Share

7. Sedekat Ini

“Mau sampai kapan seperti ini, Zahra? Badan saya rasanya sudah remuk,” lirih Rasul.

Mata Zahra seketika terbuka dam dengan cepat tubuhnya melakukan penolakan pada Rasul hingga ia dengan cepat berdiri dari posisi tak aesthetic itu.

“Ya salah kak Rasul! Kenapa harus menggoda Zahra tadi. Kalau kak Rasul tidak memulai, Zahra tidak akan memukul dan kits tidak akan jatuh!” ujar Zahra masih saja mengomel.

Rasul sambil sedikit merintih bangkit sembari memegangi dadanya. Melihat apa yang terjadi pada Rasul, Zahra langsung mengendurkan emosinya. Ia segera kembali berjongkok dan memegang bahu Rasul untuk memeriksa keadaan sang suami.

“Kak, sakit? Maaf ya,” lirih Zahra.

“Nggak apa-apa, cuma kaget aja. Bisa bantu saya berdiri?” tanya Rasul sembari mengangkat kepalanya menatap Zahra.

Tak menunggu lama, Zahra segera bangkit lalu menjulurkan tangannya untuk membantu sang suami untuk segera bangkit dari posisinya.

“Kak Rasul duduk saja dulu di sini, Zahra ambilkan air minum sebentar,” ujar Zahra sembari menatih Rasul ke arah ranjang berharap pemuda itu bisa duduk sejenak di sana dan menenangkan dirinya sendiri.

Baru saja Rasul duduk, Zahra segera berlari keluar kamar dan berhenti di depan meja dapur dengan napas ngos-ngosan.

“Astagfirullah! Kalau kaya begini setiap hari bisa mati aku! Kenapa harus sedekat itu sih? Astaga! Dia motivator atau malaikat maut sih? Bisa-bisanya bikin jantungku mau copot terus tiap ditatap!” gumam Zahra sembari menepuk-nepuk dadanya sendiri.

Usai menenangkan dirinya, Zahra meraih gelas yang ada di meja dapur dan menuang air putih ke sana laku membawanya kembali ke kamar.

“Ini, Kak! Di minum dulu.” Rasul menerima gelas itu dan meneguknya tiga kali usai mengucapkan basmalah.

Zahra pun menerima kembali gelas itu dan meletakkannya pada meja kecil di dekat sana lalu duduk di sebelah Rasul.

“Mau pergi ke dokter saja? Takutnya ada yang lebam. Pasti sakit banget ya, Kak?” tanya Zahra sambil meringis.

“Enggak kok, Zahra. Tenang aja. Saya baik-baik aja. Cuma kaget aja bentar. Kamu sudah siap? Kalau sudah kita pergi aja sekarang, takutnya mereka sudah kelamaan menunggu,” tutur Rasul.

“Mm, sudah kok! Zahra sudah siap!” pekik wanita itu yakin.

Rasul menyodorkan telapak tangannya yang terbuka ke arah Zahra. Zahra seketika mengerutkan dahinya mungkin bingung apa yang sang suami minta kali ini.

“Mau minum lagi, Kak?” tanya Zahra. Rasul seketika terekeh lalu tangan kirinya dengan lembut meraih tangan kiri Zahra dan meletakkannya di atas tangan kanannya.

Ditepuknya sekali tangan Zahra sebelum akhirnya ia lepaskan dan menatap mata lentik Zahra yang tanpa polesan maskara itu.

“Saya itu mengajak kamu pergi bersama. Bukan mau minum lagi. Sekarang mengerti ‘kan? Jadi, kalau nanti saya tiba-tiba begini lagi, cukup berikan tanganmu saja, jangan kasih saya gelas atau piring nasi padang, okei?” ujar Rasul.

Wajah Zahra berubah linglung. Mungkin saking terkejut atas apa yang baru saja suaminya lakukan.

“Ohh, ehh, ee– iya, iya, iya! Iya, Kak! Ya udah, ayo?” uajr Zahra terbata.

Rasul mengangguk sambil tersenyum sebentar sebelum akhirnya kedua pasangan baru itu berjalan bersama meninggalkan kamar mereka menuju mobil.

Dalam sepanjang perjalanan, tak ada percakapan, hanya keduanya yang sesekali melirik tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Hingga akhirnya sebuah gedung besar yang menjadi kantor di mana Rasul bekerja dengan semua timnya berada di hadapan mereka. Rasul memastikan telah memarkir mobilnya dengan benar lalu perlahan melepas sabuk pengaman yang ia kenakan.

“Kak Rasul,” lirih Zahra sembari menunduk dan tanpa memandang Rasul.

“Hmm, iya? Ada apa?” tanya Rasul segera menoleh.

“Anu, itu, itunya kak Rasul belum selesai.” Rasuk seketika mengerutkan dahinya amat bingung. Ia bahkan mulai berpikiran macam-macam tentang tampangnya sekarang.

“Anu? Apa, Zahra? Apanya yang belum selesai?” tanya Rasul.

“Itu!” Zahra sedikit menunjuk ke arah Rasul. Namun jarinya tak dapat jelas menunjukkan apa yang ia maksud. Rasul pun menghela napasnya sedikit panjang.

“Zahra, kalau ngomong lihat saya bisa ‘kan? Saya nggak bakal gigit kamu, kok! Tenang aja!” ujar Rasul berusaha membuat Zahra menoleh padanya.

“Itu lancing bajunya belum selesai di kancingkan. Apa harus Zahra yang kancingkan seperti anak SD?!” sergah Zahra dengan suaranya yang terdengar tak sabaran.

Rasul langsung menundukkan kepalanya benar saja dua kancing teratasnya belum sempurna tertutup. Pemuda itu langsung meringis.

“Boleh! Ayo buruan betulkan, daripada kita makin terlambat!” pekik Rasul.

“Zahra? Zahra yang betulkan?” Rasul mengangguk yakin. “Kenapa? Kak Rasul ‘kan bisa betulkan sendiri. Kenapa tidak dikancingkan sendiri? Biasanya juga memakai kemeja sendiri ‘kan? Kenapa sekarang jadi minta Zahra yang betulkan?”

“Karena dulu saya belum menikah. Kalau sekarang ‘kan sudah. Lagi pula ada kamu, istri saya di sini. Jadi apa salahnya saya minta tolong kamu untuk betulkan kancing pakaian saya? Daripada saya minta tolong tukang parkir atau jalan dengan pakaian seperti ini?” ujar Rasul santai sambil mengibaskan kerah pakaiannya.

“Hisshh, siapa yang sangka motivator yang punya banyak fans ini manja betul!” sindir Zahra namun dengan lembut tangannya kini membenahi pakaian Rasul yang belum sempurna terkancing.

“Terima kasih, Istriku yang Cantik! pekik Rasul sembari memasang senyum lebarnya begitu Zahra selesai dengan tugasnya.

“Iya, sama-sama!” pekik Zahra.

Saat keduanya hendak keluar dari mobil, tiba-tiba saja Rasul kembali masuk dan membuat Zahra pun membatalkan niatnya untuk keluar dari sana.

“Kenapa masuk lagi?” tanya Zahra.

“Saya sudah tampan, belum?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status