LOGIN"Kau bilang apa?" tanya Ariana dengan mata melotot.
"Tinggal di rumahku saja," ulang Bastian tanpa beralih dari jalanan. Dia sedang menyetir mobil. "Kenapa? Aku juga punya rumah kalau kau tidak mau tinggal dengan Dad." "Tapi aku tidak bisa biarkan ayahku sendirian," balas Bastian tetap fokus. "Kau tahu kalau dia tidak bisa ditinggal sendiri kan?" "Bawa saja dia ke rumah kita." Ariana masih bersikeras. "Nanti sewa perawat juga." "Dad, tidak belum butuh perawat. Dia hanya butuh ditemani, saat aku ada waktu. Kau tidak mungkin seperti itu kan?" "Memangnya kalau tinggal sendiri, kau tidak bisa menemani ayahmu?" Ariana masih saja membantah. "Justru lebih baik karena ada aku juga." Bastian mengembuskan napas pelan. Padahal, dia sudah merasa sedikit lebih segar karena mereka baru saja pulang liburan alias bulan madu yang dipaksakan. Tapi, sekarang dia sudah sakit kepala lagi. Padahal selama liburan berdua, semuanya cukup lancar. Bahkan bisa dibilang cukup menyenangkan. Mereka bahkan akur, setidaknya sampai beberapa menit lalu. "Oke." Pada akhirnya, Bastian memilih untuk mengalah. "Tapi aku tetap mau minta izin pada ayahmu dulu." "Tidak perlu lah." Ariana melambaikan tangan dengan santai. "Kan tinggalnya di rumahku. Perawatnya nanti aku juga saja yang bayar." "Justru aku jadi makin ingin minta izin," balas Bastian mencoba untuk tegas. "Biar bagaimana, uangmu berasal dari Pak Alaric." "Aku juga bekerja." Ariana langsung mendelik, karena merasa tersinggung. "Memang kantornya milik Dad, tapi aku kan kerja." "Maaf, tapi aku harus izin." Bastian menggeleng. "Untuk yang ini aku tidak bisa kalau tidak bilang. Biar bagaimana, kau anak Pak Alaric dan aku punya tanggung jawab. Apalagi kau sendiri tahu masa lalu mereka tidak baik." Untuk yang satu itu, Ariana hanya bisa mengangkat kedua tangannya. Dia tahu tidak ada gunanya berdebat lebih jauh lagi, baru ingat kalau sang suami tidak boleh didebat jika itu tentang ayahnya. Tapi, apa yang terjadi malah di luar dugaan. Lebih tepatnya, itu malah jadi petaka untuk pasangan itu. "Kalian berdua, tinggallah di sini," ucap Alaric, sambil menyesap tehnya. "Ya?" Bukan hanya Bastian, tapi Ariana juga terkejut mendengar hal itu. "Kalian bisa tinggal di rumah ini," ulang Alaric dengan kening berkerut. "Rumah ini cukup besar untuk menampung semua orang, dan rasanya aku mengatakannya dengan jelas." "Tapi aku ingin mengajak ayahku tinggal bersama," jelas Bastian mencoba untuk tersenyum. "Aku yakin kalian berdua kan tidak nyaman kalau ada ...." "Paviliun belakang sudah lama kosong." Alaric memotong kalimat menantunya. "Bilang kapan ayahmu akan pindah, biar kita bisa membersihkan tempat itu dulu." "Al." Anna menegur suaminya. "Kurasa itu bukan keputusan yang mudah dan harus dibicarakan dulu kan?" "Kenapa susah? Rasanya itu hal yang mudah." "Dad, tolong pertimbangkan masa lalu kalian yang jelek itu." Ariana menjelaskan dengan jujur. "Walau aku dan Bastian akrab ...." "Bukankah kau selalu bilang kalian tidak akrab?" tanya Alaric kembali memotong pembicaraan orang lain. "Kami sering bertengkar, tapi kami juga dekat," balas Ariana mulai terlihat kesal. "Lalu bisakah kau tidak memotong omongan orang lain terus-terusan? Itu menyebalkan." "Ari." Kali ini Anna harus menegur putrinya. "Mengatakan hal seperti itu pada ayahmu, juga bukan hal yang baik." "Sorry, tapi memotong omongan orang lain terus menerus juga tidak baik. Yah, walau Dad melakukannya pada orang berbeda," balas Ariana enggan mengalah. "Makanya aku bilang," desis Anna dengan sangat pelan pada suaminya. "Jangan terlalu memanjakan putrimu." Alaric pun hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia juga tahu anak-anak yang keras kepala itu karena terlalu dimanja, tapi sebagai ayah, dia juga tidak bisa tidak memanjakan anak-anaknya. "Maaf, tapi bagaimana dengan ayahku?" Bastian kembali menyuarakan kegelisahannya. "Biar bagaimana, kalian juga pasti tidak nyaman kan. Apalagi ... paviliun belakang itu agak terpencil." Kali ini, giliran Anna yang mengembuskan napas. Yang dikatakan menantunya juga tidak salah, tapi jelas ini bukan sesuatu yang bisa dicarikan jalan keluar dengan cepat. Apalagi, dia tahu Bastian akan keras kepala kalau itu menyangkut ayahnya. "Bagaimana ... kalau kita mencari jalan lain saja?" tanya Anna masih sambil berpikir. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita mencarikan rumah baru saja untuk ayah mertuaku?" tanya Ariana dengan tatapan yang serius. "Yang dekat dari sini, agar Bastian dan aku bisa sering menjenguk." "Ari." Tentu saja Bastian akan mendesis mendengar ide sang istri. "Sulit menemukan rumah kosong di kompleks perumahan elit seperti ini dan jelas itu akan sangat mahal." "Ayahku bisa menangani semuanya," balas Ariana dengan percaya diri. "Lagian, dia juga yang menyarankan tinggal bersama." "Sebelum mengambil keputusan, bagaimana kalau kalian bertanya dulu?" tanya Anna dengan kedua alis terangkat, agak terkejut mendengar permintaan sang putri. "Sebaiknya bertanya dulu pada ayahnya Bastian kan?" Untuk yang satu itu, Bastian setuju. Memang paling masuk akal bertanya pada semua pihak yang terkait, sebelum memutuskan apa pun juga. Dari pada melakukan hal yang akan ditolak semua orang. "Tapi, dari pada bertanya pada ayahmu, aku ingin bertanya sesuatu padamu." Alaric tiba-tiba saja mengubah topik pembicaraan. "Sebenarnya, sampai kapan kau mau bekerja di tempat tidak kompeten seperti kantormu itu?" "Kau tidak mungkin akan menghidupi anakku dengan gajimu yang sedikit itu kan, Baz?" lanjutnya dalam kalimat tanya yang bikin sakit hati."Kenapa mukamu terlihat tegang sekali?" Ariana bertanya diiringi tawa pelan. "Memangnya kau tidak tegang?" tanya Bastian yang melotot menatap istrinya. "Kita akan dilihat ratusan atau mungkin ribuan orang loh." "Jangan berlebihan, Bas. Undangan yang disebar bahkan tidak sampai lima ratus orang, jadi tidak mungkin ada ribuan orang. Dan aku sama sekali tidak merasa tegang." "Aku rasa kau sudah terbiasa diperhatikan banyak orang." Bastian mengangguk pelan. "Kau pernah ikut ayahmu melakukan kunjungan kerja kan?" "Beberapa kali waktu masih kecil." Ariana juga mengangguk. "Tapi aku sudah tidak terlalu ingat lagi." "Kau mungkin tidak ingat, tapi alam bawah sadarmu ingat." "Tapi bukankah dulu kau juga pernah ikut Mom kunjungan kerja?" Ariana bertanya dengan kening berkerut. "Kalau tidak salah waktu itu kita bersama-sama pergi ke panti asuhan dan kau ikut untuk membantu menjaga adikku." "Sepertinya aku ingat itu." Bastian mengangguk pelan. "Anais kalau tidak salah masih dua tahun
"Ini gila." Ariana melotot pada tumpukan brosur di depannya. Belum ditambah dengan apa yang harus dia lihat di komputer dan ponsel."Apanya yang gila?" Elian bertanya dengan sebelah alis terangkat. "Mempersiapkan pernikahan benar-benar sangat susah," ucap Ariana menyugar rambutnya. "Yah, memang seperti itu kan?" Elian mengedikkan bahunya. "Apalagi kali ini pestanya akan dirayakan dengan sangat meriah. Biar bagaimana, kau itu masih anak Alaric Crawford.""Berhenti bawa-bawa nama Crawford." Ariana mengeluh. "Rasanya bikin kesal saja.""Hei, kau tidak boleh begitu." Elian tanpa canggung menegur atasannya. "Kau harusnya bersyukur, karena masih punya keluarga. Apalagi kau punya keluarga yang kaya.""Di luar sana, masih banyak loh orang yang butuh kasih sayang keluarga dan butuh uang. Jadi, selama kau masih punya semuanya dan berlebih, sebaiknya kau bersyukur saja."Ariana mengedipkan kedua mata, menatap sang asisten. Jujur saja, dia tidak menyangka kalau Elian yang biasanya seriu
"Maaf, tapi apa Dad bisa ulangi sekali lagi?" tanya Ariana dengan kedua alis yang terangkat."Sebenarnya, kalian tidak benar-benar menikah." Alaric tidak keberatan menjelaskan ulang. "Yang kemarin itu hanya pesta, tapi pendaftaran pernikahannya tidak benar-benar dilakukan.""Datanya semua ada dan lengkap, tapi aku meminta pihak catatan sipil untuk menangguhkan pendaftaran pernikahannya," lanjut Alaric pelan. "Maaf untuk semua itu dan aku sama sekali tidak akan membela diri atas apa pun tuduhan kalian."Bukan hanya Ariana dan Bastian saja yang melongo, tapi Anna dan Landon juga melakukan hal yang sama. Mereka tidak pernah menyangka kalau selama ini sudah dibohongi dan jujur saja, itu rasanya menyakitkan."Apa yang membuatmu setega itu pada anak sendiri?" Anna bertanya dengan mata berkaca-kaca. "Bukan hanya pada Ariana, tapi juga Bastian dan aku.""Maaf." Hanya itu yang bisa Alaric ucapkan dengan kepala tertunduk, tanpa pembelaan apa pun. Sesuai dengan apa yang tadi dia ucapkan.
"Aku menolak menjadi saksi si sialan itu," desis Ariana dengan mata melotot."Tapi Mrs. Jackson ....""Kau pikir aku ini orang gila ya?" hardik Ariana dengan mata melotot, pada lelaki berpakaian rapi yang duduk di depannya. "Tidak orang yang mau jadi saksi dari mantan yang cari gara-gara, apalagi dengan tujuan membelanya.""Mrs. Jackson." Lelaki yang berpakaian rapi itu masih mencoba membujuk. "Sesuai yang kau katakan, kalian adalah mantan. Pasti ada kenangan indah dan salah paham yang terjadi, termasuk tentang kasus ini.""Salah paham kepalamu?" hardik Ariana sudah bangkit dari kursi kerja yang dia tempati sejak tadi. "Mana ada salah paham, setelah semua bukti yang ada." "Kau ini beneran pengacara bukan sih? Bukti sejelas itu saja masih mau menyangkal lagi.""Baiklah." Lelaki yang adalah pengacara Romeo itu pada akhirnya mengangkat tangan. "Aku tidak akan membahas masa lalu, tapi setidaknya bermurah hatilah. Demi kemanusiaan ....""Demi kemanusiaan?" tanya Ariana makin melot
Ariana melangkah dengan ceria. Hal yang sangat jarang terjadi, tapi tidak ada yang memperhatikan dia, karena sekarang Ariana sedang baru sampai di kantor Bastian. Setelah lama tidak masuk kantor, hari ini pada akhirnya Bastian mengunjungi tempatnya bekerja beberapa tahun ini. Bukan untuk kembali bekerja, tapi untuk mengundurkan diri secara resmi dan mengambil barang-barangnya. "Hai, aku kau ketemu Bastian dari kantor ....""Madam Ariana kan?" tanya si resepsionis dengan senyum lebar. "Sir Bastian sudah memberi tahu sebelumnya, jadi kau tidak perlu menitipkan identitas.""Okay." Ariana hanya mengangguk, sambil mengambil tanda pengenal untuk tamu. "Apa mau diantar juga?" Si resepsionis kembali bertanya. "Tidak perlu. Aku tahu jalannya."Ariana kembali melangkah dengan sangat senang. Terlihat jelas dari senyum yang merekah di wajahnya. Ariana bahkan mengangguk pelan pada setiap orang yang tersenyum padanya, bahkan dengan sopan bertanya pada pegawai kantor sang suami. "Sir B
Ariana, Bastian dan Anna melirik ke atas dengan takut-takut. Lebih tepatnya, hanya Bastian dan Anna yang seperti itu, karena sekarang mereka sedang berhadapan dengan Alaric Crawford. Hanya Ariana saja yang bisa menunjukkan keberaniannya, walau hanya dalam lirikan mata."Apa Dad punya sesuatu yang mau dikatakan, atau punya masalah?" tanya Ariana dengan tenang. "Kau masih bisa bicara seperti itu?" Alaric malah balas bertanya dengan mata melotot. "Tentu saja bisa. Aku kan masih punya mulut dan tidak bisu," balas Ariana malah terlihat menantang. Alaric menggeram kesal. Dia marah, tapi mau berteriak pun rasanya tidak tega. Apalagi sang istri sudah terlihat memelas. "Kenapa kalian tidak bilang mau pergi ke klub entah apa itu, bahkan membawa ibu kalian dan tanpa pengawalan." Pada akhirnya, hanya itu yang bisa dikatakan oleh Alaric. "Kami bawa pengawal," jawab Ariana tanpa keraguan. "Memang tidak masuk sampai ke dalam klub, tapi kami bawa. Lalu soal Mom, dia sendiri yang mau ikut.







