Usiaku sudah tidak muda lagi. Bukan masanya untuk cemburu apalagi pada adik sendiri. Sebenarnya aku juga belum terlalu terobsesi untuk memiliki pendamping pada waktu dekat, karena masih trauma dengan pernikahanku sebelumnya. Namun Mas Rian pria sangat baik yang bersabar menungguku sekian tahun, jika aku menolak, maka aku termasuk wanita tidak bersyukur. Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas, lalu bersiap-siap untuk pulang. Biarlah Dini menggunakan caranya sendiri untuk memikat Mas Rian, jika memang pria itu jodohku, maka seribu cara yang adikku itu lakukan, tetap tidak akan terwujud. Kusempatkan mampir ke sebuah toko roti, membeli oleh-oleh untuk Robi dan juga mama. Hari ini aku gajian, tentu saja mama dan Robi prioritasku ketika aku sudah memiliki penghasilan sendiri. Saat masih bersama Ramon dan aku hanya memangku tangan padanya, tentu saja aku tidak bisa sebebas ini mengeluarkan uang untuk keluargaku. "Bunda!" Robi menyambutku dengan senyuman lebar. Ia berlari menghampiri begit
Aku dan Rian duduk di kursi teras. Lelaki itu masih mengunci rapat mulutnya sejak ia berdiri di depan pintu rumah dan melihat Ramon memegang tanganku. Aku tidak menyalahkan lelaki ini, karena siapapun yang melihat Ramon seperti tadi padaku, pasti akan salah paham. Ditambah bumbu bon cabe yang meluncur dari bibir tipis adikku yang membuat Rian semakin cemberut saja. Ramon sudah pulang karena Robi ternyata sudah tidur di kamar mama. Lalu di mana Dini? Mama meminta Dini masuk ke kamar dan memberikan waktu padaku untuk bicara dengan Rian. Namun sudah setengah jam kami duduk sedikit berjarak, Rian masih mengunci mulutnya. Aku lelah dan mengantuk, tetapi Rian nampaknya tidak ingin meluruskan masalah, tetapi juga tidak mau pulang. "Mas, maaf, aku lelah sekali hari ini. Laporan semua aku yang kerjakan karena Widya tidak masuk. Jika kamu ingin bertengkar denganku, silakan, tapi tahan sampai besok ya, karena aku sudah tidak bertenaga. Aku ngantuk banget, Mas." "Oh, jadi kamu mengusirku?" "
Demamku memang sudah turun, tetapi saat membaca status Dini yang tengah magang di kantorku sekaligus kantor Mas Rian membuatku jengah juga. Dini memang adikku, walau tidak kandung. Dini bayi saudara di kampung mama yang diadobsi karena kedua orang tuanya tidak mampu. Dini yang sakit-sakitan akhirnya membuat mama iba dan membawanya ke Bandung saat usia Dini masih empat bulan. Sejak saat itu Dini menjadi adikku. Tidak ada perbedaan antara perlakuan mama denganku ataupun dengan Dini. Mama pandai menutup rapat rahasia ini karena ia pun amat menyayangi adik angkatku itu. Sampai sekarang, Dini hanya tahu, bahwa kamilah keluarganya dan mama adalah ibu yang melahirkannya. Ketika muncul permasalahan seperti ini membuatku mau tidak mau memikirkan Dini juga. Sebagai kakak yang sayang adiknya, aku tidak ingin bertengkar apalagi sampai bermusuhan dengan Dini hanya karena seorang pria. "Bunda, mau makan disuapin, Bunda," ujar Robi sambil menyentuh kepalaku. Garis bibir ini melengkung tinggi. Pu
Pukul empat sore Rian sudah sampai di rumahku. Ia membawakan empat bungkus baso malang terenak di daerah kami. Tidak lupa juga ia membawakan kue untuk Robi. Rian memang sangat baik dan tidak punya celah untuk aku menolaknya.Cemburu seperti kemarin itu masih wajar, hal itu pun ia lakukan karena ia mencintaiku dan takut kembali pada Ramon."Selera tidak?" tanyanya saat aku ikut menyantap baso malang bawaannya. Di depan kami duduk ada mama yang tengah menyuapi Robi dengan baso yang sama."Selera dan enak seperti biasa, terima kasih ya, Mas," kataku tulus sambil menyunggingkan senyum."Sama-sama." Dia ikut tersenyum sambil menyentuh keningku."Sudah tidak demam. Semoga lekas sehat lagi ya. Aku mau ajak kamu jalan sama Robi." Aku mengangkat wajah untuk menatap lelaki ini, yang tidak pernah sedikit pun menyerah untuk mendapatkanku."Jalan ke mana?" tanyaku masih dengan menatapnya."Ke mana aja? Apa kamu mau kita jalan ke KUA?" aku tertawa mendengar candaannya."Robi, ikut Nenek ke dapur yu
"Oh, jadi Teteh yang minta Mas Rian memberikan pekerjaan banyak untukku agar aku lembur di kantor? Curang sekali, Teteh. Wajah Teteh nampak lugu, tetapi hati Teteh busuk." Aku yang masih fokus di depan televisi, langsung menoleh kaget mendengar perkataan kasar Dini. Ini pertama kalinya ia bersikap kurang ajar padaku, hanya karena seorang Rian. "Aku jelaskan juga percuma, karena hati kamu sudah tertutup. Robi, ayo, masuk kamar. Besok sekolah!" Aku bangun dari duduk, lalu menarik pelan lengan putraku untuk segera ke kamar mandi. "Mau apa, Bunda?" tanya Robi tidak mengerti. "Sikat gigi sebelum tidur. Permennya dimakan besok saja." Aku menggiring Robi masuk ke kamar mandi, meninggalkan Dini yang tengah melipat kedua tangannya di dada karena kesal. Tidak lama kemudian, aku mendengar suara pintu kamar dibanting. Robi kembali menoleh kaget padaku, lalu kepalanya mengintip keluar dari kamar mandi. "Ada apa sih?" tanya Robi dengan polosnya. Aku tertawa pelan, laut mempercepat menggosok gi
POV AuthorDini berusaha membetulkan kembali laporan yang kemarin sudah ia buat dengan air mata yang terus saja mengalir. Hatinya sakit dan juga kecewa karena tetehnya tega merusak laporannya sehingga ia ditegur Mbak Miska. Tidak banyak yang bisa ia lakukan, termasuk melapor pada Rian karena lelaki dewasa yang ingin sukai itu belum kelihatan barang hidungnya. "Kalau cengeng, gak usah magang, Neng!" Seru Miska saat melewati meja Dini. Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap sekilas Miska yang melirik sinis. "Aneh kantor ini, pasti ada jinnya. Jelas-jelas semalam sudah rapi, kenap pagi ini berantakan lagi?" gumam Dini sambil menyeka air matanya dengan kasar. "Sebelum laporan itu masuk ke mejaku, biasanya ada Puspa yang mengecek. Bisa saja kakak kamu itu memang yang iseng mengerjai kamu. Tahu sendiri kan, dia sedang dekat dengan Pak Rian dan kamu; adiknya malah magang di sini. Gak lucu juga selesai kamu wisuda, kamu dan Puspa satu kantor. Kalau aku sih, lebih bagus anak baru lulus yang
Bukan Dini namanya kalau mudah putus asa. Tipikal Dini dan Puspa yang memang sejak kecil sudah hidup bersama, sangatlah jauh berbeda.. Puspa lebih sabar dan nrimo dibandingkan Dini. Puspa juga lebih dewasa bukan karena usianya, tetapi memang modelnya sejak dulu sudah seperti itu. Beda dengan Dini yang ceplas-ceplos dan apa adanya. Dini pun termasuk anak yang nekat dan berani. Di sekolah, tidak ada yang berani meledek apalagi mem-bully gadis itu karena dianggap tidak punya ayah dan tidak mirip dengan mamanya. Dini membaca pesan dari Puspa, hanya dibaca saja, tanpa niat ingin membalas. Rasanya lucu sekaligus seru karena berhasil mengerjai sang Kakak. Semangt bekerjanya pun naik berkali-kali lipat karena perutnya yang kenyang dan kepuasan emosi yang tersalurkan. Lalu bagaimana sikap Puspa? Wanita itu mendengkus kesal menyaksikan pesannya hanya dibaca saja tanpa dibalas. Ia melanjutkan pekerjaannya, mencoba melupakan kesialan hari ini. Pukul lima sore, Puspa sudah siap-siap ingin pulan
"Dih, terserah saya mau beli baju apa, gak pakai uang Teteh juga. Lagian kalau saya mau minjem punya Teteh, saya gak mungkin bisa pakai karena kebesaran. Jadi saya beli baru, memangnya gak boleh?" Dini membela diri. Wajahnya sama sekali biasa aja, tidak seperti orang yang sedang dituduh melakukan kesalahan. "Udah, ah, orang baru pulang udah diributin aja! Capek!" Belum sempat Puspa membuka mulut, Dini sudah melepaskan cengkeraman pada lengannya dan berlalu dari hadapan Puspa. Pintu kamar dibanting oleh gadis itu. Puspa hanya bisa menghela napas sambil mengurut dadanya. Memang benar apa yang dikatakan Dini, mungkin hanya dia saja yang terlalu berlebihan. Siapapun berhak membeli baju yang ia suka, meskipun baju itu mirip dengan baju orang lain. "Dini sudah pulang?" Bu Suci keluar dari kamar setelah salat Isya. "Sudah, Ma." Puspa mengunci pintu kembali. "Sudah kamu tanyakan soal baju itu?" tanya Bu Suci lagi penasaran. "Sudah, Ma, gak papa deh, memang mungkin Dini senang baju yang