"Kau bisa mengatasi klien berikutnya kan?" Bastian bertanya pada salah seorang rekan kerjanya, di bawah tatapan mata Ariana yang duduk di balik meja kerja lelaki itu.
"Bisa sih, tapi nanti kalau ada masalah aku telepon ya." "Tentu. Ingat jam dua." Bastian mengingatkan, sebelum mempersilakan rekannya pergi dan menutup pintu. "Aku tidak tahu kau punya pangkat yang tinggi," ucap Ariana kini menopang dagu dengan salah satu tangannya. "Katanya kau hanya pegawai biasa saja." "Itu memang benar." "Tapi kau punya ruangan sendiri." Kening Ariana jelas saja akan berkerut mendengar pengakuan sang suami. "Biasanya pegawai biasa tidak akan diberi ruangan sendiri. Kau harus minimal jadi manajer dulu." "Masuk akal, tapi aku benar hanya pegawai biasa. Kau bisa melihat tanda pengenal karyawanku yang ada di meja." Sementara Bastian beralih pada sudut ruangan, Ariana menatap tanda pengenal yang tergeletak begitu saja di atas meja. Hanya ada nama pemilik ruangan dan tulisan staff di sana. Tapi, ketertarikan Ariana segera beralih. "Itu apa?" tanya Ariana, berdiri dari tempatnya duduk. "Maket. Miniatur bangunan yang akan kubangun nanti," balas Bastian, menyempatkan diri untuk menatap sang istri dan memberi senyuman. "Kau yang membuat ini?" "Tidak juga." Bastian menggeleng. "Ini dibuat bersama-sama, tapi struktur utamanya punyaku. Yang ini." Tatapan Ariana teralih pada bagian yang ditunjuk oleh suaminya. Dia punya bayangan tentang miniatur bangunan apa itu, tapi masih tidak mengerti dengan struktur yang dijelaskan Bastian. Ariana bukan tidak mengerti karena dia bodoh, tapi karena masih ragu dengan ucapan sang suami. Jujur saja, dia merasa miniatur itu terlalu bagus untuk disebut proyek yang dibuat Bastian. "Apa ini sekolah?" Tiba-tiba saja Ariana bertanya. "Aku boleh sentuh?" "Ya itu sekolah dan ... tentu saja kau boleh sentuh. Tapi tolong hati-hati." Jemari Ariana menyusuri maket dengan pelan. Hati-hati, tapi tanpa keraguan. "Itu adalah proyek amal." Tiba-tiba saja Bastian menjelaskan. "Ada donatur baik hati yang ingin membangun sekolah, terutama untuk para pengungsi perang dan orang-orang miskin. Kantor kami tertarik untuk kerja sama, terutama aku." "Kau tidak dibayar?" Ariana perlu sedikit mendongak untuk melihat suaminya. "Tidak." Lelaki pemilik menggeleng dengan tegas. "Kami tidak terima bayaran dan donatur hanya membayar untuk biaya pembangunan saja." "Baik sekali," gumam Ariana, kembali menatap maket di depannya. "Dia memang baik." Bastian mengangguk mengiyakan. "Bukan donaturnya, tapi kau." "Aku?" Kedua mata Bastian terangkat mendengar pernyataan sang istri. "Biasanya hanya orang kaya yang suka donasi, tapi kau yang pegawai biasa pun melakukannya. Jujur, itu sangat luar biasa dan ini bukan hinaan." "Thanks." Bastian hanya bisa menarik kedua bibir, membentuk lengkungan senyum manis. "Tentu saja aku juga pernah berdonasi." Ariana meluruskan punggungnya. "Biar bagaimana, aku ini orang kaya dan ayahku politisi." "Mantan politisi." Bastian segera meralat. "Dad sudah mundur." "Mantan politisi yang masih sangat berkuasa." Bastian hanya bisa mendengus pelan mendengar kesombongan sang istri. Dia kemudian menatap kembali maket yang dia buat, meneliti setiap sudut untuk mencari apakah ada yang salah dari miniatur lengkap itu. "Oh, iya." Tiba-tiba saja Bastian teringat sesuatu. "Kau itu pemain piano kan?" "Ya dan pernah dapat penghargaan." Ariana kembali menyombong, tapi hanya mampu membuat suaminya tersenyum. "Aku punya sesuatu untukmu." Sebelah alis Ariana terangkat mendengar pernyataan suaminya. Dia pun mengikuti Bastian dengan langkah pelan, ketika lelaki itu beranjak untuk membuka laci mejanya yang paling bawah dan paling besar. Ruangan yang kecil, membuat Ariana dengan cepat menyusul. Tentu saja, dia dengan mudah melihat apa yang suaminya itu ambil dari dalam laci. "Apa ini?" gumam Ariana dalam nada tanya, saat mengambil kotak kecil yang diulurkan sang suami dengan hati-hati. "Aku membuat miniatur piano, saat membuat ruang musik sekolah." Bastian mengulurkan tangan, menunjuk maket yang dia buat. "Aku teringat denganmu, jadi aku buatkan satu untukmu juga." "Ini bagus." Sudut bibir Arian tertarik ke atas, melihat piano kecil yang sedikit lebih besar dari telapak tangannya itu. Benda itu sudah keluar dari kotaknya. "Tapi aneh menerima piano bohongan, ketika aku bisa membeli piano yang paling mahal di dunia." "Aku tahu." Bastian hanya bisa terkekeh mendengar sang istri. "Tapi aku ingin membuatkan satu piano yang hanya untukmu saja. Bukan piano yang bersuara seperti pada umumnya, tapi piano pajangan yang akan tetap indah walau diam saja." Ariana terdiam mendengar ucapan sang suami. Entah kenapa, kalimat itu terdengar ... cukup menyenangkan untuk dirinya. "Ini mirip dengan piano yang ada di rumah orang tuaku," lanjut Ariana, mengalihkan perhatian pada benda yang kini dia letakkan di atas meja berantakan. "Aku memang berusaha membuatnya semirip mungkin," aku Bastian merasa senang sang istri suka dengan hasil karyanya. "Maaf kalau ada yang kurang, karena jujur saja ini pertama kali aku membuat miniatur piano." "Pertama kali?" Mustahil Ariana tidak mengangkat sebelah alis karena terkejut, apalagi ketika sang suami mengangguk. "Andai bisa, aku mau membuatkan piano sungguhan untukmu," balas sang pemilik ruangan yang membuat kening Ariana berkerut. "Aku suka mendengar kau bermain piano." "Kapan kau pernah mendengarku main piano" "Dulu," balas Bastian, dengan kening berkerut. Berusaha untuk mengingat dengan akurat. "Waktu kau masih kecil dan terakhir sebelum kau masuk kuliah. Aku bahkan pernah datang ke konser tunggalmu." Ariana terdiam. Padahal seingatnya, dia tidak pernah mengundang Bastian ke konsernya. Lantas, bagaimana lelaki itu bisa datang ke konser dengan harga tiket yang lumayan mahal? "Kau suka mendengar aku bermain piano?" gumam Ariana, nyaris tanpa sadar. "Ya dan aku akan senang kalau kau mau melakukannya lagi. Oh, tentu saja aku tidak akan memaksa." "Apa kau mau datang ke studioku?" lanjut Ariana dalam nada tanya. "Aku ... mungkin akan bermain piano untukmu." "Oh, boleh?" "Boleh." Ariana mengangguk pelan. "Tidak ... kau harus mengunjungi studioku!" lanjutnya lebih tegas lagi.Hola semuanya, baru bisa nyapa nih. Semoga suka ya dan jangan lupa tinggalin jejak.
"Kau siap?" Ariana bertanya pada sang suami yang masih menatap fokus ke depan, walau mobil sudah berhenti. "Aku siap untuk turun dan masuk ke dalam, tapi tidak yang lainnya," jawab Bastian kelewat jujur. "Tidak akan ada apa-apa." Ariana mendengus menahan tawa. "Aku akan melindungimu." "Itu harusnya kalimatku," balas Bastian akhirnya membuka sabuk pengaman. Ariana memilih turun lebih dulu. Dia menunggui sang suami di undakan teras, kemudian mengulurkan tangan pada Bastian. Mungkin dengan berpegangan tangan, lelaki itu akan jadi lebih rileks. "Oh, akhirnya kalian pulang juga." Belum juga benar-benar masuk ke dalam rumah, Anna sudah menghambur keluar dan memeluk dua orang yang baru datang itu. "Mom, aku rasa kau berlebihan." Tentu saja Ariana akan membalas pelukan itu, walau sambil mengejek. "Kami hanya pergi ke rumah Daddy Landon." "Sejak kapan kau memanggil pria tua itu Daddy?" Kini, giliran Alaric yang bersuara. Dia juga keluar untuk menyambut putrinya. "Berhentilah Al
"Hasil forensik digitalnya sudah keluar." Elian menjelaskan dengan ekspresi lega. "Itu benar-benar hasil editan, jadi sekarang aku sudah membuat tuntutan.""Good." Ariana mengangguk pelan, dengan ponsel menempel di telinga. "Artinya sekarang aku sudah tidak perlu khawatir kan? Termasuk dengan gosip yang mungkin akan muncul nantinya.""Aku sudah mencoba agar semua orang tutup mulut, termasuk polisi dan kejaksaan." Elian menjelaskan dengan tenang. "Tapi sekali pun ada, nanti pihak Sebastian yang akan mengalihkan perhatian dan mengurus bagian di klub.""Sebastian?" tanya Ariana dengan sebelah alis terangkat, kemudian melirik sang suami yang langsung siaga. "Kenapa dia lagi?""Karena dia yang membantu. Kau tidak lupa kalau dia punya teman yang jauh lebih banyak darimu kan?" tanya Elian terdengar mencemooh. "Maksudnya, dia berteman bukan hanya dengan orang dari dunia musik atau bisnis saja.""Aku sudah dengar itu, tapi memangnya sampai mana pergaulan anak itu? Apa orang-orang di kl
"Kalian terlihat seperti pasangan yang bisa menaklukkan dunia. Pertahankan itu, agar semua omongan di luar yang merugikan proyekku, bisa hilang."Kedua mata Bastian berkedip pelan, ketika mengingat apa yang Lirien katakan saat meeting online berakhir. Itu sudah berjam-jam yang lalu, tapi entah kenapa Bastian terus memikirkan hal itu."Tadi kau menghilang karena meeting, sekarang pikiranmu melayang entah ke mana."Suara yang terdengar tiba-tiba itu, membuat Bastian yang berdiri di depan kulkas terlonjak. Dia sama sekali tidak mendengar sang ayah datang, dan membiarkan lelaki beruban itu membuka kulkas untuk mengambil sebotol air kemasan dingin."Sepertinya kau butuh minum." Landon menyerahkan botol yang dia pegang pada sang putra. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi kau seperti lelah. Seperti habis pulang dari berperang."Bastian tanpa ragu mengangguk, kemudian mengambil botol air dan meminum isinya. "Teman-teman kerja Ariana itu orang-orang yang terlalu banyak bicara, walau s
"Pagi, Ari. Apa tidurmu nyenyak?" Landon menyapa, begitu dia melihat menantunya turun dari tangga.Letak dapur di rumah Landon, berdekatan dengan tangga. Siapa pun yang mau turun ke ruang makan atau ruang tengah, pasti harus melewati dapur yang sekarang dihuni oleh Landon seorang."Mau kopi?" Lelaki tua itu bertanya, menyodorkan secangkir kopi yang masih mengepul. "Bukan kopi sekelas bartender, tapi aku rasa ini cukup untuk menemani pagimu.""Thanks ... Dad, tapi kau bikin sendiri?" tanya Ariana berasa agak canggung. Dia sama sekali tidak terbiasa dengan panggilan itu. "Bukannya kau ada perawat dan asisten rumah tangga?""Biasanya mereka datang nanti jam delapan," jelas Landon dengan santai. "Kebetulan aku sudah rindu menyeduh kopi, walau tidak boleh meminum. Katanya itu bisa menghambat kerja obat.""Oh, tentu saja itu bukan kopi kemasan dan aku membuatnya pakai sarung tangan." Landon memperlihatkan tangannya yang terbungkus dengan sarung tangan latex warna biru."Padahal kau t
[Bastian: Aku butuh menenangkan diri, tapi tenang saka. Aku tidak pergi ke klub.] Satu pesan itu yang pada akhirnya membuat Ariana menyumpah dan harus mengemudikan mobil, bahkan saat ponselnya terus berdenting dan berdering nyaris tanpa henti. Gosip yang beredar, membuat dirinya sibuk. "Padahal belum ada solusi untuk mengeluarkannya dari pusaran gosip, tapi dia malah menghilang?" geram Ariana masih fokus pada jalanan di depannya. Untungnya, Ariana berhasil sampai lebih cepat ke tempat yang dia tuju. Itu adalah rumah ayah mertuanya yang terletak agak di pinggir kota. Lebih sepi, nyaman dan sayangnya gosip masih menyebar dengan cukup luas di sana. "Bukankah ini foto perempuan yang pernah menginap di rumah Landon si mantan model itu?" Suara seorang perempuan paruh baya terdengar, tepat sebelum Ariana berbelok ke pekarangan rumah sang mertua. Hal yang membuat Ariana yang memang berkendara dengan jendela terbuka batal berbelok. Rumah Landon memang dipagari dan cukup jauh dari
Suara embusan napas Bastian terdengar begitu jelas, saat dia menatap ponselnya. Itu bahkan mengalahkan denting lift yang berhenti di lantai yang dia tujuan. Membuat Bastian mau tidak mau harus melawan begitu banyak tubuh, hanya untuk keluar dari sebuah kotak besi. "Kau sudah dengar gosip terbaru di si Crawford?" Langkah Bastian nyaris saja terhenti mendengar nama keluarga ayah mertuanya disebut. Untungnya, dia cukup bisa mengendalikan diri dan bergegas melanjutkan langkah. Bastian sudah tahu gosip apa yang dimaksud dari grup chat proyek beberapa menit lalu. [Aldric: Bas, tolong bilang kalau yang ada di berita ini tidak benar. Mengirim link.] [Harison: Dasar Aldric gila sialan. Apa kau tidak punya otak?] [Maria: Lupakan saja soal Aldric, Bas. Mungkin lebih baik kau pulang saja duluan.] Sesampainya di ruangan, Bastian bukannya pulang. Dia malah membaca artikel yang diterbitkan sekitar lebih dari satu jam yang lalu. "Sialan," desis Bastian melempar ponselnya ke atas meja,