Home / Romansa / Kepincut Boss Ndeso / Bab 7. Pertanda Kita Jodoh

Share

Bab 7. Pertanda Kita Jodoh

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-09-10 13:01:07

Pertemuan kami untuk pekerjaan, rutin dilaksanakan. Tidak terasa, sudah beberapa minggu kami sering bersama. Sudah ada jadwal hari dan jam berapa untuk Jazil ke kantor, sesuai kontrak yang sudah disepakati.

Bedanya, kami tidak melakukan pertemuan di kantor yang terletak di lantai tiga. Tempat di cafetaria lantai dasar. Ini permintaan dari Jazil sendiri. Apalagi alasannya, kalau bukan karena takut naik lift.

Pak Lartomo, seniorku terpaksa menyetujui. Bagaimanapun nilai kontrak lebih diutamakan, daripada batal. Jazil mengambil kontrak eksklusive. Selain jadwal yang ditentukan, dia juga mempunyai fasilitas konsultasi kapanpun.

Dimanapun, uang bisa merubah aturan.

Seperti saat ini, kami berdua di kafetaria. Sejak saat itu, hubungan kami mulai dekat walaupun sekedar rekan kerja. Pembicaraan juga sudah mulai santai dan kecanggungan mulai tiada. 

Kata saya pun, sudah tergantikan dengan kata aku. Ini kami sepakati, hanya digunakan saat berdua saja.

Bahan pembicaraan sekarang tentang karyawan. Bagaimana menentukan gaji sampai pembagian hari libur. Faktor ini berpengaruh tiga puluh persen terhadap efisiensi kerja.

"Tidak ada aturan khusus untuk karyawan. Hubungan kami seperti keluarga. Mayoritas berasal dari Sumenep. Biasanya mereka membawa saudara atau temannya dari kampung," jelas Jazil dengan menatapku.

"Jadi tidak pernah ada seleksi karyawan?" Aku mengajukan pertanyaan sesuai panduan form dari kantor. 

Pandangan aku alihkan pada strawbery smootie dan sepotong kue spiku di depanku

. Lebih baik begini, dari pada jantungku berdegup lebih kencang karena sorot mata itu.

"Tidak ada. Yang penting ada niat kerja dan masih bernapas," selorohnya sambil tertawa. Aku yang awalnya kikuk, menjadi terkejut. 

"Jangan bercanda. Aku harus melengkapi form ini. Waktunya tinggal satu jam, kita fokus kerja," protesku dengan melototkan mata dan berdesis ke arahnya. 

Tidak membuatnya diam, sebaliknya malah tertawa terkekeh.

"Kamu lupa, waktu kita bersambung dengan makan siang? Itu artinya, masih ada dua jam!"  

Dia mengemukakan sanggahan setelah tawa berhenti. Benar juga, sih. Dasar orang Madura, hitungannya jeli.

"Siapa bilang, akan makan siang dengan Pak Jazil? Aku sudah ada janji," ucapku menggertak. 

Seenaknya saja mengatur jadwal orang, disuruh fokus kerja malah bercanda. Memang makan siang dengannya, dia yang bayar. Namun, aku merasa waktuku semakin dia kuasi.

Dia meletakkan cangkir kopi yang baru saja di sesap. Menatapku tajam seperti tadi, tanpa mengeluarkan kata dan itu membuat diri ini kikuk. 

"Bagaimana mereka bisa jadi tukang kayu, kalau tidak ada ketrampilan?" tanyaku mengalihkan kejengahan yang baru tercipta.

"Apa ini tidak merugikan?" tanyaku lagi setelah dia tidak menjawab. 

"Pak! Pak Jazil!" teriakku berusaha membuat dia berkedip.

"Iya, aku dengar. Saya akan jawab semua yang ada di kertas kamu sekarang. Asal, kita makan siang bersama. Sekarang kau batalkan janji makan siangmu!" 

Aku tertawa mendengar permintaaannya. Ada-ada saja, harus bersyarat. Padahal ini kepentingannya dia sendiri. 

"Janji makan siang bersama orang yang kapan hari kirim pesan. Ini pesannya," ucapku menunjukkan layar ponsel. "Ini dibatalkan, ya?" tanyaku dengan tertawa.

Yang aku tunjukkan, percakapan kami beberapa hari lalu. Menentukan jam berapa pertemuan di hari ini. Mungkin dia lupa, kalau dia yang menawariku mentraktir makan siang pada hari ini.

"Kamu mulai berani meledekku, ya?!" 

"Ma-maaf ... maaf. Habisnya, Pak Jazil tidak serius!" ucapku sambil menutup mulut, menahan tawa.

"Baiklah. Aku jawab pertanyaanmu. Yang saya butuhkan dari calon karyawan hanya niat untuk bekerja. Ketrampilan bisa dipelajari, tapi niat harus ada dari awal. Saya lebih suka menerima orang bodoh daripada orang pintar tetapi tidak punya niat." 

Penjelasannya berhenti, dia mengambil pisang goreng yang dia pesan. 

"Mau?" Dia menyodorkan camilannya. Aku menjawabnya dengan menunjuk kue yang aku nikmati.

Dilihat dari selera camilan dan minuman, kami sangat berbeda. Yah, kami memang bertolak belakang. Seperti warna hitam dan putih.

"Hampir semuanya dari nol. Mereka bisa karena aku latih," jelasnya setelah menelan kunyahan terakhir.

"Bagaimana setelah sudah pintar, mereka keluar dari pekerjaan? Lalu, mereka gabung ke kompetitor atau mendirikan usaha sendiri? Apa tidak rugi?" tanyaku mencari jawaban yang membuat penasaran.

"Aku tidak rugi, anggap saja kita beramal dengan memberikan mereka alat untuk hidup. Sebenarnya, yang merugi mereka sendiri karena  sudah kehilangan kesempatan kembali," ucapnya berhenti untuk mengambil napas, "masih banyak pertanyaannya?"

"Tinggal sedikit, Pak. Yah sekitar lima pertanyaan saja."

"Bisakah kita makan dulu? Aku lapar."

Segera kumasukkan kertas form ke map batik. Berganti dengan buku menu makanan yang sudah diberikan di awal kami datang.

Dia memesan soto madura dan aku memesan nasi gudeg lengkap. Pesanan sesuai selera asal. Hanya satu yang sama, pesan minum air mineral dingin dengan kemasan botol.

"Pak Jazil, kenapa menjadi tukang kayu? Bukankan orang Madura banyak yang jadi penjual sate Madura atau soto Madura?" tanyaku setelah membaca pilihan menunya.

"Ada lagunya lagi," tambahku. Seorang pelayan sudah mengambil daftar pesanan.

"Memang tahu lagunya?" tanyanya sambil tersenyum. Mungkin menganggap perkataanku lucu.

"Tahu, lah! Dulu pas SMP pernah dipaksa nyanyi lagu daerah. Lagunya gini,

Bula panika, oreng Madureh. Ka tana Jebeh, toron Sorbejeh

Ajuwelen Soto Madureh, Ajuwelen Sate Madureh

Soto Madureh, Sate Madureh

Aku menyanyikan lagu dengan menambah kata sate Madura, supaya lengkap. Jazil tertawa terbahak-bahak mendengar lagu Madura dengan logat Solo. 

Mungkin, terdengar aneh di telinganya.

"Iya! Nanti aku akan sesuaikan dengan nyanyianmu itu. Jualan Soto Madura dan Sate Madura, tapi bantu mengelolanya, ya," ucapnya dengan menatapku dan tersenyum.

"Okeylah! Jadi kasirnya, Pak Jazil? Siap, lumayan mendapat gaji tambahan!" ucapku dengan tertawa kecil. 

Tawa ini meredup saat dia tiba-tiba menatapku tajam dengan raut wajah serius.

"Mulai saat ini, jangan panggil aku pak. Panggil aku Kak Jaz, dan aku memanggilmu Dek Ras!" 

"Kenapa?" 

Ras terdengar aneh di telingaku karena tidak pernah dipanggil seperti itu. Orang lain memanggilku Laras atau Larasati. Ada juga yang memanggilku Dewi, nama depanku.

"Biar kita mirip, Jaz dan Ras. Itu menandakan mulai saat ini kita berjodoh. Iya, kan?"

Deg!

Apakah kata terakhirnya menandakan kita jadian? Atau, sekedar nyaris?

Ucapannya sukses melenyapkan rasa lapar, tergantikan dengan geleyar indah di hatiku. Ada rasa bahagia dan berbunga di sana. Jantungku seakan mau lepas dari tempatnya.

Duh!

Mbak dan mas pelayan, kenapa tidak segera datang?!

Cepetan, sebelum aku pingsan di sini! Maluuu!

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
lina nur.p
cuma baca kok ikut salting
goodnovel comment avatar
thiwit RA Nurul Amal
duuhh...lucu n akhirnya tertawa sendiri.....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 59. Anak Bumi

    "Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 58. Jalan di Pantai

    Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 57. Pengurai Kesal

    “Kita hanya memiliki dua tangan, cukup untuk menutup telinga kita. Tidak perlu membungkam mulut orang lain. Biarkan saja, toh akan mengerti dengan sendirinya.” Itu yang dikatakan Kak Jazil, tadi.Oke, lah, mereka akan mengerti sendiri, tapi kapan? Keburu kepala kita terbakar karena kesal.*Curhat dengan Kak Jazil membuatku bertambah kesal. Seakan tidak menyambut kekesalanku, dia justru memberikan wejangan yang merujuk untuk menyuruhku memaklumi dan lebih bersabar. Memang kalau dipikir ada benarnya, tapi hati ini masih terasa panas.Selebihnya, dia hanya mengangguk dan bersuara, "Hmm ...," atau "He-eh." Seperti tidak ada kata lain atau kalimat dukungan untukku.Ditambah lagi, lima baju yang teronggok di sofa mengingatkan kejadian itu. Ingin aku buang, tetapi sayang. Model dan warnanya aku suka sekali.Dari pada semakin kesal, aku menonton serial drama Korea. Menikmati alur cerita dan penampilan yang membuat mata ini enggan berkedip, bisa mengurai rasa kesal ini. Tentu saja, dengan mem

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 56. Kangen Adek

    "Tak usah pusing dengan perkataan orang, Dek. Yang penting kita baik dengan sesama, nyaman hidupnya dan bahagia selalu. Aku tidak pusing dengan mereka, tidak berpengaruh dengan pendapatan," ucap Kak Jazil ketika aku mengadu."Tapi, Kak?"Aku menceritakan kejadian di toko baju itu. Bagaimana kesalnya hati ini saat merasa tidak dianggap. Kak Jazil hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengusap-usap lenganku.“Kak Jazil bicara seperti itu karena tidak ada di sana. Tidak tahu bagaimana kesalnya saat melihat sorot mata mereka yang terlihat menyepelekan. Bahkan terkesan tidak percaya saat dijelaskan. Harusnya Kak Jazil memberlaku, dong. Istrinya diperlakukan seperti itu. Memang mereka pikir aku tidak mampu membeli dagangannya, apa?!,” dengusku kesal.Alih-alih terprovokasi dengan aduanku, suamiku ini justru tertawa terkekeh.“Dek, kalau pengalaman seperti itu, Kakak sudah kenyang. Kamu saja yang bening digitukan, apalagi Kakak yang modelnya santai seperti ini.”“Memang Kak Jazil pernah d

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 55. Tetep Tidak Dipercaya

    Kejadian tamu dari ibu kota minggu kemarin membuatku berputar otak. Mencari tahu apa yang kurang pada penampilan Kak Jazil. Setahuku ok-ok saja. Mungkin karena penampilkan kami sebagai orang pribumi dan masih berusia muda, sehingga tidak dipercaya mempunyai usaha mandiri seperti ini. Tetap, aku siapkan setiap pagi baju kemeja dan celana kain. Celana cargo, celana tiga perempat, celana jeans, dan kaos tanpa krah aku singkirkan. Sandal jepitpun aku haramkan. Dia harus berpenampilan fashionable, biar terlihat kalau seorang bos. Itu harapanku, walaupun tetap berakhir dengan kaos lengan pendek, pakai sarung, dan peci di kepala dengan rambut terurai. Pastinya dilengkapi sandal jepit kesayangan. "Tak nyaman pakai seperti itu, Dek. Seperti sales saja. Kenapa tidak pakai dasi saja sekalian?" tolak suamiku itu. Huuft! *** Kehamilanku yang semakin besar menuntutku untuk jalan kaki. Ini yang disarankan dokter. Bersama Embuk, aku mengelilingi jalan dekat rumah. Berjajar galeri dan artshop

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 54. Salah Alamat

    Dia menyilangkan kaki, menunjukkan kakinya yang putih mulus walaupun mulai berkerut. Di usia yang sudah tidak muda, wanita ini masih cantik dan kelihatan terawat. Alis mata, hidung, bibir, pokoknya semua yang ada tubuhnya seperti tertulis berapa harga yang dia keluarkan. Untuk seumur dia, menggunakan celana super pendek dan atasan tank top, dan riasan mencolok dengan lipstik merah menyala, menunjukkan dia berasal dari komunitas bagaimana.Cantik, sih. Tamu julid, itu kesimpulanku. Permintaannya yang seperti menjebak. Pada umumnya, tamu ditawari minum jawabannya mineral water, teh, atau kopi biasa. Ini minta cappuccino, dan ucapan yang terakhir seperti menyepelekan. “Ya, kalau ada.”Huuft!"Mas dan Mbak, juga cappuccino?" tanyaku ke pasangan itu.Pasangan, yang kata Ardi sempat viral. Mereka menghentikan kesibukan sejenak dan menjawab bersamaan, "Iya. Disamakan dengan Mami Sherin saja."Mereka menunjukkan senyuman kaku, dan kembali berkutat dengan ponsel."Oh, punya mesin capucinno

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 53. Tamu Ibu Kota

    Perutku semakin membuncit, dan sudah tidak bisa disembunyikan dari baju keseharianku. Kalau ibu hamil lainnya susah makan dan muntah-muntah, tetapi aku malah tidak berhenti makan. Apalagi, Ibu selalu mengirimi makanan kering dari Solo.Tidak hanya aku yang membuncit, Kak Jazil pun begitu. Keinginanku makan ini dan itu, memaksa dia untuk selalu menemani makan. Apalagi rasa malas yang mengusaiku, membuatnya ikut rebahan disampingku karena harus berbagi aroma kecut ketiaknya."Dek Ras, kalau begini caranya, Kakak jadi seperti orang hamil. Ini, perutnya juga saingan. Buncit." Dia menyingkap kaos, terlihat perut yang mulai berlemak, walaupun jejak six-pack masih berbayang."Main surfing dengan Darren, boleh, ya? Badan ini sudah mulai berat." Kak Jazil berdiri di depan cermin, memiringkan badan ke kanan dan ke kiri, sesekali mengelus perut. Kedua alisnya bertaut, seperti menyesali perut rata yang mulai terganti.Aku tertawa dan menghampirinya, mengikuti apa yang dilakukan, pamer perut."

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 52. Aku Ingin Selamanya

    "Bermaksud apa? Kalau laki-laki mencari istri orang?!" teriak Kak Jazil memotong ucapan Mas Januar. Aku langsung menarik lengannya, mencegah dia yang bersiap berdiri. Tangannya yang sudah melemas, sekarang terkepal kembali. "Kak Jaz, sabar. Kita dengar dulu apa yang akan dikatakan Mas Januar," ucapku, tanpa melepas pegangan tanganku."Baiklah! Silahkan. Saya akan dengar!" Kemudian, dia menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Wajahnya masih mengeras pertanda rasa amarah yang belum mereda."Saya ke sini ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian, dan memperbaiki hubungan kita. Juga, akan memberikan ini." Mas Januar mengeluarkan amplop dari saku jasnya, dan menyerahkan kepada kami. Sebuah undangan pernikahan."Saya akan menikah awal bulan depan. Kalau kalian sempat, bisa datang. Tetapi kalau tidak pun, saya minta doanya."Kak Jazil membaca undangan itu dengan mengangguk pelan dan menatap ke Mas Januar. "Maafkan saya yang sudah salah paham. Kamu ke sini membawa bunga, itu yang me

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 51. Kunjungan yang Tak Diharapkan

    Setelah dari dokter kandungan, hariku pun semakin dikuasai Kak Jazil. Tidak boleh ini dan itu."Ini untuk anakku, Dek." Dia membopongku, kembali ke ranjang. Ini hanya gara-gara, aku naik kursi untuk mengambil cetakan kue di rak lemari paling atas. "Aku, tidak?" protesku. Menatap wajahnya yang semakin tampan dengan rambut pendek. Setelah puas, kemudian menyelusup di ketiaknya, mencari yang aku mulai candui. Bau kecut ketiaknya."Ya, termasuk mamanya juga, Dek," jawabnya kemudian mencium pucuk kepalaku.Saat periksa ke dokter, kami dipesan untuk hati-hati di tri semester awal. Jangan sampai jatuh, karena itu akan berakibat fatal. Ke kantor pun, tidak boleh sehari penuh. Aku hanya diperbolehkan menyuruh, mengawasi dan mengkoreksi. Apalagi, sekarang ada Darren dan pegawai baru, Ardi namanya. Dia saudara jauh Kacong, lulusan dari sekolah kejuruan, jurusan akutansi. Anaknya baik, bisa diajari, nurut dan lucu. Tingkahnya tidak seperti anak laki-laki pada umumnya, sekilas dia lebih bersifa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status