LOGIN"Dari mana saja kamu?! Jangan bawa sifat jalangmu ke rumah ini!!"
Katya menghabiskan waktunya dengan berkutat di dapur untuk mempersiapkan semua hidangan dalam do'a bersama. Sang kakak dan para tetangga memperlakukannya seperti virus menular yang mematikan, tak ada dari mereka yang mau dekat-dekat dengannya. Katya sebenarnya tidak keberatan, menyiapkan semua hidangan itu memang kewajibannya sebagai anak. Dia tak mengeluh sedikitpun hanya saja dia ingin sekali mengunjungi makam ibunya... Menuntaskan rasa rindu pada sosok baik hati yang menjadi satu-satunya sandarannya setelah sang ayah berpulang bertahun-tahun yang lalu. Dan tentu saja itu tak bisa dilakukan saat siang hari dengan sang kakak yang masih ada di rumah mengamatinya seperti sipir penjara. "Mbak belum pulang?" "Pulang? Kamu lupa ini rumah ibuku." Katya memejamkan matanya, tubuhnya terlalu lelah untuk berdebat. Rumah ini memang sudah menjadi hak miliknya, bagian dari warisan yang diberikan orang tuanya, tapi tentu saja dia tidak bisa seenaknya mengusir kakaknya. Bagaimanapun sang kakak juga berhak ada di rumah masa kecilnya ini. "Baiklah." Katya buru-buru masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya rapat-rapat. Dia rindu ibunya. Rasa rindu yang semakin menyakitkan saat menyadari sekarang dirinya dan sang ibu bukan hanya berbeda rumah, tapi juga berbeda alam. Katya membaringkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang, tapi tiba-tiba dia bangkit kembali... Terburu-buru membuka pintu kamarnya dan menuju kamar mandi di luar. Begitu pintu tertutup dia buru-buru menumpahkan isi perutnya dan terduduk lemas di lantai kamar mandi saat selesai. Kepalanya pusing, bumi rasanya berputar dengan sangat cepat. Dia berusaha berpegangan pada pinggir bak kamar mandi, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk berdiri. Jadi dia hanya bisa... tertawa. Tawa getir tanpa kebahagiaan yang membuat dadanya sakit seperti mau meledak. Tak akan lagi ada yang peduli padanya meski dia mati saat ini juga. Dengan tubuh masih lunglai, Katya memaksa tubuhnya untuk berdiri dan dengan tertatih kembali ke kamarnya. "Kamu tidak hamil bukan?!" Ternyata sang kakak sejak tadi sudah berdiri diam di depan pintu kamr mandi, menatapnya mata menyipit curiga. "Mbak bicara apa sih, mana mungkin aku hamil! Mbak saja butuh dua tahun untuk hamil." Katya mencoba berkelakar tapi pandangan kakaknya makin tajam menatapnya. "Tentu saja beda, aku bukan wanita murahan sepertinya yang suka tidur dengan sembarang orang." Sekali lagi Katya mencoba menyabarkan dirinya. Kakaknya tak salah dia memang telah tidur dengan laki-laki yang bukan suaminya. "Aku tahu," jawab Katya pendek lalu buru-buru berjalan kembali ke kamarnya. Itu tidak mungkin bukan... Dia tidak mungkin hamil.....mereka hanya melakukannya sekali dan dia juga tidak sedang dalam masa suburnya. Katya menggelengkan kepalanya, kakaknya pasti salah... Tuhan tidak mungkin menitipkan janin di dalam perutnya. Ini terlalu berat untuknya.... Katya menggenggam tangannya kuat, mencari kekuatan pada dirinya sendiri, mengucapkan kata "Tidak mungkin hamil." Seolah itu mantra tapi ucapan kakaknya tadi tak juga mau hilang dari benaknya. Dia menghitung sampai seratus, mencoba menenangkan dirinya supaya bisa berpikir jernih. Sekarang tak ada lagi ibu yang bisa dia andalkan. Satu-satunya saudara yang dia punya bahkan tak peduli apa yang terjadi padanya. Perlahan Katya membuka pintu kamarnya, rumah sudah sepi, entah kemana sang kakak tadi,tapi Katya itu lebih baik. Paling tidak kucingnya aman dari omelan kakaknya yang sama sekali tak membantu. “Bahkan saat ibu meninggal pun... kamu tidak mau mengubah kebiasaan burukmu itu!” Katya langsung menoleh dan sang kakak sudah berdiri dengan tangan di pinggang menatapnya dengan sinis. entah dari mana datangnya seperti hantu saja, datang tak dijemput pulang tak diantar. “Aku mau ke apotik dulu,” kata Katya dengan lemah. “Cih! Pergilah! Jangan kembali kalau bisa!” Katya tak tahu apa maksud kakaknya, dan tak ingin tahu. Perlahan dia mengeluarkan motornya. Dia harus memastikan satu hal. Dengan canggung Katya mengatakan kalau butuh testpack, sikapnya itu malah membuat si mbak penjaga apotik curiga padanya. "Ehmmm! Apa saya bisa mendapatkannya?" Tanyanya sekali lagi sambil berusaha keras melawan rasa canggung dan gugup yang menyerangnya. "Ehh... I-iya bisa..." Katya tak menunggu lama untuk mendapatkan apa yang diinginkannya setelah membayar dia buru-buru keluar dari sana, tapi dia sedang tak ingin bertemu kakaknya, di sisi lain dia harus mencari tahu kebenaran ucapannya. Mini market dua puluh empat jam menjadi pilihannya, dia bisa menumpang kamar mandi di sana. “Apa saya bisa numpang ke kamar mandi?” tanya Katya pada kasir yang berjaga, untunglah dia sempat membeli masker tadi dan menutupi wajahnya. “Silahkan.” Di bilik kamar mandi kecil yang pengap dan bau itu Katya menunggu dengan dada berdegub kencang. Garis itu terbentuk... awalnya hanya satu tapi perlahan secara samar satu garis lagi muncul. Katya tahu jelas apa artinya. Dia hamil. Seperti perkiraan kakaknya. Hasil dari kejadian malam itu. Dunianya runtuh seketika itu juga. Ini terlalu berat untuknya. Dia tak sanggup. Dia membuka pintu kamar mandi dengan pikiran kosong, bahkan saat berpapasan dengan karyawan mini market dia tak repot-repot menyapanya. Dunia yang telah dia tata dengan tekad dan air mata nyatanya hancur dalam sekejap mata. Semuanya telah hancur tak bersisa. Dia hanya ingin menemui ibunya untuk mengadukan kebodohannya ini. Biasanya ibunya sangat toleran dengan kesalahannya. Katya yakin jika dia menemui sang ibu secara langsung dia akan mendapatkan maafnya. Katya kembali melajukan motornya, malam ini begitu dingin, bahkan dia tak menggunakan jaket atau helm. Andaikan saja dia tidak dengan bodohnya menerima tawaran itu, tentu sekarang dia masih bisa melihat senyum ibunya. Meski dia harus pontang-panting untuk mendapatkan uang. Ironisnya dia melakukan semua itu untuk kesembuhan ibunya, tapi seolah tak rela dia mendapatkan uang bukan hasil keringatnya sang ibu memilih pergi ... Meninggalkanya sendiri tanpa menoleh lagi. Udara yang semakin dingin tak menyurutkan niat Katya, dengan pikiran kacau dia berjalan ke tepi jembatan. Menatap air suangai yang beriak mengerikan. Jembatan ini cukup tinggi. Jika dia jatuh... Dia pasti mati... Dia tak akan merasakan penderitaan ini lagi, dan yang pasti anak dalam kandungannya tak juga merasakannya. Katya berusaha naik ke atas jembatan. Meski sukit dan licin dia tak ingin menyerah, sampai akhirnya dia berhasil naik dan menatap sekali lagi pada pusaran air kencang di bawah sana. Katya memejamkan matanya bersiap akan melompat, saat itulah wajah sang ibu terlihat jelas dalam pikirannya. Wajah teduh yang bersimbah air mata kesedihan. Katya tak pernah sanggup melihat itu semua dia menggeleng. Kesedihan dan air mata sang ibu adalah hal yang tak pernah dia inginkan. Katya membuka matanya. Dibawah sana pusaran air masih mengalir dengan kencang. Ibu pasti akan membencinya jika dia melakukan ini.Katya menyadari satu hal. Selama dia menjadi asisten Prof. Erland dia bahkan tak tahu rumahnya. Laki-laki itu terlalu misterius jika menyangkut urusan pribadinya. Prof Erland lebih suka bertemu dengan dengannya di kampus atau cafe. Jalan satu-satunya adalah menghubungi ponselnya dan meminta bertemu. "Apa beliau sudah tidur?" Gumam Katya saat panggilannya tak juga diangkat, jam di layar ponselnya masih menunjukkan pukul sepuluh malam, dan biasanya jam segini Prof. Erland masih berbalas pesan dengannya. Atau beliau tak sudi lagi berhubungan apapun dengannya. Pemikiran itu sangat mengerikan untuk Katya. Bukan salah prof. Erland memang kalau memutuskan seperti itu. Ini memang salahnya. Dan dia akan membawanya sampai kapanpun juga. Wanita itu mendongak menatap langit, dia tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Hidupnya sudah hancur tak bersisa. Untuk mengakhiri hidup seperti yang dia lakukan tadi pun dia sama sekali tak punya keberanian lagi. "Pak bisakah kita bertemu sebentar
Perlahan Katya turun dari atas jembatan. Niatnya pupus sudah. Dia tak sanggup menjalani hidup ini tapi untuk mati dia juga tak berani.Keadilan memang sulit dia dapatkan. Pada intinya memang dia yang bodoh mau saja melakukan hal itu. Katya tak pernah punya keinginan untuk membalas dendam. Akan tetapi hatinya begitu sakit saat tahu dia harus menanggung semua akibat kesalahannya seorang diri, sedangkan sutradara dalam drama ini melenggang bebas dan mendapatkan apa yang dia inginkan. Prof. Ben tak berhak mendapatkan proyek itu dan mungkin saja semua proyek yang dia dapatkan dengan cara licik. Dia memang lemah dan tak berdaya tapi semutpun bisa mengalahkan gajah jika dia mau. Dengan semangat itu, Katya kembali menjalankan motornya kali ini dia akan pulang kembali ke rumahnya. Malam belum terlalu tua, jika perkiraannya benar jam delapan malam dia sudah akan sampai ke tempat yang dia tuju. Semoga saja kakaknya sudah pulang kembali ke rumahnya, jadi dia tak perlu ber
"Dari mana saja kamu?! Jangan bawa sifat jalangmu ke rumah ini!!" Katya menghabiskan waktunya dengan berkutat di dapur untuk mempersiapkan semua hidangan dalam do'a bersama. Sang kakak dan para tetangga memperlakukannya seperti virus menular yang mematikan, tak ada dari mereka yang mau dekat-dekat dengannya. Katya sebenarnya tidak keberatan, menyiapkan semua hidangan itu memang kewajibannya sebagai anak. Dia tak mengeluh sedikitpun hanya saja dia ingin sekali mengunjungi makam ibunya... Menuntaskan rasa rindu pada sosok baik hati yang menjadi satu-satunya sandarannya setelah sang ayah berpulang bertahun-tahun yang lalu. Dan tentu saja itu tak bisa dilakukan saat siang hari dengan sang kakak yang masih ada di rumah mengamatinya seperti sipir penjara. "Mbak belum pulang?" "Pulang? Kamu lupa ini rumah ibuku." Katya memejamkan matanya, tubuhnya terlalu lelah untuk berdebat. Rumah ini memang sudah menjadi hak miliknya, bagian dari warisan yang diberikan orang tuanya, tapi
Katya berlari seperti orang gila. Dia bahkan tak peduli berapa orang yang dia tabrak sepanjang lorong ini. Informasi yang dia dapat berhasil membuat tubuh dan jiwanya yang lelah bisa berlari sekuat tenaga untuk mencapai tempat itu, bahkan kalau bisa dia ingin langsung saya menghilang dan muncul di sana, sayang dia hanya manusia biasa bukan jin atau orang sakti yang bisa melakukannya. “Mbak bagaiamana–“ Plakkk!!!Tamparan itu sangat keras. Tubuhnya terhuyung hingga jatuh menabrak tong sampah. Bunyi kontangan menarik lebih banyak orang untuk memperhatikan. Namun tak ada yang tergerak membantunya bangun. Tak ada yang ingin menjelaskan. “Mbak, apa–“Plakkk!!!Lagi-lagi ucapannya tak selesai, sebuah tamparan kembali menyapanya, kali ini dia bisa merasakan cairan asin mulai merembes dari celah bibirnya. Jangan ditanya bagaimana sakitnya, tapi rasa malu lebih mendominasi saat ini, apalagi beberapa orang menyeletuk. “Itukan perempuan yang menggoda dosennya.” “Benar! Aku masih ingat wa
“Pak… Tolong pelankan… Ini pertama kalinya bagiku.”“Pelankan? Bukankah kamu yang membawa kita sampai ke sini?!”Suara desahan itu bercampur dengan derit ranjang dan nafas berat seorang pria dewasa. Katya membeku, tangannya berusaha mencari sandaran di tembok.Suara itu—suara dirinya sendiri—bergema dari layar ponsel di tangannya.Tubuhnya merinding. Tangannya menutup mulut, air mata menetes tanpa suara.“I—ini tak mungkin…” Ponsel di tangannya terlepas, jatuh ke lantai. “Ke—kenapa video itu bisa tersebar?!”Ting! Ting! Ting!Notifikasi bertubi-tubi masuk, memecah sunyi kamarnya.“Katya, video itu… jangan bilang…”“Gila! Kenapa kamu bisa ada di video dengan Pak Erland?!”“Dasar najis! Selama ini nilai kamu bagus karena kamu tidur dengan dosen, ya?!”Dunia yang dulu ia perjuangkan kini menelannya hidup-hidup.Seolah bisa mendengar satu per satu impian yang telah susah payah dia bangun kini berderak ambruk. Tubuhnya luruh di lantai. Ini pasti mimpi. Bagaimana–mungkin?! Sekali lagi dia







