Aku sampai di rumah tepat pukul dua siang. Rian yang tadinya ingin mengantar pulang ke rumah, menjadi urung karena ada Ramon di rumah mamaku. Ia tidak ingin membuat masalah baru bagiku yang saat ini tengah tidak baik-baik saja dengan Ramon. Lelaki yang saat ini masih sah menjadi suamiku itu sudah duduk di teras sendirian. Mama sepertinya tidak mengijinkannya masuk. Baguslah, Ramon harus diberi pelajaran karena telah menyia-nyiakan perasaanku. "Halo, apa kabar?" sapanya menyambutku dengan berdiri. Aku hanya tersenyum tipis, lalu ikut duduk di depannya. "Kata mama kamu melamar pekerjaan, memangnya kenapa? Kamu kekurangan uang? Bukannya selama ini aku selalu memberikan yang kamu butuhkan?" Aku tersenyum remeh, lalu dengan malas menatap wajahnya sekilas. "Aku harus mempunyai pekerjaan saat nanti aku sudah tidak bersuami lagi." Bang Ramon nampak terkejut. Mulutnya setengah terbuka ingin mengatakan sesuatu, tetapi sulit. "Maksud kamu apa, Puspa? Aku masih sah suami kamu.""Ya, untuk sa
POV Ayu"Sedang apa?" aku berjengkit kaget saat tiba-tiba saja suamiku sudah memeluk tubuhku dari belakang. Ia memutar tubuh ini agar kami saling berpandangan tanpa sedikit pun ia melepas pelukan di pinggangku. "Memikirkan apa nanti saya bisa hamil atau tidak. Begitu banyak obat yang sudah-"Mas Rahmat kembali membungkam bibir ini dengan bibirnya. Bujangan dewasa yang menikahiku seakan-akan selalu kurang dalam menyentuhku. Padahal ini sudah satu minggu kami di Bali untuk berbulan madu dan entah sudah berapa kali ia meminta haknya. Ia begitu memujaku hingga aku benar-benar lupa dengan sosok Ramon. Ya, Mas Rahmat ternyata mampu membuatku melupakan ayah dari anak-anakku. Ia selalu saja memberikan yang terbaik bagiku dan juga si Kembar. Baik perhatian, kasih sayang, bahkan ia begitu siaga menjagaku saat hampir satu bulan aku dirawat setelah melahirkan si Kembar. "Sayang, kamu sangat.... " Mas Rahmat kembali mengerang saat ia mencapai muaranya, sedangkan aku, jangan ditanya sudah berapa
Hari ini adalah sidang terakhir perceraianku dengan Ramon. Lelaki itu menepati janjinya dengan tidak datang selama persidangan berlangsung. Hak asuh Robi pun otomatis jatuh ke tanganku tanpa ada gugatan lain dari Ramon. Lelaki itu benar-benar hilang tanpa kabar. Terakhir yang aku dengar dari Bu Nur, Bang Ramon pindah dari rumah yang pernah kami tempati dan rumah itu dijual. Entahlah, aku tidak mau ribut urusan harta, biarkan rejeki Robi nanti bisa dari mana saja. Bep! Aku meraba tas selempangku yang berbunyi pesan masuk. Jalanan menuju Bandung cukup lengang, sehingga Rian yang mengendarai mobil tidak terlalu tegang. m-Transfer:Berhasil17/03 14:05:11Ke 661025630XPuspaRp. 1,500,000.00Aku mengerutkan kening saat nomor tidak dikenal mengirimkan pesan bukti transfer atas namaku. Siapa ini?SendPuspa, ini saya Ramon, maaf, saya baru transfer uang untuk Robi. Jika nanti ada rejeki lebih, akan saya tambahkan, karena saat ini saya juga harus berbagi dengan Ayu. Aku bersedih sebal.
Mobil Mas Rian berhenti di depan rumahku. Lelaki itu dengan senang membukakan sitbelt bagianku, diiringi senyuman manisnya. Wajah Rian begitu dekat denganku, hingga napasnya yang berbau mint, tercium oleh indera penciumanku. Aroma yang sama, padahal sudah bertahun-tahun lamanya. "Kenapa? Berharap aku cium?" tanyanya dengan begitu percaya diri. Aku bersedih sebal, lalu bersiap untuk menarik handle pintu, tetapi sudah terlanjur dibukakan oleh Rian. "Aku hanya bercanda, Cantik. Jangan marah atuh!" Ia tersenyum kembali dengan sangat manis. Melepas sitbelt nya, lalu membuka pintu. Kakinya melangkah sejajar dengan kakiku; mengantar sampai di depan pintu rumah. Brak! "Bunda!" Seru Robi dengan senangnya. Jagoan kecilku membuka pintu rumah dengan tiba-tiba untuk menyambutku pulang. Senyumannya terus terkembang, terutama saat pelukannya aku balas dengan lebih erat dan juga ciuman di pipinya. "Salim sama Om Rian!" Titahku. Robi mengangguk patuh, lalu menarik punggung tangan Rian untuk diciu
Aku benar-benar terjaga sepanjang malam. Sebenarnya aku tidak mau terganggu dengan permintaan Dini, tetapi ucapan yang ia lontarkan jujur menganggu perasaanku saat ini. Dini; adik bungsu yang mandiri dan jarang sekali meminta apapun dariku. Bahkan untuk biaya kuliah saja ia dapatkan dari beasiswa karena memang ia pintar. Dini juga tidak pernah protes jika aku selalu meminta tolong padanya untuk lebih memperhatikan mama. Kini, sebuah kalimat terucap dari bibir sensual adikku itu dan mampu membuatku tidak bisa memejamkan mata, padahal besok aku harus bekerja. Apa Dini tidak tahu kalau Rian menyukaiku? Pertanyaan itu terus saja muncul di kepala hingga petugas jaga malam memukul kentongan sebanyak dua kali. Ini sudah jam dua dini hari dan aku masih belum bisa tidur. Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar, mengambil air minum di dapur. Mungkin dengan minum segelas air, mataku perlahan akan mengantuk. Aku kembali ke kamar, ikut berbaring memeluk Robi. Ponselku berkelap-kelip. Sinar yan
Aku tiba di rumah pukul enam sore, tepat azan magrib berkumandang. Motor kuparkir di teras depan untuk mendinginkan mesinnya terlebih dahulu, sebelum dibawa masuk ke dalam rumah. Motor Dini pun sudah ada di teras, lengkap dengan helm berwarna merah mudanya."Assalamualaykum," seruku sambil mendorong pintu rumah yang tidak tertutup rapat. "Bunda!" Robi bangun dari duduknya untuk berlari menyambutku. Rupanya putraku sedang bermain bersama Dini. Aku tersenyum manis sembari mengusap rambut Robi."Sedang main apa?" tanyaku pada Robi."Ini, Bun, dibelikan Tante Dini lego. Bagus'kan?" Robi memperlihatkan hasil merangkai potongan lego menjadi bentuk mobil ambulan padaku."Sudah bilang terima kasih belum sama Tante?" putraku itu mengangguk sambil menoleh pada Dini. "Bunda mandi dan solat dulu ya, nanti baru main sama Robi." Aku tersenyum pada Dini, gadis itu membalas senyumku, lalu melanjutkan main bersama Robi.Selesai mandi dan salat, aku merapikan tempat tidur yang amat berantakan. Pasti
Usiaku sudah tidak muda lagi. Bukan masanya untuk cemburu apalagi pada adik sendiri. Sebenarnya aku juga belum terlalu terobsesi untuk memiliki pendamping pada waktu dekat, karena masih trauma dengan pernikahanku sebelumnya. Namun Mas Rian pria sangat baik yang bersabar menungguku sekian tahun, jika aku menolak, maka aku termasuk wanita tidak bersyukur. Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas, lalu bersiap-siap untuk pulang. Biarlah Dini menggunakan caranya sendiri untuk memikat Mas Rian, jika memang pria itu jodohku, maka seribu cara yang adikku itu lakukan, tetap tidak akan terwujud. Kusempatkan mampir ke sebuah toko roti, membeli oleh-oleh untuk Robi dan juga mama. Hari ini aku gajian, tentu saja mama dan Robi prioritasku ketika aku sudah memiliki penghasilan sendiri. Saat masih bersama Ramon dan aku hanya memangku tangan padanya, tentu saja aku tidak bisa sebebas ini mengeluarkan uang untuk keluargaku. "Bunda!" Robi menyambutku dengan senyuman lebar. Ia berlari menghampiri begit
Aku dan Rian duduk di kursi teras. Lelaki itu masih mengunci rapat mulutnya sejak ia berdiri di depan pintu rumah dan melihat Ramon memegang tanganku. Aku tidak menyalahkan lelaki ini, karena siapapun yang melihat Ramon seperti tadi padaku, pasti akan salah paham. Ditambah bumbu bon cabe yang meluncur dari bibir tipis adikku yang membuat Rian semakin cemberut saja. Ramon sudah pulang karena Robi ternyata sudah tidur di kamar mama. Lalu di mana Dini? Mama meminta Dini masuk ke kamar dan memberikan waktu padaku untuk bicara dengan Rian. Namun sudah setengah jam kami duduk sedikit berjarak, Rian masih mengunci mulutnya. Aku lelah dan mengantuk, tetapi Rian nampaknya tidak ingin meluruskan masalah, tetapi juga tidak mau pulang. "Mas, maaf, aku lelah sekali hari ini. Laporan semua aku yang kerjakan karena Widya tidak masuk. Jika kamu ingin bertengkar denganku, silakan, tapi tahan sampai besok ya, karena aku sudah tidak bertenaga. Aku ngantuk banget, Mas." "Oh, jadi kamu mengusirku?" "