. Dengan cepat pula ia menyandarkan ke
Benar saja, setelah separuh teh itu habis dan Zahra usai membantu sang ibu di dapur untuk sekadar berbenah rumah, Rasul kini berada di dalam kamar Zahra bersama sang pemilik kamar. Pemuda itu tampak melihat sekitar kamar sang istri. Kadang tatapannya sedikit serius, kadang tersenyum, dan tiba-tiba terkekeh. “Kenapa harus menatap seperti itu sih, Kak? Kak Rasul masuk ke sini ‘kan untuk membantu Zahra bukan melakukan inspeksi pada kamar Zahra. Jadi tidak perlulah sok serius jadi pengamat seperti itu!” keluh Zahra. Rasul kini mengubah pandangannya ke arah Zahra lalu perlahan duduk ke ranjang. Pemuda itu mendongakkan kepalanya dam menatap Zahra yang berdiri di hadapannya. “Saya tidak sedang inspeksi kok! Cuma lihat-lihat saja! Jadi ini kamar istri saya sebelum bertemu dengan suaminya? Ini pasti juga menjadi saksi bisu dia mengagumi saya. Iya ‘kan?” goda Rasul. “Idih! Apaan, sih!” Zahra segera memalingkan wajahnya lalu menuju lemari. Sudah pasti ia ingin menghalau rasa salah tingkah a
Rasul seketika melepaskan kecupannya ia menunduk dan menatap wajah Zahra yang telah mendongak lebih dulu menatapnya. “Kak Rasul jangan tidur dulu, ya! Temani Zahra di dapur. Zahra nggak mau sendirian. Nanti Zahra bikinin mie, deh! Ya?” rengek Zahra sembari menarik kedua sisi baju koko Rasul. “Emm, gimana ya? Tapi saya ngantuk banget, Zahra.” Rasul berlaga menguap. Jujur saja pemuda itu sangat ingin menemani sang istri. Namun bukan Rasul namanya jika tidak menggoda Zahra dan membuat gadis itu sedikit kesusahan. “Ayolah, Kak! Kalau kak Rasul punya telur, nanti Zahra bikinin telur mata sapi juga, deh! Ayah waktu itu pernah bilang telur mata sapi buatan Zahra lebih enak karena tepiannya nggak kering! Dijamin enak, deh! Yah! Mau yaa? Pleasee!” pekik Zahra lalu kini tangan wanita itu yang masih tertutup mukena seluruhnya memeluk erat Rasul. Bahkan kepala Zahra tampak bersandar pada dada Rasul. Seketika pemuda itu meneguk salivanya akibat terlalu terkejut dengan apa yang Zahra lakukan.
Rasul tampak terdiam, tangan kekar miliknya perlahan memegang rambut Zahra dan mengelusnya perlahan. Senyumnya diam-diam merekah saat melihat wanita asing yang telah menjadi bagian pahalanya itu tertidur dengan cantik. Malam yang semakin dingin, jendela yang rupanya belum tertutup sempurna semakin meyakinkan Rasul untuk memindahkan tubuh sang istri agar tak terkena angin malam atau sejenisnya. “Sebentar saja ya, Sayang. Kamu lanjutkan tidurnya di kamar saja,” bisik Rasul pelan lalu menggeser tubuh Zahra yang tengah memeluknya itu. Sambil mengucapkan basmalah, akhirnya pemuda itu bisa membawa Zahra ke dalam kamar dan perlahan meletakkan wanita itu ke atas ranjang. Sembari memastikan posisi tidur yang Zahra dapatkan benar dan nyaman, Rasul menarik selimut tebal yang ada di bawah kaki wanita itu dan menutup hingga nyaris seluruh tubuhnya. “Selamat tidur, Zahra!” bisiknya lagi lalu mengecup kening sang istri. Pukul tiga pagi, alarm yang memang sengaja dipasang setiap harinya berdent
Setelah melewati banyak bujuk rayu, akhirnya sepasang suami istri baru itu kini telah berada di atas sajadah dan telah menuntaskan sholat malam mereka. Ritual yang sama seperti membaca doa, bersalaman lengkap dengan cium tangan dan kening pun dilakukan. Zahra tampak mendongakkan kepalanya memandang Rasul seperti seorang anak kecil yang tengah merengek minta dibelikan es krim. “Kenapa? Tiba-tiba pasang muka seperti itu?” tanya Rasul sembari mencolek hidung minimalis milik Zahra. “Ehm, seingat Zahra, semalam kita ada di depan televisi. Kok bisa sampai di kamar? Kak Rasul gendong Zahra?” tanya Zahra sembari malu-malu. “Enggak, saya enggak gendong kamu kok! Tapi saya sulap! Cling! Langsung deh kamu pindah ke ranjang. Keren ‘kan saya?” kekeh Rasul diikuti kekehan milik Zahra. “Bohong! Pasti digendong! Memang Zahra tidak berat?” Rasul menggeleng sembari menjentikkan jarinya sebagai kode mudah atas pertanyaan yang Zahra ajukan. Wanita itu tampak mengangguk sembari berdeham. “Kalau beg