Share

Keris Bunga Bangkai
Keris Bunga Bangkai
Penulis: Rytíř

01 - Ambisi dan Nafsu

Setiap keinginan, terlepas itu sesuatu yang baik atau buruk, selalu menuntut pengorbanan. Bahkan keinginan yang mulia sekalipun, tak jarang berakhir tragis dan menjadi penyesalan bagi mereka yang tak bisa menahan diri.

Itulah yang terjadi pada seorang prajurit gagah perkasa, yang membaktikan hampir seluruh hidupnya untuk kebaikan orang banyak. Setelah kematiannya, dia meninggalkan istri dan anak yang hampir tak merasakan kehilangan. Karena mereka sudah kehilangan dirinya jauh sebelum kematiannya.

“Yang tabah yo, ndok!” pesan seorang perempuan tua terhadap janda yang masih terlihat sangat muda itu.

Meski wanita itu nampak kuat, tak sedikitpun ada kesan sedih dan kelemahan pada dirinya. Namun perempuan tua tersebut masih nampak khawatir terhadapnya. Karena seorang janda yang masih begitu cantik dan belia itu sekarang ditinggal suami tanpa seorangpun penjaga.

Sementara anak laki-lakinya masih sangat muda. Apa lagi mereka tinggal di pinggir hutan, agak jauh dari rumah-rumah penduduk desa lainnya.

“Rangkabumi adalah pahlawan dan kebanggaan desa ini. Jika ada masalah, jangan sungkan mendatangi kami,” pesan kepala desa sebelum dia dan penduduk desa lainnya memutuskan untuk pergi dari kuburan tersebut.

Di depan batu nisan itu, setelah semua tangis dari khalayak ramai sirna dan meninggalkannya, tinggallah istri dan satu orang anak dari kesatria itu di sana. Mereka berdua hanya terdiam tak tahu harus bereaksi bagaimana, karena mereka sudah terbiasa belajar hidup ditinggalkan sejak lama oleh sang kesatria.

Kepergiannya sekarang tak lagi begitu menyedihkan mereka. Satu-satunya yang mereka pikirkan saat ini adalah bagaimana untuk terus hidup setelahnya. Karena sang kesatria yang dielu-elukan sebagai pahlawan itu tak meninggalkan harta selain rumah sederhana dengan kebun sempit di belakangnya.

“Kamu dengar, Rangkahasa!” seru sang ibu pada anaknya. “Jangan biarkan keinginanmu membuatmu buta, tak peduli seberapa mulianya keinginanmu,” pesannya di depan kuburan suaminya yang mati sebagai seorang pahlawan itu.

Wanita itu pun mengelus rambut anaknya dengan penuh perhatian. “Apa lagi, jika keinginanmu itu sudah menyangkut kehidupan orang lain,” lanjutnya menasehati dengan penuh penekanan.

“Baik, Bu!” jawab anak tersebut, meski mungkin dia sendiri belum sepenuhnya mengerti akan pesan yang diterimanya.

Sang ibu menepuk bahu anaknya tersebut dua kali, sekadar memberitahu sudah saatnya mereka pergi meninggalkan tempat pemakaman. Namun anak laki-laki tersebut masih menyempatkan berdiam diri di depan pusara ayahnya.

Dia tak tahu kalau wejangan dari ibunya tadi berhubungan dengan kondisi ayahnya itu. Namun tetap saja, ayahnya adalah seorang pahlawan baginya. Dia hanya ingin sedikit lebih lama mengenang dan merasakan kebanggaan tersebut di dalam dadanya.

Ibunya terhenti sesaat, menoleh ke arah anaknya. “Rangkahasa?” panggilnya dengan nada yang lembut.

Anak laki-laki itu akhirnya pergi meninggalkan pusara ayahnya, membalas senyuman ibunya dengan senyuman yang tak kalah lembutnya.

Menjelang senja, mereka sampai di halaman rumah mereka yang letaknya cukup terpencil jauh dari penduduk lainnya. Sang anak meminta izin pada ibunya untuk pergi ke tempat di mana dia biasa menambatkan sapi-sapi piaraannya. Tak mungkin sapi-sapi itu dia biarkan bermalam di luar sana.

“Jangan terlalu lama. Sebentar lagi gelap, nak!” pesan sang ibu sebelum dia memasuki rumah mereka yang sederhana sendirian.

Begitu wanita itu masuk ke dalam rumah, alangkah terkejutnya ia ketika menemukan seorang laki-laki sudah duduk menantikan kedatangannya di dalam rumah. Wajah yang tak asing baginya. Namun ketidakasingan itu justru membuatnya merasa tidak nyaman berada satu ruangan dengannya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya wanita tersebut. “Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Aku bisa saja memanggil warga desa untuk datang ke sini dan melaporkanmu sebagai perampok,” ancamnya.

Laki-laki itu malah tersenyum seakan tak peduli dengan sambutan tak ramah si tuan rumah yang tak menerima kehadirannya. Dia pun berdiri, dan berjalan menghampiri wanita itu.

Hal itu membuat wanita tersebut semakin risih. Dia mengeluarkan belati dari kantong yang terbuat dari anyaman daun pandan yang dijinjingnya, dan langsung menghunuskannya pada laki-laki tersebut.

Laki-laki itu santai saja terus berjalan ke arahnya. Masih dengan senyuman yang sama seakan tak peduli sama sekali. Namun ternyata dia terus berjalan menuju pintu keluar, yang pada akhirnya membuat wanita itu sedikit lega.

Hanya saja, begitu wanita itu berbalik, laki-laki itu ternyata menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

“Kenapa tidak coba saja berteriak?” tanya laki-laki itu dengan seringainya yang buruk.

“Mungkin masih ada dedemit yang masih mau menolongmu,” lanjutnya seakan mengejek peluang wanita itu untuk mendapatkan bantuan. “Atau kau bisa meminta bantuanku untuk mengisi kesepianmu setelah kematian suamimu,” lanjutnya dengan tatapan yang penuh nafsu.

Wanita itu nampak tak senang dan menatap laki-laki itu dengan tatapan merendahkan.

“Kau tahu, sifatmu yang kotor seperti inilah yang membuatku tak pernah bisa menerimamu. Tak peduli seberapa gagah dan perkasanya dirimu, aku yakin tak ada satupun wanita di dunia ini yang akan mau menerimamu,” jawab wanita tersebut.

Namun laki-laki itu masih tetap dengan seringai jeleknya. Seperti sadar kata-katanya sudah tak lagi ada artinya, wanita tersebut bergegas menuju dapur hendak melarikan diri lewat pintu belakang.

Laki-laki itu mencabut sebuah keris dari pinggang bagian belakangnya, dan langsung menancapkannya ke lantai kayu dari rumah. Seketika itu juga, bagian di mana keris itu tertancap langsung berubah seperti onggokan daging.

Daging itu nampak berdenyut, terus menjalar dan menyebar dengan cepat ke seluruh isi rumah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arif Fajar
masih nyimak...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status