Home / Romansa / Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan! / Bab 6. Rona Merah Dari Dosa Yang Manis

Share

Bab 6. Rona Merah Dari Dosa Yang Manis

Author: nanadvelyns
last update Last Updated: 2025-09-19 14:59:59

Pagi itu, suasana kantor masih terasa lengang.

Beberapa pegawai baru saja datang, sebagian masih sibuk menyalakan komputer, dan sisanya bergegas menyeduh kopi di pantry.

Fiona berjalan memasuki ruangan dengan langkah tenang, membawa tas kerja totebag sederhana.

Ia mengenakan kemeja biru cerah yang membuat kulitnya tampak lebih segar, rambutnya dibiarkan tergerai bergelombang alami, memberi kesan sederhana namun memikat.

Ia menyalakan komputernya perlahan, berusaha mengatur ritme napas agar lebih tenang.

Hari ini sama saja seperti hari-hari sebelumnya, atau setidaknya ia berharap begitu.

Jari-jarinya mulai bergerak di atas papan ketik, memeriksa laporan penelitian makanan ringan yang kemarin belum selesai.

Namun, baru sebentar ia fokus, suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar di belakangnya.

“Nona Fiona,” panggil suara itu.

Tubuh Fiona refleks menegang, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

Ia menoleh cepat, dan benar saja—James berdiri tidak jauh darinya, dengan senyum khas yang sedikit menyebalkan karena selalu terkesan tahu segalanya.

“Ada apa, tuan James?” tanya Fiona, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

James mengangkat alis, lalu menyampaikan, “Tuan memanggilmu ke ruangannya.”

Sekilas Fiona membeku.

Nama itu bergema di benaknya, membawa kembali bayangan pertemuan terakhir mereka di taman.

Sejak hari itu, tidak ada komunikasi lebih lanjut di antara mereka, seolah-olah garis batas dipertahankan dengan rapuh.

Namun, kini panggilan itu datang, dan Fiona tidak bisa menolaknya.

Ia menarik napas panjang, mencoba menata ekspresi agar tetap netral. “Baiklah,” jawabnya singkat.

James menunggu, lalu berjalan mendahuluinya.

Fiona mengikuti di belakang, langkahnya terasa berat, seakan setiap hentakan sepatu membawa kegelisahan.

Ketika pintu ruangan William terbuka, Fiona disambut aroma kopi yang samar dan cahaya matahari yang menembus kaca besar di belakang meja kerja.

William duduk dengan tenang, tubuhnya tegap, kemeja putih yang dikenakan terlipat rapi di lengan hingga siku.

Senyum tipis menghiasi bibirnya, dan tatapan matanya—tajam namun berbahaya—terpaku pada Fiona seolah ia adalah seekor hewan buruan yang terjebak dalam perangkap.

Fiona terbatuk pelan, menundukkan pandangan, lalu berkata sopan, “Tuan, Anda memanggil saya?”

William terkekeh pelan, nada suaranya terdengar ringan namun sarat makna. “Kenapa sangat kaku padaku, Fiona? Bukankah sekarang aku pacarmu juga?”

Dada Fiona seketika sesak. Ia mengerutkan kening, wajahnya merona meski berusaha tetap tegas.

Kalimat itu begitu terang-terangan, mengingatkan pada keterikatan mereka yang kelam.

Ia ingin membantah, tapi lidahnya kelu.

Hubungan itu memang nyata, meski terlarang, meski salah.

“Ini masih jam kerja, Tuan,” ujarnya dengan nada setenang mungkin, meski suara hatinya bergetar.

William hanya menyunggingkan senyum rubahnya yang khas, tidak membantah, tidak pula melanjutkan.

Ia melirik James, memberi isyarat halus. James langsung mengangguk dan keluar, menutup pintu dengan tenang.

Kini, hanya ada Fiona dan William di dalam ruangan, sunyi, penuh ketegangan yang hampir bisa diraba.

“Kemari,” ucap William, sambil mengetuk ringan meja kayu di depannya.

Fiona menelan ludah, lalu melangkah dengan ragu.

Setiap langkah terasa seperti memasuki wilayah terlarang, namun ia tidak punya pilihan.

Hingga akhirnya ia berdiri di depan meja kerja William, menunduk sopan.

William membuka laci meja, lalu mengeluarkan sebuah kotak bersegel rapi.

Fiona terperangah seketika. Kotak itu berisi ponsel keluaran terbaru, lengkap dengan tiga kamera besar yang sering dijuluki “kamera boba”.

Harganya bahkan setara dengan lima bulan uang sponsor yang pernah ia terima.

“Untukmu,” kata William ringan, menyodorkan kotak itu.

Fiona menatapnya penuh tanda tanya. “Ini… untuk apa?”

William menyandarkan tubuhnya ke kursi, menautkan jemarinya di depan dada.

Senyumnya lebar, penuh kemenangan. “Kau tidak mau kita ketahuan dengan mudah, bukan? Gunakan ponsel itu jika ingin menghubungiku. Hanya untuk itu.”

Fiona menggenggam kotak itu dengan ragu. Logika dalam ucapannya memang masuk akal.

Jika mereka menggunakan ponsel pribadi, risiko ketahuan lebih besar.

Namun, menerima hadiah semahal ini darinya membuat Fiona merasa semakin terjebak dalam jebakan yang tidak ia harapkan.

“Kenapa kau melakukan ini?” tanyanya lirih.

William mencondongkan tubuh, tatapannya semakin menusuk. “Karena aku ingin kau tetap bisa mencariku kapan pun. Karena aku tidak mau ada yang menghalangiku darimu.”

Wajah Fiona memanas. Ia berusaha mengalihkan pandangan, tapi William tidak memberinya celah.

Suasana ruangan mendadak menekan, seolah udara menjadi lebih berat.

“Aku tidak bisa menerima ini sembarangan, Tuan. Aku—”

William memotong dengan nada menggoda, “Kau bisa. Karena sekarang kau bukan hanya karyawan magang. Kau juga milikku.”

“Jangan bicara sembarangan,” balas Fiona, meski suaranya terdengar lemah.

William terkekeh lagi, puas melihat pipi Fiona yang merona. “Kau selalu terlihat manis ketika mencoba melawan.”

Fiona menggenggam kotak ponsel itu lebih erat, mencoba menegakkan tubuhnya. “Baiklah. Aku terima, tapi hanya karena alasan pekerjaan. Jangan salah artikan.”

William mengangkat alis, pura-pura polos. “Oh? Jadi hanya pekerjaan? Tidak ada sedikit pun alasan pribadi?”

Fiona menggertakkan gigi, tidak ingin menanggapinya. Ia tahu, jika terus meladeni, William hanya akan semakin puas menggodanya.

Hening sejenak, lalu William bersandar kembali. “Baiklah. Anggap saja itu alasanmu. Aku tidak keberatan. Asal kau tetap menyimpannya dan menggunakannya.”

Percakapan mereka berlanjut cukup lama.

William terus melemparkan kalimat-kalimat menggoda, sementara Fiona dengan kaku berusaha menangkis semuanya.

Namun, tak peduli seberapa keras ia menolak, rona merah di wajahnya tetap saja mengkhianati.

William tampak sangat menikmatinya, seperti seekor rubah yang bermain dengan mangsanya.

Akhirnya, William memberi isyarat agar Fiona keluar.

Dengan napas lega, Fiona membungkuk singkat, lalu bergegas meninggalkan ruangan.

Begitu pintu tertutup, James masuk kembali.

Ekspresi William langsung berubah drastis.

Senyum menggoda itu lenyap, berganti dengan tatapan dingin dan serius.

Aura yang dipancarkannya kini berbeda, jauh lebih berbahaya.

“Apa yang kau temukan soal Leon?” tanya William datar, suaranya menusuk keheningan.

James menunduk hormat, lalu menjawab, “Saya sudah menelusuri, Tuan. Leon saat ini tidak bekerja. Ia pengangguran, hanya menumpang hidup pada nona Fiona. Bahkan, dia sering mengancam nona Fiona dengan foto-foto pribadinya.”

Tatapan William menggelap, namun ia tetap diam.

“Dan… alasan nona Fiona meminta uang seratus juta di muka dalam hubungan Anda kemarin,” lanjut James hati-hati, “adalah karena Leon. Dia gagal taruhan judi daring dan sekarang memaksa nona Fiona untuk melunasinya.”

Ruangan kembali hening. William mengetuk pelan meja dengan jarinya, seolah sedang menimbang.

James memberanikan diri menambahkan, “Tuan… apa sebaiknya kita segera menyelesaikan pria bernama Leon itu? Agar nona Fiona tidak terus terbebani?”

William menoleh perlahan, lalu bibirnya melengkung membentuk seringaian tipis. “Tidak perlu. Aku tidak mau mengganggu susunan puzzle wanita itu.”

James mengerutkan kening, ragu. “Jadi… kita akan diam saja?”

William menggeleng perlahan, sorot matanya semakin tajam. “Terus pantau. Jika dia berani melewati batas lebih dari ini, aku tidak akan ragu melenyapkannya dari riwayat dunia.”

James tercekat. Ia tahu betul bahwa William tidak sedang bercanda.

Ketegasan dalam suaranya adalah peringatan nyata.

Ia hanya bisa menunduk, menerima perintah tanpa bantahan.

Di dalam hati, James heran sekaligus cemas. Seberapa istimewa sebenarnya Fiona bagi William?

Untuk seorang karyawan magang, William rela mengulurkan tangan sejauh itu, bahkan menyiapkan ancaman maut bagi siapa pun yang berani melukai atau menghalangi.

James keluar dari ruangan dengan kepala tertunduk, sementara William kembali bersandar di kursinya.

Tatapannya kosong, namun senyum tipis kembali terukir di sudut bibirnya.

Puzzle yang ia sebut tadi masih jauh dari selesai. Dan Fiona—bagaimanapun caranya—akan selalu menjadi kepingan terpenting di dalamnya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 90. Langkah Balasan Elizabeth

    Malam itu, gedung Winston Holdings telah sepi. Lampu-lampu di lantai atas padam satu per satu, menyisakan hanya cahaya dari ruang kerja pribadi Elizabeth Ratore.Wanita itu duduk di kursinya, kaki disilangkan rapi, segelas anggur merah di tangan.Di depannya, layar laptop menampilkan berita ekonomi dengan headline besar:“Krisis Pasokan Bahan Baku Mengancam Produksi SnackLine Winston.”Elizabeth tersenyum kecil. “Cepat juga, ya,” gumamnya puas. Ia baru saja menekan satu tombol dua jam lalu — pesan singkat ke kenalannya di perusahaan pemasok besar di Texas, mitra utama Winston Holdings. Sekarang efeknya sudah mulai terasa.“Kalau kau menolak aku, William Winston, aku akan buatmu berlutut di hadapan semua yang pernah kau bangun,” bisiknya pelan, nada suaranya setenang racun yang meresap perlahan.Ketukan pintu terdengar.Elizabeth menoleh sekilas. “Masuk.”Mikhail muncul, mengenakan jas abu-abu yang sedikit kusut, wajahnya tampak ragu.“Elizabeth,” katanya pelan. “Kau ingin menemuiku?

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 89. Rapat Darurat

    Fiona datang lebih awal dari biasanya, berharap bisa bekerja dengan tenang tanpa menghadapi tatapan aneh dari rekan-rekan. Namun baru sepuluh menit duduk di meja kerjanya, ponselnya bergetar — pesan dari Jessica."Fi, dengar-dengar bakal ada rapat darurat direksi pagi ini. Katanya soal 'isu internal' perusahaan. Hati-hati."Fiona memandangi layar itu lama. “Isu internal.” Ia tahu betul maksud tersembunyi dari kata itu.Suara langkah berat di belakangnya membuatnya menoleh.Mikhail berdiri dengan wajah tegang, map hitam di tangan. “Fiona, kita perlu bicara. Sekarang.”Fiona bangkit perlahan, menatapnya cemas. “Ada apa lagi, Mikhail?”“Aku baru dipanggil ke lantai atas. Elizabeth akan memimpin presentasi kepada dewan. Topiknya, laporan pelanggaran profesional oleh staf magang. Dan mereka menyiapkan rekaman pesan—”“Pesan apa?” Fiona memotong cepat, darahnya terasa berhenti mengalir.“Pesan suara dari ponsel yang katanya milikmu,” Mikhail menjawab lirih. “Tapi aku tahu itu rekayasa. Mer

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 88. Bayangan di Balik Reputasi

    Suasana kantor Winston berubah drastis.Bisikan halus terdengar di setiap sudut koridor. Tatapan-tatapan cepat muncul setiap kali Fiona lewat. Tak ada lagi sapaan hangat dari rekan-rekan yang dulu memujinya atas kerja keras. Semua digantikan bisikan samar, senyum pura-pura, dan rasa canggung yang menusuk.Fiona berusaha menegakkan kepala, berlagak tidak mendengar.Namun setiap langkahnya terasa berat.Ia tahu gosip itu menyebar cepat. Tentang dirinya dan Mikhail. Tentang hubungan yang katanya “tidak pantas”.Tentang bagaimana ia memanfaatkan kedekatannya dengan William Winston untuk naik jabatan.Semuanya bohong — tapi kebenaran tidak lagi penting ketika kebohongan sudah jadi bahan hiburan.Ketika Fiona membuka pintu ruang rapat kecil, Jessica, sahabatnya, menutup laptop cepat.Wajahnya menegang, seolah takut tertangkap basah.“Jess?” Fiona berusaha tersenyum, tapi suaranya nyaris bergetar.Jessica menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. “Aku tidak percaya gosip itu, Fi. Ta

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 87. Jebakan Sunyi

    Udara di kantor Winston terasa lebih berat dari biasanya.Setiap langkah Fiona di lorong seakan diikuti tatapan-tatapan samar. Sejak kabar kebocoran data itu merebak, segala hal terasa lebih dingin — bahkan cahaya lampu pun seolah memudar.Namun pagi itu berbeda.Ketika Fiona sampai di meja kerjanya, ia menemukan setangkai mawar putih di atas dokumen-dokumen yang belum sempat ia rapikan.Tidak ada kartu nama. Tidak ada catatan kecil. Hanya bunga itu — dan aroma samar parfum yang tidak asing.Hidungnya menangkap aroma khas cologne William.Seketika, senyum kecil muncul di wajahnya.Mungkin ini cara pria itu untuk menebus kesalahpahaman tempo hari.Mungkin William masih peduli.Namun sebelum Fiona sempat menyimpan bunga itu, Mikhail muncul dari balik partisi.“Kau masih percaya padanya?” tanyanya tiba-tiba.Fiona menatapnya, bingung. “Maksudmu?”Mikhail menatap mawar itu tajam. “Pria yang kau pikir selalu melindungimu. Apakah dia juga yang memberimu bunga itu?”Nada suaranya terdengar

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 86. Yang Tak Terlihat

    Hujan baru saja turun, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan tapi menyakitkan di dada. Semua orang sudah pulang, hanya tersisa suara mesin pendingin dan langkah sepatunya yang bergema di lorong panjang.Sejak percakapan singkatnya dengan William siang tadi, dadanya terasa sesak.Ia tahu William tidak benar-benar mempercayai tuduhan itu — tapi diamnya pria itu jauh lebih menyakitkan daripada amarah.Seolah-olah... William mulai ragu lagi.Fiona memeluk tasnya erat-erat, berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh. Ia sudah terlalu sering menangis karena pria itu, tapi kali ini berbeda.Kali ini, ia menangis bukan karena kehilangan, melainkan karena berjuang terlalu lama sendirian.Di sisi lain gedung, dari balik kaca ruangan lantai atas, William berdiri dengan tangan di saku, memandangi Fiona yang melangkah keluar sendirian dengan payung kecil.Ia tahu gadis itu merasa terluka. Tapi rasa curiga yang tumbuh di antara mereka terlalu sulit dihapus.James, asisten pribadinya, b

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 85. Jejak Yang Tersisa

    Hari itu, langit Jakarta tampak kelabu, dan Winston Group tenggelam dalam kesibukan luar biasa.William duduk di ruang rapat lantai atas, matanya menatap layar presentasi tanpa benar-benar memperhatikan. Ia tampak seperti patung — rapi, tenang, tapi beku. Di sisi lain meja, Elizabeth dengan senyum profesional memaparkan laporan kinerja cabang Singapura seolah-olah tak terjadi apa pun antara mereka.“...dan karena permintaan meningkat 22% di kuartal terakhir, kami akan memperluas produksi di Cikarang,” ucap Elizabeth mantap, lalu memalingkan pandangannya sekilas ke William, seolah menantikan reaksi.Namun pria itu hanya mengangguk pelan. “Lanjutkan.”Begitu rapat usai, semua keluar, meninggalkan dua orang itu di ruangan luas nan hening. Elizabeth berdiri, melangkah mendekat.“Kau kelihatan lelah, Will,” katanya lembut, suaranya dibuat setenang mungkin. “Aku tahu kehilangan kepercayaan itu berat. Tapi aku hanya ingin mengingatkan... tidak semua orang yang tersenyum padamu pantas kau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status