Malam ini, aku berdandan lebih rapi. Kak Jaz bilang, kami akan makan malam di tempat spesial. Baju terusan panjang berwarna putih, terlihat santai tapi tetap feminim. Aku pun memintanya untuk menggunakan baju putih. Biar serasi denganku, itu yang aku tekankan. "Aku ingin candle light dinner, seperti yang pernah kamu tunjukkan itu, Dek" ucapnya tadi. Memang pernah, aku menunjukkan foto saat berselancar di dunia maya. Saat tanganku berhenti di sebuah foto romantis, dia ikut berkomentar. "Apa enaknya makan gelap-gelapan. Lebih baik di tempat terang, kelihatan makanannya. Menurutku, ini cara makan orang yang tidak ada kerjaan. Listrik ada, susah-sudah pakai lilin," celetuknya dengan mendekatkan wajah seperti memastikan sesuatu. "Memang tahu ini apa?" "Tahu. Candle light dinner, kan? Bule suka banget makan seperti itu," ucapnya berhenti dan menatapku sesaat, seakan sadar dengan wajah ini yang cemberut, "kamu ingin makan model seperti ini, Dek?" "Tidak!" jawabku kesal. Sekilas aku m
"Dewi Larasati? Maukah kamu menyimpan ini sampai hari itu tiba?" Kata-katanya terngiang terus di telingaku. Sampai bangun tidur pun, masih terasa suasana tadi malam. Suara deburan ombak, bau pantai, bahkan wajahku masih merasakan tiupan angin. Senyumku mengembang tiada henti, begitu juga hati ini. Mungkin berubah menjadi merah muda, warna cinta. Ngaco! Orang seperti kami, bebas mengekspresikan cinta. Tidak bisa terbantahkan oleh teori atau ketetapan apapun. Aku ambil kotak kecil pemberian Kak Jazil. Sengaja aku letakkan bawah lampu tidur, semalaman mataku tidak terlepas dari benda itu. Entah berapa kali kubuka untuk memastikan benda yang tersimpan di dalamnya adalah nyata. Sebuah cincin polos terbuat dari emas. Di dalamnya diukir indah inisial kami. ~DL & JE~ Kepanjangan dari Dewi Larasati dan Jazil Ehsan, itu yang dikatakannya. Inilah yang menyempurnakan senyumku. Tadi malam, Kak Jazil juga menunjukkan kotak yang sama. Bedanya, cincinnya terbuat dari p
"Halah! Orang kalau sudah jatuh cinta, tai kucing rasa coklat!" sahut Ibu memotong ucapanku yang sedang ingin membela Kak Jazil."Bu, jangan begitu. Semua tergantung orangnya," ucap Bapak menengahi kami."Itu sudah budaya, Pak. Pokoknya, Ibuk tidak mau! Tidak usah dilanjutkan! Seperti tidak ada laki-laki Jawa saja! Kalau kamu tidak bisa cari, nanti Ibu tanyakan ke teman-teman Ibu!" ujar Ibu dengan nada keras. Dari raut wajahnya, tersirat kalau yang diucapkan Ibu serius. Kekawatiranku memakin pecat melihat reaksi Ibu. Memang Bapak tidak menolak keinginanku ini, tapi melihat wanita yang melahirkanku ini bersikukuh, menyurutkan rasa percaya diri ini."Bu, dengar dulu yang diucapkan Laras," ucap Bapak berusaha mencegah Ibu yang menjauh dari layar ponsel. Samar terdengar teriakan Ibu dari jauh, “Wes sak karepmu! ”Aku menatap layar ponsel dengan gundah, Bapak dan Ibu mulai beradu mulut. Suara mereka terdengar, namun aku tidak mempunyai nyali untuk mendengarkan. Layar ponselpun menggelap t
Hari ini, aku ada jadwal untuk pendampingan di perusahaan Kak Jazil. Jaz Gallery, itu nama yang dia pakai dan Mr. Jaz, panggilan untuknya dari para tamu.Tertulis di kantor memang aku keluar untuk pendampingan kerja, tapi sekarang justru terdampar di pantai bersamanya. "Pagi-pagi tidak ada yang datang. Mereka datang setelah makan siang. Jadi kita jalan-jalan dulu. Bukankan aku tidak pernah mengajakmu keluar selain sekedar makan?" ucapnya saat aku menolak diajak pergi.Aku memang malas aktifitas di alam seperti sekarang. Jalan kaki, berkotor-kotor, dan basah. Pukul enam pagi, Kak Jazil menjemputku. Perjalanan membutuhkan waktu satu jam, ditambah harus berjalan menuruni tebing. Sepanjang jalan menyusuri jalan kecil, aku menguap disela gerutuku. Rasa kantuk dan malas masih menguasai. Namun, genggaman tangan Kak Jazil yang sesekali untuk membantu, yang membuatku tersenyum. Di ujung jalan, kami disambut hamparan pasir putih dengan deburan ombak yang indah. Tidak banyak orang di sini, a
"Tuh, kan. Belum apa-apa sudah marah?" ucapnya dengan tersenyum. "Aku bukan seperti yang kau bayangkan. Maksud kamu, anak pantai yang bisa diajak tidur, gitu?" Aku mengangguk dengan rasa kawatir menunggu jawaban. Dia tertawa terbahak-bahak, mungkin melihat raut wajahku yang terlihat aneh ini."Aku ini anak pondok. Tidak mungkin seperti yang kamu pikirkan. Dosa! " Ucapnya setelah tawa mereda."Di sinilah aku belajar bahasa Inggris. Dengan surving, aku bertemu banyak orang dari berbagai negara dengan budaya dan bahasa berbeda. Bahkan dari macam-macam profesi dan tingkat ekonomi. Dan, dari sini juga, aku memulai bisnis yang ada sekarang." Aku menatapnya dengan takjub. Dia ternyata mempunyai pengalaman yang luar biasa. Aku tidak ada seujung kukunya. Memang titelku sarjana, kursus bahasa Inggris sudah level mahir. Namun untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan mereka, aku merasa ngeri. Belum memulai bicara, lidah sudah menjadi kelu."Aku juga mendapatkan sahabat dan akhirnya mereka me
Setelah matahari mulai naik, kami kembali dari pantai dan singgah di pinggir jalan. Ada payung besar warna pelangi menaungi penjual bubur yang menggunakan sepeda motor. Bubur ketan hitam dan bubur kacang hijau."Kamu mau makan di sini?" tanyanya sambil menunjuk emper toko. Berderet ruko yang masuh tutup menunggu waktu. Kami duduk tak jauh dari tukang bubur yang sibuk melayani pembeli yang mayoritas, karyawan restoran atau hotel yang berangkat kerja. Maklumlah, ini memang di mulut jalan Legian. Jalan yang menjadi surga pejalan kaki untuk belanja atau sekedar menikmati keramaian wisata."Dulu sering aku duduk di sini, mencari nasi bungkus untuk sarapan. Sekalian mencari inspirasi. Lihat kendaraan yang lewat," ucapnya dengan menunjuk jalan. "Jalan ini dua arah, namun yang ramai hanya di satu sisi. Kenapa?" tanya Kak Jazil, menutup ucapannya dengan menyuap bubur kacang hijau kental."Itu ramai di satu sisi, karena waktunya berangkat kerja," jawabku sembari menikmati bubur campur. Aku
Bagaimana tidak, tubuhnya berbayang dari balutan sarung berwarna hitam. Ditambah rambut panjang yang sedikit basah. Apa dia tidak mengerti kalau penampilannya menggangguku? "Kak Jazil! Kenapa tidak ganti pakaian dulu?" "Tidak keburu, Dek. Mr. Andrew sudah dekat, aku harus siapkan berkasnya. Aku baru pulang dari mushola, eh dia telpon. Padahal seharusnya, dia datang satu jam lagi. Tolong pisahkan invoice atas nama dia, ya." Aku mengambil tumpukan nota yang disebutnya invoice tadi. "Mr. Andrew Classy Funiture?" Dia mengangguk. Iya, Mr Andrew yang memberikan kartu nama perusahaan tempatku bekerja. Yang mengantarkan Kak Jazil datang ke tempatku. "Sekalian aku akan mengucapkan terima kasih ke dia!" ucapnya sambil menghentikan sejenak yang dia kerjakan. "Kenapa?" "Karena dia, aku bertemu kamu," ucapnya dengan tersenyum, "ini berkah buatku." Ucapan yang membuatku tersanjung. Tak seberapa lama, Mr Andrew datang. Dia menggunakan mobil sport berwarna putih. Kami berkenalan sejenak
Sekarang, kami tinggal menunggu satu lagi pelanggan. Dia orang Itali, namanya Vallentina. Kalau Valentino Rossi aku tahu, dia pembalap laki-laki yang rambutnya keriting dan bernomor empat puluh enam. Namun ini nama perempuan. Cantikkah dia?"Istirahat saja dulu, rebahan sana. Biar saya selesaikan di gudang belakang sebentar," ucap Kak Jazil menunjuk joglo kecil tempatku membersihkan badan tadi. Yah, sekalian salat Ashar, pikirku. Juga, bisa meluruskan punggung, apalagi tempat tidurnya empuk.Mungkin dia mengerti, beberapa kali aku menguap. Tadi pagi tidurku kan kurang, itulah penyebabnya.Namun, kalau aku keterusan tertidur dan tamu perempuan itu datang, bagaimana? Aku tidak bisa mengawasi apa yang terjadi. Atau .... Jangan-jangan, Kak Jazil menyuruhku supaya dia bisa bebas bersama perempuan itu? Ih, dasar laki-laki! Aku mendengus kesal, melotot ke arahnya."Kenapa? Melihatnya kok gitu? Pasti ada yang dipikirkan, ya?" Dahinya berkerut, mungkin heran dengan ekspresiku yang berubah. Ap