Share

6. Hampir Meledak

“Kak Rasul!!” teriak Zahra bersamaan dengan Rasul yang tampak terkejut dan tersentak menjauh dari sisi kompor.

“Astagfirullah Kak Rasul!!” teriak Zahra lagi lalu dengan cepat berlari ke arah Rasul dan mematikan kompor yang telah mengeluarkan asap gosong dari setiap sisi pan yang Rasul gunakan untuk menggoreng telur mata sapi.

Mata Rasul melotot melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya. Telur yang beberapa waktu lalu berniat ia angkat agar tak gosong sekarang telah kering dan tampak buruk rupa, bahkan pan baru hadiah pernikahan mereka kini tampak telah hangus.

“Kak Rasul kenapa, sih? Melamun? Atau tidak tahu cara mematikan kompor? Kenapa telurnya dibiarkan sampai gosong? Kalau nanti kompornya panas, terus gasnya meledak dan kita mati terpanggang di sini bagaimana, Kak? Kak Rasul mau ada berita tentang kita pakai headline ‘Sehari nikah dua pasangan ini ditemukan gosong?’ Hmm?!” cecar Zahra tak berhenti mengomel.

Rasul tak menjawab dan seketika menarik Zahra mendekatinya lalu memeluknya erat.

“Zahra peluk saya sekarang, jantung saya rasanya hampir copot!” pekik Rasul langsung mendekap Zahra yang ukuran tubuhnya jauh berada di bawahnya itu.

Tak langsung membalas permintaan sang suami, Zahra kini malah terdiam, tak berkutik bagai penguin yang tidur sambil berdiri.

“Zahra? Kenapa diam? Kalau saya pingsan kamu yang malah susah, lho!” pekik Rasul kini melonggarkan dekapannya demi bisa menatap wajah Zahra yang masih terdiam itu.

“Eh?” celetuk Zahra kecil saat rupanya Rasul tak tahan menunggu respons Zahra dan langsung memeluk tubuh kecilnya lagi erat-erat.

Tangan Zahra perlahan melingkar ke pinggang Rasul, jantungnya berdegup amat kencang, mungkin sama kencangnya dengan degup jantung yang saat ini Rasul rasakan.

Dengan perasaan amat canggung, Zahra menelan salivanya susah payah sembari memosisikan kepalanya demi mendapat posisi dekapan yang nyaman untuknya.

Beberapa menit kemudian hanya sunyi yang keduanya dengar, saat Rasul mulai merasa tenang, jantungnya tak begitu berdegup kencang, tiba-tiba ia merasakan ada yang aneh dengan Zahra. Ia merasakan degup lain yang ada apa diri Zahra.

Perlahan ia meregangkan pelukannya dan memegang kedua pundak Zahra lalu mendongak menatap wajah mungil istrinya itu.

“Zahra? Kamu kenapa?” tanya Rasul tampak cemas.

“Kak Rasul jahat, tega kak Rasul bikin Zahra deg-degan cuma buat hilangin rasa deg-degan punya kak Rasul!” omel Zahra. Wajah Rasul mengerut. Jelas kebingungan melanda pemuda itu.

“Ke– kenapa? Kamu takut gas itu meledak juga? Atau apa?” tanya Rasul semakin cemas.

“Kak Rasul bisa tidak, kalau mau memeluk Zahra bilang dulu? Jangan langsung menarik dan memeluk seperti tadi. Zahra ‘kan jadi kaget! Kalau Zahra kaget terus kena serangan jantung dan mati gimana? Masa ada orang mati gegara kaget dipeluk? Zahra nggak mau mati konyol, Kak!” omel Zahra.

Wajah tegang Rasul seketika mereda tergantikan dengan senyuman tipis di wajahnya. Pemuda itu perlahan mulai terkekeh saat mengamati wajah Zahra yang memoncongkan bibirnya sebagai kode mengambek.

“Ya udah, maafin saya, ya! Saya juga panik tadi. Tapi kamu ini aneh, sama kompor nyaris meledak tidak kaget tapi sama saya kaget? Saya suamimu, Zahra.” Rasul mengangkat tangannya dan menimpa di atas rambut Zahra yang masih terurai.

Bola mata wanita itu seketika mengarah ke atas saat mendapat siluet tangan sang suami berada di atasnya dan gesekan lembut terasa di atas kepalanya.

“Kak!! Jangan mulai, deh!” pekik Zahra seketika memundurkan langkah kakinya.

Kekehan kembali terdengar dari mulut Rasul. Pemuda itu bahkan hingga menggelengkan kepalanya.

“Udah, deh! Jangan ngeledekin Zahra terus! Katanya sudah terlambat! Nggak usah sarapan, deh! Sekarang kak Rasul bantu Zahra cari hijab Zahra dulu! Jangan-jangan kak Rasul buang lagi!” ujar Zahra lalu langsung berbalik dan meninggalkan area dapur.

Sembari melihat sang istri meninggalkannya, Rasul menggeleng lalu mengekor Zahra kembali ke kamar sambil masih sesekali tersipu malu.

Pagi itu, acara sarapan yang Rasul adakan dadakan pun gagal. Mereka ganti sibuk mencari hijab Zahra yang rupanya memang tidak wanita itu bawa dalam kopernya. Alhasil keduanya memutuskan untuk mengganti outfit mereka agar tetap bisa tampak kompak dengan pakaian yang mereka kenakan.

“Untung saja kamu ingat kalau memang tidak membawanya, kalau tidak sampai sore kita akan menghancurkan kamar ini hanya demi mencari hijab yang tak ada itu,” ujar Rasul sembari membenahi kancing pakaiannya.

“Ihh, iyaa maaf! Namanya juga lupa! Lagian siapa suruh setelah akad resepsi Zahra langsung pindah rumah? Barang Zahra ‘kan banyak, sudah pasti ada yang tertinggal,” omel Zahra.

“Jadi benar kalau wanita yang selalu benar dan tidak bisa disalahkan?” gumam Rasul tanpa menatap ke arah Zahra yang tengah membetulkan hijabnya di sebelah Rasul.

Mendengar bisikan lirih yang suaminya katakan, Zahra langsung menoleh tajam ke arah Rasul dan memberinya tatapan sinis.

“Kak Rasul bikang apa tadi? Jangan kita Zahra tidak dengar, ya!” pekik Zahra.

Rasul mengubah arah tubuhnya kini menghadap penuh ke arah sang istri lalu membungkukkan tubuhnya hingga membuat wajahnya juga wajah Zahra sejajar.

“Saya bilang apa ya? Ehmm saya bilang ternyata istri saya ini mudah sekali salah tingkah tiap berada di dekat saya. Bukan begitu?” goda Rasul.

“Kak Rasul!!!” Zahra menghunjamkan kepalan tangannya pada tubuh Rasul hingga tanpa persiapan membuat Rasul terhuyung ke belakang.

Naluri pengamannya membuat Rasul mencari sesuatu untuk ia cekal dan menahan tubuhnya agar batal jatuh. Namun sayang, ia malah mencekal tangan Zahra yang sudah pasti tak kuat menanggung tubuhnya.

Keduanya terjatuh bersamaan dengan posisi yang pasti tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Zahra memejamkan matanya tepat saat kepalanya menimpa dada Rasul. Sementara Rasul seketika merasa kaku dan canggung.

“Haruskah sedekat ini sekarang?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status