Share

Keperkasaan Tukang Kebon
Keperkasaan Tukang Kebon
Auteur: Waterverri

Bab 1

Auteur: Waterverri
last update Dernière mise à jour: 2025-07-05 16:35:53

Maya memutar tubuhnya di depan cermin ruang tamu untuk kesekian kalinya. Blazer krem yang membalut tubuhnya masih sama elegannya seperti saat pertama ia beli dua tahun lalu, meski sekarang terasa sedikit lebih longgar. Enam tahun, bisiknya dalam hati. Enam tahun, dan tubuhnya malah makin kurus, bukannya tambah berisi... seperti yang seharusnya.

"Wah, cantik sekali, Bu." Pak Karyo muncul dari arah dapur, membawa secangkir teh hangat. Asisten rumah tangga yang sudah mengabdi sejak mereka pertama menikah itu tersenyum tulus. "Kayak foto pengantin yang di sana itu." Ia menunjuk ke figura yang tergantung di dinding—foto pernikahan Maya dan Irwan.

Maya tersenyum tipis. "Ah, Pak Karyo bisa aja." Ia menerima teh yang disodorkan, menyesapnya perlahan. Aroma melati yang familiar bikin tubuhnya agak rileks.

"Yang, dasi aku miring nggak?" Irwan keluar dari kamar, masih berkutat dengan simpul dasinya. Maya letakkan cangkir tehnya, lalu hampiri suaminya.

"Sini." Dengan lembut ia membenarkan dasi Irwan. Dari jarak sedekat ini, ia bisa mencium aroma aftershave yang familiar—masih sama seperti enam tahun lalu. "Sudah."

"Maya..." Irwan menangkap tangannya yang hendak menjauh. "Kamu oke?" Matanya menatap cemas.

Maya mengangguk, meski keraguan jelas di matanya. "Cuma... nervous. Biasa."

"Bu Maya, Pak Irwan," Pak Karyo berdeham pelan. "Udah jam setengah tujuh."

"Oh iya," Irwan melepaskan tangan Maya, mengambil kunci mobil dari meja. "Kita harus berangkat sekarang kalau nggak mau telat."

Maya mengambil tas tangannya, mengeluarkan lipstik untuk sentuhan terakhir. "Pak Karyo, tolong jaga rumah ya. Kita pulangnya mungkin agak maleman."

"Siap, Bu." Pak Karyo mengikuti mereka ke teras depan rumah. Langit Jakarta sudah gelap, tapi udara masih terasa hangat. "Selamat ulang tahun pernikahan. Semoga Allah selalu memberkahi."

Di mobil, Maya mengeluarkan ponselnya, mengecek alamat restoran untuk terakhir kali. Mereka memilih tempat Indonesia yang cukup berkelas di Menteng—tidak semewah hotel bintang lima, tapi cukup untuk menjaga gengsi keluarga besar mereka.

"Siap?" Irwan remas tangannya lembut sebelum nyalakan mesin.

Maya tarik napas panjang, ngerasain jemarinya gemetar. Dia tau banget apa yang nunggu mereka malam ini—tatapan penuh tanya, bisikan yang nggak keucap, harapan yang belum terpenuhi. "Siap," jawabnya, lebih buat yakinkan diri sendiri.

Dua puluh menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan restoran. Bangunan kolonial yang direstorasi itu tampak hangat dengan pencahayaan taman yang lembut. Maya bisa melihat beberapa mobil familiar sudah terparkir—keluarga mereka sudah mulai berdatangan.

Maya merasakan genggaman Irwan mengerat. Mereka berdua tahu apa yang menanti di balik pintu kayu berukir itu—dua keluarga besar dengan ekspektasi yang lebih besar lagi.

Ruangan VIP itu dirancang mengikuti konsep pendopo modern—luas dan elegan dengan sentuhan Jawa yang halus. Dua meja bundar besar dengan lazy susan kristal mendominasi ruangan. Aroma rempah dan bunga melati bercampur di udara, menciptakan atmosfer mewah yang tetap akrab.

Di meja pertama, keluarga Maya sudah berkumpul. Papanya lagi diskusi serius sama Om Hadi soal harga properti di BSD, sementara Mamanya dan Tante Mira bahas rencana umroh tahun depan. Sepupunya, Andi, sibuk dengan iPad-nya—paling lagi closing another deal, pikir Maya. Typical keluarganya—bisnis nggak pernah berhenti, bahkan di acara keluarga.

Di meja satunya, keluarga Irwan mulai berdatangan. Mama mertuanya langsung hampiri Maya, peluk dia dengan kehangatan yang terasa sedikit beda dari biasanya. "Selamat ulang tahun pernikahan ya, Nak. Enam tahun... masya Allah, nggak kerasa ya?"

Justru kerasa setiap detiknya, Maya membatin, bales pelukan mertuanya dengan senyum profesional yang biasa dia pake di meeting.

Percakapan ngalir ke berbagai topik. Om Hadi dan Papa balik tenggelam dalam diskusi properti mereka. Di sisi lain meja, Tante Astrid lagi cerita dengan antusias soal gallery batik barunya di Kemang. Mama Irwan sesekali nimpal, tapi Maya bisa ngerasain tatapannya yang sesekali arah ke blazer krem yang bungkus tubuh rampingnya.

"Oh iya, Dik Linda udah masuk bulan ketujuh ya, Bu?" Tante Astrid beralih ke Mama Irwan. "Anak kedua..."

Maya merasakan jemarinya mencengkeram garpu lebih erat. Linda, adik Irwan, baru menikah dua tahun lalu. Tapi sudah hamil anak kedua, sementara dia....

"Alhamdulillah," Mama Irwan senyum bangga. "Semoga lancar kayak yang pertama." Matanya lirik sekilas ke arah Maya. "Sekarang tinggal..."

"Eh, soto konro-nya enak ya," Irwan motong cepat, tangannya di bawah meja remas lembut jari Maya yang mulai gemetar. "Tante mau tambah?"

"Eh, nanti dulu," Tante Astrid senyum, matanya beralih ke Maya. "Maya sendiri gimana? Udah coba program lagi?"

Maya merasakan jemarinya semakin dingin dalam genggaman Irwan. Ia memaksakan senyum profesional yang biasa ia gunakan saat presentasi sulit di kantor. "Lagi fokus kerja dulu, Tante. Project baru..."

"Aih, kerja melulu." Tante Mira dari seberang meja ikut nimbrung. "Lihat Linda tuh, baru dua tahun nikah udah anak kedua. Padahal dia juga kerja."

Maya teguk air putihnya pelan, berusaha tenangkan diri. Blazer krem yang tadi terasa pas kini kayak mencekik lehernya. Dari sudut matanya, dia bisa lihat Mama Irwan yang mulai gelisah dengan arah pembicaraan ini.

"Maya ini emang kebanyakan mikir," Papa coba cairkan suasana. "Semua mesti direncanain detail. Iya kan, Wan?"

"Iya, Pak." Irwan ngangguk, tangannya masih genggam erat jemari Maya di bawah meja. "Tapi bagus kan? Lihat aja pemilihan menu malam ini, semua—"

"Ah, menu mah gampang diatur," potong Om Hadi, "tapi ada hal-hal yang nggak bisa diatur pake Excel sheet. Iya kan, Maya?"

Tawa kecil menyebar di meja. Maya tersenyum tipis, merasakan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. Enam tahun, dan komentar-komentar seperti ini masih bisa menusuknya sedalam hari pertama.

"Bu Maya," pelayan datang di saat yang tepat, "hidangan utamanya udah siap. Rendang atau ayam bakar?"

Maya hampir menghela napas lega dengan interupsi ini, tapi Tante Astrid rupanya belum selesai. "Nanti coba tanya Linda ya, Maya. Dia pake dokter bagus di Menteng. Katanya ada program khusus buat... yang agak susah."

Kali ini, Maya merasakan tangan Irwan yang gemetar dalam genggamannya.

"Rendang saja," Maya menjawab pelan, bersyukur bisa mengalihkan pandangannya dari tatapan penuh arti Tante Astrid.

Hidangan utama disajikan dengan elegan di atas piring porselen putih. Maya menatap rendang di hadapannya, aroma rempah yang biasanya menggugah selera kini terasa mencekik. Dia bisa denger percakapan di sekitarnya mulai beralih ke topik lain—bisnis properti Om Hadi, rencana umroh Mama, gallery batik Tante Astrid—tapi telinganya masih berdenging dengan komentar soal Linda...

"Maya," Om Hadi tiba-tiba manggil dia dari seberang meja, suaranya yang berat bikin beberapa kepala noleh. "Kalo mau cepet hamil, kuncinya tuh posisi sama durasi."

"Om Hadi..." Maya usaha senyum, tapi jarinya yang gemetar hampir jatuhin garpu.

"Irwan ini kebanyakan kerja sih," Om Hadi nyendok rendangnya santai, matanya lirik penuh arti. "Minimal mesti tiga jam sehari, posisi yang tepat. Biar gravitasi bantu." Dia kedip mata. "Kalo cuma lima menit sebelum tidur, ya mana bisa?"

Bisikan tawa tertahan terdengar di sekitar meja. Maya merasakan wajahnya terbakar, teringat rutinitas malam mereka yang memang hanya berlangsung singkat—Irwan selalu terlalu lelah setelah lembur.

"Dan jangan lupa, posisinya harus yang dalem," Om Hadi lanjut dengan nada sok tau, seolah-olah dia ahli fertilitas. "Kalo cuma missionary standar gitu, susah nembus. Harus yang..." Dia bikin gerakan pake tangannya yang bikin Mama Irwan kesedak tehnya.

Maya menunduk, tangannya mencengkeram garpu semakin erat. Di sampingnya, ia bisa merasakan tubuh Irwan menegang, keringat mulai membasahi telapak tangannya yang menggenggam jemari Maya. Mereka berdua tahu persis semua yang disebutkan Om Hadi adalah kebalikan dari rutinitas intim mereka yang singkat dan mekanis.

Irwan berdeham keras. "Om Hadi, soal properti di BSD tadi—"

"Oh iya, Maya," Mama Irwan motong, suaranya melembut dengan cara yang bikin Maya pengen nangis. "Mama denger di Malaysia ada treatment baru. Temen Mama sukses setelah lima tahun nyoba. Mau Mama minta kontaknya?"

Maya merasakan pandangan semua orang tertuju padanya. Blazer kremnya yang sudah terasa longgar kini seolah menyusut, mencengkeram tubuhnya seperti tangan-tangan yang menuntut jawaban.

"Makasih, Ma." Maya denger suaranya sendiri jawab, tenang dan terkontrol kayak pas dia mimpin rapat direksi. "Nanti kita omongin."

Mama Irwan mengangguk, tapi Maya bisa melihat kekecewaan samar di matanya. Enam tahun, dan mereka masih menunggu. Enam tahun, dan setiap pertemuan keluarga masih berakhir dengan tatapan yang sama.

Sisa makan malam berlalu dalam gerakan-gerakan mekanis. Maya mengiris rendangnya menjadi potongan-potongan kecil yang nyaris tidak ia sentuh. Irwan di sampingnya berusaha keras menjaga percakapan tetap pada topik-topik aman—politik, bisnis, cuaca—apa saja selain bayi dan kehamilan.

Ketika hidangan penutup disajikan—es teler premium dengan kelapa muda Australia—Maya sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Setiap suapan terasa seperti abu di mulutnya.

"Udah jam sembilan," Irwan akhirnya umumkan, lirik jam tangannya. "Maya besok ada meeting pagi."

"Ah, masih sibuk aja," Tante Mira senyum penuh arti. "Padahal harusnya—"

"Iya, meeting sama client dari Singapore," potong Maya cepat, bangkit dari kursinya. Blazer kremnya yang longgar dia rapetin kayak armor. "Makasih semuanya. Maaf kita harus duluan."

Pelukan dan ciuman perpisahan terasa seperti siksaan. Setiap pelukan disertai bisikan "Sabar ya", "Jangan stress", "Coba konsul ke..." yang Maya tanggapi dengan senyum profesionalnya.

Di mobil, Maya melepas sepatunya dengan gerakan lelah. Irwan menyalakan mesin dalam diam, membiarkan AC mobil mengisi keheningan di antara mereka.

"Yang..." Irwan akhirnya ngomong setelah mereka keluar dari area parkir.

"Jangan sekarang," Maya potong pelan, matanya terpejam. "Please."

Irwan mengangguk, tangannya menggenggam kemudi lebih erat. Enam tahun, dan mereka masih belum menemukan kata-kata yang tepat untuk saat-saat seperti ini.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 197

    Karyo merasa bola kembarnya mulai menegang. Desahan kasar keluar dari mulutnya saat Ratih mengubah tekniknya, mengisap kuat lalu melonggarkan, menciptakan sensasi vakum yang hampir membuat Karyo gila.Dheweke ngerti persis kapan kudu ngisep banter, kapan kudu dolanan nggawe ilat. (Dia tahu persis kapan harus menghisap kuat, kapan harus bermain dengan lidah) Karyo menggeram, pinggulnya bergerak naik tanpa sadar, menyodok mulut Ratih dengan kasar. Kapan kudu nyerot karo ngemut. (Kapan harus menghisap dan mengulum.)Ratih mendesah dengan kontol Karyo masih di mulutnya, getaran suaranya mengirim sensasi nikmat ke seluruh tubuh Karyo. Matanya yang berair menatap wajah Karyo, tampak menikmati dominasi suaminya.Isohe nggawe aku crooot nang jero cangkeme mung limang menit. (Bisa membuatku keluar di dalam mulutnya hanya lima menit.) Karyo mencengkeram seprai di bawahnya dengan satu tangan, tangan lainnya m

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 196

    Karyo memperlambat gerakannya, menikmati ekspresi wajah Ratih yang memerah. Meski Maya telah belajar banyak selama seminggu bersamanya, tetap ada batasan yang tidak bisa dilewati. Maya adalah majikannya, wanita terpelajar dengan sikap yang selalu terjaga.Aku mung duwe wektu seminggu kanggo nglatihe. (Aku hanya punya waktu seminggu untuk melatihnya) pikir Karyo, tangannya menelusuri sisi tubuh Ratih dari pinggul hingga ke samping payudaranya. Ratih menggeliat merasakan sentuhan itu, jari-jari kakinya menekuk karena sensasi yang dia rasakan.Ngajari cara nganggo lambe lan ilate kanggo nggawe wong lanang seneng. (Mengajari cara menggunakan bibir dan lidahnya untuk membuat laki-laki senang) lanjut pikiran Karyo. Dia menunduk, mencium bibir Ratih dengan lapar, lidahnya menerobos masuk, meniru gerakan tubuhnya di bawah.Ratih membalas ciumannya dengan sama laparnya, tangannya mencengkeram rambut Karyo. Setelah m

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 195

    Malam semakin larut ketika tubuh mereka masih bergulat dalam tarian purba yang tak kenal lelah. Satu jam sudah berlalu sejak mereka memulai, namun Karyo belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Peluh membasahi tubuh keduanya, mengilap tertimpa cahaya temaram lampu kamar yang kekuningan. Derit ranjang kayu menjadi musik pengiring gerakan tubuh mereka yang semakin lama semakin cepat. Ratih mendesah keras ketika Karyo mengubah posisi untuk kesekian kalinya, mengangkat kakinya hingga bertumpu di bahu suaminya."Ahhhh... Mas... penak tenan..." (Ahhhh... Mas... enak sekali...) Ratih mengerang, kepalanya terlempar ke belakang, matanya terpejam erat merasakan penetrasi yang lebih dalam dari posisi baru ini. Tubuhnya yang telanjang berkilau oleh keringat, payudaranya yang besar bergoyang mengikuti irama hujaman Karyo. Karyo tersenyum puas melihat istrinya begitu menikmati permainan mereka, wajahnya yang biasanya tenang kini memerah dan dipenuhi ekspre

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 194

    Hujan rintik-rintik mulai turun di luar, menciptakan melodi halus di atap rumah mereka. Bunyi tetes air yang beradu dengan genteng keramik membentuk irama menenangkan, seperti musik pengiring pasca pergumulan mereka. Cahaya lampu tidur memberikan pendar keemasan pada kulit mereka yang basah oleh keringat.Mereka berbaring dalam keheningan beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Maya perlahan membuka mata, kembali ke kenyataan, sadar sepenuhnya bahwa yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang sangat berbeda dalam pernikahan mereka.Butiran keringat mengalir di pelipis Maya. Matanya memandang langit-langit kamar, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti dia baru saja membuka kotak Pandora—sensasi yang tidak seharusnya dia rasakan, kenikmatan yang tidak seharusnya dia temukan dalam membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya. Perasaan bersalah mulai menyelinap masuk, tapi begitu juga p

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 193

    Kamar mereka yang biasanya tenang kini bergema dengan suara desahan Maya yang semakin intens. Jendela kamar berembun di bagian bawah, memantulkan bayangan samar tubuh mereka yang bergerak dalam ritme yang semakin cepat. Dari luar, hanya tampak siluet dua tubuh yang menyatu, tapi di dalam, Maya tenggelam dalam fantasi yang semakin nyata."Mas Karyo... ahh..." Maya terus memanggil nama itu, kini tanpa ragu. Setiap kali nama itu meluncur dari bibirnya, tubuhnya merespons dengan gelombang kenikmatan yang semakin intens. Kewanitaannya berdenyut kuat, mencengkeram Irwan di dalamnya. Puting Maya mengeras, sensitif terhadap gesekan dengan seprai di bawahnya.Irwan, terkejut dengan reaksi Maya, menemukan dirinya semakin bergairah. Dia belum pernah melihat Maya seperti ini—begitu lepas, begitu liar, begitu... terpuaskan. Ada sesuatu yang menyakitkan namun sekaligus memabukkan dalam melihat istrinya terangsang karena membayangkan pria lain.

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 192

    Irwan tersenyum, mencium pundak Maya dengan lembut. "Tutup matamu. Bayangin sekarang Pak Karyo yang ada di belakangmu."Maya menarik napas dalam dan perlahan menutup matanya. Dia berusaha membayangkan bahwa tangan yang memegang pinggangnya bukan tangan Irwan yang halus dan terawat, melainkan tangan kasar penuh kapalan milik Pak Karyo—tangan yang telah menghabiskan bertahun-tahun bekerja keras di bawah terik matahari.Awalnya terasa sangat janggal. Sangat... salah. Bagaimana mungkin dia membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya? Pikiran itu membuat perutnya serasa dililit. Namun ketika Irwan kembali bergerak di dalamnya, mendorong lebih dalam dari belakang, Maya berusaha melepaskan diri dari kenyataan."Rileks," bisik Irwan di telinganya dengan suara yang sengaja dibuat sedikit lebih berat. "Biarkan tubuhmu mengingat."Maya menelan ludah, mengangguk kecil. Dia membiarkan ingatannya melayang pada

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status