Wajah Zahra seketika berubah ketus saat mendengar pertanyaan yang Rasul berikan kepadanya. Tangan yang awalnya dipegang Rasul pun dibuatnya mengendur
“Saya hanya bercanda, Zahra. Saya hanya tidak menyangka akan dapat kecemburuan sebesar itu darimu. Besok, saya kenalkan pada seluruh tim kerja saya supaya kamu tidak salah paham lagi. Okey? Jadi, bisakah sekarang jangan mengambek?” tutur Rasul.
Akhirnya acara pernikahan hari itu usai. Namun, seperti yang diketahui jika Rasul cukup aktif dengan media sosialnya dalam berdakwah dan memberi motivasi, acara perayaan tidak akan berhenti sampai di situ saja.
Tetapi setidaknya, siang itu acara telah usai dan keduanya akan mulai tinggal berdua di apartemen milik Rasul yang berada tepat di pusat kota.
Bukannya kembali ramai seperti yang mereka lakukan di mall dan gedung pernikahan tadi, keduanya kini malah tampak canggung dan saling terdiam satu sama lain.
“Ehm!” deham Rasul berusaha mencairkan suasana meskipun itu malah membuat keduanya kian tenggelam dalam canggung berdua.
“Saya akan buat teh. Kamu mau?” tawar Rasul sembari bangkit dari sofa ruang tengah yang tak begitu besar itu.
“Biar Zahra yang buatkan saja. Kak Rasul tunggu di sini. Kompor Kak Rasul bukan kompor sultan bukan? Kalau iya, sudah pasti Zahra tidak bisa menggunakannya!” lirih Zahra sembari melirik ke arah dapur.
“Kompor biasa, Zahra. Atau pakai air panas dari dispenser juga bisa. Gelas cangkirnya ada di rak lemari atas, ya!” terang Rasul lalu mendapat anggukan paham dari Zahra.
Tak lama setelahnya, Zahra kembali dengan menenteng dua cangkir di tangan kanan dan kirinya tanpa baki yang menopang dua cangkir teh itu. Rasul sedikit menyipitkan matanya saat melihat Zahra fokus menurunkan kedua cangkir itu di meja.
“Kak Rasul pasti akan bertanya kenapa tidak memakai baki. Tapi sebelum bertanya, biar Zahra jelaskan saja. Ada dua alasan! Alasan pertama, Zahra tidak menemukan di mana baki untuk mengantar teh. Alasan kedua, setiap Zahra membawa minuman untuk tamu dengan baki, akan lebih banyak tetesan teh yang tumpah. Jadi lebih baik dibawa begini saja!” papar Zahra.
Lagi dan lagi Rasul tersenyum lalu mengangguk paham seolah tak keberatan dengan apa yang sang istri tuturkan.
“Kak Rasul tidak marah? Ibu selalu mengeluh kalau Zahra membawa gelas tanpa baki, jadi Kak Rasul tidak keberatan?” tanya Zahra kini duduk di sebelah Rasul dan menatapnya.
“Nanti saya yang akan langsung mengajari kamu bagaimana agar tidak gemetar saat membawa baki menuju tamu. Karena dengan menggunakan baki akan lebih sopan dan gelas itu tidak akan terlalu lama terkena tanganmu. Begitu, ya?” terang Rasul lembut.
“Oh, begitu. Zahra kira tidak masalah.”
Rasul kini kembali mencoba memfokuskan suasana yang malah membuat canggung kembali meratap. Namun pembicaraan serius harus ia lakukan selagi ada waktu luang sebelum jadwal mereka yang akan cukup padat setelah ini.
“Zahra, bolehkah saya mengetahui alasanmu yang sebenarnya menerima lamaran saya secepat ini? Ya, saya tahu mungkin kamu sudah lama melihat saya, tapi bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Rasul.
Zahra tiba-tiba menegakkan tubuhnya dan menatap lantai sebelum akhirnya bersuara menjawab pertanyaan pertama dari Rasul untuknya.
“Jujur saja, sejak awal melihat akun Kak Rasul, rasanya ada yang berbeda. Tapi Zahra tidak berniat mengikuti karena terlalu takut dengan kuat dan besarnya wawasan Kak Rasul. Tapi sayangnya, postingan Kak Rasul terus muncul.”
“Sampai tiba-tiba, Kak Rasul melihat cerita Zahra bersama keluarga besar. Kakak sepupu Zahra mengatakan bahwa Kak Rasul ingin mulai mengenal Zahra. Dan sampai akhirnya bertemu dengan ayah dan ibu. Awalnya Zahra tidak begitu percaya, tapi ternyata Kak Rasul benar datang. Respons bapak dan ibu juga baik, padahal bapak tipe yang cukup tertutup.”
“Karena dari awal Zahra sudah tertarik dan ayah serta ibu setuju, lalu kenapa tidak dipercepat saja? Apalagi Kak Rasul sudah mengatakan kesanggupan Kak Rasul untuk menjalani ikatan pernikahan.” Zahra memainkan jarinya sembari sedikit melirik ke arah Rasul yang saat itu tengah mengamati sisi kanannya.
“Jangan menatap seperti itu. Angle Zahra bagus yang kiri. Jadi kalau dilihat seperti itu pun tidak akan secantik yang ada di foto,” celetuk Zahra seketika membuat Rasul terkekeh lalu meraih teh buatan sang istri.
Satu tegukan membasahi tenggorokan Rasul, namun sekelebat perubahan raut tampak di wajah Rasul. Meskipun pemuda itu dengan cepat menormalkan kembali raut wajahnya, Zahra sepertinya sedikit tahu tentang keanehan itu.
“Kenapa, Kak? Tehnya aneh? Kemanisan ya?” tanya Zahra cepat lalu segera meraih cangkir tehnya dan mencoba.
Wajah Zahra seketika memicing dan memegang lehernya saat dirasa sulit menelan teh itu.
“Pahit banget!!” pekik Zahra perlahan meletakkan kembali cangkir ke meja sambil menggigit bibir bawahnya dan melirik ke arah Rasul.
“Mungkin kamu salah ambil jenis teh. Di sini ada dua jenis teh, teh pahit dan teh normal yang tidak pahit meskipun tanpa gula. Mungkin kamu salah menuangkan. Tapi baiknya, saya suka yang pahit!” tutur Rasul sambil tersenyum tipis.
“Tapi ini terlalu pahit, Kak! Aduh, maaf ya! Jangan diminum lagi, deh! Biar Zahra buatkan lagi, ya! Biasanya takarannya seberapa? Aduh, maaf ya, Kak!” cerocos Zahra dengan wajah cemasnya.
“Tidak perlu. Memang lebih pahit, tapi saya masih bisa meminumnya. Tetapi sepertinya kamu suka teh yang manis ya? Biar saya yang ganti membuatkan untukmu! Tunggu di sini sebentar!” ujar Rasul lalu bangkit dan berjalan menuju dapur.
Zahra melamun melihat kepergian Rasul kala itu lalu memindah tatapannya kembali ke dua cangkir teh buatannya itu. Rasa ragu tiba-tiba mengelilingi hatinya.
Seolah mendapatkan sebuah sihir, ia kembali mengingat pesan yang Sabit kirimkan padanya tepat setelah ia memberi tahu bahwa seorang pemuda akan segera menikahinya.
[Kau pasti berbohong, Zahra!! Mana mungkin kamu akan menikah secepat ini! Membawa baki teh saja masih gemetar, membuat kopi dan teh kemanisan, kamu yakin melayani suamimu seperti itu? Kau pasti lagi-lagi membuat lelucon! Aku rasa kamu belum siap menikah, Zahra! Jangan bercanda sampai nekat mengirim undangan begini, dong!]
Zahra menghembuskan napasnya bersamaan dengan mata yang terpejam. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Namun aroma teh melati tiba-tiba membuatnya membuka mata.
“Teh untukmu, Zahra!” pekik Rasul uang membungkuk di hadapannya dengan senyum manis lebar yang ia punya.
“Kak Rasul, Zahra rasa ada yang salah!” pekik Zahra tiba-tiba, senyuman Rasul seketika berubah menjadi raut kebingungan.
Pemuda itu kini meletakkan cangkir teh ke meja dan duduk di sebelah Zahra dengan tatapan seolah siap mendengarkan keluhan wanita di hadapannya itu.
“Apa yang salah, Zahra? Kamu tidak suka teh?” tanya Rasul perhatian.
“Bukan. Bukan itu, Kak Rasul. Sesuatu yang lain yang lebih penting!” pekik Zahra semakin membuat Rasul bingung.
“Lalu apa itu?”
“Zahra rasa sepertinya pernikahan ini salah. Sepertinya Zahra belum siap untuk menjalani pernikahan ini apalagi menjadi seorang istri untuk seorang Rasul Asyraf.”
Rasul mengerutkan dahinya, ia berusaha mencerna apa yang Zahra katakan. Jelas saja ia bingung, baru pagi tadi ia menggunakan kompornya dan semua baik-baik saja. Namun sekarang? “Rusak bagaimana? Pagi tadi saya pakai masih bisa kok,” sahut Rasul. “Zahra juga nggak tahu, Kak! Coba deh kak Rasul cek! Masalahnya apinya nggak mau keluar! Zahra udah coba sepuluh kali! Kalau kak Rasul nggak percaya coba aja!” ujar Zahra. Rasul bangkit dari sofa lalu berjalan ke arah dapur diikuti Zahra di belakangnya. Pemuda itu kini mengamati sebentar kompornya, semua tampak normal bahkan gas pun terpasang dengan baik. Pemuda itu tampak sedikit menunduk demi mendapatkan posisi yang nyaman untuk menyalakan kompor itu. Dipegang tuas kecil untuk menyalakan benda itu. Tak ada tarikan gas, semuanya terasa anyep begitu saja. Pundak Rasul langsung mengendur lalu menoleh dan menatap Zahra dengan tatapan datar. “Zahra Sayang, kamu memang suka bikin saya kaget?” ujar Rasul. “Iya ‘kan? Nggak bisa ‘kan! Zahra ba
“Diajarin kak Rasul, sih!” sahut Zahra sembari membuka lemari es. “Ngaku aja kalau sudah dari sananya kamu jago menggombal. Bilang saja awalnya masih malu-malu, padahal sebenernya udah kebelet ngegombal dari hari akad. Iya ‘kan?” terang Rasul sembari bersandar pada dinding di dekat kulkas. “Mm, benar juga!” kekeh Zahra disambung kekehan Rasul. Zahra kini beralih ke meja bar dapur dan mulai mengupas bawang serta memotong beberapa sayuran yang ia ambil dari lemari pendingin tadi. “Mau buat apa? Perlu saya bantu apa?” tanya Rasul sembari menyangga dagu di meja bar itu memandang Zahra juga sayuran di sana. “Enggak usah, deh! Kali ini spesial buat kak Rasul. Tadi pagi ‘kan kak Rasul sudah buatkan sup, sekarang ganti deh Zahra yang buatkan untuk kak Rasul! Nasi goreng! Hehe,” kekeh Zahra. Rasul tampak mengangguk setuju. Pemuda itu lanjut mengambil gelas dari rak dan menuangkan air minum dari dispenser. “Minum dulu, salah tingkah bikin gagal fokus soalnya!” pekik Rasul. Zahra mengerut
Zahra duduk di depan meja rias sembari mengarahkan pengering rambut itu ke rambutnya sendiri, sesekali mulutnya bersenandung riang sementara tangannya menyapu rambut hitamnya perlahan.Dari belakang, tampak pintu toilet perlahan terbuka. Zahra seketika melebarkan matanya. Ditariknya pengering rambut itu ke dekapannya dengan kedua tangan mencengkeram erat. Bibirnya menyatu satu sama lain sembari menelan salivanya. Senandungnya berhenti seketika.Rasul keluar dari toilet sembari mengusap-usap rambutnya dengan handuk berwarna biru tua. Pemuda itu sebentar berhenti di depan pintu toilet dan mengeringkan kakinya pada anyaman plastik karet bertulis ‘welcome’ itu.Rasul mendongak, tepatnya menatap kaca cermin. Mata Zahra langsung beralih dan berusaha kembali natural dengan mengeringkan rambutnya sendiri.Pemuda itu berjalan santai ke dekat Zahra. Di tariknya sebuah kursi untuk dirinya bersanding di sebelah Zahra. Semerbak aroma wangi mengisi ruang hidung Zahra. Entah apa yang berbeda, tetapi
Rasul tampak menyesal, pemuda itu bangkit dari posisi berbaring namun masih duduk di atas ranjang dan memandang wajah istrinya itu serius. “Maafkan saya, Zahra. Saya benar-benar tidak berniat menggampangkan kamu. Saya juga sangat ingin tetap berada di swalayan tadi, tapi ya begitulah seperti yang saya katakan,” ujar Rasul. “Ya! Zahra memang masih marah karena itu! Tapi yang bikin kesal lagi, karena itu, Zahra lupa mengambil roti! Sekarang pertanyaannya, bagaimana bisa membuat Nugget roti tanpa ada roti? Zahra sudah malas juga keluar rumah lagi. Capek harus bolak-balik memasang sarung tangan lengan juga kaos kaki!” omel Zahra. “Ya sudah, kalu begitu Zahra maunya apa? Atau mau saya yang belikan sendiri di warung sebelah?” tanya Rasul melembutkan suaranya. “Nggak usah! Kita pesan makanan online saja! Zahra juga mau lanjutkan menonton dramanya! Kak Rasul selesaikan saja pekerjaan kakak!” sergah Zahra. Rasul meringis lalu menoleh ke laptop Zahra yang ia pindah ke atas nakas tadi. Ia m
Zahra hanya tersenyum paksa pada keduanya lalu kembali masuk ke dalam dengan baki kosong yang ia pegang di tangannya. Wanita itu menghela napasnya panjang di dapur seolah baru saja menemui seorang pejabat tinggi hingga napas saja harus ia atur sedemikian rupa. Baru saja mengembalikan moodnya yang hilang entah ke mana, Zahra akhirnya memutuskan untuk membuat menu yang memang ia rencanakan tadi di swalayan. Namun ia teringat akan sesuatu. Dengan cepat ia mengecek kembali barang belanjaannya dan menyadari ada sesuatu yang kurang. Wajah Zahra langsung berubah muram. Mulutnya moncong, sementara matanya menatap ketus meja makan yang penuh dengan bahan belanjaannya itu. “Bagaimana bisa buat nugget roti kalau rotinya saja tidak ada!” pekik Zahra. Malas memikirkan menu apa yang bisa menggantikan menu sasarannya, terlebih emosinya yang masih naik turun karena dipaksa pulang membuatnya memilih untuk masuk ke kamar dan membuka laptopnya yang ia bawa dari rumah kedua orang tuanya. “Daripada
Mata Zahra melotot, ia langsung menoleh tajam ke arah rasul yang saat itu juga langsung menoleh ke arahnya. Zahra terang-terangan menunjukkan tatapan tajamnya sembari mengangkat dagunya. Sementara itu Rasul malah mengerutkan dahi sembari menggeleng. “Saya sedang di luar rumah bersama Zahra, Alimah. Apakah ada sesuatu yang sangat penting?” tanya Rasul lagi. “Zahra enggak mau pulang sekarang!!” Mulut wanita itu dengan lebar terbuka menuturkan apa yang ingin ia katakan dengan tanpa suara berharap sang suami memahaminya. “Ehm–” gumam Rasul sembari terus mendengarkan perkataan Alimah dari seberang dan sedikit mengabaikan Zahra yang terus menggeleng tidak mau pulang. “Baiklah, kalau begitu saya akan pulang setelah ini.” Keputusan Rasul barusan tentu saja mengundang amarah bagi Zahra. Wanita itu seketika melotot dan tak bergerak. Pandangannya seolah menatap Rasul kesal sementara tangannya telah terlepas dari genggaman sang suami. “Iya, waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh!” pekik