“Kak Rasul!!” teriak Zahra bersamaan dengan Rasul yang tampak terkejut dan tersentak menjauh dari sisi kompor.
“Astagfirullah Kak Rasul!!” teriak Zahra lagi lalu dengan cepat berlari ke arah Rasul dan mematikan kompor yang telah mengeluarkan asap gosong dari setiap sisi pan yang Rasul gunakan untuk menggoreng telur mata sapi.
Mata Rasul melotot melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya. Telur yang beberapa waktu lalu berniat ia angkat agar tak gosong sekarang telah kering dan tampak buruk rupa, bahkan pan baru hadiah pernikahan mereka kini tampak telah hangus.
“Kak Rasul kenapa, sih? Melamun? Atau tidak tahu cara mematikan kompor? Kenapa telurnya dibiarkan sampai gosong? Kalau nanti kompornya panas, terus gasnya meledak dan kita mati terpanggang di sini bagaimana, Kak? Kak Rasul mau ada berita tentang kita pakai headline ‘Sehari nikah dua pasangan ini ditemukan gosong?’ Hmm?!” cecar Zahra tak berhenti mengomel.
Rasul tak menjawab dan seketika menarik Zahra mendekatinya lalu memeluknya erat.
“Zahra peluk saya sekarang, jantung saya rasanya hampir copot!” pekik Rasul langsung mendekap Zahra yang ukuran tubuhnya jauh berada di bawahnya itu.
Tak langsung membalas permintaan sang suami, Zahra kini malah terdiam, tak berkutik bagai penguin yang tidur sambil berdiri.
“Zahra? Kenapa diam? Kalau saya pingsan kamu yang malah susah, lho!” pekik Rasul kini melonggarkan dekapannya demi bisa menatap wajah Zahra yang masih terdiam itu.
“Eh?” celetuk Zahra kecil saat rupanya Rasul tak tahan menunggu respons Zahra dan langsung memeluk tubuh kecilnya lagi erat-erat.
Tangan Zahra perlahan melingkar ke pinggang Rasul, jantungnya berdegup amat kencang, mungkin sama kencangnya dengan degup jantung yang saat ini Rasul rasakan.
Dengan perasaan amat canggung, Zahra menelan salivanya susah payah sembari memosisikan kepalanya demi mendapat posisi dekapan yang nyaman untuknya.
Beberapa menit kemudian hanya sunyi yang keduanya dengar, saat Rasul mulai merasa tenang, jantungnya tak begitu berdegup kencang, tiba-tiba ia merasakan ada yang aneh dengan Zahra. Ia merasakan degup lain yang ada apa diri Zahra.
Perlahan ia meregangkan pelukannya dan memegang kedua pundak Zahra lalu mendongak menatap wajah mungil istrinya itu.
“Zahra? Kamu kenapa?” tanya Rasul tampak cemas.
“Kak Rasul jahat, tega kak Rasul bikin Zahra deg-degan cuma buat hilangin rasa deg-degan punya kak Rasul!” omel Zahra. Wajah Rasul mengerut. Jelas kebingungan melanda pemuda itu.
“Ke– kenapa? Kamu takut gas itu meledak juga? Atau apa?” tanya Rasul semakin cemas.
“Kak Rasul bisa tidak, kalau mau memeluk Zahra bilang dulu? Jangan langsung menarik dan memeluk seperti tadi. Zahra ‘kan jadi kaget! Kalau Zahra kaget terus kena serangan jantung dan mati gimana? Masa ada orang mati gegara kaget dipeluk? Zahra nggak mau mati konyol, Kak!” omel Zahra.
Wajah tegang Rasul seketika mereda tergantikan dengan senyuman tipis di wajahnya. Pemuda itu perlahan mulai terkekeh saat mengamati wajah Zahra yang memoncongkan bibirnya sebagai kode mengambek.
“Ya udah, maafin saya, ya! Saya juga panik tadi. Tapi kamu ini aneh, sama kompor nyaris meledak tidak kaget tapi sama saya kaget? Saya suamimu, Zahra.” Rasul mengangkat tangannya dan menimpa di atas rambut Zahra yang masih terurai.
Bola mata wanita itu seketika mengarah ke atas saat mendapat siluet tangan sang suami berada di atasnya dan gesekan lembut terasa di atas kepalanya.
“Kak!! Jangan mulai, deh!” pekik Zahra seketika memundurkan langkah kakinya.
Kekehan kembali terdengar dari mulut Rasul. Pemuda itu bahkan hingga menggelengkan kepalanya.
“Udah, deh! Jangan ngeledekin Zahra terus! Katanya sudah terlambat! Nggak usah sarapan, deh! Sekarang kak Rasul bantu Zahra cari hijab Zahra dulu! Jangan-jangan kak Rasul buang lagi!” ujar Zahra lalu langsung berbalik dan meninggalkan area dapur.
Sembari melihat sang istri meninggalkannya, Rasul menggeleng lalu mengekor Zahra kembali ke kamar sambil masih sesekali tersipu malu.
Pagi itu, acara sarapan yang Rasul adakan dadakan pun gagal. Mereka ganti sibuk mencari hijab Zahra yang rupanya memang tidak wanita itu bawa dalam kopernya. Alhasil keduanya memutuskan untuk mengganti outfit mereka agar tetap bisa tampak kompak dengan pakaian yang mereka kenakan.
“Untung saja kamu ingat kalau memang tidak membawanya, kalau tidak sampai sore kita akan menghancurkan kamar ini hanya demi mencari hijab yang tak ada itu,” ujar Rasul sembari membenahi kancing pakaiannya.
“Ihh, iyaa maaf! Namanya juga lupa! Lagian siapa suruh setelah akad resepsi Zahra langsung pindah rumah? Barang Zahra ‘kan banyak, sudah pasti ada yang tertinggal,” omel Zahra.
“Jadi benar kalau wanita yang selalu benar dan tidak bisa disalahkan?” gumam Rasul tanpa menatap ke arah Zahra yang tengah membetulkan hijabnya di sebelah Rasul.
Mendengar bisikan lirih yang suaminya katakan, Zahra langsung menoleh tajam ke arah Rasul dan memberinya tatapan sinis.
“Kak Rasul bikang apa tadi? Jangan kita Zahra tidak dengar, ya!” pekik Zahra.
Rasul mengubah arah tubuhnya kini menghadap penuh ke arah sang istri lalu membungkukkan tubuhnya hingga membuat wajahnya juga wajah Zahra sejajar.
“Saya bilang apa ya? Ehmm saya bilang ternyata istri saya ini mudah sekali salah tingkah tiap berada di dekat saya. Bukan begitu?” goda Rasul.
“Kak Rasul!!!” Zahra menghunjamkan kepalan tangannya pada tubuh Rasul hingga tanpa persiapan membuat Rasul terhuyung ke belakang.
Naluri pengamannya membuat Rasul mencari sesuatu untuk ia cekal dan menahan tubuhnya agar batal jatuh. Namun sayang, ia malah mencekal tangan Zahra yang sudah pasti tak kuat menanggung tubuhnya.
Keduanya terjatuh bersamaan dengan posisi yang pasti tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Zahra memejamkan matanya tepat saat kepalanya menimpa dada Rasul. Sementara Rasul seketika merasa kaku dan canggung.
“Haruskah sedekat ini sekarang?”
“Mau sampai kapan seperti ini, Zahra? Badan saya rasanya sudah remuk,” lirih Rasul. Mata Zahra seketika terbuka dam dengan cepat tubuhnya melakukan penolakan pada Rasul hingga ia dengan cepat berdiri dari posisi tak aesthetic itu. “Ya salah kak Rasul! Kenapa harus menggoda Zahra tadi. Kalau kak Rasul tidak memulai, Zahra tidak akan memukul dan kits tidak akan jatuh!” ujar Zahra masih saja mengomel. Rasul sambil sedikit merintih bangkit sembari memegangi dadanya. Melihat apa yang terjadi pada Rasul, Zahra langsung mengendurkan emosinya. Ia segera kembali berjongkok dan memegang bahu Rasul untuk memeriksa keadaan sang suami. “Kak, sakit? Maaf ya,” lirih Zahra. “Nggak apa-apa, cuma kaget aja. Bisa bantu saya berdiri?” tanya Rasul sembari mengangkat kepalanya menatap Zahra. Tak menunggu lama, Zahra segera bangkit lalu menjulurkan tangannya untuk membantu sang suami untuk segera bangkit dari posisinya. “Kak Rasul duduk saja dulu di sini, Zahra ambilkan air minum sebentar,” ujar Zahr
“Hah?” celetuk Zahra blak-blakan. Wajah Rasul yang awalnya memasang tampang bahagia seketika berubah datar. “Kamu tidak merasa saya tampan begitu? Tidak ingin memuji suamimu ini? Saya sudah memuji kamu tapi kamu tidak? Kamu benar-benar tidak merasa saya tampan, Zahra?” ujar Rasul. “Ohh, jadi mau balasan? Enggak sih, Kak! Malahan Zahra merasa setelah menikah kak Rasuk jadi jelek! Tidak setampan dulu sebelum menikah dengan Zahra. Padahal kita ‘kan baru menikah sehari. Apa memang kak Rasul aslinya jelek ya? Terus Zahra kena pelet akhirnya nikah, eh habis nikah ternyata jelek!” papar Zahra. “Jahat kamu, Zahra!” putus Rasul lalu dengan cepat dan tanpa menunggu balasan dari Zahra pemuda itu langsung keluar dari mobil dan meninggalkan Zahra yang terkejut atas tingkahnya sendiri dalam mobil. “Tunggu! Apa ini tadi? Dia mengambek? Astaga, apa dia memang semanja ini? Oh my God! Seorang Rasul Asyraf ternyata manja? Oh my God! Lucu banget, sih! Suami siapa! Aha! Suami akulah!” kekeh Zahra lalu
Wajah Zahra seketika mengerut, ia bahkan hingga memundurkan tubuhnya dari Rasul saat mendengar bisikan Rasul yang terkesan menjadi sebuah ancaman itu. “Apa? Kenapa gitu? Kenapa Zahra tidak boleh ikut ke kantor? Karena kak Rasul ingin berduaan dengan kak Alimah?” sahut Zahra seolah tanpa dosa. “Karena kamu! Baru sehari saya ajak kamu bertemu dengan rekan kantor saya, tapi lihat! Kamu sudah bilang ada yang tampan! Beraninya kamu memuji pemuda lain di depan suamimu sendiri!” omel Rasul. Bukannya menciut karena omelan sang suami, Zahra malah tampak tersenyum tipis, raut wajahnya seolah tengah meledek kecemburuan kekasihnya itu. “Ehmm, jadi kak Rasul cemburu? Uhh, ternyata seorang Rasul Asyraf selain manja cemburuan juga?” kekeh Zahra. “Kalau kamu terus ledek saya, saya akan benar-benar kabulkan ancaman saya supaya kamu tidak perlu bertemu dengan rekan kantor saya, Zahra!” ancam Rasul. Zahra seketika melingkarkan tangannya pada tangan kanan Rasul. Dengan cepat pula ia menyandarkan ke
Benar saja, setelah separuh teh itu habis dan Zahra usai membantu sang ibu di dapur untuk sekadar berbenah rumah, Rasul kini berada di dalam kamar Zahra bersama sang pemilik kamar. Pemuda itu tampak melihat sekitar kamar sang istri. Kadang tatapannya sedikit serius, kadang tersenyum, dan tiba-tiba terkekeh. “Kenapa harus menatap seperti itu sih, Kak? Kak Rasul masuk ke sini ‘kan untuk membantu Zahra bukan melakukan inspeksi pada kamar Zahra. Jadi tidak perlulah sok serius jadi pengamat seperti itu!” keluh Zahra. Rasul kini mengubah pandangannya ke arah Zahra lalu perlahan duduk ke ranjang. Pemuda itu mendongakkan kepalanya dam menatap Zahra yang berdiri di hadapannya. “Saya tidak sedang inspeksi kok! Cuma lihat-lihat saja! Jadi ini kamar istri saya sebelum bertemu dengan suaminya? Ini pasti juga menjadi saksi bisu dia mengagumi saya. Iya ‘kan?” goda Rasul. “Idih! Apaan, sih!” Zahra segera memalingkan wajahnya lalu menuju lemari. Sudah pasti ia ingin menghalau rasa salah tingkah a
Rasul seketika melepaskan kecupannya ia menunduk dan menatap wajah Zahra yang telah mendongak lebih dulu menatapnya. “Kak Rasul jangan tidur dulu, ya! Temani Zahra di dapur. Zahra nggak mau sendirian. Nanti Zahra bikinin mie, deh! Ya?” rengek Zahra sembari menarik kedua sisi baju koko Rasul. “Emm, gimana ya? Tapi saya ngantuk banget, Zahra.” Rasul berlaga menguap. Jujur saja pemuda itu sangat ingin menemani sang istri. Namun bukan Rasul namanya jika tidak menggoda Zahra dan membuat gadis itu sedikit kesusahan. “Ayolah, Kak! Kalau kak Rasul punya telur, nanti Zahra bikinin telur mata sapi juga, deh! Ayah waktu itu pernah bilang telur mata sapi buatan Zahra lebih enak karena tepiannya nggak kering! Dijamin enak, deh! Yah! Mau yaa? Pleasee!” pekik Zahra lalu kini tangan wanita itu yang masih tertutup mukena seluruhnya memeluk erat Rasul. Bahkan kepala Zahra tampak bersandar pada dada Rasul. Seketika pemuda itu meneguk salivanya akibat terlalu terkejut dengan apa yang Zahra lakukan.
Rasul tampak terdiam, tangan kekar miliknya perlahan memegang rambut Zahra dan mengelusnya perlahan. Senyumnya diam-diam merekah saat melihat wanita asing yang telah menjadi bagian pahalanya itu tertidur dengan cantik. Malam yang semakin dingin, jendela yang rupanya belum tertutup sempurna semakin meyakinkan Rasul untuk memindahkan tubuh sang istri agar tak terkena angin malam atau sejenisnya. “Sebentar saja ya, Sayang. Kamu lanjutkan tidurnya di kamar saja,” bisik Rasul pelan lalu menggeser tubuh Zahra yang tengah memeluknya itu. Sambil mengucapkan basmalah, akhirnya pemuda itu bisa membawa Zahra ke dalam kamar dan perlahan meletakkan wanita itu ke atas ranjang. Sembari memastikan posisi tidur yang Zahra dapatkan benar dan nyaman, Rasul menarik selimut tebal yang ada di bawah kaki wanita itu dan menutup hingga nyaris seluruh tubuhnya. “Selamat tidur, Zahra!” bisiknya lagi lalu mengecup kening sang istri. Pukul tiga pagi, alarm yang memang sengaja dipasang setiap harinya berdent
Setelah melewati banyak bujuk rayu, akhirnya sepasang suami istri baru itu kini telah berada di atas sajadah dan telah menuntaskan sholat malam mereka. Ritual yang sama seperti membaca doa, bersalaman lengkap dengan cium tangan dan kening pun dilakukan. Zahra tampak mendongakkan kepalanya memandang Rasul seperti seorang anak kecil yang tengah merengek minta dibelikan es krim. “Kenapa? Tiba-tiba pasang muka seperti itu?” tanya Rasul sembari mencolek hidung minimalis milik Zahra. “Ehm, seingat Zahra, semalam kita ada di depan televisi. Kok bisa sampai di kamar? Kak Rasul gendong Zahra?” tanya Zahra sembari malu-malu. “Enggak, saya enggak gendong kamu kok! Tapi saya sulap! Cling! Langsung deh kamu pindah ke ranjang. Keren ‘kan saya?” kekeh Rasul diikuti kekehan milik Zahra. “Bohong! Pasti digendong! Memang Zahra tidak berat?” Rasul menggeleng sembari menjentikkan jarinya sebagai kode mudah atas pertanyaan yang Zahra ajukan. Wanita itu tampak mengangguk sembari berdeham. “Kalau beg
“Kak Rasul, sih! Ini ‘kan tugas Zahra! Kenapa kak rasul yang kerjakan semuanya? Zahra tidak becus sekali jadi istri!” rengek Zahra. “Hushh! Nggak boleh ngomong kaya gitu!” Rasul duduk di kursi meja makan lalu membawa Zahra pada pangkuannya. Wanita itu pun duduk di pangkuan Rasul tanpa menolak. Ia masih saja berusaha mengeringkan air mata dan ingusnya yang menderu keluar tempat. “Pekerjaan seperti bersih-bersih dan memasak itu pekerjaan semua orang, Zahra. Bukan hanya istri. Tetapi juga suami. Saya melakukan semua ini dengan hati yang bahagia dan ikhlas kok. Saya ‘kan juga mau istri saya senang dan merasa diringankan pekerjaannya. Jadi jangan malah menangis begini.” “Kalau kamu sedih gini, tujuan saya melakukan semua ini sia-sia, dong?” ujar Rasul. Zahra tak membalas. Wanita itu kini malah memeluk leher Rasul dan mendekap dirinya sendiri pada Rasul. “Terima kasih ya, Kak! Kakak udah jadi suami yang sangat baik! Bantu Zahra biar bisa jadi istri yang baik untuk kak Rasul, ya!” ujar