Aku sudah menyerahkan laporan tentang Jaz Furniture ke kantor. Pak Lartomo, seniorku yang menerimanya."Dia masih menggunakan sistem kekeluargaan. Dimasa sekarang sebenarnya sudah tidak layak. Namun ini sistem yang paling tepat untuk usahanya. Itu yang menyebabkan berkembang pesat," jelas seniorku itu."Jadi, saya harus bagaimana? Secara teori, dari data ini, banyak yang harus dibenahi," ucapku sambil menunjuk berkas lamaranku."Begini Laras. Ketika kita menggali data dan memasukkan ke teori, tetap harus diperhatikan data sosial di sekitarnya. Seperti Jaz, belum tentu bisa jadi lebih baik kalau ada pembenahan managemen. Karena apa? Mereka terutama karyawan belum siap secara mental untuk itu. Namun, tetap harus ada pendekatan pelan-pelan," jelasnya lagi"Pendekatan yang memungkinkan sekarang di kerapian data dan pendekatan pemasaran. Untuk produksi dan tenaga kerja masih belum memungkinkan." Aku mengemukaan analisa berdasar pembicaraan dengan Kak Jazil. Memang, hubungan dengan tenaga
Aku mengangguk mengerti. Sekarang, berbanding terbalik, aku yang kelihatan orang ndesit. Untung punya guide sabar, ganteng, dan sayang.Eh!"Tapi aku ingin yang seperti itu." Tunjukku ke arah depan. Ada minuman bergelas tinggi yang berisi warna-warni."Kalau begitu, pesan ini saja. Mocktail. Itu minuman campuran yang tanpa alkohol. Sari buah dan minuman bersoda saja," jelasnya dengan sabar.Kami menyambut sore di sini. Menunggu matahari menuju peraduan sambil beradu kata. Kak Jazil menceritakan masa kecilnya. Sungguh, aku tidak mengira kisahnya membuat hati sesesak ini.Kedua orang tuanya meninggal kecelakaan saat Kak Jazil kelas lima SD. Kehilangan secara bersamaan membuat dia terpuruk. Dikarenakan hal ini, dia di titipkan di pondok pesantren sahabat orang tua Kak Jazil. Abah Haji, dia menyebutnya. Disanalah, Kak Jazil di gembleng untuk menjadi pribadi mandiri. Dibangkitkan untuk iklas akan hidup yang dijalani. Abah Haji inilah yang berperan sebagai ayah angkat Kak Jazil. "Setiap
"Kak Jazil tidak langsung pulang?" tanyaku, saat kami sampai di kosku. Dia pamit ke mushola untuk salat maghrib. "Belumlah. Aku masih ingin ngobrol denganmu." * Kembali dari mushola, Kak Jazil membawa jagung bakar dan satu tas kresek belanjaan. Dia datang bersama dua teman kos dan mereka membawa minuman dan camilan juga. "Mas Jazil yang ganteng, terima kasih, ya!" Samar aku dengar ucapan mereka, kemudian berpaling ke arahku dengan teriak, " Mbak Laras! Makasih!" Aku mengangguk dan tersenyum kurang mengerti, dan baru sadar setelah mereka mengajukkan belanjaan. "Kak Jazil bayar belanjaan mereka?" Dia mengangguk. Aku menatapnya dengan otak masih memikirkan banyak kemungkinan. Mereka, Nonik dan Mayang, perempuan cantik yang berbadan bagus. Semua laki-laki tidak akan bisa menolak memandangnya. Apalagi baju yang kekecilan tak sanggup menangkup bagian dada, dan celana pendek yang mengumbar paha putih dan mulus. Kata ibu kos, mereka pekerja malam. Aku, sih, dengan mereka baik, tapi
Dia memang berbeda dengan laki-laki lain atau teman dekatku yang dulu. Biasanya, aku yang sibuk menjaga jarak. Dengan Kak Jazil malah kebalikan. Dia yang menjauh, disaat aku mendekat. Alasannya sama, takut khilaf. *** Pagi tadi dia menghubungiku. Aku diminta untuk kerja setengah hari dan ditunggu di tempatnya. Katanya darurat. Setelah meminta ijin dengan Pak Lartomo, aku pulang setelah menyelesaikan tugas. Syarat sebelum meninggalkan kantor. "Ada apa sih, Kak? Tadi malam kan sudah bertemu. Kenapa tidak sekalian dibicarakan? Ada apa, sih?" tanyaku penasaran dengan kata darurat itu. Dia menyodorkan minuman dingin dan menarik kursi untuk dudukku. "Dek Ras. Ada yang ingin aku katakan. Ini menyangkut hubungan kita. Tetapi, jangan marah, ya." Ucapannya membuat penasaranku bertambah. Apa yang akan dia katakan? Berita buruk? Jangan-jangan dia minta putus? Bagaimana aku menjelaskan ke Bapak Ibu yang beberapa hari lagi datang? "Ada apa, Kak?" tanyaku dengan kedua alis bertaut. Hati
Sekarang, aku berusaha untuk bersiap akan apa yang bisa terjadi. Aku menganggap hubungan ini tidak pasti. Bukannya tidak yakin dengan kesungguhan Kak Jazil, tetapi jodoh tetap tidak bisa diprediksi. Sebesar apa cinta kami, itu tidak ada artinya saat takdir tidak berpihak dan tidak berjodoh. "Apapun yang terjadi, kita masih bisa berteman." Aku mengatakan dengan nada bergetar, sekuat tenaga kutahan air mata ini. Ditepisnya tanganku saat kuraih tangannya. "Apa maksud kamu? Tak ada dalam kamusku, menjilat ludah sendiri. Aku sudah berjanji untuk bersamamu, itu artinya saat menitipkan cincin kepadamu. Niatku tidak akan mundur. Akan aku cari cara untuk berbicara dengan Abah Haji. Apalagi, aku sudah menganggap Fatimah seperti adikku sendiri." Dia mengusap kasar wajahnya. Sesekali meremas rambut ikal yang panjang sebahu itu. "Fatimah? Nama yang bagus. Pasti dia wanita yang cantik, anggun dan sholehah," gumanku lirih menekan desiran dalam hati. Terasa sakit. Dia anak pemilik pondok, orang te
Semua alasan aku ungkapkan untuk meminta waktu lebih kepada Ibu. "Tapi, Bu. Belum tentu ada tiket pesawat." Aku mencari alasan yang masuk akal. "Nduk, kalau ke Solo tiketnya habis, bisa lewat Jogja, to." Duh, Ibu ini tidak bisa dibelokkan keinginannya. Kalau sudah keputusannya, tidak ada yang mampu menggoyahkan. "Tapi kalau Ibu setuju dengan Kak Jazil, di sininya lebih lama, ya." "Iya. Ibu dan Bapak sudah siapkan waktu, tapi dengan syarat kalau kita sreg dengan dia. Kalau tidak, kenapa harus lama-lama bersama?" Betul yang diucapkan Ibu. Kalau tidak bisa bersama, semakin lama akan semakin sakit rasanya. "Inggih, Bu," jawabku dengan perasaan kalah. Mengikuti kata Ibu yang pasti untuk kebaikanku. Kak Jazil sudah bersiap. Dia membersihkan badan lagi setelah memastikan semua sempurna. Baju hijau lengan panjang dilipat sesiku dan celana panjang kain berwarna hitam. Rambut ikal panjang sebahu, disisir ke belakang. Dia kelihat segar dan tentunya membuatku tak berkedip beberapa saat.
"Ternyata di sini ada yang jualan seperti di Jawa, ya," ucap Ibu setelah kami turun dari mobil. Setelah proses penjemputan, kami langsung bertolak pulang. Kak Jazil begitu antusias saat bertemu bapak dan ibu. Diambilnya tangan mereka untuk dicium, memperkenalkan diri bahwa dia Jazil Ehsan teman dekat Dewi Larasati. "Maaf, Bu. Panggil nama saya saja. Jangan pak," kata Kak Jaz kepada Ibu saat berkenalan tadi. "Tidak, saya panggil Pak Jaz saja," jawab Ibu dengan wajah tanpa senyum. Aku langsung mengedipkan mata, memberi tanda untuk membantah. Sikap ibu kelihatan menjaga jarak, walaupun sering mencuri pandang kepada Kak Jaz yang mendorong troly yang bermuatan koper. Dia jalan lebih dulu bersama Bapak, kami mengikuti dari belakang. "Rupone ono, dedegke yo apik. Pantas saja kamu lengket sama dia," bisik Ibu. Mendengar ucapannya pipiku terasa hangat, malu tepatnya. Ini penilaian pertama, dilihat dari fisik. "Neng mergo kuwi, yang Ibu kawatirkan bisa terjadi. Orang sana itu banyak yang
Setelah makan selesai, kami bertolak ke tempat Kak Jazil. Seperti yang diminta Ibu. Beruntung jalanan tidak terlalu padat, tidak kurang tiga puluh menit kami sudah sampai."Mari, Pak Bu," ucap Kak Jazil.Kacong langsung menghampiri kami dan membantu membawa koper untuk diletakkan di rumah joglo. "Lo, itu mau di bawa ke mana, Pak?" teriak Ibu saat Kak Jazil memerintahkan Kacong untuk membawa koper ke rumah joglo."Buk, itu ditaruh di tempat istirahat," jawabku sambil menarik lengannya untuk duduk kembali di sofa. Aku berusaha mengalihan perhatiannya supaya Ibu memberi kami waktu yang lebih. Bagaimanapun, aku harus mengupayakan penilaian ini tidak hanya sebentar. Aaku harap, semakin lama orangtuaku berbicang dengan Kak Jazil, semakin mereka bisa diyakinkan bahwa dia sosok yang tepat.Dan, di sinilah kami, di ruang tamu kantor. Bapak, Ibuk, Kak Jaz dan aku. Sesaat kami diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ibuk mengamati sekeliling, dan Bapak sesekali menghela napas. Kak Jazil jug