Sasikirana
Sebelum semua jadi runyam, aku langsung meninggalkan kamar hotel itu tanpa berkata apa-apa lagi sama si Om-om. Biarin aja dia pusing menghadapi wartawan. Eh, kenapa jadi ada wartawan di sana? Memangnya si Om itu artis? Kok nggak pernah lihat? Ah, bodoh amat.
Ya ampun! Itu wartawan sempat ambil foto gue, batinku panik.
Sesaat keresahan yang sempat hinggap sirna begitu saja, ketika melihat pantulan diri di cermin lemari berukuran besar. Aku menatap diri sendiri yang tampak begitu berbeda dari penampilan sehari-hari. Tawa kecil keluar begitu saja dari sela bibir. Nggak akan ada yang bisa mengenaliku dengan penampilan seperti ini.
Roh sialan itu berhasil mengembalikan penampilanku ke wujud asli. Rambut lurus panjang, kulit wajah mulus, mata berwarna cokelat kehijauan dan tidak ada kacamata menghiasi wajah. Ya, beginilah diriku sesungguhnya. Berbeda dengan penampakan sehari-sehari ke kantor. Kalian akan mengetahui bagaimana visual fisikku sehari-hari setelah ini.
Sekarang aku harus mencari keberadaan roh wanita yang masuk ke tubuhku tadi malam. Di mana dia? Apa benar-benar sudah menghilang dan kembali ke tempat seharusnya ia berada? Huh!
“Lagi apa sih, Kak?” Tiba-tiba sosok tak kasat mata yang kerap berlalu lalang di kosan ini bertanya.
Aku menatap malas kepada remaja perempuan yang dulu pernah kos di sini. Dia meninggal karena cairan semprot nyamuk yang tanpa sengaja masuk ke dalam minumannya. Konyol sekali kalau dipikir-pikir. Seberapa banyak sih cairan itu, sehingga bisa menyebabkannya meninggal?
“Lo lihat cewek yang tadi malam merengek pinjam tubuh gue nggak?” tanyaku sembari melucuti pakaian satu per satu menyisakan bagian dalam.
Aku benar-benar lega setelah memastikan nggak ada bekas lecet di tubuh ini. Artinya, nggak terjadi apa-apa antara aku dan si Om-om itu. Setelah memastikan kulitku masih mulus, kepala kembali menoleh kepada roh remaja tadi.
Dia menggelengkan kepala, sehingga rambut sebahunya ikut bergoyang. “Dari tadi malam nggak lihat tuh, Kak. Udah balik kali ke sana.”
Kedua tangan langsung mengepal erat di samping tubuh, bersamaan dengan entakkan kaki ke lantai.
“Emang kenapa sih, Kak? Dia nggak pamit?”
“Au ah, pergi gitu aja nggak bilang-bilang,” sahutku malas menceritakan apa yang terjadi tadi malam. Segera diraih handuk dari belakang pintu kamar, lalu melingkarkannya di tubuh.
“Tumben Kakak pulang pagi? Emang diapain sih sama si Mbak merah itu?”
Aku hanya mengangkat bahu singkat, kemudian memilih keluar menuju kamar mandi yang terletak nggak jauh dari kamar. Harus buru-buru berangkat ke kantor biar nggak telat. Mana dua jam lagi sudah waktunya masuk.
Secepat kilat segera kubersihkan tubuh, khawatir banget telat. Bisa dipecat nanti. Apalagi kantor tempatku bekerja peraturannya ketat banget. Konon yang punya perusahaan terkenal sadis. Nggak ada toleransi buat orang yang nggak disiplin. Serem, ‘kan? Bisa dipecat nanti kalau sampai ngaret.
Selesai mandi, aku kembali ke dalam kamar. Segera diraih perlengkapan yang biasa dikenakan ke kantor. Baju kemeja dipadu dengan celana kulot berwarna hitam. Pakaianku sehari-hari didominasi warna gelap seperti; hitam, cokelat, biru tua dan abu-abu tua. Sehingga memberi nuansa suram sesuram hidupku yang dikelilingi aura menyeramkan dari makhluk tak kasat mata.
Begitu setelan itu terpasang, aku langsung mengambil alat pengeriting rambut dan menggulung asal rambut panjang lurusku. Setelahnya, tangan ini bergerak lincah mengacak lagi tatapan rambut yang ikal barusan. Alhasil, rambut lurus ini berantakan dan tampak seperti kribo. Aku langsung mengikatnya.
Sampai di sini sudah terlihat satu perbedaan penampilanku dengan yang tadi, ‘kan? Masih ada lagi yang belum kalian tahu.
Sekarang saatnya memberikan noda cokelat gelap berbentuk bintik kecil di daerah tulang pipi hingga batang hidung. Dalam dua menit, wajah yang tadi mulus, sekarang dipenuhi flek cokelat. Aku juga mengenakan softlens berwarna hitam untuk menutupi warna asli mataku yang berbeda dengan orang Indonesia kebanyakan. Sentuhan terakhir, sebuah kacamata berukuran besar sudah menghiasi wajah.
Nggak ada yang tahu penampilan asliku, selain sahabatku Anindira dan hantu-hantu penghuni kosan ini. Orang-orang yang tinggal di sini hanya tahu fisikku yang sekarang. Oleh karena itulah, nggak perlu ada yang dikhawatirkan jika foto tadi pagi tersebar ke mana-mana. Haha!
***
Sepanjang perjalanan menuju kantor, aku berusaha mengingat lagi apa saja yang dilakukan tadi malam. Oke, dimulai saat taksi online yang dipesan si Roh wanita menepi di klub malam yang ada di daerah Kemang. Sampai masuk ke tempat orang dugem, nggak ada keanehan. Aku masih ingat apa yang terjadi sampai dia memesan cocktail, setelah duduk di bar atau apalah namanya aku lupa. Padahal tadi malam roh itu berceloteh menjelaskan nama-nama yang ada di dalam klub.
Sesuai dengan janji yang telah diucapkan, roh itu hanya mengendus aroma cocktail yang nyaris membuatku muntah. Ketika duduk menikmati musik yang dibawakan oleh DJ (Disk Jockey) … ya Tuhan! Aku baru ingat pernah melihat arwah yang ada di kamar hotel tadi, saat berada di area dance floor.
Tanpa sengaja tatapan mata kami bertemu beberapa saat. Dia pasti sadar kalau aku bisa melihat dirinya. Apa mungkin ini semua ulahnya? Ah, nggak mungkin. Nggak ada yang bisa masuk ke tubuh ini tanpa seizinku.
Kembali lagi merunut kejadian tadi malam, ingatanku hanya sampai duduk di meja. Aku berada di sana sekitar tiga puluh menit. Memori terakhir hanya sampai waktu itu, setelahnya nggak ingat lagi apa yang terjadi.
“Wooi! Hati-hati dong bawa motornya,” teriak seorang pengendara motor dengan lantang ketika melintasiku. Tangan otomatis menekan rem di setang kiri, kemudian di setang kanan. Sepeda motor butut yang menemaniku selama lima tahun belakangan, langsung berhenti.
Suara klakson mobil diiringi decitan terdengar dari arah belakang. Aku menoleh ke arah berlawan dan melihat mobil mewah berhenti tepat di belakang. Kubungkukkan sedikit tubuh untuk permintaan maaf. Setelahnya kendaraan tersebut langsung pergi entah ke mana.
Selesai menenangkan diri, aku kembali memacu motor ini menyusuri Jalan KH. Hasyim Ashari, Jakarta Pusat. Nggak lama kemudian, kendaraan roda dua memasuki gedung tempatku bekerja tiga bulan belakangan.
Begitu motor terparkir dengan sempurna, aku bergegas melangkah menuju lift. Bagian tempatku bekerja ada di lantai sepuluh. Jika kotak besi ini nggak penuh, aku akan tiba di ruang kerja sepuluh menit lagi. Artinya lima belas menit lebih awal dari jadwal bekerja.
Embusan napas lega meluncur begitu saja ketika melihat lift sepi, hanya ada roh penunggu lift yang berdiri mematung di sudut kanan. Wajah roh tersebut tampak begitu sendu, asap hitam juga mengitari dirinya. Aku mengabaikannya, seolah nggak melihat kehadiran roh pria paruh baya itu. Begitulah salah satu cara, agar aku bisa bertahan di perusahaan ini. Nggak boleh ada yang tahu dengan kemampuanku melihat makhluk tak kasat mata.
Segera ditekan tombol 10 dan dalam hitungan menit kotak ini berhasil berhenti lebih cepat dari perkiraan. Ada banyak karyawan di koridor, tapi nggak satu pun yang menghiraukan kehadiranku. Mereka beranggapan seolah diri ini nggak pernah ada di sini. Ya, kalian benar. Karena penampilan yang jauh dari kesan cantik, aku dikucilkan. Gimana dengan cowok? Sudah pasti nggak pernah melirikku.
Lantas, apakah aku sedih? BIG NO!! Justru itulah yang diharapkan. Terlalu malas rasanya meladeni pria-pria yang hanya tertarik dengan fisik, begitu tahu dengan ‘kelebihanku’ mereka langsung menjauh ketakutan. Itulah kenapa, hingga saat ini status jomlo masih melekat dan belum berubah sejak sepuluh tahun belakangan.
Yeah, dulu sekali, aku pernah berpacaran. Hanya tiga hari. Kami putus setelah ada roh yang mengganggu dan dia berpikir aku ini gila, ketika berusaha mengusir roh itu. Sudahlah, lebih baik sendiri seperti ini daripada pacaran dalam waktu singkat. Sakit banget.
“Tumben telat,” sapa teman satu kantor yang masih mau mengajakku berbicara, namanya Linda. Kami nggak dekat, hanya berkomunikasi seperlunya saja.
“Ada kendala tadi pagi,” sahutku tersenyum samar.
Setelah melakukan absen dengan finger print, aku langsung masuk ke dalam ruang kerja. Di sinilah tempatku menghabiskan hari-hari, selain di kamar kosan. Tempat yang selalu sibuk dan cukup bising, karena nggak pernah diam. Semua karyawan di ruangan ini selalu berbicara tanpa mengenal lelah.
Aku bekerja di bagian contact center service salah satu perusahaan rintisan yang bergerak di bidang traveling, Liburan.com. Hanya bagian ini yang mau menerima gadis berpenampilan sepertiku, karena mereka lebih memilih karyawan bersuara lembut dan enak didengar daripada fisik yang menarik. Poin utama dari pekerjaan ini adalah kesabaran, karena kalian akan lebih mendengar omelan pelanggan dibandingkan pertanyaan seputar cara pemesanan.
“Guys, pastikan meja rapi. Tidak boleh ada sampah, apalagi benda selain botol minum di atas meja.” Seorang Team Leader menghampiri row sebelah kanan ujung, tempatku berada.
“Kenapa sih, Kak?” tanya salah seorang karyawan yang ada di sampingku.
“Pak Bos mau berkunjung tiga puluh menit lagi. Jangan sampai ada yang ngobrol, apalagi salah handling call.”
Pak Bos di sini pasti pemilik perusahaan Liburan.com. Dengar cerita yang pernah ketemu sih, orangnya dingin banget plus angkuh. Nggak pernah tersenyum dan … kalau lihat ada karyawan yang datang telat langsung disikat habis. Dia paling benci sama orang yang nggak disiplin. Ruang kerja juga harus rapi. Sekali lihat sampah, Supervisor yang bertugas langsung dipecat.
Hah! Orang kaya bebas mau melakukan apapun. Padahal kesalahan-kesalahan kayak gitu nggak berakibat fatal bagi perusahaan, apalagi sampai menyebabkan kerugian. Dasar nggak berperikemanusiaan!
Sepuluh menit menjelang jam kerja dimulai, aku harus log-in beberapa akun yang biasa digunakan untuk bekerja. Mulai dari email, e-centrix (aplikasi yang digunakan untuk menerima panggilan pelanggan), confluence (semacam Wikipedia, seluruh cara penanganan keluhan ada di sini) sampai aux (aplikasi untuk menghitung waktu istirahat dan toilet).
“Yang udah log-in, langsung standby! Lagi kiwing nih,” teriak RTFM (Real Time Floor Monitoring), orang yang memastikan SL (Satisfaction Level) memenuhi target. Dia juga yang mengatur jadwal break para karyawan di sini.
Aku langsung menekan tombol standby. Biasanya menjelang jam makan siang, banyak telepon yang masuk dari pelanggan. Berbagai macam pertanyaan kerap diajukan mereka yang mengalami kendala dalam pemesanan.
Tiga keluhan akhirnya masuk ke line e-centrix milikku. Beruntung masalah mereka nggak sulit, sehingga bisa ditangani dengan cepat. Ketika incoming call mereda, aku melihat Team Leader, Supervisor dan Operation Manager bergegas berdiri di kedua sisi pintu. Pasti sebentar lagi orang yang paling killer di perusahaan ini masuk.
Ketika melihat empat orang memasuki ruangan, sebuah panggilan masuk lagi ke line-ku. Pandangan kembali fokus menatap layar LED berukuran besar ini.
“Liburan.com saatnya liburan dengan satu jari tanpa rasa khawatir. Dengan Sasi di sini, ada yang bisa dibantu?” sapaku setelah panggilan tersambungkan.
“Mbak, saya tadi melakukan pembayaran. Sudah lima belas menit, kenapa belum terkonfirmasi juga?” keluh pelanggan.
“Mohon maaf atas kendala yang dialami. Sebelumnya, bisa diinformasikan dengan Ibu siapa saya berbicara saat ini?”
Pelanggan tersebut memberitahukan namanya. Setelah meminta nomor pemesanan, aku langsung melakukan pengecekan di TAP. Dalam hitungan detik kendala yang dihadapi langsung terdeteksi. Dengan cepat, masalah tersebut langsung dieskalasikan kepada tim Payment yang menangani masalah pembayaran.
“Kenapa tidak minta menunggu sepuluh menit lagi? Nambah kerja tim Payment aja kamu,” kata suara berat dan serak yang pernah kudengar sebelumnya.
Perlahan kepala menoleh ke samping kanan dan melihat lima orang berpakaian sangat rapi berdiri tepat di sebelahku. Mata langsung melebar seiringan dengan jantung berdebar cepat, ketika melihat pria yang mengenakan setelan jas abu-abu dengan kaus polos berwarna hitam di bagian dalam. Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat. Di mana ya?
Otak yang nggak terlalu pintar ini langsung berpikir keras mengingat siapa orang ini gerangan. Shit!!!
“Om aneh?!” seruku nyaris memekik saat menyadari dialah pria yang bersama denganku di kamar hotel tadi pagi.
“Om?” keningnya berkerut dalam. Tergambar rasa terkejut yang nggak bisa disembunyikan dari wajahnya yang sangat kaku.
Benar, dia si Om-om yang tadi pagi. Aku ingat banget dengan sorot mata sipit, rahang dan … suara serak berat itu. Ngapain dia ada di sini?
Bersambung....
Keinginan Sasi nggak bertemu lagi dengan si Om-om kandas sudah. Hahaha
Melviano“Selamat datang, Pak Melviano,” sambut Operation Manager bagian contact center service.Hanya anggukan kepala yang diberikan kepada pria berkepala botak tersebut. Pandangan mata mengitari ruangan yang luas, karena ada ratusan karyawan bekerja di sini. Mereka semua tampak duduk di kubikel dengan serius.Divisi ini yang memiliki peranan penting bagi perusahaan start up yang baru kubangun. Karyawan di bagian CCS menjadi tameng perusahaan dalam menghadapi pelanggan. Mereka juga yang menjadi pelampiasan kekesalan para pengguna jasa aplikasi, jika mendapatkan kendala.Jika ditanya divisi mana yang masuk daftar seleksi paling ketat, CCS-lah jawabannya. Tidak hanya kemampuan dalam menyerap mate
SasikiranaApa yang terjadi hari ini sungguh di luar dugaan. Pertama, aku terbangun bersama dengan pria asing. Kedua, pria yang bersamaku semalaman ternyata orang yang memiliki perusahaan tempat diri ini bekerja. Ketiga, dia memanggilku ke ruangan meeting. Awalnya berpikir si Om itu mau memecatku, karena dinilai salah handling pelanggan. Ternyata pikiranku salah, dia hanya menanyakan apakah kami pernah bertemu sebelumnya atau nggak.Tunggu! Dia nggak mengenaliku, ‘kan? Mustahil si Om-om itu tahu aku wanita yang bersamanya di kamar hotel tadi pagi. Benar, ‘kan?Sumpah, aku takut banget dipecat. Mau kerja di mana dengan penampilan kayak gini? Ya ampun, hidu
MelvianoSeperti janji tadi siang, malam ini aku dan Franky bertemu di klub malam untuk melihat rekaman CCTV sebelum kesadaranku hilang. Aku yakin sekali ketika meninggalkan gedung klub, kondisiku sudah tidak sadar.Sayang sekali masing-masing private room di klub ini tidak dipasang kamera pengawas. Alhasil kami hanya bisa melihat rekaman yang ada di lorong menuju ruangan yang telah disewa tadi malam.“Tuh lihat, Mel,” cetus Franky saat melihat rekaman saat aku keluar bersama dengan seorang perempuan.Dalam video tersebut, aku berjalan terhuyung ke kanan dan kiri. Sementara perempuan itu yang menopang tubuh ini. Dari pakaian dan postur tubuhnya, dia bukanlah wanita yang bersama denganku tadi pag
SasikiranaDua hari kemudianGagal sudah melihat rekaman CCTV. Pihak klub nggak berikan izin, karena alasan pivasi. Privasi ini hanya berlaku untuk orang miskin sepertiku, bukan orang kaya seperti si Om. Aku yakin banget dia ke sana melihat rekaman waktu itu.Akhirnya kuputuskan untuk melupakan kejadian itu. Toh nggak ada kerugian apa-apa juga. Sampai sekarang nggak seorang pun yang tahu kalau perempuan yang bersama si Om adalah aku. Beritanya sampai heboh tuh di media online. Lega juga wajahku disamarkan, jadinya hanya rambut dan postur badan saja yang terlihat. Itulah yang diketahui dari gosip yang beredar di kantor.“Gila juga ya Pak Melviano. Ngamar sama cewek,” ujar seorang senior saat incoming call
MelvianoPagi ini dibuat pusing dengan omelan dan ancaman Mama. Sekarang beliau tidak main-main. Frustasi sekali dengan pemberitaan tentangku akhir-akhir ini. Jadi merasa bersalah, karena tidak lagi bisa membuatnya bangga dalam kehidupan personal. Aku boleh saja berhasil menjadi seorang pengusaha, namun gagal menjadi seorang anak.Aku menatap lekat wajah yang kini meneteskan air mata. Sungguh, sebenarnya tidak ingin membuat wanita yang telah melahirkanku ini bersedih.“Sampai kapan kamu seperti ini, Vian? Lebih baik Mama mati saja daripada mendengar berita negatif tentangmu,” isaknya sambil menepuk dada sendiri.Aku menggenggam kedua tangannya. “Aku minta maaf, karena nggak bisa jadi anak yang baik buat Mama.”“Aku ja
SasikiranaApa dia ngelamar gue? Ini nggak mimpi, ‘kan? Kenapa tiba-tiba? Apa karena gue masih kelihatan cantik dengan dandanan kayak gini, jadinya dia tertarik?Bibir yang tadi ternganga kini kembali tertutup rapat. Kepala sampai miring ke kiri saking kagetnya. Ini nggak salah dengar, ‘kan? Dia memang mau mengajakku nikah, ‘kan? But why?“Bapak … nggak lagi bercanda, ‘kan?” celetukku masih dalam keadaan bingung.Dia terdiam beberapa saat. Raut wajahnya sekarang tampak kacau. Pasti lagi banyak pikiran. Atau tadi itu cuma mengajak bercanda, karena tahu aku takut dipecat.“Maksudnya, saya mau minta tolong sama kamu,” ujar Pak Melviano sema
MelvianoDi luar dugaan, Sasi ternyata tidak setuju begitu saja dengan tawaran yang diberikan. Sebenarnya dia perempuan seperti apa? Saat banyak wanita ingin mendapatkanku, tapi dia malah menolak. Sungguh aneh dan ajaib gadis itu.Sebentar, apa dia ingin bermain tarik ulur denganku? Jika seperti itu, Sasi salah orang. Dia bermain dengan orang yang salah.Hingga saat ini, dia masih belum menghubungiku. Sebentar lagi waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi tidak ada tanda-tanda dari Sasi. Bagaimana jika dia benar-benar tidak mau? Harus dicari ke mana wanita sinting itu?Suara ketukan pintu menyentakkan lamunan. Itu pasti Vidya.“Masuk,” sahutku singkat.“Pak Franky datang, Pak,”
Sasikirana“Bapak kok gitu sih? Perhitungan banget.” Aku mulai kesal karena si Om, malah mengambil kesempatan dengan kejadian ini. “Biaya operasinya 15 juta, Pak. Uang segitu bagi Bapak kecil kok.”Dia mendesah sambil mengusap kening yang ukuran terlihat ideal di parasnya. Aku jadi paham kenapa banyak kaum hawa mengagungkan pria ini, bahkan mau menikah dengannya.“Maaf, Mbak. Bagaimana dengan jaminan biayanya? Pasien sudah harus dioperasi sekarang, karena air ketuban mulai berkurang.” Tiba-tiba bidan datang menghampiri.Aku menoleh dengan tatapan memelas kepada Pak Melviano. Berharap ia mau membantu tanpa pamrih.“Biar saya yang urus administrasinya, Sus,” cetus Pak Melviano membuatku terkejut.Ternyata di balik sikap dinginnya, masih terselip rasa kemanusiaan yang tinggi.“Syukurlah. Mari, Pak. Setelah administrasi selesai, suami pasien bisa menandatangani surat p