Sudah seharian Rangkahasa belum juga sadarkan diri. Anak gadis bernama Lastri itu sesekali mengintip ke dapur karena penasaran. Dia sudah memastikan sebelumnya kalau Rangkahasa bukanlah setan atau dedemit. Tapi dia tetap saja kembali datang mengintip beberapa kali ke sana.
Ibunya yang sedang sibuk memeras parutan kelapa tentu sudah menyadari tingkah gadis itu sedari tadi. Dia nampak tersenyum sedikit jenaka melihat kelakuan Lastri yang aneh tersebut. Namun dia mengerti juga kondisi Lastri yang sudah begitu lama tak bertemu orang lain selain dia dan suaminya.
Dia pun menoleh, memergoki Lastri yang berdiri di balik jendela dan membuat gadis itu sedikit salah tingkah.
“Kenapa kamu berdiri di situ? Ke sinilah, bantu Ibu di dapur,” serunya.
Lastri pun masuk ke dapur, masih mencuri-curi pandang penasaran ke arah Rangkahasa. Setelah itu dia duduk di dekat ibunya, sama s
Malamnya Rangkahasa ikut makan bersama Waradana dan keluarganya. Dia terlihat sangat sungkan, membuatnya bertingkah kikuk dan serba salah. Namun Waradana mengalihkan perhatian Rangkahasa dengan obrolan ringan untuk membuatnya merasa nyaman. “Jadi, dari mana kamu berasal?” tanya Waradana. “Dari desa Talang Asri,” jawab Rangkahasa. “Desa Talang Asri? Bukankah itu desa di perbatasan bagian timur Kerajaan Cakradwipa?” tanya Waradana beretorika. “Benarkah? Aku tak begitu ingat,” balas Rangkahasa nampak bingung dan kikuk. Reaksi bingung Rangkasaha sedikit membuat Waradana penasaran. Begitu juga dengan Arsih. Sementara Lastri masih saja menundukkan pandangan, tak jelas apa yang sedang dipikirkannya. “Sudah lebih dari tujuh tahun aku tidak ke sana,” lanjut Rangkahasa
Sebelum tidur, Lastri mendatangi Rangkahasa yang saat ini masih berada di dapur. Dia datang membawakan makanan untuknya. “Maafkan aku soal kejadian tadi. Karena kamu muntah, aku khawatir perutmu masih kosong. Aku membawakanmu makanan, takut nanti kamu merasa kelaparan malam-malam.” Lastri yang masih merasa tidak enak langsung memilih ke luar. Namun dia berbalik dan sedikit menoleh sesaat ke arah Rangkahasa, hanya sesaat, sebelum akhirnya benar-benar pergi. Esok paginya, Rangkahasa terbangun oleh kegaduhan yang terdengar dari luar. Begitu dia mengintip dari celah di dinding papan, Rangkahasa melihat Lastri sedang berlatih pedang bersama ayahnya. Karena penasaran, dia pun keluar dan kemudian duduk bersandar di dinding dapur sembari memperhatikan mereka dari kejauhan. “Sudah bangun saja, Rangkahasa?” tegur Arsih dengan pertanyaa
Sudah satu minggu Rangkahasa menetap di rumah Waradana. Sementara tujuh orang teman-temannya dari Panji Keris Bertuah masih sibuk mencari dirinya dan juga Mergo di sisi lain gunung Jompang. Saat ini mereka mengamati keadaan Benteng Watukalis dari kejauhan di sebuah lereng bukit. Memang cukup jauh mereka mengamatinya, karena mereka tak berani mendekati tempat tersebut. Saat ini, Benteng Watukalis kembali menerima serangan pasukan dari Kerajaan Gamawuruh. “Ngotot juga mereka kembali menyerang setelah apa yang terjadi di peperangan sebelumnya,” tutur Yudhi. “Apa kau bisa mengenali mereka?” tanya Yasa. “Dari bendera yang mereka bawa, jelas-jelas itu prajurit dari Kerajaan Gamawuruh. Tapi ada yang aneh,” papar Yudhi berkomentar. Laki-laki bernama Yudhi ini terkenal memiliki daya pengamatan yang terbaik di antara ket
Beberapa saat kemudian, reaksi Yasa kembali berubah, nampak mencoba memantapkan diri. Tatapan matanya memperlihatkan seseorang yang sudah siap dengan resiko terburuk sekalipun. “Bima, kamu kembalilah dan bawa Yodha ke sini. Kita membutuhkannya. Sementara itu bilang pada Yudhi dan Basran untuk terus mengawasi di sana,” seru Yasa. Bima mengangguk sekali dengan tegas dan langsung bergerak menuju lereng bukit di kaki gunung Jompang ke tempat rekannya yang lain. Apa rencanamu, Yasa?” tanya Lindo Aji. “Kita akan menyelinap ke sana. Jika memang Sabdo membawa Mergo dan Rangkahasa ke sana, besar kemungkinan mereka di tahan dalam penjara,” jelas Yasa. “Kalian masih ingat lokasinya, kan?” lanjutnya bertanya memastikan. “Apa tidak terlalu ramai jika kita menyelinap berlima?” Lindo Aji kembali bertanya.
Dua prajurit menghadangnya dan langsung menebaskan pedang mereka. Lindo Aji merunduk beberapa kali menghindari sabetan pedang mereka sembari menyayat tendon otot di bagian bawah ketiak salah satu dari mereka. Dia langsung berputar setelah itu dan satu belatinya menyerempet leher dari prajurit lainnya. Satu prajurit mati, sementara yang satunya lagi melepaskan pedang karena tak lagi bisa menggunakan satu lengannya. Sesaat kemudian, Lindo Aji langsung kembali melompat mundur menghindari beberapa tombak yang dilempar ke arahnya. “Siapa orang ini? Gerakannya terlalu sulit ditebak,” teriak prajurit lain setelah melemparkan tombaknya. “Tak usah pikirkan itu, mereka hanya bertiga,” teriak yang lainnya. Ketika Lindo Aji hendak kembali maju, Yodha menahan bahunya. “Ingat, tujuan kita hanya untuk m
Satu orang prajurit lainnya langsung melempar tombak. Yasa menepisnya dengan busur panahnya. Sementara itu, Aryan langsung berlari dari belakang Yasa, menghadang kedua orang prajurit tersebut. Karena tahu tempat itu sempit, Aryan memilih menggunakan belatinya untuk menghadapi mereka. Di saat dia sedang menyibukkan satu orang penjaga, satu prajurit lainnya yang begitu leluasa langsung menebaskan pedang ke arah punggung Aryan. Namun Aryan abai saja karena tahu saat ini anak panah Yasa pasti sudah melesat ke arah prajurit itu. Satu anak panah menghujam di leher prajurit tersebut, sementara Aryan juga sudah berhasil menghujamkan belatinya beberapa kali ke rusuk prajurit yang dihadapinya. “Penyusup!” lontar prajurit itu mencoba mengingatkan yang lainnya. Namun dia tak bisa berteriak begitu keras, sementara rongga mulutnya sudah dipenuhi darah karena luka dalam yang di
Raut wajah para tahanan itu kembali diselimuti oleh keputusasaan. Kecuali seorang senopati hebat seperti Mahandaka yang sampai saat ini masih terlihat tenang.Namun lebih dari keputusasaan para tahanan itu, Yasa dan Aryan sama sekali tak bisa menyembunyikan rasa frustasinya. Aryan masih saja berdiri membelakangi mereka sejak dihentikan oleh Mahandaka, masih menunduk membisu dengan kesuramannya. Sementara Yasa hanya bisa meremas jeruji besi dari penjara yang tak kunjung bisa dilumatnya.Lalu kemudian perhatiannya teralihkan oleh sikap seorang tahanan yang saat ini nampak berbisik ke telinga Mahandaka. Bahkan raut wajah Mahandaka pun nampak sedikit berubah terlihat olehnya.“Ada apa?” tanya Yasa pada Mahandaka.“Maaf, sepertinya dia tak berani menyampaikannya secara langsung pada kalian karena dia sendiri tidak merasa begitu yakin. Katanya, Sebelum pasukan
Sebagian besar para tahanan itu masih nampak khawatir dan juga penuh harap. Namun satu orang di antara mereka terlihat tidak senang dan dia pun mulai menggerutu. “Enaknya jadi anak dari prajurit yang berpangkat,” cetusnya. Kata-kata itu terkesan sedang menyindir Senopati Mahandaka, satu-satunya komandan mereka yang tersisa saat ini. Meski begitu, Mahandaka diam saja mengabaikannya, kembali duduk bersandar di dinding pejara. “Apa kau tak sadar, berada di luar sana jauh lebih berbahaya ketimbang berada di sini?” bantah seorang prajurit lainnya dengan beretorika. “Kenapa kau mengirim anakmu, Mahandaka? Dia masih terlalu muda untuk ini,” ujar prajurit lainnya. “Dia sudah bukan lagi anak-anak. Aku tak ingin dia terus-terusan manja dan lunak seperti itu. Sebagai seorang ayah, aku perlu mempercayainya untuk sedikit saja, memberinya kesempatan untuk mengemban amanah yang berat,” jelas Mahandaka. “Tapi kenapa harus sekarang?” bantah yang lainnya, merasa waktunya tidak tepat jika hanya unt