"Jadi, kau mau kontrak berapa lama?"
"Hah?" Tentu saja Ariana akan melotot mendengar apa yang diucapkan suaminya. Pasangan Ariana dan Bastian sekarang sudah berada di kamar hotel yang dipesankan orang tua mempelai perempuan. Ariana baru saja selesai mandi, ketika suaminya menanyakan hal tidak masuk akal dari arah sofa. "Maksudku, kontrak pernikahan. Kau pasti ingin membuatnya kan?" "Untuk apa?" Ariana malah makin melotot mendengar pertanyaan lanjutan sang suami. "Bukannya biasa begitu ya?" Bastian ikut bingung. "Yang kubaca di novel biasa seperti itu. Ada kontrak pernikahan yang dibuat, apalagi dengan keadaan kita yang sekarang." "Kau terlalu banyak baca novel." Saking gelinya, Ariana sampai mendengus. "Lagian, apa bagusnya baca novel romance?" "Itu untuk hiburan." Bastian mengedikkan bahunya dengan santai. "Hidup sudah susah, jadi sesekali harus menghibur diri sendiri." "Terserah, tapi aku tidak mau ada kontrak." "Hah? Serius?" Saking kagetnya, Bastian sampai duduk tegak. "Tidak masalah?" "Aku tidak tahu kenapa itu harus jadi masalah?" "Karena kita menikah terpaksa. Memangnya kau tidak mau coba cari pacar baru?" Ariana tidak langsung menjawab pertanyaan suaminya. Dia merasa perlu berpikir terlebih dulu, sebelum akhirnya bisa mengangguk setuju. "Pacaran lagi bukan ide buruk, tapi untuk sementara kau saja cukup," jelas Ariana terlihat begitu santai. "Kau yakin? Aunty Anna pasti tidak senang." "Kau itu bagaimana sih?" tanya Ariana dengan kening berkerut. "Tadi suruh orang pacaran lagi, tapi sekarang bilang nanti ibuku marah. For your information, dia sudah jadi ibumu juga." "Aku hanya mau memastikan saja." Bastian menaikkan kedua bahunya. "Lalu bagaimana dengan batasan? Apa ada yang boleh dan tidak boleh dilakukan?" "Harus ada yang seperti itu?" Ariana malah balas bertanya. "Kenapa kau selalu menjawab dengan pertanyaan lain?" Bastian memutar bola mata karena gemas. "Tidak bisakah kau menjawab dengan benar?" "Aku tanya karena aku tidak mengerti dan tidak tahu kenapa kau harus bertanya seperti itu." Bastian hanya bisa memutar bola matanya. Dia juga bingung dengan kelakuan sang istri, tapi bingung kenapa bisa perempuan itu malah terlihat cuek. Bukankah seharusnya Ariana setidaknya memikirkan apa yang mungkin dikatakan orang-orang? "Kau itu anaknya Alaric Crawford, Ari." Pada akhirnya, Bastian mencoba untuk menjelaskan. "Ayahmu itu orang terhormat. Dia mantan menteri dan mantan perdana menteri untuk dua periode berturut-turut." "Dia bahkan pernah dicalonkan menjadi presiden," tambah Ariana sambil menggunakan masker wajah. "Tapi Dad menolak." "Semua orang juga tahu itu, tapi tidakkah kau harus menjaga nama baik ayahmu? Maksudku, kita sudah nikah. Setidaknya di depan orang-orang kita harus mesra, biar ayahmu tidak jadi bahan gosip karena anaknya malah main-main sama cowok yang bukan suaminya." Ariana berkedip beberapa kali. Dia terlihat memikirkan ucapan sang suami dengan cukup serius, bahkan membutuhkan waktu yang sebenarnya lumayan lama. Padahal, itu adalah hal yang tidak perlu lagi dipikirkan. "Kenapa kau harus berpikir lama begitu?" tanya Bastian dengan tidak sabar. "Karena rasanya yang kau bilang itu tidak terlalu penting." Ariana mengedikkan bahu dengan santainya. "Ini soal reputasi ayahmu, Ari." Tentu saja Bastian akan melotot. "Aku tahu, tapi apa yang kita lakukan sekarang dan nanti tidak akan ada hubungan dengan Dad. Itu masalah kita." "Kau tidak bisa berpikir begitu." Bastian segera protes. "Selama kau masih memakai nama Craw ...." "Sekarang aku Jackson," balas Ariana kini memilih berbaring di atas ranjang. "Ariana Elizabeth Jackson. Kita sudah menikah." "Itu betul, tapi kau tetap anak Alaric Crawford. Apa pun yang menimpamu, akan menyeret nama besar ayahmu." Bastian masih mencoba untuk menjelaskan. "Jadi solusimu apa?" Ariana malah terus bertanya. "Kau putuskan saja dan akan aku ikuti." "Kalau aku memintamu melakukan hal aneh?" "Maka aku akan memukulmu," balas Ariana, bahkan menaikkan kepalan tangannya ke udara. "Kau tahu kan kalau aku ini bisa karate." "Sabuk oranye." Bastian tentu akan mengangguk. "Itu tidak berarti kau jago." "Kau benar-benar mau kupukul rupanya." Ariana bangkit dari posisi tidurnya. "Kemari," lanjutnya sambil melambaikan tangan. Bastian menatap sang istri dengan kedua alis yang terjungkit naik. Dia jelas saja sedang memikirkan kemungkinan yang akan terjadi, ketika dia mendekat ke arah ranjang. Hal yang sudah jelas membuatnya menggeleng. "Sayang sekali, tapi aku sudah mau tidur." Bastian menggeleng, disertai dengan senyuman. "Dari pada buang waktu, kau juga tidur saja." "Kau akan tidur di sofa?" Giliran Ariana yang menaikkan alis, tapi hanya sebelah saja. "Apa kau mau aku tidur di ranjang denganmu?" Bastian malah balas bertanya. "Kita sudah nikah kan? Jadi kenapa tidak?" "Kau tahu apa maksudnya itu kan?" Bastian masih terus bertanya. "Kalau kau pikir aku akan menyerangmu saat tidur, maka kau salah besar." Ariana langsung saja berdecak pelan, karena menahan tawa. "Kita sudah nikah, tapi aku belum tentu mau menyentuhmu." "Bukan terbalik? Harusnya, itu kalimatku kan?" "Itu kalimatku, jadi kau ke sini saja," balas Ariana terlihat cukup serius. "Biar bagaimana kau itu masih temanku juga tahu dan aku tidak terima penolakan." Bukannya langsung menurut, Bastian malah menaikkan sebelah alisnya. Dia merasa perempuan yang tumbuh dengannya itu makin aneh saja. Tapi, Bastian justru suka itu. "Dia orang yang tepat," gumam Bastian dalam hati. disertai senyum lebar. "Aku memilih orang yang benar.""Kau yakin tidak mau pindah ....""Tidak, Ari." Bastian langsung menolak, bahkan sebelum istrinya selesai bicara. "Aku tidak mau merepotkan keluarga kalian lebih dari ini, jadi aku akan tetap kerja di tempatku.""Padahal kau tidak merepotkan dan kau bisa bekerja denganku, tanpa harus melapor pada Dad." Ariana mengedikkan bahu dengan santai. "Thanks tawarannya, tapi tidak. Aku masih mau berusaha sendiri." Kali ini, Bastian tersenyum. Dia bisa merasakan kalau niat istrinya tidak jahat."Oke." Ariana pada akhirnya mengangkat tangan saja. "Tapi nanti jangan menyesal ya."Bastian hanya bisa tersenyum melihat istrinya, tapi dia tidak punya banyak waktu untuk membalas. Dia sudah harus segera pergi kerja, kalau tidak mau terlambat. Meninggalkan Ariana yang masih makan sarapan dengan santai."Padahal aku bosan," gumam Ariana menyeruput susu dari dalam gelas. "Karena masih libur, apa aku coba susul Bastian saja ya?""Aku akan menjenguk suamiku," putus Ariana bergegas meninggalkan meja
"Kau bilang apa?" tanya Ariana dengan mata melotot."Tinggal di rumahku saja," ulang Bastian tanpa beralih dari jalanan. Dia sedang menyetir mobil."Kenapa? Aku juga punya rumah kalau kau tidak mau tinggal dengan Dad.""Tapi aku tidak bisa biarkan ayahku sendirian," balas Bastian tetap fokus. "Kau tahu kalau dia tidak bisa ditinggal sendiri kan?""Bawa saja dia ke rumah kita." Ariana masih bersikeras. "Nanti sewa perawat juga.""Dad, tidak belum butuh perawat. Dia hanya butuh ditemani, saat aku ada waktu. Kau tidak mungkin seperti itu kan?""Memangnya kalau tinggal sendiri, kau tidak bisa menemani ayahmu?" Ariana masih saja membantah. "Justru lebih baik karena ada aku juga."Bastian mengembuskan napas pelan. Padahal, dia sudah merasa sedikit lebih segar karena mereka baru saja pulang liburan alias bulan madu yang dipaksakan. Tapi, sekarang dia sudah sakit kepala lagi.Padahal selama liburan berdua, semuanya cukup lancar. Bahkan bisa dibilang cukup menyenangkan. Mereka bahkan
"Jadi, kau mau kontrak berapa lama?" "Hah?" Tentu saja Ariana akan melotot mendengar apa yang diucapkan suaminya. Pasangan Ariana dan Bastian sekarang sudah berada di kamar hotel yang dipesankan orang tua mempelai perempuan. Ariana baru saja selesai mandi, ketika suaminya menanyakan hal tidak masuk akal dari arah sofa. "Maksudku, kontrak pernikahan. Kau pasti ingin membuatnya kan?" "Untuk apa?" Ariana malah makin melotot mendengar pertanyaan lanjutan sang suami. "Bukannya biasa begitu ya?" Bastian ikut bingung. "Yang kubaca di novel biasa seperti itu. Ada kontrak pernikahan yang dibuat, apalagi dengan keadaan kita yang sekarang." "Kau terlalu banyak baca novel." Saking gelinya, Ariana sampai mendengus. "Lagian, apa bagusnya baca novel romance?" "Itu untuk hiburan." Bastian mengedikkan bahunya dengan santai. "Hidup sudah susah, jadi sesekali harus menghibur diri sendiri." "Terserah, tapi aku tidak mau ada kontrak." "Hah? Serius?" Saking kagetnya, Bastian sampai duduk
"PERNIKAHAN INI TIDAK BOLEH TERJADI." Suara teriakan kembali terdengar. "Wah, sepertinya ini akan jadi headline news, mengingat ayahmu itu tokoh politik terkenal." Bastian masih sempat tertawa, sambil melihat lelaki yang sedang mengamuk dan berusaha ditangani pengawal. "Jangan ketawa," hardik Ariana dengan mata melotot. "Ini bukan hal yang lucu." "Sayangnya, aku masih ingin tertawa lebih keras lagi," balas Bastian dengan senyum penuh arti. "Jadi bagaimana kalau kita lakukan sesuatu?" "Apa maksud ...." Ariana tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena tiba-tiba saja Bastian menarik tengkuknya. Hal yang tentu saja membuat perempuan itu melotot, apalagi ketika sang suami menyibak kerudung pengantinnya dengan cepat, memajukan kepala dan menempelkan bibir mereka. Jangankan Ariana, Alaric sang ayah yang kebetulan melihat itu pun tercengang. Saat situasi sedang ribut seperti ini, siapa yang akan ingat ciuman pernikahan? Mana Bastian melakukannya dengan cukup intens, walau agak m
"Cobalah tersenyum lebih lebar lagi, Ari. Kita sedang sesi foto.""Tapi, bagaimana ini semua bisa terjadi Mom?" tanya Ariana dengan tatapan menerawang."Mungkin kau harus tanya orang tuamu," jawab Bastian yang kini memaksakan senyum karena fotografer sudah mengarahkan."Stop bicara dan fokus pada kamera." Ibu Ariana memberi perintah.Mau tidak mau, Ariana memaksakan senyumnya. Dia tentu saja tidak ingin menghancurkan foto apa pun yang ada dirinya, termasuk dengan foto pernikahan yang amat sangat tidak masuk akal ini."Aku tidak sangka kalian benar-benar menikah." Seorang perempuan yang terlihat sedikit mirip dengan Ariana bersuara."Terima kasih pujiannya, Anais. Aku harap kau tidak dijodohkan seperti aku di masa depan." Ariana tersenyum pada sang adik, walau dengan senyum sinis."Tidak usah sensi begitu." Kali ini anak lelaki seumuran Anais yang berbicara. "Dia hanya mengatakan isi kepalanya.""Terima kasih Amadeus, tapi aku harap kau juga diam saja." Kali ini, Anna terseny
"ADUH SAKIT! LEPASKAN!""Mana mungkin," jawab Ariana dengan mata melotot, sambil memegang kuat rambut panjang seorang perempuan. "Setelah kau tertangkap basah selingkuh tunanganku, aku mana mau melepasmu.""Ari, tolonglah." Seorang lelaki yang terlihat panik, berusaha menenangkan. "Ini tempat umum dan ....""Harusnya itu kalimatku." Kini Ariana melotot pada lelaki yang baru saja bicara. "Semua orang tahu kita bertunangan, lalu kau mencium dan meraba bokong perempuan ini?""Kau salah lihat." Sang tunangan dengan cepat menggeleng. "Kau salah lihat.""Kurasa kau salah menjambak." Tidak mau ketinggalan, Bastian malah mengompori. "Yang harus dijambak itu biang keroknya, bukan pelaku yang ditipu."Ucapan itu jelas saja membuat Ariana makin melotot, kali ini mengarah pada lelaki yang baru saja bicara. Makin melotot lagi saat Bastian malah melebarkan senyumannya dan melirik ke arah tunangan perempuan yang sedang mengamuk itu."Jangan memancing emosinya," hardik sang tunangan pada Bast