Mon Cher=sayangku
"Aku dengar kau meminta rekaman CCTV studio kita yang ada di blok sebelah." Elian masuk ke dalam ruangan kerja bosnya, sambil melihat tablet. "Apa ada masalah?" "Sebenarnya, aku juga tidak tahu itu masalah atau bukan." Ariana mengulurkan tangan meminta tablet yang dipegang asistennya. "Tidak tahu itu masalah atau bukan?" Sang asisten balas bertanya dengan sebelah alis terangkat dan tangan terulur untuk menyerahkan tablet yang dia pegang. "Ada seseorang yang mencurigakan," balas Ariana menatap tabletnya. "Tapi apa kau tidak bisa mengirimkan file ini biar bisa aku tonton di komputer saja? Layarnya terlalu kecil." "Pihak keamanan sudah mengirimkan potongan yang kau minta lewat sistem kita, tapi bagaimana bisa ada orang mencurigakan? Keamanan studio kita selalu terjamin." "Bukan di dalam studio kok, jadi Pak Asisten bisa tenang." Elian mengembuskan napas lega ketika mendengar kalimat terakhir sang atasan. Padahal dia sudah berpikir akan ada masalah besar, karena studio mereka
Tatapan Ariana terpaku lurus ke depan, ke arah jendela kaca besar. Di sana, band yang sedang memainkan musik ciptaan Ariana berada, mencoba menghidupkan nada demi nada. Sayangnya, sang pencipta malah terlihat tidak fokus. "Aku rasa, bar empat lima ini terdengar kurang bagus. Seperti ada yang patah di tengah." Lirien bersuara, dengan kening berkerut. "Bagaimana menurutmu?" Lirien menoleh ke samping kiri dan hanya menemukan Ariana yang berdiri mematung. Itu jelas membuat keningnya makin berkerut, dan memilih untuk menoleh ke sebelah kanan. Dia mencoba meminta penjelasan pada Sebastian yang hanya bisa mengedikkan bahu. "Ariana Jackson, apa kau mendengarku?" panggil Lirien lebih keras lagi dari sebelumnya. "Oh, maaf. Bisa kau ulang?" balas Ariana tidak tampak seperti orang yang terkejut. "Sebelum aku ulang, mungkin aku harus tahu dulu." Lirien melepas headphone dan melipat tangan di depan dada. "Apa kau ada di sini atau tidak?" Ariana mendengus pelan mendengar pertanyaan itu.
Alaric dan Anna Crawford melirik putri mereka yang sedang menyendok sarapan pagi dengan pelan dan hening. Mereka tahu ada yang salah hanya dari ekspresi Ariana, tapi hanya bisa melirik satu sama lain untuk komunikasi. Bahkan, saudara Ariana yang lain pun merasakan itu. "Pagi Baz." Amadeus, si bungsu Crawford menyapa kakak iparnya yang baru bergabung. "Kau kelihatannya baru bangun tidur." "Pagi semuanya," jawab Bastian dengan nada suara yang lebih lesu. "Ada apa denganmu?" Kali ini, si tengah Anais yang berbicara untuk menegaskan ucapan adiknya. "Kau tampak berantakan pagi ini." Bastian menunduk dan melihat pakaiannya yang memang kurang rapi. Kemejanya hanya masuk setengah ke dalam celana dan lengan kemeja yang digulung sebelah. Belum ditambah dengan dasi yang dia pegang bersama dengan jas. "Perlu bantuan untuk memasang dasi?" Anais Crawford yang terlalu baik hati dan masih sedikit naif, malah mau mengulurkan tangan. Tapi, suara alat makan yang berdenting sedikit lebih kera
Kedua mata Ariana tertutup, dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Dia sedang duduk dengan tegak di pinggiran ranjang, menarik napas dengan teratur dan bukan sedang tidur. Tapi dalam hati, dia sedang menghitung detik demi detik yang dia lewati dengan mata tertutup. "Seribu dua ratus dua puluh satu," gumam Ariana, tepat saat pintu kamarnya berderit terbuka dengan sangat pelan. Ariana membuka mata dan menyaksikan sang suami masuk ke dalam kamar dalam keadaan kusut dan langkah sangat pelan. Entah lelaki itu terlihat kusut karena stres atau hal lainnya "Kau ... sudah pulang?" tanya Bastian dengan sangat ragu-ragu. Dia memilih berdiri di dekat pintu. "Belum tidur?" "Kau sendiri baru pulang? Saat semua orang harusnya sudah lelap?" Kini Ariana berdiri dari posisi duduknya, tapi dengan nada yang sangat tenang dan tanpa beranjak lebih jauh. Saking tenangnya, Bastian sampai merinding. Dia tahu kalau saat ini istrinya sedang dalam keadaan yang kurang baik dan salah sedikit akan me
Langkah Ariana bergema pelan saat hak sepatunya berbenturan dengan lantai marmer mahal. Jemarinya pun menyentuh kain beludu yang menyelimuti sebagian dinding lorong tempatnya berjalan. "La Salle Comune," ucap Hubert si pemandu. "Seperti yang kau lihat, beberapa orang sudah berkumpul dan melakukan pemanasan." Suara denting gelas beradu, suara berbisik, suara tawa, bahkan suara desahan terdengar beriringan, di antara sofa merah yang dibentuk melingkar. Suaranya tidak keras dan tidak mengganggu siapa pun, tapi itu membuat Ariana menarik napas panjang. Beberapa lelaki yang menurut Ariana bukan dominan, berlutut dengan wajah tersenyum. Lebih banyak lagi perempuan dengan pakaian minim. Sementara para dominan, duduk di atas sofa. Untungnya Hubert di pemandu segera beranjak ke bagian belakang. Di sana, ada lorong yang pintu masuknya di tutupi dengan kain merah. "Ini La Chambre de Verre, kamar berjendela." Hubert mengatakan itu, sambil m
"Selamat malam Mademoiselle Jackson." Seorang lelaki lain datang dengan senyum lebar. "Aku adalah pemandu untukmu malam ini dan namaku Hubert, senang bisa membantu member baru sepertimu." "Jadi apa yang harus aku lakukan?" tanya Ariana terlihat cukup tenang. "Kau terlihat tenang untuk kali pertamamu di La Chambre Rouge, jadi aku pikir ini pasti bukan sesi pertamamu. Jadi, kita bisa ...." "Ini kali pertamaku," ucap Ariana memotong kalimat dari si pemandu, tanpa perlu merasa malu dengan kalimatnya. "Oh." Tentu saja si pemandu agak terkejut mendengar pernyataan Ariana. "Aku tidak menyangka seorang Madamoiselle muda sepertimu bisa terlihat seperti orang yang cukup profesional pada kali pertama. Kutebak kau adalah dominan." "Cukup basa-basinya dan tolong segera mulai saja," keluh Ariana sudah mulai tidak sabar. "Aku bukan orang yang punya banyak waktu luang dan ya, menurut email aku dominan." "Tentu saja." Hubert mendekat ke arah layar, lebih tepatnya ke arah susunan rak di sebe