Share

5. Terlalu Dini

“Kenapa kamu tiba-tiba bilang seperti ini, Zahra? Ada masalah dengan pembicaraan kita sebelumnya? Atau ada sesuatu yang mengganjal tentang tindakan saya barusan?” tanya Rasul yang jelas terkejut atas apa yang Zahra katakan.

Akad baru saja diucap pagi tadi tetapi sekarang sang istri malah ragu atas pernikahan keduanya. Bagaimana mungkin suasana hati beralih begitu cepat? Apakah mungkin memang istrinya selabil itu?

“Kak Rasul tidak merasakannya? Semuanya baru terungkap beberapa saat lalu. Zahra jadi takut jika ini bukan keputusan yang benar untuk menikah secepat ini, Kak!” Zahra menundukkan pandangannya sementara jari jemarinya terus asik bermain di bawah mukanya.

“Zahra, saya tidak paham. Apa maksudmu? Bisa tolong jelaskan apa yang membuat kamu tiba-tiba ragu?” tanya Rasul lagi.

Zahra kini mengangkat kepalanya dan membawa satu kakinya ke atas sofa demi bisa menatap sang suami dengan lurus. Tangannya pun, meski dengan cukup gemetar akhirnya menggenggam salah satu tangan Rasul.

“Kak Rasul, mempelai mana yang di hari resepsi pernikahannya malah berjalan-jalan ke mall dan ikut acara televisi yang disiarkan langsung terlebih itu acara pencarian jodoh Take Me Out, Sir!” terang Zahra.

Zahra kini mengubah pandangannya ke arah meja tempat tiga buah cangkir teh kini berpangku dan mengeluarkan asap hangat dari tiap lingkar cangkirnya.

“Dan teh itu! Istri mana yang tidak bisa membuat barang hanya secangkir teh! Bahkan Zahra tidak bisa membedakan mana teh pahit dan teh normal! Menurut Kak Rasul itu artinya siap dengan riuhnya dunia pernikahan?” papar Zahra.

Rasul mengambil alih tangan Zahra dan menutupnya rapat dengan kedua tangannya. Pandangannya kini menatap mata Zahra dengan lembut seolah tak terbebani dengan keluhan Zahra barusan.

“Jadi itu yang membuatmu ragu? Kenapa kamu terlalu memikirkan hal dengan sulit, Zahra. Itu hanya masalah kecil. Tempat ini juga masih baru untukmu. Pantas jika kamu masih salah menuangkan sesuatu dan kebingungan tentang suatu hal,” tutur Rasul.

“Lalu tentang acara pencarian jodoh itu? Bagaimana Kak Rasul bisa menjelaskannya?” tanya Zahra kembali tampak rahu.

“Ambil saja sisi baiknya. Saya bisa mengumumkan pernikahan kita kepada semua penonton dan bisa merayakan pernikahan kita dengan mewah di televisi. Bukankah itu bagus?” tutur Rasul.

Zahra mengerutkan dahinya lalu memandang Rasul yang seolah masih yakin terhadapnya. Pesan Sabit kembali membuatnya terbayang dan ketakutan jika benar ia masih jauh dari kata siap untuk menjalani pernikahan itu.

Meskipun ia dirasa sudah cukup siap, namun tiba-tiba rasa ragu itu muncul seolah tanpa aba-aba dan membuat momennya berkurang.

“Kak, Kak Rasul tidak takut jika Zahra tidak bisa mengurus rumah dengan baik? Kak Rasul 28 tahun sementara Zahra masih 23 tahun. Bukankah ini terlalu dini?” lirih Zahra.

“Sekarang katakan. Apa kamu keberatan dengan pernikahan kita yang sudah terjadi ini, Zahra? Kamu benar ragu?”

“Bukan begitu, Kak. Zahra hanya taut tidak bisa mengurus Kak Rasul yang telah banyak pengalaman dan sangat dewasa ini. Zahra juga takut tidak bisa mengurus rumah dengan baik. Bagaimana jika Zahra malah merepotkan kehidupan Kak Rasul?”

Zahra tampak memberi jeda sebelum akhirnya menarik napas dan sedikit memutar tubuhnya agar tak ketir setiap matanya bertemu dengan mata Rasul.

“Zahra tidak begitu pandai memasak, lho! Bersih-bersih juga tidak serajin itu!” imbuhnya.

“Pekerjaan itu bukan hanya untukmu, Zahra. Saya dan kamu bisa sama-sama belajar dan membaginya untuk saling menyempurnakan. Kita sama-sama baru pertama kali menjalani kehidupan ini apalagi dengan pernikahan. Ini masih hari pertama, tentu ada syok yang tiba-tiba menyerang. Tapi saya harap itu tidak membuat kamu ragu.”

“Saya memutuskan untuk meminang dan menikahimu dengan penuh keyakinan. Kamu pun menerima saya dengan keyakinan yang sama. Jadi jangan ragu atas pernikahan ini, Zahra. Saya yakin, semua masalah atau halangan pada pernikahan kita nanti bisa diselesaikan dengan baik.”

Wajah Rasul jelas menunjukkan keyakinannya, dan perlahan itu menular pada Zahra yang perlahan tenang dan mencoba kembali meyakinkan dirinya bahwa dia akan bisa membangun keluarga kecilnya bersama sang suami dengan baik.

“Umur kita memang terkesan jauh, tetapi dengan begitu kita bisa saling belajar untuk serius dan santai di saat-saat yang memang diperlukan. Jadi kamu masih ragu? Saya harap tidak, karena teh kita akan segera dingin nanti,” tutur Rasul.

“Maaf ya, Kak.”

Hari berganti malam, keduanya telah mengenakan piyama mereka masing-masing. Dan untuk pertama kalinya Rasul kini melihat betapa indah dan lembutnya rambut yang selama ini Zahra tutup di balik hijab panjangnya itu.

Keduanya naik ke atas ranjang dengan rasa cukup canggung. Zahra tampak segera menarik selimut hingga nyaris menutup pundaknya. Sementara itu Rasul tampak memainkan jarinya dan bersenandung kecil untuk menghilangkan canggung dan gugup karena untuk pertama kalinya seorang wanita berbaring di sebelahnya.

Namun tiba-tiba ruangan menjadi lebih sunyi saat Rasul berhenti bersenandung. Keduanya saling menatap atap ruangan seolah tengah menghitung cicak di sana.

“Kak Rasul pasti capek ‘kan?!”

“Kamu pasti lelah ‘kan, Zahra?” ujar keduanya bersamaan dan saling menoleh satu sama lain.

Kekehan keduanya kini saling bertubruk. Lebih tepatnya meringis karena malu mengutarakan apa yang baru keduanya katakan. Jadilah hanya anggukan untuk menjawab pertanyaan satu sama lain.

“Kalau begitu, langsung tidur saja? Besok ada acara pagi untuk bertemu tim Kak Rasul ‘kan?” ujar Zahra sambil meringis.

“Ahh, iya! Benar! Barusan saya juga mau bilang begitu! Baiklah, selamat malam, Zahra! Selamat tidur!” tutur Rasul terasa amat aneh.

“Kak Rasul juga!”

Lampu padam keduanya memaksa kantuk hingga akhirnya tertidur.

Cahaya mentari samar-samar menerjang gorden tipis kamar itu dan membuat Rasul mulai menggeliatkan tubuhnya. Tanpa sadar panggilan telepon sedari tadi mengalun tanpa jawaban.

Melihat Zahra memeluk dirinya erat membuat jantung Rasul berdegup amat kencang. Ia bahkan tak terlalu berani bergerak meskipun harus memeriksa ponselnya yang terus berdering.

“Astagfirullah, Zahra!! Kita terlambat!” pekik Rasul seketika membuat Zahra terkejut.

Keduanya terperanjat dan bangun dari ranjang dengan cukup heboh sebelum akhirnya berlarian menyiapkan diri masing-masing.

“Kak Rasul!! Hijab Zahra hilang!! Di koper tidak ada!! Apa Kak Rasul memakainya untuk handuk tadi?” teriak Zahra dari kamar sembari mengacak-acak kopernya yang ada di atas ranjang.

“Apa, Zahra? Saya tidak dengar! Telurnya hampir gosong! Kamu atasi dulu sebentar ya, saya harus mengangkat kompornya! Eh, telurnya! Astaga,” sahut Rasul yang sama sibuk dengan kompor sementara kemejanya sama sekali belum terkancing dengan benar.

Pagi itu menjadi pagi yang amat heboh untuk keduanya. Pakaian yang entah hilang kemana, kaos kaki yang terselip, sarapan yang belum siap, dan ocehan pagi hari benar-benar tak menggambarkan dunia pernikahan yang tenang.

“Apakah Zahra benar jika pernikahan ini terlalu dini untuk kami berdua?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status