Share

Bab 7. Pertanda Kita Jodoh

Pertemuan kami untuk pekerjaan, rutin dilaksanakan. Tidak terasa, sudah beberapa minggu kami sering bersama. Sudah ada jadwal hari dan jam berapa untuk Jazil ke kantor, sesuai kontrak yang sudah disepakati.

Bedanya, kami tidak melakukan pertemuan di kantor yang terletak di lantai tiga. Tempat di cafetaria lantai dasar. Ini permintaan dari Jazil sendiri. Apalagi alasannya, kalau bukan karena takut naik lift.

Pak Lartomo, seniorku terpaksa menyetujui. Bagaimanapun nilai kontrak lebih diutamakan, daripada batal. Jazil mengambil kontrak eksklusive. Selain jadwal yang ditentukan, dia juga mempunyai fasilitas konsultasi kapanpun.

Dimanapun, uang bisa merubah aturan.

Seperti saat ini, kami berdua di kafetaria. Sejak saat itu, hubungan kami mulai dekat walaupun sekedar rekan kerja. Pembicaraan juga sudah mulai santai dan kecanggungan mulai tiada. 

Kata saya pun, sudah tergantikan dengan kata aku. Ini kami sepakati, hanya digunakan saat berdua saja.

Bahan pembicaraan sekarang tentang karyawan. Bagaimana menentukan gaji sampai pembagian hari libur. Faktor ini berpengaruh tiga puluh persen terhadap efisiensi kerja.

"Tidak ada aturan khusus untuk karyawan. Hubungan kami seperti keluarga. Mayoritas berasal dari Sumenep. Biasanya mereka membawa saudara atau temannya dari kampung," jelas Jazil dengan menatapku.

"Jadi tidak pernah ada seleksi karyawan?" Aku mengajukan pertanyaan sesuai panduan form dari kantor. 

Pandangan aku alihkan pada strawbery smootie dan sepotong kue spiku di depanku

. Lebih baik begini, dari pada jantungku berdegup lebih kencang karena sorot mata itu.

"Tidak ada. Yang penting ada niat kerja dan masih bernapas," selorohnya sambil tertawa. Aku yang awalnya kikuk, menjadi terkejut. 

"Jangan bercanda. Aku harus melengkapi form ini. Waktunya tinggal satu jam, kita fokus kerja," protesku dengan melototkan mata dan berdesis ke arahnya. 

Tidak membuatnya diam, sebaliknya malah tertawa terkekeh.

"Kamu lupa, waktu kita bersambung dengan makan siang? Itu artinya, masih ada dua jam!"  

Dia mengemukakan sanggahan setelah tawa berhenti. Benar juga, sih. Dasar orang Madura, hitungannya jeli.

"Siapa bilang, akan makan siang dengan Pak Jazil? Aku sudah ada janji," ucapku menggertak. 

Seenaknya saja mengatur jadwal orang, disuruh fokus kerja malah bercanda. Memang makan siang dengannya, dia yang bayar. Namun, aku merasa waktuku semakin dia kuasi.

Dia meletakkan cangkir kopi yang baru saja di sesap. Menatapku tajam seperti tadi, tanpa mengeluarkan kata dan itu membuat diri ini kikuk. 

"Bagaimana mereka bisa jadi tukang kayu, kalau tidak ada ketrampilan?" tanyaku mengalihkan kejengahan yang baru tercipta.

"Apa ini tidak merugikan?" tanyaku lagi setelah dia tidak menjawab. 

"Pak! Pak Jazil!" teriakku berusaha membuat dia berkedip.

"Iya, aku dengar. Saya akan jawab semua yang ada di kertas kamu sekarang. Asal, kita makan siang bersama. Sekarang kau batalkan janji makan siangmu!" 

Aku tertawa mendengar permintaaannya. Ada-ada saja, harus bersyarat. Padahal ini kepentingannya dia sendiri. 

"Janji makan siang bersama orang yang kapan hari kirim pesan. Ini pesannya," ucapku menunjukkan layar ponsel. "Ini dibatalkan, ya?" tanyaku dengan tertawa.

Yang aku tunjukkan, percakapan kami beberapa hari lalu. Menentukan jam berapa pertemuan di hari ini. Mungkin dia lupa, kalau dia yang menawariku mentraktir makan siang pada hari ini.

"Kamu mulai berani meledekku, ya?!" 

"Ma-maaf ... maaf. Habisnya, Pak Jazil tidak serius!" ucapku sambil menutup mulut, menahan tawa.

"Baiklah. Aku jawab pertanyaanmu. Yang saya butuhkan dari calon karyawan hanya niat untuk bekerja. Ketrampilan bisa dipelajari, tapi niat harus ada dari awal. Saya lebih suka menerima orang bodoh daripada orang pintar tetapi tidak punya niat." 

Penjelasannya berhenti, dia mengambil pisang goreng yang dia pesan. 

"Mau?" Dia menyodorkan camilannya. Aku menjawabnya dengan menunjuk kue yang aku nikmati.

Dilihat dari selera camilan dan minuman, kami sangat berbeda. Yah, kami memang bertolak belakang. Seperti warna hitam dan putih.

"Hampir semuanya dari nol. Mereka bisa karena aku latih," jelasnya setelah menelan kunyahan terakhir.

"Bagaimana setelah sudah pintar, mereka keluar dari pekerjaan? Lalu, mereka gabung ke kompetitor atau mendirikan usaha sendiri? Apa tidak rugi?" tanyaku mencari jawaban yang membuat penasaran.

"Aku tidak rugi, anggap saja kita beramal dengan memberikan mereka alat untuk hidup. Sebenarnya, yang merugi mereka sendiri karena  sudah kehilangan kesempatan kembali," ucapnya berhenti untuk mengambil napas, "masih banyak pertanyaannya?"

"Tinggal sedikit, Pak. Yah sekitar lima pertanyaan saja."

"Bisakah kita makan dulu? Aku lapar."

Segera kumasukkan kertas form ke map batik. Berganti dengan buku menu makanan yang sudah diberikan di awal kami datang.

Dia memesan soto madura dan aku memesan nasi gudeg lengkap. Pesanan sesuai selera asal. Hanya satu yang sama, pesan minum air mineral dingin dengan kemasan botol.

"Pak Jazil, kenapa menjadi tukang kayu? Bukankan orang Madura banyak yang jadi penjual sate Madura atau soto Madura?" tanyaku setelah membaca pilihan menunya.

"Ada lagunya lagi," tambahku. Seorang pelayan sudah mengambil daftar pesanan.

"Memang tahu lagunya?" tanyanya sambil tersenyum. Mungkin menganggap perkataanku lucu.

"Tahu, lah! Dulu pas SMP pernah dipaksa nyanyi lagu daerah. Lagunya gini,

Bula panika, oreng Madureh. Ka tana Jebeh, toron Sorbejeh

Ajuwelen Soto Madureh, Ajuwelen Sate Madureh

Soto Madureh, Sate Madureh

Aku menyanyikan lagu dengan menambah kata sate Madura, supaya lengkap. Jazil tertawa terbahak-bahak mendengar lagu Madura dengan logat Solo. 

Mungkin, terdengar aneh di telinganya.

"Iya! Nanti aku akan sesuaikan dengan nyanyianmu itu. Jualan Soto Madura dan Sate Madura, tapi bantu mengelolanya, ya," ucapnya dengan menatapku dan tersenyum.

"Okeylah! Jadi kasirnya, Pak Jazil? Siap, lumayan mendapat gaji tambahan!" ucapku dengan tertawa kecil. 

Tawa ini meredup saat dia tiba-tiba menatapku tajam dengan raut wajah serius.

"Mulai saat ini, jangan panggil aku pak. Panggil aku Kak Jaz, dan aku memanggilmu Dek Ras!" 

"Kenapa?" 

Ras terdengar aneh di telingaku karena tidak pernah dipanggil seperti itu. Orang lain memanggilku Laras atau Larasati. Ada juga yang memanggilku Dewi, nama depanku.

"Biar kita mirip, Jaz dan Ras. Itu menandakan mulai saat ini kita berjodoh. Iya, kan?"

Deg!

Apakah kata terakhirnya menandakan kita jadian? Atau, sekedar nyaris?

Ucapannya sukses melenyapkan rasa lapar, tergantikan dengan geleyar indah di hatiku. Ada rasa bahagia dan berbunga di sana. Jantungku seakan mau lepas dari tempatnya.

Duh!

Mbak dan mas pelayan, kenapa tidak segera datang?!

Cepetan, sebelum aku pingsan di sini! Maluuu!

*****

Komen (2)
goodnovel comment avatar
lina nur.p
cuma baca kok ikut salting
goodnovel comment avatar
thiwit RA Nurul Amal
duuhh...lucu n akhirnya tertawa sendiri.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status