Di depanku, sepeda motor tinggi dengan roda bergerigi yang kelihatan mencolok di tempat ini. Ada tulisan Ducati Scrambler di tangki motor. Nama merk sepeda motor yang kuingat sebagai motor trail berharga MAHAL.
Bukan. Bukan harga yang kupermasalahkan. Namun, bagaimana bisa aku berboncengan dengan motor seperti itu, sedangkan aku menggunakan baju kerja? Walaupun aku menggunakan stelan celana panjang, tetapi kelihatan salah kostum.
"Ayo, naik!" teriaknya dari balik helm full face yang dia kenakan. Mau tidak mau, aku menaiki motor yang mengerikan ini.
"Pegangan, Mbak. Nanti jatuh," ucapnya sebelum melajukan kendaraan ini.
Aku pun menuruti Ndesitman ini.
Berboncengan di motor Ducati Scrambler ini membuat jarak kami begitu dekat. Bahkan, aroma parfum maskulin seakan menguar di penciumanku. Pelan, kupegang ujung jaketnya, daripada jatuh dan pulang hanya tertinggal nama.
Semakin lama, kecepatan bertambah seiring tangan ini mengerat di pinggangnya. Kupejamkan mata, ngeri rasanya. Kami berselip di antara mobil-mobil yang berjalan. Yang bisa aku lakukan, hanya diam dan berpegangan erat, memasrahkan hidup matiku kepadanya.
"Sudah sampai!" ucapnya setelah sepeda motor berhenti.
Aku membuka mata. Tubuhku masih bergetar dan kaku, perlahan kulepaskan tangan dari pinggangnya. Jengah, namun bagaimana lagi?
Kami tiba di rumah makan yang bangunannya terbuat dari bambu dengan atap jerami. Angin semilir menerpa wajahku. Sejuk, berasal dari pohon rindang yang menaungi kami.
"Mbak Laras takut naik motor?" tanyanya setelah membuka helm yang mengurung kepalanya. Dia merapikan rambutnya yang sebahu sambil tertawa terkekeh.
Huuft!
Ingin aku bungkam mulutnya. Seenaknya, dia mentertawakan wajah pucat dan tanganku yang masih gemetar berkeringat! Aku tidak pernah mempertaruhkan nyawa dengan mengebut di jalanan seperti tadi.
"Tadi, kenapa ngebut? Kelapa saya jadi pusing!" ucapku kesal.
Gara-gara tadi selip sana-sini, seperti diputar-putar. Aku mendengus kesal, menatapnya. Betisku kini berdenyut. Mimpi apa aku semalam, bertemu orang seperti dia?
"Ayuk ke dalam! Saya pesankan jahe panas, meredakan pusing," ucapnya melangkah masuk, aku mengikutinya.
Kami duduk di samping kolam. Sambil menunggu pesanan, aku mengeluarkan form yang harus kuisi tentangnya. Niatku, supaya semuanya cepat selesai hari ini, dan tidak mengulang peristiwa mempertaruhkan nyawa seperti tadi.
"Pak Jazil, kita mulai wawancara, ya. Dimulai data pribadi. Bisa pinjam KTP-nya?" ucapku bersiap dengan bolpoin di tanganku.
[ Jazil Ehsan. Lahir di Sumenep, lima tahun di atasku, dan masih lajang ]
"Belum berkeluarga?" tanyaku memastikan yang aku baca. Masih muda dan matang. Penampilan yang lumayan, dan sudah mapan. Hanya perlu polesan untuk lebih bersinar. Sulit dipercaya masih ada stok, di zaman seperti sekarang. Makhluk unik yang perlu dilestarikan!
Eh, kenapa aku menilai dia secara pribadi?
"Kalau saya sudah berkeluarga, tidak mungkin membonceng perempuan, apalagi dia juga sudah berkeluarga. Mbak Laras, masih lajang juga, kan?" Penjelasannya membuatku mengingat, apakah aku pernah memberi tahu statusku? Aku pikir tidak!
"Pak Lartomo yang memberitahuku," tambahnya seolah menjawab yang aku pikirkan. Aku menatapnya kesal, ternyata di perbincangan dengan bahasa yang tidak kumengerti, mereka juga membicarakan aku.
"Tidak usah marah. Kita makan dulu," ucapnya mengambil bolpoin di tanganku dan menutup map di depanku. Aku melotot kesal ke arahnya dan bersiap menyemprotnya, mengurai kesal yang mulai menyesakkan.
Namun, bau harum masakan dan sapaan selamat siang membuatku menghentikan niat. Udang bakar madu berukuran besar, sukses meredakan kesalku. Mungkin karena perut kosong, menyebabkan emosi tidak stabil.
Sambil makan, kami berbincang banyak. Tentang bisnis, cita-cita bahkan tentang masa lalunya. Pembicaraan yang terlalu pribadi untuk ukuran seseorang yang baru kenal. Dia juga menjelaskan, lebih suka menaiki motor daripada mobil. Apalagi mobil ber-AC, dipastikan dia akan mabuk.
"Badan saya dingin dan perut mual saat naik mobil ber-AC!" jelasnya. Dia seorang bos yang aneh. Bos kok tidak bisa naik mobil ber-AC. Ini berarti ... selama kami bekerja sama, kami naik motor terus?
Sial.
"Ndesitman," gumamku tanpa sadar."Hmm?"
Mati aku!
"Gak, saya ingin cepat makan, Pak."
"Baiklah. Kalau gitu, mari kita segera makan," putus Boss jadi-jadian di hadapanku ini.
Perut kenyang, pusing pun hilang. Entah pusingku karena lapar, atau karena ngebut naik motor. Aku tidak paham. Yang jelas, kami melanjutkan perjalanan kembali dengan catatan tidak boleh mengebut. Tapi, saat diboncengnya, aku teringat percakapan memalukan dengannya saat meminta untuk tidak mengebut."Pak Jaz, tolong jangan ngebut lagi, ya. Saya tidak terbiasa," kataku berharap dia mengerti saat kami bersiap di atas motor.Dia lalu tertawa menatapku. "Tenang saja, saya tidak akan mengebut. Saya takut perut saya biru-biru! nanti" "Hah? Kenapa?" tanyaku bingung."Kamu meremas perutku berkali-kali. Kalau tidak percaya, kau periksa dah!" ucapnya sembari akan menyingkap bajunya.Cukup lama bagiku sebelum memproses semuanya. Untuk mencegah niatnya, aku pun segera berteriak, "Stop, Jaz!" Dia terkekeh lagi. "Maaf. Pak Jazil," ucapku setelah sadar bahwa aku hanya memanggilnya nama saja. Bahkan, sampai memegang tangan dia. Pipiku menghangat, malu sekaligus ada desiran aneh di hati ini. "It
Semalaman aku tidak bisa tidur. Apalagi kalau bukan karena Jazil Ehsan. Dia seperti hantu yang muncul saat aku mencoba memejamkan mata. Banyak hal yang menggelitik hatiku. Dia seperti sosok dari habitat yang berbeda denganku. Aku berasal dari keluarga pengajar. Bapak, Ibu, Tante, Om bahkan Nenek, Kakek, semuanya pengajar. Kami terbiasa hidup teratur, berpegangan dengan teori dan menekankan untuk berpendidikan tinggi. Sedangkan Jaz, dia berbeda sama sekali. Dia lebih suka jalan terlebih dahulu daripada disibukkan dengan rencana yang bepedoman dengan teori yang rumit. Bahkan, menurutnya sekolah tidak penting, yang hanya membuang waktu saja. Wah, kalau bilang seperti itu di keluargaku, bisa jadi dijewer ramai-ramai. Lo, kok pikiranku terlalu jauh. Membayangkan dia ada di tengah-tengah keluargaku. Duh! Dia itu unik, lucu, aneh, ngeselin dan pastinya, sekarang membuat mataku terjaga. Perhatian juga. Aku melirik sandal besar yang kuletakkan di rak sepatu. Berjajar bersama alas k
Kemarin, aku dipulangkan sebelum waktu Jum'atan. Di zaman sekarang, masih ada pemuda yang meletakkan kesibukannya demi salat berjamaah di masjid. Sempat aku menolak, dengan alasan bisa menyelesaikan sendiri tanpa dia temani. Targetku, ini harus selesai akhir minggu ini untuk merapikan administrasi saja. Karena masih banyak yang harus dibenahi. Jazil menolak tawaranku. Katanya, dia tidak tega apabila aku bekerja sendirian. Padahal, selama ini dia tidak mengerjakan apapun. Hanya menemani ngobrol sesekali, selebihnya diam duduk dan sesekali tertangkap sedang menatapku. Karenanya, hari Sabtu yang seharusnya hari libur, aku harus datang kembali. Seperti kemarin, dia menjemputku pagi-pagi. Aku sudah menolaknya, karena motorku sudah diantar Pak Satpam hari kemarin. "Ini sudah kewajibanku untuk menjemputmu. Saya tidak mau ada apa-apa di jalan. Kamu begitu penting untukku." Sempat kaget mendengar yang dia katakan. "Maksudnya?" "Iya, penting. Penting untuk pekerjaan. Kalau kamu sakit a
Pertemuan kami untuk pekerjaan, rutin dilaksanakan. Tidak terasa, sudah beberapa minggu kami sering bersama. Sudah ada jadwal hari dan jam berapa untuk Jazil ke kantor, sesuai kontrak yang sudah disepakati. Bedanya, kami tidak melakukan pertemuan di kantor yang terletak di lantai tiga. Tempat di cafetaria lantai dasar. Ini permintaan dari Jazil sendiri. Apalagi alasannya, kalau bukan karena takut naik lift. Pak Lartomo, seniorku terpaksa menyetujui. Bagaimanapun nilai kontrak lebih diutamakan, daripada batal. Jazil mengambil kontrak eksklusive. Selain jadwal yang ditentukan, dia juga mempunyai fasilitas konsultasi kapanpun. Dimanapun, uang bisa merubah aturan. Seperti saat ini, kami berdua di kafetaria. Sejak saat itu, hubungan kami mulai dekat walaupun sekedar rekan kerja. Pembicaraan juga sudah mulai santai dan kecanggungan mulai tiada. Kata saya pun, sudah tergantikan dengan kata aku. Ini kami sepakati, hanya digunakan saat berdua saja. Bahan pembicaraan sekarang tentang kar
"Aku ingin mengenalmu lebih dari sekedar teman dekat. Ijinkan aku memperkenalkan diri ke bapak dan ibu." Ucapan Kak Jazil kemarin malam sebelum mengantarku pulang. Mengejutkan bahkan membuatku tidak bisa tidur semalaman. Setelah pertemuan kemarin yang membahas tentang karyawan, kami pun berpisah setelah makan siang usai. Entah, hari kemarin adalah hari jadi kita atau tak ubah seperti hari sebelumnya. Yang kita sepakati hanya berubah panggilan saja. Dia memanggilku Dek Ras dan aku memanggilnya Kak Jaz. Tentu saja ini panggilan saat di luar kepentingan kerja. "Di tempatku, ini panggilan spesial untuk orang terdekat. Bukankah kita sudah menjadi teman dekat?" tandasnya, mengukuhkan kemajuan hubungan kami. Siangnya memang kami berpisah, tidak ada kabar lagi darinya. Dia disibukkan dengan janji dengan buyer yang datang dari Singapure, itu yang dikatakan saat bilang ingin menjemputku kembali saat sore harinya, tetapi tidak bisa karena kendala ini. Memang, dia bilang sore hari tidak b
Malam ini, aku berdandan lebih rapi. Kak Jaz bilang, kami akan makan malam di tempat spesial. Baju terusan panjang berwarna putih, terlihat santai tapi tetap feminim. Aku pun memintanya untuk menggunakan baju putih. Biar serasi denganku, itu yang aku tekankan. "Aku ingin candle light dinner, seperti yang pernah kamu tunjukkan itu, Dek" ucapnya tadi. Memang pernah, aku menunjukkan foto saat berselancar di dunia maya. Saat tanganku berhenti di sebuah foto romantis, dia ikut berkomentar. "Apa enaknya makan gelap-gelapan. Lebih baik di tempat terang, kelihatan makanannya. Menurutku, ini cara makan orang yang tidak ada kerjaan. Listrik ada, susah-sudah pakai lilin," celetuknya dengan mendekatkan wajah seperti memastikan sesuatu. "Memang tahu ini apa?" "Tahu. Candle light dinner, kan? Bule suka banget makan seperti itu," ucapnya berhenti dan menatapku sesaat, seakan sadar dengan wajah ini yang cemberut, "kamu ingin makan model seperti ini, Dek?" "Tidak!" jawabku kesal. Sekilas aku m
"Dewi Larasati? Maukah kamu menyimpan ini sampai hari itu tiba?" Kata-katanya terngiang terus di telingaku. Sampai bangun tidur pun, masih terasa suasana tadi malam. Suara deburan ombak, bau pantai, bahkan wajahku masih merasakan tiupan angin. Senyumku mengembang tiada henti, begitu juga hati ini. Mungkin berubah menjadi merah muda, warna cinta. Ngaco! Orang seperti kami, bebas mengekspresikan cinta. Tidak bisa terbantahkan oleh teori atau ketetapan apapun. Aku ambil kotak kecil pemberian Kak Jazil. Sengaja aku letakkan bawah lampu tidur, semalaman mataku tidak terlepas dari benda itu. Entah berapa kali kubuka untuk memastikan benda yang tersimpan di dalamnya adalah nyata. Sebuah cincin polos terbuat dari emas. Di dalamnya diukir indah inisial kami. ~DL & JE~ Kepanjangan dari Dewi Larasati dan Jazil Ehsan, itu yang dikatakannya. Inilah yang menyempurnakan senyumku. Tadi malam, Kak Jazil juga menunjukkan kotak yang sama. Bedanya, cincinnya terbuat dari p
"Halah! Orang kalau sudah jatuh cinta, tai kucing rasa coklat!" sahut Ibu memotong ucapanku yang sedang ingin membela Kak Jazil."Bu, jangan begitu. Semua tergantung orangnya," ucap Bapak menengahi kami."Itu sudah budaya, Pak. Pokoknya, Ibuk tidak mau! Tidak usah dilanjutkan! Seperti tidak ada laki-laki Jawa saja! Kalau kamu tidak bisa cari, nanti Ibu tanyakan ke teman-teman Ibu!" ujar Ibu dengan nada keras. Dari raut wajahnya, tersirat kalau yang diucapkan Ibu serius. Kekawatiranku memakin pecat melihat reaksi Ibu. Memang Bapak tidak menolak keinginanku ini, tapi melihat wanita yang melahirkanku ini bersikukuh, menyurutkan rasa percaya diri ini."Bu, dengar dulu yang diucapkan Laras," ucap Bapak berusaha mencegah Ibu yang menjauh dari layar ponsel. Samar terdengar teriakan Ibu dari jauh, “Wes sak karepmu! ”Aku menatap layar ponsel dengan gundah, Bapak dan Ibu mulai beradu mulut. Suara mereka terdengar, namun aku tidak mempunyai nyali untuk mendengarkan. Layar ponselpun menggelap t