Share

4. Tenggelam dalam Canggung

Wajah Zahra seketika berubah ketus saat mendengar pertanyaan yang Rasul berikan kepadanya. Tangan yang awalnya dipegang Rasul pun dibuatnya mengendur

“Saya hanya bercanda, Zahra. Saya hanya tidak menyangka akan dapat kecemburuan sebesar itu darimu. Besok, saya kenalkan pada seluruh tim kerja saya supaya kamu tidak salah paham lagi. Okey? Jadi, bisakah sekarang jangan mengambek?” tutur Rasul.

Akhirnya acara pernikahan hari itu usai. Namun, seperti yang diketahui jika Rasul cukup aktif dengan media sosialnya dalam berdakwah dan memberi motivasi, acara perayaan tidak akan berhenti sampai di situ saja.

Tetapi setidaknya, siang itu acara telah usai dan keduanya akan mulai tinggal berdua di apartemen milik Rasul yang berada tepat di pusat kota.

Bukannya kembali ramai seperti yang mereka lakukan di mall dan gedung pernikahan tadi, keduanya kini malah tampak canggung dan saling terdiam satu sama lain.

“Ehm!” deham Rasul berusaha mencairkan suasana meskipun itu malah membuat keduanya kian tenggelam dalam canggung berdua.

“Saya akan buat teh. Kamu mau?” tawar Rasul sembari bangkit dari sofa ruang tengah yang tak begitu besar itu.

“Biar Zahra yang buatkan saja. Kak Rasul tunggu di sini. Kompor Kak Rasul bukan kompor sultan bukan? Kalau iya, sudah pasti Zahra tidak bisa menggunakannya!” lirih Zahra sembari melirik ke arah dapur.

“Kompor biasa, Zahra. Atau pakai air panas dari dispenser juga bisa. Gelas cangkirnya ada di rak lemari atas, ya!” terang Rasul lalu mendapat anggukan paham dari Zahra.

Tak lama setelahnya, Zahra kembali dengan menenteng dua cangkir di tangan kanan dan kirinya tanpa baki yang menopang dua cangkir teh itu. Rasul sedikit menyipitkan matanya saat melihat Zahra fokus menurunkan kedua cangkir itu di meja.

“Kak Rasul pasti akan bertanya kenapa tidak memakai baki. Tapi sebelum bertanya, biar Zahra jelaskan saja. Ada dua alasan! Alasan pertama, Zahra tidak menemukan di mana baki untuk mengantar teh. Alasan kedua, setiap Zahra membawa minuman untuk tamu dengan baki, akan lebih banyak tetesan teh yang tumpah. Jadi lebih baik dibawa begini saja!” papar Zahra.

Lagi dan lagi Rasul tersenyum lalu mengangguk paham seolah tak keberatan dengan apa yang sang istri tuturkan.

“Kak Rasul tidak marah? Ibu selalu mengeluh kalau Zahra membawa gelas tanpa baki, jadi Kak Rasul tidak keberatan?” tanya Zahra kini duduk di sebelah Rasul dan menatapnya.

“Nanti saya yang akan langsung mengajari kamu bagaimana agar tidak gemetar saat membawa baki menuju tamu. Karena dengan menggunakan baki akan lebih sopan dan gelas itu tidak akan terlalu lama terkena tanganmu. Begitu, ya?” terang Rasul lembut.

“Oh, begitu. Zahra kira tidak masalah.”

Rasul kini kembali mencoba memfokuskan suasana yang malah membuat canggung kembali meratap. Namun pembicaraan serius harus ia lakukan selagi ada waktu luang sebelum jadwal mereka yang akan cukup padat setelah ini.

“Zahra, bolehkah saya mengetahui alasanmu yang sebenarnya menerima lamaran saya secepat ini? Ya, saya tahu mungkin kamu sudah lama melihat saya, tapi bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Rasul.

Zahra tiba-tiba menegakkan tubuhnya dan menatap lantai sebelum akhirnya bersuara menjawab pertanyaan pertama dari Rasul untuknya.

“Jujur saja, sejak awal melihat akun Kak Rasul, rasanya ada yang berbeda. Tapi Zahra tidak berniat mengikuti karena terlalu takut dengan kuat dan besarnya wawasan Kak Rasul. Tapi sayangnya, postingan Kak Rasul terus muncul.”

“Sampai tiba-tiba, Kak Rasul melihat cerita Zahra bersama keluarga besar. Kakak sepupu Zahra mengatakan bahwa Kak Rasul ingin mulai mengenal Zahra. Dan sampai akhirnya bertemu dengan ayah dan ibu. Awalnya Zahra tidak begitu percaya, tapi ternyata Kak Rasul benar datang. Respons bapak dan ibu juga baik, padahal bapak tipe yang cukup tertutup.”

“Karena dari awal Zahra sudah tertarik dan ayah serta ibu setuju, lalu kenapa tidak dipercepat saja? Apalagi Kak Rasul sudah mengatakan kesanggupan Kak Rasul untuk menjalani ikatan pernikahan.” Zahra memainkan jarinya sembari sedikit melirik ke arah Rasul yang saat itu tengah mengamati sisi kanannya.

“Jangan menatap seperti itu. Angle Zahra bagus yang kiri. Jadi kalau dilihat seperti itu pun tidak akan secantik yang ada di foto,” celetuk Zahra seketika membuat Rasul terkekeh lalu meraih teh buatan sang istri.

Satu tegukan membasahi tenggorokan Rasul, namun sekelebat perubahan raut tampak di wajah Rasul. Meskipun pemuda itu dengan cepat menormalkan kembali raut wajahnya, Zahra sepertinya sedikit tahu tentang keanehan itu.

“Kenapa, Kak? Tehnya aneh? Kemanisan ya?” tanya Zahra cepat lalu segera meraih cangkir tehnya dan mencoba.

Wajah Zahra seketika memicing dan memegang lehernya saat dirasa sulit menelan teh itu.

“Pahit banget!!” pekik Zahra perlahan meletakkan kembali cangkir ke meja sambil menggigit bibir bawahnya dan melirik ke arah Rasul.

“Mungkin kamu salah ambil jenis teh. Di sini ada dua jenis teh, teh pahit dan teh normal yang tidak pahit meskipun tanpa gula. Mungkin kamu salah menuangkan. Tapi baiknya, saya suka yang pahit!” tutur Rasul sambil tersenyum tipis.

“Tapi ini terlalu pahit, Kak! Aduh, maaf ya! Jangan diminum lagi, deh! Biar Zahra buatkan lagi, ya! Biasanya takarannya seberapa? Aduh, maaf ya, Kak!” cerocos Zahra dengan wajah cemasnya.

“Tidak perlu. Memang lebih pahit, tapi saya masih bisa meminumnya. Tetapi sepertinya kamu suka teh yang manis ya? Biar saya yang ganti membuatkan untukmu! Tunggu di sini sebentar!” ujar Rasul lalu bangkit dan berjalan menuju dapur.

Zahra melamun melihat kepergian Rasul kala itu lalu memindah tatapannya kembali ke dua cangkir teh buatannya itu. Rasa ragu tiba-tiba mengelilingi hatinya.

Seolah mendapatkan sebuah sihir, ia kembali mengingat pesan yang Sabit kirimkan padanya tepat setelah ia memberi tahu bahwa seorang pemuda akan segera menikahinya.

[Kau pasti berbohong, Zahra!! Mana mungkin kamu akan menikah secepat ini! Membawa baki teh saja masih gemetar, membuat kopi dan teh kemanisan, kamu yakin melayani suamimu seperti itu? Kau pasti lagi-lagi membuat lelucon! Aku rasa kamu belum siap menikah, Zahra! Jangan bercanda sampai nekat mengirim undangan begini, dong!]

Zahra menghembuskan napasnya bersamaan dengan mata yang terpejam. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Namun aroma teh melati tiba-tiba membuatnya membuka mata.

“Teh untukmu, Zahra!” pekik Rasul uang membungkuk di hadapannya dengan senyum manis lebar yang ia punya.

“Kak Rasul, Zahra rasa ada yang salah!” pekik Zahra tiba-tiba, senyuman Rasul seketika berubah menjadi raut kebingungan.

Pemuda itu kini meletakkan cangkir teh ke meja dan duduk di sebelah Zahra dengan tatapan seolah siap mendengarkan keluhan wanita di hadapannya itu.

“Apa yang salah, Zahra? Kamu tidak suka teh?” tanya Rasul perhatian.

“Bukan. Bukan itu, Kak Rasul. Sesuatu yang lain yang lebih penting!” pekik Zahra semakin membuat Rasul bingung.

“Lalu apa itu?”

“Zahra rasa sepertinya pernikahan ini salah. Sepertinya Zahra belum siap untuk menjalani pernikahan ini apalagi menjadi seorang istri untuk seorang Rasul Asyraf.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status