Netraku terbuka lebar, merasakan nyeri di sekujur tubuh. Peralatan medis tengah bertengger di mana-mana, lagi-lagi membuat diri meringis. Kenapa harus aku yang mengalami kesakitan bertubi-tubi?Aku mendesah sedih, bahkan hingga saat ini hanya Mami yang setia menemani. Di mana kamu kak Anna? Segitu bencinya sama aku, hingga menolak untuk ikut ke luar Negeri.Air mataku mengalir deras, merasa lelah dengan penyakit yang tak kunjung usai. Kenapa bukan kakak yang sakit, bukan aku!Tuhan memang tidak adil, selalu aku yang menjadi sasaran. Itulah sebabnya, aku tak pernah ingin melihat kakak bahagia."Anne." Mami menggeliat, tubuhnya terlihat lebih kurus sekarang. Dengan kantung mata ya
"Mami kecewa sama kamu Anna," ucap Mami di depan semua orang. Tahu bagaimana rasanya hatiku? Remuk, seremuk-remuknya.Sedang Anne terlihat mengulum senyum, ia sama sekali tak merasa iba atas apa yang tengah terjadi pada diriku.Apa aku bilang, sembuh tak membuat Anne sadar. Begitupun dengan Mami, mereka lebih bringas sekarang. Menuduh, tanpa bukti yang kuat."Gimana dong Mami? Gaunnya rusak kayak gini, sial emang nih nggak teliti jadi orang," tuding sang pelanggan. Sebab, mendapati kerusakan di bagian gaun paling bawah.Kemarin semua baik-baik saja, sebelum mereka datang mengacaukan. "Anda yakin tidak merusaknya sendiri, Miss?"Aku menelisik perubahan wajah si pembeli, semua gaun meman
Jantungku berdetak kencang, hari ini dokter Adi akan membawa serta kedua orang tuanya untuk melamar secara resmi.Hati riang nan gembira, semoga sang pujaan akan menjadi pria terakhir yang menyusup di dalam kehidupan.Masalah lamaran ini, kututup rapat dari Anne juga Mami. Terlebih dengan kejadian kemarin, jelas Papi tahu dan marah besar.Namun, kutahan mati-matian. Menunggu waktu yang tepat untuk membalas semua perlakuan mereka, harus ada bukti siapa yang bersalah di sini bukan?Setengah jam berlalu, dan dokter belum jua datang dari waktu yang sudah ditentukan. Aku mendesah resah, tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak enak.Mencoba menelpon berkali-kali tetap tak ada jawaban, apalagi pesan
SAH!SAH!SAH!Air mataku meluncur deras, sang pujaan begitu lancar dalam mengucap ijab qobul. Hari yang kusangka menjadi lamaran resmi, justru dihadiahi dengan pernikahan tak terduga.Tak begitu banyak yang datang, hanya keluarga dan beberapa tetangga. Mengingat persiapan ini, pasti sangat terbatas jua mendesak.Namun, semua ini tak penting. Toh, kami menikah bukan atas dasar tanda kutip kecelakaan!Dokter Adi dan Papi, pasti sudah membahasnya secara matang. Hanya saja, Mami begitu tega dengan tak hadir di hari bahagiaku.Terang saja ia begitu enggan, ada Anne yang pasti melarang
"Kamu tahu, sebenarnya ... Aku sedikit nggak suka dengan sifatmu yang keras kepala itu." Dokter Adi berucap, sembari menyentuh daguku agar kami bisa saling bertukar pandang.Aku merenggut, sifatku keras karena didikan dari Mami. Harusnya tak ada yang boleh menyalahkan diriku, siapapun termasuk suami!Andai, semua orang tahu bagaimana mennderitanya aku karena ketidakadilan yang Mami ciptakan. Pasti, tak akan berkomentar semena-mena.Menjadi aku tuh nggak mudah, sangat sulit. Dan butuh perjuangan yang amat melelahkan, "Yasudah. Aku nggak maksa, kamu suka atau nggakpun bukan hakku!"Kutepis lengan kekarnya dengan kasar, tusukan penyesalan makin terasa sekarang. Kenapa harus membahas orang lain, di malam pertama kami. Yang harusnya, diisi dengan penuh k
"Mami mohon, Anna. Kasihanilah adikmu, hidupnya selalu malang tak berkesudahan." Mami merintih, sembari terus menitikan air mata. Seolah dirinyalah, yang tengah diselimuti kedukaaan.Aku mengembuskan napas enggan, tak mau lagi terjebak dalam kepalsuan Mami. Bukan egois, tapi, ada kalanya diri berjuang untuk mempertahankan!Anggap saja, ini satu hukuman untuk wanita yang sudah melahirkanku ke dunia. Sikapnya yang tak adil, membentuk diriku menjadi seperti sekarang.Kutatap sekeliling rumah, Papi dan istrinya sedang berada di luar. Dan itu dijadikan kesempatan Mami, untuk datang dengan permintaan konyol.Di mana ada, seorang istri mau berbagi suami dengan wanita lain? Terlebih, adik sendiri.
"Kamu harus ikhlas, Anna. Apapun yang terjadi pasti atas seizin Allah." Begitu katanya, ketika Papi melihatku yang sedang gusar. Menantikan Mas Adi, yang belum pulang jua.Entah maksud ikhlas menurut Papi itu apa? Tapi, yang kutahu saat ini Mas Adi memang sedang di rumah sakit. Mengurus Anne, yang tak kunjung membaik.Ucapan Papi sama sekali tak membuat hati tenang, malah semakin gusar. Berpikir yang iya-iya, tentang mereka berdua.Berpikir, apa tak ada dokter pengganti? Hingga harus suamiku yang terus sibuk, mengurus adikku yang malang itu.Dering pada telpon, menghentikkan pikiran yang sedang berkecamuk. Ada nama Mas Adi di sana, segera kuangkat dan menetralkan segala rasa resah yang terus mengungkung.&nbs
"Kalau kamu tetap bersikeras, lebih baik kita berpisah. Aku nggak mau, membiarkan hati terus dilukai." Berujar dengan penuh ketegasan, kutatap sang suami lekat. Amukan Anne kemarin, benar-benar sudah keterlaluan!Kami bertiga duduk di ruang tamu, dengan ketegangan yang terus menyelimuti. Jangan tanya ke mana istri Papi, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan dunianya sendiri.Mas Adi tampak gusar, sembari memijat pelipis yang mungkin terasa pusing. Sama, aku juga merasakan hal tersebut secara berulang."Apa, nggak ada jalan lain sayang? A-ku nggak mau pisah." Aku berdecak kesal, selalu bilang tidak mau berpisah. Tapi, kenyataan begitu peduli pada Anne hingga sekarang.Papi hanya terdiam sedari tadi, i