Share

Bab 2

Auteur: Waterverri
last update Dernière mise à jour: 2025-07-05 16:36:13

Sepanjang perjalanan pulang, Maya membiarkan dirinya tenggelam dalam deru halus AC mobil. Blazer krem yang tadi pagi masih nyaman di badan sekarang terasa mencekik. Ia membuka kancingnya perlahan, mengambil napas dalam-dalam.

Ponselnya bergetar. Lagi.

"Matiin aja," kata Irwan, melirik sekilas ke arah istrinya. "Nggak usah liat grup itu malem ini."

Maya mengangguk lemah, tapi jemarinya tetap membuka notifikasi yang masuk. Foto terbaru bayi kembar Siska memenuhi layar—dua makhluk mungil dalam balutan jumper merah muda, tertawa ke arah kamera. Di bawahnya, deretan ucapan selamat dan emoji hati bermunculan seperti konfeti digital yang menari-nari, mengejek.

"Cantik ya?" Maya berbisik, suaranya bergetar. "Matanya... mirip Siska banget."

Irwan mengeratkan genggamannya pada kemudi. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.

"Besok kita ke rumah sakit ya," ia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Jenguk Dika."

"Hmm." Maya mematikan ponselnya, melemparnya ke dashboard. "Anak ketiga Tari. Padahal dia nikah dua tahun setelah kita."

Mobil mereka berhenti di lampu merah. Di seberang jalan, seorang ibu muda menggendong bayinya yang tertidur, sementara suaminya mendorong kereta bayi kosong di sampingnya. Maya menatap pemandangan itu lekat-lekat, seolah berusaha merekam setiap detailnya dalam memori.

"Kita mampir beli hadiah dulu besok?" tanya Irwan, matanya mengikuti arah pandang Maya. Lampu hijau menyala, dan mereka kembali melaju menembus keheningan Jakarta malam.

"Wan," Maya tiba-tiba bersuara setelah beberapa saat. "Inget nggak waktu kita masih pacaran?"

"Hmm?"

"Waktu itu aku cerita... mau punya anak berapa?"

Irwan tersenyum tipis. Tentu saja ia ingat. Bagaimana bisa lupa? Maya yang duduk di ayunan taman kampus, mata berbinar menatap langit sore, bercerita tentang impian-impiannya. "Empat," jawab Irwan pelan. "Dua cewek, dua cowok."

"Kayla," Maya melanjutkan, suaranya nyaris berbisik. "Rayhan... Adiba... Malik..."

"Dan kamu udah planning mau masuk sekolah mana," Irwan menambahkan. "Les ballet buat yang cewek, sepak bola buat yang cowok."

"Tapi sekarang..." Maya nggak melanjutkan kalimatnya. Nggak perlu. Mereka berdua tahu apa yang nggak terucapkan.

Irwan menepikan mobilnya di bawah pohon beringin besar. Jalanan sudah sepi, hanya sesekali mobil melintas. Ia mematikan mesin, membiarkan keheningan merayap di antara mereka.

"Aku capek, Wan." Maya akhirnya berbicara, menatap kosong ke depan. "Capek... sama semua ini. Program-program itu... suntikan-suntikan itu..."

"Maya..."

"Nggak," Maya menggeleng keras. "Dengerin aku dulu." Ia melepas sabuk pengamannya, memutar tubuh menghadap suaminya. "Kita udah coba segala cara. Tiga kali program bayi tabung, Wan. Tiga kali!"

"Dan kita bisa coba lagi," Irwan menyela, tangannya terulur pengen ngelus pipi Maya, tapi istrinya menghindar.

"Pake duit dari mana? Kita udah abisin hampir semua tabungan buat program-program itu!"

"Aku bisa ambil project tambahan. Lembur. Apa aja."

"Bukan cuma soal duit!" Maya membentak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kamu nggak tau rasanya... setiap suntikan itu... setiap pengambilan sel telur... setiap nungguin hasil..." Suaranya pecah.

Irwan terdiam. Memang, ia tidak pernah benar-benar tahu. Yang ia tahu hanya Maya yang kesakitan setelah setiap prosedur. Maya yang menangis diam-diam di kamar mandi setiap hasil test negatif. Maya yang perlahan-lahan kehilangan senyum cerahnya.

"Aku masih inget muka Papa kamu," Maya melanjutkan setelah beberapa saat. "Waktu Om Hendra dateng ke acara tahun baru sama istrinya. Cara Papa ngeliat mereka... cara dia komen..."

"Maya, please..." Irwan memejamkan mata, ia tidak mau mengingat itu. Tidak mau mengingat bagaimana ayahnya dengan kejam mengatakan Om Hendra "bukan lelaki sejati karena tidak bisa memberikan keturunan".

"Dan sekarang," Maya tersenyum getir, "kita kayak mereka."

"Kita nggak kayak mereka!" Irwan memukul kemudi keras, bikin Maya terlonjak. "Sori... sori." Ia mengusap wajahnya kasar. "Satu kali lagi, Yang. Please. Satu kali lagi kita coba."

Maya menatap suaminya lama. Irwan yang selalu tegar, yang selalu optimis, kini tampak begitu rapuh. Ada keputusasaan dalam suaranya yang belum pernah Maya dengar sebelumnya.

"Kalo gagal lagi?" tanya Maya pelan.

"Kita stop." Irwan menggenggam tangan Maya erat. "Aku janji. Satu kali ini aja. Kita coba sama dokter baru. Yang lebih bagus. Aku denger ada spesialis fertilitas baru di RS Menteng."

Maya hela napas panjang. "Kamu yakin?"

"Please?"

Setelah keheningan yang terasa selamanya, Maya ngangguk pelan. "Satu kali," bisiknya. "Yang terakhir."

...

Seminggu kemudian, Maya duduk tegang di ruang tunggu RS Menteng. Jemarinya mencengkeram tas Hermes-nya erat, matanya menatap kosong ke arah akuarium besar yang menghiasi sudut ruangan. Di sampingnya, Irwan membolak-balik brosur rumah sakit tanpa benar-benar membacanya.

"Nomor 28, Ibu Maya Andini?"

Maya menegakkan tubuhnya. Irwan menggenggam tangannya, memberinya kekuatan, sebelum mereka melangkah masuk ke ruangan Dr. Ratna.

Ruangan itu berbeda dari klinik-klinik fertilitas yang pernah mereka kunjungi sebelumnya. Lebih hangat, dengan lukisan-lukisan bayi yang terpajang di dinding. Tapi justru pemandangan itu bikin dada Maya makin sesak.

"Silakan duduk," Dr. Ratna tersenyum ramah. Wanita paruh baya itu membuka map di hadapannya, mengeluarkan beberapa lembar hasil tes. "Saya udah pelajari rekam medis dari dokter sebelumnya, dan hasil tes terbaru..."

Maya merasakan genggaman Irwan mengerat. Ia bisa merasakan ketegangan yang terpancar dari tubuh suaminya.

"Maaf ya sebelumnya," Dr. Ratna menatap mereka bergantian, "tapi saya harus sampaikan ini dengan jelas." Ia mengambil salah satu kertas. "Hasil analisis sperma menunjukkan penurunan yang sangat signifikan, baik dari jumlah maupun motilitasnya."

"Maksudnya?" suara Irwan serak.

"Kualitas spermanya terlalu rendah buat program bayi tabung." Dr. Ratna nunjukkin grafik di kertas itu. "Bahkan dibanding pemeriksaan enam bulan lalu, penurunannya hampir 80 persen."

Maya merasakan tubuh Irwan menegang. Ia bisa melihat rahang suaminya mengeras, tangannya yang menggenggam sandaran kursi hingga buku-buku jarinya memutih.

"Tapi... masih ada cara lain kan, Dok?" Maya mencoba senyum, meski bibirnya gemetar. "Maksud saya... teknologi sekarang udah canggih..."

Dr. Ratna menggeleng pelan. "Dengan kondisi begini, kemungkinan berhasilnya sangat kecil. Kurang dari satu persen." Ia menatap Irwan yang kini menunduk dalam. "Dan liat tren penurunannya... saya khawatir kondisinya bakal terus memburuk."

Ruangan itu mendadak terasa dingin. Maya bisa mendengar deru AC yang bercampur dengan detak jam dinding. Tik. Tok. Tik. Tok. Menghitung detik-detik hancurnya harapan terakhir mereka.

"Nggak mungkin..." Irwan akhirnya bersuara. "Pasti ada yang salah. Kita bisa tes ulang. Di lab lain. Di rumah sakit lain."

"Pak Irwan," Dr. Ratna ngomong lembut, "kami udah lakukan tiga kali pengujian buat mastiin. Hasilnya konsisten."

Maya merasakan air matanya mulai jatuh. Ia menggigit bibirnya keras, berusaha menahan isakan yang mengancam keluar. Di sampingnya, Irwan duduk kaku seperti patung.

"Saya sarankan..." Dr. Ratna lanjut dengan hati-hati, "mungkin udah waktunya pertimbangkan opsi lain. Adopsi, misalnya. Atau..." ia diam sejenak, matanya natap Maya dan Irwan bergantian, "donor sperma."

Maya yang tadinya menunduk, mendadak mengangkat wajahnya. Irwan di sampingnya menegang.

"Dengan teknologi sekarang, prosedurnya cukup aman," Dr. Ratna jelasin dengan nada profesional. "Dan Bu Maya bisa ngalamin kehamilan sendiri, rasain prosesnya dari awal sampe melahirkan."

"Nggak." Irwan tiba-tiba berdiri. "Kami... kami perlu waktu buat cerna ini semua."

Irwan hanya mengangguk singkat sebelum membimbing Maya keluar. Di lorong rumah sakit yang ramai, mereka berjalan seperti robot. Maya bisa melihat beberapa ibu hamil berlalu-lalang, mendorong kereta bayi, menggendong bayi mereka. Pemandangan yang dulu memberinya harapan, kini terasa seperti pisau yang mengiris hatinya.

Di mobil, Irwan hanya duduk diam di belakang kemudi. Maya menatap suaminya, melihat bagaimana pria yang selalu tegar itu kini tampak begitu hancur. Kata-kata ayahnya tentang Om Hendra pasti bergema dalam benaknya.

"Yang..." Maya ngulurkan tangannya, tapi Irwan ngepisnya pelan.

"Jangan," bisiknya parau. "Jangan... sekarang."

Maya menarik tangannya kembali, membiarkan air matanya mengalir dalam diam. Di luar, langit Jakarta mulai mendung, seolah ikut berduka atas diagnosis yang baru saja menghancurkan mimpi mereka.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 197

    Karyo merasa bola kembarnya mulai menegang. Desahan kasar keluar dari mulutnya saat Ratih mengubah tekniknya, mengisap kuat lalu melonggarkan, menciptakan sensasi vakum yang hampir membuat Karyo gila.Dheweke ngerti persis kapan kudu ngisep banter, kapan kudu dolanan nggawe ilat. (Dia tahu persis kapan harus menghisap kuat, kapan harus bermain dengan lidah) Karyo menggeram, pinggulnya bergerak naik tanpa sadar, menyodok mulut Ratih dengan kasar. Kapan kudu nyerot karo ngemut. (Kapan harus menghisap dan mengulum.)Ratih mendesah dengan kontol Karyo masih di mulutnya, getaran suaranya mengirim sensasi nikmat ke seluruh tubuh Karyo. Matanya yang berair menatap wajah Karyo, tampak menikmati dominasi suaminya.Isohe nggawe aku crooot nang jero cangkeme mung limang menit. (Bisa membuatku keluar di dalam mulutnya hanya lima menit.) Karyo mencengkeram seprai di bawahnya dengan satu tangan, tangan lainnya m

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 196

    Karyo memperlambat gerakannya, menikmati ekspresi wajah Ratih yang memerah. Meski Maya telah belajar banyak selama seminggu bersamanya, tetap ada batasan yang tidak bisa dilewati. Maya adalah majikannya, wanita terpelajar dengan sikap yang selalu terjaga.Aku mung duwe wektu seminggu kanggo nglatihe. (Aku hanya punya waktu seminggu untuk melatihnya) pikir Karyo, tangannya menelusuri sisi tubuh Ratih dari pinggul hingga ke samping payudaranya. Ratih menggeliat merasakan sentuhan itu, jari-jari kakinya menekuk karena sensasi yang dia rasakan.Ngajari cara nganggo lambe lan ilate kanggo nggawe wong lanang seneng. (Mengajari cara menggunakan bibir dan lidahnya untuk membuat laki-laki senang) lanjut pikiran Karyo. Dia menunduk, mencium bibir Ratih dengan lapar, lidahnya menerobos masuk, meniru gerakan tubuhnya di bawah.Ratih membalas ciumannya dengan sama laparnya, tangannya mencengkeram rambut Karyo. Setelah m

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 195

    Malam semakin larut ketika tubuh mereka masih bergulat dalam tarian purba yang tak kenal lelah. Satu jam sudah berlalu sejak mereka memulai, namun Karyo belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Peluh membasahi tubuh keduanya, mengilap tertimpa cahaya temaram lampu kamar yang kekuningan. Derit ranjang kayu menjadi musik pengiring gerakan tubuh mereka yang semakin lama semakin cepat. Ratih mendesah keras ketika Karyo mengubah posisi untuk kesekian kalinya, mengangkat kakinya hingga bertumpu di bahu suaminya."Ahhhh... Mas... penak tenan..." (Ahhhh... Mas... enak sekali...) Ratih mengerang, kepalanya terlempar ke belakang, matanya terpejam erat merasakan penetrasi yang lebih dalam dari posisi baru ini. Tubuhnya yang telanjang berkilau oleh keringat, payudaranya yang besar bergoyang mengikuti irama hujaman Karyo. Karyo tersenyum puas melihat istrinya begitu menikmati permainan mereka, wajahnya yang biasanya tenang kini memerah dan dipenuhi ekspre

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 194

    Hujan rintik-rintik mulai turun di luar, menciptakan melodi halus di atap rumah mereka. Bunyi tetes air yang beradu dengan genteng keramik membentuk irama menenangkan, seperti musik pengiring pasca pergumulan mereka. Cahaya lampu tidur memberikan pendar keemasan pada kulit mereka yang basah oleh keringat.Mereka berbaring dalam keheningan beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Maya perlahan membuka mata, kembali ke kenyataan, sadar sepenuhnya bahwa yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang sangat berbeda dalam pernikahan mereka.Butiran keringat mengalir di pelipis Maya. Matanya memandang langit-langit kamar, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti dia baru saja membuka kotak Pandora—sensasi yang tidak seharusnya dia rasakan, kenikmatan yang tidak seharusnya dia temukan dalam membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya. Perasaan bersalah mulai menyelinap masuk, tapi begitu juga p

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 193

    Kamar mereka yang biasanya tenang kini bergema dengan suara desahan Maya yang semakin intens. Jendela kamar berembun di bagian bawah, memantulkan bayangan samar tubuh mereka yang bergerak dalam ritme yang semakin cepat. Dari luar, hanya tampak siluet dua tubuh yang menyatu, tapi di dalam, Maya tenggelam dalam fantasi yang semakin nyata."Mas Karyo... ahh..." Maya terus memanggil nama itu, kini tanpa ragu. Setiap kali nama itu meluncur dari bibirnya, tubuhnya merespons dengan gelombang kenikmatan yang semakin intens. Kewanitaannya berdenyut kuat, mencengkeram Irwan di dalamnya. Puting Maya mengeras, sensitif terhadap gesekan dengan seprai di bawahnya.Irwan, terkejut dengan reaksi Maya, menemukan dirinya semakin bergairah. Dia belum pernah melihat Maya seperti ini—begitu lepas, begitu liar, begitu... terpuaskan. Ada sesuatu yang menyakitkan namun sekaligus memabukkan dalam melihat istrinya terangsang karena membayangkan pria lain.

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 192

    Irwan tersenyum, mencium pundak Maya dengan lembut. "Tutup matamu. Bayangin sekarang Pak Karyo yang ada di belakangmu."Maya menarik napas dalam dan perlahan menutup matanya. Dia berusaha membayangkan bahwa tangan yang memegang pinggangnya bukan tangan Irwan yang halus dan terawat, melainkan tangan kasar penuh kapalan milik Pak Karyo—tangan yang telah menghabiskan bertahun-tahun bekerja keras di bawah terik matahari.Awalnya terasa sangat janggal. Sangat... salah. Bagaimana mungkin dia membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya? Pikiran itu membuat perutnya serasa dililit. Namun ketika Irwan kembali bergerak di dalamnya, mendorong lebih dalam dari belakang, Maya berusaha melepaskan diri dari kenyataan."Rileks," bisik Irwan di telinganya dengan suara yang sengaja dibuat sedikit lebih berat. "Biarkan tubuhmu mengingat."Maya menelan ludah, mengangguk kecil. Dia membiarkan ingatannya melayang pada

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status