“Mau sampai kapan seperti ini, Zahra? Badan saya rasanya sudah remuk,” lirih Rasul.
Mata Zahra seketika terbuka dam dengan cepat tubuhnya melakukan penolakan pada Rasul hingga ia dengan cepat berdiri dari posisi tak aesthetic itu.
“Ya salah kak Rasul! Kenapa harus menggoda Zahra tadi. Kalau kak Rasul tidak memulai, Zahra tidak akan memukul dan kits tidak akan jatuh!” ujar Zahra masih saja mengomel.
Rasul sambil sedikit merintih bangkit sembari memegangi dadanya. Melihat apa yang terjadi pada Rasul, Zahra langsung mengendurkan emosinya. Ia segera kembali berjongkok dan memegang bahu Rasul untuk memeriksa keadaan sang suami.
“Kak, sakit? Maaf ya,” lirih Zahra.
“Nggak apa-apa, cuma kaget aja. Bisa bantu saya berdiri?” tanya Rasul sembari mengangkat kepalanya menatap Zahra.
Tak menunggu lama, Zahra segera bangkit lalu menjulurkan tangannya untuk membantu sang suami untuk segera bangkit dari posisinya.
“Kak Rasul duduk saja dulu di sini, Zahra ambilkan air minum sebentar,” ujar Zahra sembari menatih Rasul ke arah ranjang berharap pemuda itu bisa duduk sejenak di sana dan menenangkan dirinya sendiri.
Baru saja Rasul duduk, Zahra segera berlari keluar kamar dan berhenti di depan meja dapur dengan napas ngos-ngosan.
“Astagfirullah! Kalau kaya begini setiap hari bisa mati aku! Kenapa harus sedekat itu sih? Astaga! Dia motivator atau malaikat maut sih? Bisa-bisanya bikin jantungku mau copot terus tiap ditatap!” gumam Zahra sembari menepuk-nepuk dadanya sendiri.
Usai menenangkan dirinya, Zahra meraih gelas yang ada di meja dapur dan menuang air putih ke sana laku membawanya kembali ke kamar.
“Ini, Kak! Di minum dulu.” Rasul menerima gelas itu dan meneguknya tiga kali usai mengucapkan basmalah.
Zahra pun menerima kembali gelas itu dan meletakkannya pada meja kecil di dekat sana lalu duduk di sebelah Rasul.
“Mau pergi ke dokter saja? Takutnya ada yang lebam. Pasti sakit banget ya, Kak?” tanya Zahra sambil meringis.
“Enggak kok, Zahra. Tenang aja. Saya baik-baik aja. Cuma kaget aja bentar. Kamu sudah siap? Kalau sudah kita pergi aja sekarang, takutnya mereka sudah kelamaan menunggu,” tutur Rasul.
“Mm, sudah kok! Zahra sudah siap!” pekik wanita itu yakin.
Rasul menyodorkan telapak tangannya yang terbuka ke arah Zahra. Zahra seketika mengerutkan dahinya mungkin bingung apa yang sang suami minta kali ini.
“Mau minum lagi, Kak?” tanya Zahra. Rasul seketika terekeh lalu tangan kirinya dengan lembut meraih tangan kiri Zahra dan meletakkannya di atas tangan kanannya.
Ditepuknya sekali tangan Zahra sebelum akhirnya ia lepaskan dan menatap mata lentik Zahra yang tanpa polesan maskara itu.
“Saya itu mengajak kamu pergi bersama. Bukan mau minum lagi. Sekarang mengerti ‘kan? Jadi, kalau nanti saya tiba-tiba begini lagi, cukup berikan tanganmu saja, jangan kasih saya gelas atau piring nasi padang, okei?” ujar Rasul.
Wajah Zahra berubah linglung. Mungkin saking terkejut atas apa yang baru saja suaminya lakukan.
“Ohh, ehh, ee– iya, iya, iya! Iya, Kak! Ya udah, ayo?” uajr Zahra terbata.
Rasul mengangguk sambil tersenyum sebentar sebelum akhirnya kedua pasangan baru itu berjalan bersama meninggalkan kamar mereka menuju mobil.
Dalam sepanjang perjalanan, tak ada percakapan, hanya keduanya yang sesekali melirik tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Hingga akhirnya sebuah gedung besar yang menjadi kantor di mana Rasul bekerja dengan semua timnya berada di hadapan mereka. Rasul memastikan telah memarkir mobilnya dengan benar lalu perlahan melepas sabuk pengaman yang ia kenakan.
“Kak Rasul,” lirih Zahra sembari menunduk dan tanpa memandang Rasul.
“Hmm, iya? Ada apa?” tanya Rasul segera menoleh.
“Anu, itu, itunya kak Rasul belum selesai.” Rasuk seketika mengerutkan dahinya amat bingung. Ia bahkan mulai berpikiran macam-macam tentang tampangnya sekarang.
“Anu? Apa, Zahra? Apanya yang belum selesai?” tanya Rasul.
“Itu!” Zahra sedikit menunjuk ke arah Rasul. Namun jarinya tak dapat jelas menunjukkan apa yang ia maksud. Rasul pun menghela napasnya sedikit panjang.
“Zahra, kalau ngomong lihat saya bisa ‘kan? Saya nggak bakal gigit kamu, kok! Tenang aja!” ujar Rasul berusaha membuat Zahra menoleh padanya.
“Itu lancing bajunya belum selesai di kancingkan. Apa harus Zahra yang kancingkan seperti anak SD?!” sergah Zahra dengan suaranya yang terdengar tak sabaran.
Rasul langsung menundukkan kepalanya benar saja dua kancing teratasnya belum sempurna tertutup. Pemuda itu langsung meringis.
“Boleh! Ayo buruan betulkan, daripada kita makin terlambat!” pekik Rasul.
“Zahra? Zahra yang betulkan?” Rasul mengangguk yakin. “Kenapa? Kak Rasul ‘kan bisa betulkan sendiri. Kenapa tidak dikancingkan sendiri? Biasanya juga memakai kemeja sendiri ‘kan? Kenapa sekarang jadi minta Zahra yang betulkan?”
“Karena dulu saya belum menikah. Kalau sekarang ‘kan sudah. Lagi pula ada kamu, istri saya di sini. Jadi apa salahnya saya minta tolong kamu untuk betulkan kancing pakaian saya? Daripada saya minta tolong tukang parkir atau jalan dengan pakaian seperti ini?” ujar Rasul santai sambil mengibaskan kerah pakaiannya.
“Hisshh, siapa yang sangka motivator yang punya banyak fans ini manja betul!” sindir Zahra namun dengan lembut tangannya kini membenahi pakaian Rasul yang belum sempurna terkancing.
“Terima kasih, Istriku yang Cantik! pekik Rasul sembari memasang senyum lebarnya begitu Zahra selesai dengan tugasnya.
“Iya, sama-sama!” pekik Zahra.
Saat keduanya hendak keluar dari mobil, tiba-tiba saja Rasul kembali masuk dan membuat Zahra pun membatalkan niatnya untuk keluar dari sana.
“Kenapa masuk lagi?” tanya Zahra.
“Saya sudah tampan, belum?”
Rasul mengerutkan dahinya, ia berusaha mencerna apa yang Zahra katakan. Jelas saja ia bingung, baru pagi tadi ia menggunakan kompornya dan semua baik-baik saja. Namun sekarang? “Rusak bagaimana? Pagi tadi saya pakai masih bisa kok,” sahut Rasul. “Zahra juga nggak tahu, Kak! Coba deh kak Rasul cek! Masalahnya apinya nggak mau keluar! Zahra udah coba sepuluh kali! Kalau kak Rasul nggak percaya coba aja!” ujar Zahra. Rasul bangkit dari sofa lalu berjalan ke arah dapur diikuti Zahra di belakangnya. Pemuda itu kini mengamati sebentar kompornya, semua tampak normal bahkan gas pun terpasang dengan baik. Pemuda itu tampak sedikit menunduk demi mendapatkan posisi yang nyaman untuk menyalakan kompor itu. Dipegang tuas kecil untuk menyalakan benda itu. Tak ada tarikan gas, semuanya terasa anyep begitu saja. Pundak Rasul langsung mengendur lalu menoleh dan menatap Zahra dengan tatapan datar. “Zahra Sayang, kamu memang suka bikin saya kaget?” ujar Rasul. “Iya ‘kan? Nggak bisa ‘kan! Zahra ba
“Diajarin kak Rasul, sih!” sahut Zahra sembari membuka lemari es. “Ngaku aja kalau sudah dari sananya kamu jago menggombal. Bilang saja awalnya masih malu-malu, padahal sebenernya udah kebelet ngegombal dari hari akad. Iya ‘kan?” terang Rasul sembari bersandar pada dinding di dekat kulkas. “Mm, benar juga!” kekeh Zahra disambung kekehan Rasul. Zahra kini beralih ke meja bar dapur dan mulai mengupas bawang serta memotong beberapa sayuran yang ia ambil dari lemari pendingin tadi. “Mau buat apa? Perlu saya bantu apa?” tanya Rasul sembari menyangga dagu di meja bar itu memandang Zahra juga sayuran di sana. “Enggak usah, deh! Kali ini spesial buat kak Rasul. Tadi pagi ‘kan kak Rasul sudah buatkan sup, sekarang ganti deh Zahra yang buatkan untuk kak Rasul! Nasi goreng! Hehe,” kekeh Zahra. Rasul tampak mengangguk setuju. Pemuda itu lanjut mengambil gelas dari rak dan menuangkan air minum dari dispenser. “Minum dulu, salah tingkah bikin gagal fokus soalnya!” pekik Rasul. Zahra mengerut
Zahra duduk di depan meja rias sembari mengarahkan pengering rambut itu ke rambutnya sendiri, sesekali mulutnya bersenandung riang sementara tangannya menyapu rambut hitamnya perlahan.Dari belakang, tampak pintu toilet perlahan terbuka. Zahra seketika melebarkan matanya. Ditariknya pengering rambut itu ke dekapannya dengan kedua tangan mencengkeram erat. Bibirnya menyatu satu sama lain sembari menelan salivanya. Senandungnya berhenti seketika.Rasul keluar dari toilet sembari mengusap-usap rambutnya dengan handuk berwarna biru tua. Pemuda itu sebentar berhenti di depan pintu toilet dan mengeringkan kakinya pada anyaman plastik karet bertulis ‘welcome’ itu.Rasul mendongak, tepatnya menatap kaca cermin. Mata Zahra langsung beralih dan berusaha kembali natural dengan mengeringkan rambutnya sendiri.Pemuda itu berjalan santai ke dekat Zahra. Di tariknya sebuah kursi untuk dirinya bersanding di sebelah Zahra. Semerbak aroma wangi mengisi ruang hidung Zahra. Entah apa yang berbeda, tetapi
Rasul tampak menyesal, pemuda itu bangkit dari posisi berbaring namun masih duduk di atas ranjang dan memandang wajah istrinya itu serius. “Maafkan saya, Zahra. Saya benar-benar tidak berniat menggampangkan kamu. Saya juga sangat ingin tetap berada di swalayan tadi, tapi ya begitulah seperti yang saya katakan,” ujar Rasul. “Ya! Zahra memang masih marah karena itu! Tapi yang bikin kesal lagi, karena itu, Zahra lupa mengambil roti! Sekarang pertanyaannya, bagaimana bisa membuat Nugget roti tanpa ada roti? Zahra sudah malas juga keluar rumah lagi. Capek harus bolak-balik memasang sarung tangan lengan juga kaos kaki!” omel Zahra. “Ya sudah, kalu begitu Zahra maunya apa? Atau mau saya yang belikan sendiri di warung sebelah?” tanya Rasul melembutkan suaranya. “Nggak usah! Kita pesan makanan online saja! Zahra juga mau lanjutkan menonton dramanya! Kak Rasul selesaikan saja pekerjaan kakak!” sergah Zahra. Rasul meringis lalu menoleh ke laptop Zahra yang ia pindah ke atas nakas tadi. Ia m
Zahra hanya tersenyum paksa pada keduanya lalu kembali masuk ke dalam dengan baki kosong yang ia pegang di tangannya. Wanita itu menghela napasnya panjang di dapur seolah baru saja menemui seorang pejabat tinggi hingga napas saja harus ia atur sedemikian rupa. Baru saja mengembalikan moodnya yang hilang entah ke mana, Zahra akhirnya memutuskan untuk membuat menu yang memang ia rencanakan tadi di swalayan. Namun ia teringat akan sesuatu. Dengan cepat ia mengecek kembali barang belanjaannya dan menyadari ada sesuatu yang kurang. Wajah Zahra langsung berubah muram. Mulutnya moncong, sementara matanya menatap ketus meja makan yang penuh dengan bahan belanjaannya itu. “Bagaimana bisa buat nugget roti kalau rotinya saja tidak ada!” pekik Zahra. Malas memikirkan menu apa yang bisa menggantikan menu sasarannya, terlebih emosinya yang masih naik turun karena dipaksa pulang membuatnya memilih untuk masuk ke kamar dan membuka laptopnya yang ia bawa dari rumah kedua orang tuanya. “Daripada
Mata Zahra melotot, ia langsung menoleh tajam ke arah rasul yang saat itu juga langsung menoleh ke arahnya. Zahra terang-terangan menunjukkan tatapan tajamnya sembari mengangkat dagunya. Sementara itu Rasul malah mengerutkan dahi sembari menggeleng. “Saya sedang di luar rumah bersama Zahra, Alimah. Apakah ada sesuatu yang sangat penting?” tanya Rasul lagi. “Zahra enggak mau pulang sekarang!!” Mulut wanita itu dengan lebar terbuka menuturkan apa yang ingin ia katakan dengan tanpa suara berharap sang suami memahaminya. “Ehm–” gumam Rasul sembari terus mendengarkan perkataan Alimah dari seberang dan sedikit mengabaikan Zahra yang terus menggeleng tidak mau pulang. “Baiklah, kalau begitu saya akan pulang setelah ini.” Keputusan Rasul barusan tentu saja mengundang amarah bagi Zahra. Wanita itu seketika melotot dan tak bergerak. Pandangannya seolah menatap Rasul kesal sementara tangannya telah terlepas dari genggaman sang suami. “Iya, waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh!” pekik