Pertemuan kami untuk pekerjaan, rutin dilaksanakan. Tidak terasa, sudah beberapa minggu kami sering bersama. Sudah ada jadwal hari dan jam berapa untuk Jazil ke kantor, sesuai kontrak yang sudah disepakati.
Bedanya, kami tidak melakukan pertemuan di kantor yang terletak di lantai tiga. Tempat di cafetaria lantai dasar. Ini permintaan dari Jazil sendiri. Apalagi alasannya, kalau bukan karena takut naik lift.
Pak Lartomo, seniorku terpaksa menyetujui. Bagaimanapun nilai kontrak lebih diutamakan, daripada batal. Jazil mengambil kontrak eksklusive. Selain jadwal yang ditentukan, dia juga mempunyai fasilitas konsultasi kapanpun.
Dimanapun, uang bisa merubah aturan.
Seperti saat ini, kami berdua di kafetaria. Sejak saat itu, hubungan kami mulai dekat walaupun sekedar rekan kerja. Pembicaraan juga sudah mulai santai dan kecanggungan mulai tiada.
Kata saya pun, sudah tergantikan dengan kata aku. Ini kami sepakati, hanya digunakan saat berdua saja.
Bahan pembicaraan sekarang tentang karyawan. Bagaimana menentukan gaji sampai pembagian hari libur. Faktor ini berpengaruh tiga puluh persen terhadap efisiensi kerja.
"Tidak ada aturan khusus untuk karyawan. Hubungan kami seperti keluarga. Mayoritas berasal dari Sumenep. Biasanya mereka membawa saudara atau temannya dari kampung," jelas Jazil dengan menatapku.
"Jadi tidak pernah ada seleksi karyawan?" Aku mengajukan pertanyaan sesuai panduan form dari kantor.
Pandangan aku alihkan pada strawbery smootie dan sepotong kue spiku di depanku
. Lebih baik begini, dari pada jantungku berdegup lebih kencang karena sorot mata itu.
"Tidak ada. Yang penting ada niat kerja dan masih bernapas," selorohnya sambil tertawa. Aku yang awalnya kikuk, menjadi terkejut.
"Jangan bercanda. Aku harus melengkapi form ini. Waktunya tinggal satu jam, kita fokus kerja," protesku dengan melototkan mata dan berdesis ke arahnya.
Tidak membuatnya diam, sebaliknya malah tertawa terkekeh.
"Kamu lupa, waktu kita bersambung dengan makan siang? Itu artinya, masih ada dua jam!"
Dia mengemukakan sanggahan setelah tawa berhenti. Benar juga, sih. Dasar orang Madura, hitungannya jeli.
"Siapa bilang, akan makan siang dengan Pak Jazil? Aku sudah ada janji," ucapku menggertak.
Seenaknya saja mengatur jadwal orang, disuruh fokus kerja malah bercanda. Memang makan siang dengannya, dia yang bayar. Namun, aku merasa waktuku semakin dia kuasi.
Dia meletakkan cangkir kopi yang baru saja di sesap. Menatapku tajam seperti tadi, tanpa mengeluarkan kata dan itu membuat diri ini kikuk.
"Bagaimana mereka bisa jadi tukang kayu, kalau tidak ada ketrampilan?" tanyaku mengalihkan kejengahan yang baru tercipta.
"Apa ini tidak merugikan?" tanyaku lagi setelah dia tidak menjawab.
"Pak! Pak Jazil!" teriakku berusaha membuat dia berkedip.
"Iya, aku dengar. Saya akan jawab semua yang ada di kertas kamu sekarang. Asal, kita makan siang bersama. Sekarang kau batalkan janji makan siangmu!"
Aku tertawa mendengar permintaaannya. Ada-ada saja, harus bersyarat. Padahal ini kepentingannya dia sendiri.
"Janji makan siang bersama orang yang kapan hari kirim pesan. Ini pesannya," ucapku menunjukkan layar ponsel. "Ini dibatalkan, ya?" tanyaku dengan tertawa.
Yang aku tunjukkan, percakapan kami beberapa hari lalu. Menentukan jam berapa pertemuan di hari ini. Mungkin dia lupa, kalau dia yang menawariku mentraktir makan siang pada hari ini.
"Kamu mulai berani meledekku, ya?!"
"Ma-maaf ... maaf. Habisnya, Pak Jazil tidak serius!" ucapku sambil menutup mulut, menahan tawa.
"Baiklah. Aku jawab pertanyaanmu. Yang saya butuhkan dari calon karyawan hanya niat untuk bekerja. Ketrampilan bisa dipelajari, tapi niat harus ada dari awal. Saya lebih suka menerima orang bodoh daripada orang pintar tetapi tidak punya niat."
Penjelasannya berhenti, dia mengambil pisang goreng yang dia pesan.
"Mau?" Dia menyodorkan camilannya. Aku menjawabnya dengan menunjuk kue yang aku nikmati.
Dilihat dari selera camilan dan minuman, kami sangat berbeda. Yah, kami memang bertolak belakang. Seperti warna hitam dan putih.
"Hampir semuanya dari nol. Mereka bisa karena aku latih," jelasnya setelah menelan kunyahan terakhir.
"Bagaimana setelah sudah pintar, mereka keluar dari pekerjaan? Lalu, mereka gabung ke kompetitor atau mendirikan usaha sendiri? Apa tidak rugi?" tanyaku mencari jawaban yang membuat penasaran.
"Aku tidak rugi, anggap saja kita beramal dengan memberikan mereka alat untuk hidup. Sebenarnya, yang merugi mereka sendiri karena sudah kehilangan kesempatan kembali," ucapnya berhenti untuk mengambil napas, "masih banyak pertanyaannya?"
"Tinggal sedikit, Pak. Yah sekitar lima pertanyaan saja."
"Bisakah kita makan dulu? Aku lapar."
Segera kumasukkan kertas form ke map batik. Berganti dengan buku menu makanan yang sudah diberikan di awal kami datang.
Dia memesan soto madura dan aku memesan nasi gudeg lengkap. Pesanan sesuai selera asal. Hanya satu yang sama, pesan minum air mineral dingin dengan kemasan botol.
"Pak Jazil, kenapa menjadi tukang kayu? Bukankan orang Madura banyak yang jadi penjual sate Madura atau soto Madura?" tanyaku setelah membaca pilihan menunya.
"Ada lagunya lagi," tambahku. Seorang pelayan sudah mengambil daftar pesanan.
"Memang tahu lagunya?" tanyanya sambil tersenyum. Mungkin menganggap perkataanku lucu.
"Tahu, lah! Dulu pas SMP pernah dipaksa nyanyi lagu daerah. Lagunya gini,
Bula panika, oreng Madureh. Ka tana Jebeh, toron Sorbejeh
Ajuwelen Soto Madureh, Ajuwelen Sate Madureh
Soto Madureh, Sate Madureh
Aku menyanyikan lagu dengan menambah kata sate Madura, supaya lengkap. Jazil tertawa terbahak-bahak mendengar lagu Madura dengan logat Solo.
Mungkin, terdengar aneh di telinganya.
"Iya! Nanti aku akan sesuaikan dengan nyanyianmu itu. Jualan Soto Madura dan Sate Madura, tapi bantu mengelolanya, ya," ucapnya dengan menatapku dan tersenyum.
"Okeylah! Jadi kasirnya, Pak Jazil? Siap, lumayan mendapat gaji tambahan!" ucapku dengan tertawa kecil.
Tawa ini meredup saat dia tiba-tiba menatapku tajam dengan raut wajah serius.
"Mulai saat ini, jangan panggil aku pak. Panggil aku Kak Jaz, dan aku memanggilmu Dek Ras!"
"Kenapa?"
Ras terdengar aneh di telingaku karena tidak pernah dipanggil seperti itu. Orang lain memanggilku Laras atau Larasati. Ada juga yang memanggilku Dewi, nama depanku.
"Biar kita mirip, Jaz dan Ras. Itu menandakan mulai saat ini kita berjodoh. Iya, kan?"
Deg!
Apakah kata terakhirnya menandakan kita jadian? Atau, sekedar nyaris?Ucapannya sukses melenyapkan rasa lapar, tergantikan dengan geleyar indah di hatiku. Ada rasa bahagia dan berbunga di sana. Jantungku seakan mau lepas dari tempatnya.
Duh!
Mbak dan mas pelayan, kenapa tidak segera datang?!
Cepetan, sebelum aku pingsan di sini! Maluuu!
*****
"Aku ingin mengenalmu lebih dari sekedar teman dekat. Ijinkan aku memperkenalkan diri ke bapak dan ibu." Ucapan Kak Jazil kemarin malam sebelum mengantarku pulang. Mengejutkan bahkan membuatku tidak bisa tidur semalaman. Setelah pertemuan kemarin yang membahas tentang karyawan, kami pun berpisah setelah makan siang usai. Entah, hari kemarin adalah hari jadi kita atau tak ubah seperti hari sebelumnya. Yang kita sepakati hanya berubah panggilan saja. Dia memanggilku Dek Ras dan aku memanggilnya Kak Jaz. Tentu saja ini panggilan saat di luar kepentingan kerja. "Di tempatku, ini panggilan spesial untuk orang terdekat. Bukankah kita sudah menjadi teman dekat?" tandasnya, mengukuhkan kemajuan hubungan kami. Siangnya memang kami berpisah, tidak ada kabar lagi darinya. Dia disibukkan dengan janji dengan buyer yang datang dari Singapure, itu yang dikatakan saat bilang ingin menjemputku kembali saat sore harinya, tetapi tidak bisa karena kendala ini. Memang, dia bilang sore hari tidak b
Malam ini, aku berdandan lebih rapi. Kak Jaz bilang, kami akan makan malam di tempat spesial. Baju terusan panjang berwarna putih, terlihat santai tapi tetap feminim. Aku pun memintanya untuk menggunakan baju putih. Biar serasi denganku, itu yang aku tekankan. "Aku ingin candle light dinner, seperti yang pernah kamu tunjukkan itu, Dek" ucapnya tadi. Memang pernah, aku menunjukkan foto saat berselancar di dunia maya. Saat tanganku berhenti di sebuah foto romantis, dia ikut berkomentar. "Apa enaknya makan gelap-gelapan. Lebih baik di tempat terang, kelihatan makanannya. Menurutku, ini cara makan orang yang tidak ada kerjaan. Listrik ada, susah-sudah pakai lilin," celetuknya dengan mendekatkan wajah seperti memastikan sesuatu. "Memang tahu ini apa?" "Tahu. Candle light dinner, kan? Bule suka banget makan seperti itu," ucapnya berhenti dan menatapku sesaat, seakan sadar dengan wajah ini yang cemberut, "kamu ingin makan model seperti ini, Dek?" "Tidak!" jawabku kesal. Sekilas aku m
"Dewi Larasati? Maukah kamu menyimpan ini sampai hari itu tiba?" Kata-katanya terngiang terus di telingaku. Sampai bangun tidur pun, masih terasa suasana tadi malam. Suara deburan ombak, bau pantai, bahkan wajahku masih merasakan tiupan angin. Senyumku mengembang tiada henti, begitu juga hati ini. Mungkin berubah menjadi merah muda, warna cinta. Ngaco! Orang seperti kami, bebas mengekspresikan cinta. Tidak bisa terbantahkan oleh teori atau ketetapan apapun. Aku ambil kotak kecil pemberian Kak Jazil. Sengaja aku letakkan bawah lampu tidur, semalaman mataku tidak terlepas dari benda itu. Entah berapa kali kubuka untuk memastikan benda yang tersimpan di dalamnya adalah nyata. Sebuah cincin polos terbuat dari emas. Di dalamnya diukir indah inisial kami. ~DL & JE~ Kepanjangan dari Dewi Larasati dan Jazil Ehsan, itu yang dikatakannya. Inilah yang menyempurnakan senyumku. Tadi malam, Kak Jazil juga menunjukkan kotak yang sama. Bedanya, cincinnya terbuat dari p
"Halah! Orang kalau sudah jatuh cinta, tai kucing rasa coklat!" sahut Ibu memotong ucapanku yang sedang ingin membela Kak Jazil."Bu, jangan begitu. Semua tergantung orangnya," ucap Bapak menengahi kami."Itu sudah budaya, Pak. Pokoknya, Ibuk tidak mau! Tidak usah dilanjutkan! Seperti tidak ada laki-laki Jawa saja! Kalau kamu tidak bisa cari, nanti Ibu tanyakan ke teman-teman Ibu!" ujar Ibu dengan nada keras. Dari raut wajahnya, tersirat kalau yang diucapkan Ibu serius. Kekawatiranku memakin pecat melihat reaksi Ibu. Memang Bapak tidak menolak keinginanku ini, tapi melihat wanita yang melahirkanku ini bersikukuh, menyurutkan rasa percaya diri ini."Bu, dengar dulu yang diucapkan Laras," ucap Bapak berusaha mencegah Ibu yang menjauh dari layar ponsel. Samar terdengar teriakan Ibu dari jauh, “Wes sak karepmu! ”Aku menatap layar ponsel dengan gundah, Bapak dan Ibu mulai beradu mulut. Suara mereka terdengar, namun aku tidak mempunyai nyali untuk mendengarkan. Layar ponselpun menggelap t
Hari ini, aku ada jadwal untuk pendampingan di perusahaan Kak Jazil. Jaz Gallery, itu nama yang dia pakai dan Mr. Jaz, panggilan untuknya dari para tamu.Tertulis di kantor memang aku keluar untuk pendampingan kerja, tapi sekarang justru terdampar di pantai bersamanya. "Pagi-pagi tidak ada yang datang. Mereka datang setelah makan siang. Jadi kita jalan-jalan dulu. Bukankan aku tidak pernah mengajakmu keluar selain sekedar makan?" ucapnya saat aku menolak diajak pergi.Aku memang malas aktifitas di alam seperti sekarang. Jalan kaki, berkotor-kotor, dan basah. Pukul enam pagi, Kak Jazil menjemputku. Perjalanan membutuhkan waktu satu jam, ditambah harus berjalan menuruni tebing. Sepanjang jalan menyusuri jalan kecil, aku menguap disela gerutuku. Rasa kantuk dan malas masih menguasai. Namun, genggaman tangan Kak Jazil yang sesekali untuk membantu, yang membuatku tersenyum. Di ujung jalan, kami disambut hamparan pasir putih dengan deburan ombak yang indah. Tidak banyak orang di sini, a
"Tuh, kan. Belum apa-apa sudah marah?" ucapnya dengan tersenyum. "Aku bukan seperti yang kau bayangkan. Maksud kamu, anak pantai yang bisa diajak tidur, gitu?" Aku mengangguk dengan rasa kawatir menunggu jawaban. Dia tertawa terbahak-bahak, mungkin melihat raut wajahku yang terlihat aneh ini."Aku ini anak pondok. Tidak mungkin seperti yang kamu pikirkan. Dosa! " Ucapnya setelah tawa mereda."Di sinilah aku belajar bahasa Inggris. Dengan surving, aku bertemu banyak orang dari berbagai negara dengan budaya dan bahasa berbeda. Bahkan dari macam-macam profesi dan tingkat ekonomi. Dan, dari sini juga, aku memulai bisnis yang ada sekarang." Aku menatapnya dengan takjub. Dia ternyata mempunyai pengalaman yang luar biasa. Aku tidak ada seujung kukunya. Memang titelku sarjana, kursus bahasa Inggris sudah level mahir. Namun untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan mereka, aku merasa ngeri. Belum memulai bicara, lidah sudah menjadi kelu."Aku juga mendapatkan sahabat dan akhirnya mereka me
Setelah matahari mulai naik, kami kembali dari pantai dan singgah di pinggir jalan. Ada payung besar warna pelangi menaungi penjual bubur yang menggunakan sepeda motor. Bubur ketan hitam dan bubur kacang hijau."Kamu mau makan di sini?" tanyanya sambil menunjuk emper toko. Berderet ruko yang masuh tutup menunggu waktu. Kami duduk tak jauh dari tukang bubur yang sibuk melayani pembeli yang mayoritas, karyawan restoran atau hotel yang berangkat kerja. Maklumlah, ini memang di mulut jalan Legian. Jalan yang menjadi surga pejalan kaki untuk belanja atau sekedar menikmati keramaian wisata."Dulu sering aku duduk di sini, mencari nasi bungkus untuk sarapan. Sekalian mencari inspirasi. Lihat kendaraan yang lewat," ucapnya dengan menunjuk jalan. "Jalan ini dua arah, namun yang ramai hanya di satu sisi. Kenapa?" tanya Kak Jazil, menutup ucapannya dengan menyuap bubur kacang hijau kental."Itu ramai di satu sisi, karena waktunya berangkat kerja," jawabku sembari menikmati bubur campur. Aku
Bagaimana tidak, tubuhnya berbayang dari balutan sarung berwarna hitam. Ditambah rambut panjang yang sedikit basah. Apa dia tidak mengerti kalau penampilannya menggangguku? "Kak Jazil! Kenapa tidak ganti pakaian dulu?" "Tidak keburu, Dek. Mr. Andrew sudah dekat, aku harus siapkan berkasnya. Aku baru pulang dari mushola, eh dia telpon. Padahal seharusnya, dia datang satu jam lagi. Tolong pisahkan invoice atas nama dia, ya." Aku mengambil tumpukan nota yang disebutnya invoice tadi. "Mr. Andrew Classy Funiture?" Dia mengangguk. Iya, Mr Andrew yang memberikan kartu nama perusahaan tempatku bekerja. Yang mengantarkan Kak Jazil datang ke tempatku. "Sekalian aku akan mengucapkan terima kasih ke dia!" ucapnya sambil menghentikan sejenak yang dia kerjakan. "Kenapa?" "Karena dia, aku bertemu kamu," ucapnya dengan tersenyum, "ini berkah buatku." Ucapan yang membuatku tersanjung. Tak seberapa lama, Mr Andrew datang. Dia menggunakan mobil sport berwarna putih. Kami berkenalan sejenak