Beranda / Romansa / Kesayangan Tuan Elian / Bab 4 - Dasi yang miring, dan benteng yang rapuh

Share

Bab 4 - Dasi yang miring, dan benteng yang rapuh

Penulis: Pipin
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-11 12:50:58

Duka di kediaman Baskara berangsur sepi dari pelayat, namun menyisakan keheningan yang menyesakkan. Pagi ini adalah hari pertama Elian kembali ke Baskara Group. Pria itu turun dari lantai atas dengan setelan jas abu-abu gelap. Aura dinginnya kembali tegas, seolah siap menelan siapa pun yang menghalangi langkahnya.

​Rinjani sudah menunggu di dekat pintu utama. Matanya yang jeli menangkap satu detail kecil yang luput dari perhatian suaminya.

​"Tuan," panggil Rinjani.

​Elian menghentikan langkah, menoleh dengan tatapan menuntut. "Ada apa?"

​"Maaf, Tuan. Dasi Tuan... miring."

​Elian menyentuh dasi sutranya. Ia menggeram frustrasi saat mencoba merapikan simpul itu dengan gerakan kasar, namun jemarinya yang lelah justru membuat kain itu berkerut.

​"Sialan," umpat Elian lirih.

​Naluri menolong Rinjani terpicu. Ia melangkah mendekat, tangannya terulur ragu. "Tuan Elian, boleh saya bantu? Saya bisa merapikannya."

​Bukannya sambutan baik, bantuan itu justru dianggap sebagai penghinaan bagi ego Elian yang sedang rapuh.

​"Tidak perlu!" bentak Elian. Suaranya menggelegar di lobi yang sunyi, membuat Rinjani tersentak hingga tubuhnya membeku. Mata besarnya seketika berkaca-kaca.

​"Aku bisa sendiri! Jauhkan tanganmu!" Elian mendorong angin di depan Rinjani secara refleks. "Tugasmu diam dan patuh, bukan mengurusi kelemahanku!"

​Rinjani mundur dengan napas tersengal, wajahnya pucat pasi. Elian yang melihat tubuh mungil itu gemetar merasakan sedikit penyesalan, namun egonya terlalu tinggi untuk sekadar meminta maaf. Ia merapikan dasinya seadanya, lalu berbalik tanpa menoleh lagi.

​"Aku tidak pulang cepat hari ini. Pastikan semuanya teratur," ucapnya dingin sebelum membanting pintu utama hingga dinding mansion bergetar.

​Di kantor Baskara Group, Elian disambut oleh tatapan hormat sekaligus gunjingan tersembunyi. Namun, suasana hatinya sedikit mencair saat bertemu Alexa, sekretaris pribadinya yang selalu tahu cara mengelola emosinya.

​"Selamat pagi, Tuan Elian," sapa Alexa dengan senyum profesional. Ia mendekat, memperhatikan penampilan bosnya. "Dasi Anda sedikit miring, Tuan. Tapi saya yakin, tidak ada satu pun direksi yang berani berkomentar."

​Kata-kata Alexa sederhana, namun berhasil menembus lapisan es Elian tanpa menyinggung egonya.

​"Terima kasih, Alexa," sahut Elian, suaranya melunak. Di dunia ini, ia adalah penguasa yang efisien. Ia meninggalkan keretakan emosinya di rumah, terkubur di bawah tumpukan laporan keuangan yang harus diselesaikan.

​Sementara itu, di rumah Baskara, Rinjani mencoba memulihkan ketenangannya. Rasa penasaran mulai mengalahkan ketakutannya. Jika ia tak bisa menyentuh hati Elian di masa kini, ia harus memahami apa yang membuat pria itu begitu memuja masa lalunya.

​Langkahnya membawa Rinjani menuju lantai dua, lorong gelap yang ujungnya terdapat satu pintu yang selalu terkunci, kamar mendiang Kirana.

​Rinjani teringat sesuatu. Beberapa hari lalu, saat membereskan pakaian Elian, ia menemukan sebuah kunci perak kecil di laci nakas. Dengan tangan gemetar, Rinjani mengambil kunci itu. Ini adalah bentuk pembangkangan pertamanya terhadap kontrak mereka.

​Klik.

​Pintu mahoni itu terbuka. Aroma lavender yang samar, Aroma kesukaan Kirana, langsung menyergap indra penciumannya. Kamar itu luas dan terang, berbeda dengan kamar Elian yang suram. Semuanya tertata rapi, seolah sang pemilik hanya pergi sebentar dan akan segera kembali.

​Rinjani melangkah ragu, menyentuh meja rias yang masih dipenuhi perhiasan mahal. Matanya beralih ke sebuah bingkai foto. Di sana, Kirana tersenyum riang di samping Elian. Senyum Elian dalam foto itu begitu cerah dan tulus, sesuatu yang tak pernah Rinjani lihat secara langsung.

​Di sudut ruangan, pada rak buku arsitektur yang menjulang, terselip sebuah buku harian berwarna biru tua. Rinjani menariknya perlahan. Hatinya berdegup kencang seirama dengan rasa bersalah yang membayangi tindakannya.

​Ia membuka halaman pertama. Tulisan tangan yang anggun menyapanya.

​23 Januari. Elian memberiku ini. Dia bilang aku harus mencatat semua hal indah, karena hidup terlalu singkat untuk melupakan kebahagiaan.

​Rinjani duduk di tepi ranjang. Ia tahu ini salah. Melanggar privasi adalah dosa besar dalam perjanjian mereka. Namun, bayangan senyum Elian untuk Sarah dan bentakan kasar tadi pagi mendorongnya lebih jauh. Ia harus tahu siapa Kirana sebenarnya. Ia harus memahami luka yang membuat Elian membeku.

​Dengan napas tertahan, Rinjani membalik halaman demihalaman.Namun, di tengah-tengah catatan yang terlihat manis itu, sebuah kalimat pendek membuat jarinya mendadak kaku.

"Dan hari ini, aku melihatnya lagi... cara dia menatap Sarah. Kenapa saat kita bersama, aku dan Sarah, dihadapan Elian, aku hanya seperti bayang-bayang?"

​Rinjani terperanjat. Buku itu nyaris jatuh dari genggamannya. Ternyata, "surga" yang selama ini diagungkan Elian memiliki retakan yang sama dengan pernikahannya sekarang. Kebenaran yang mulai terkuak di tangannya terasa jauh lebih berat daripada kunci perak yang ia curi tadi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 13 - Hampir Saja

    Elian melajukan mobil dengan kecepatan tinggi setelah meninggalkan rumah Dian. Suasana di dalam mobil kembali tegang. Mereka telah melakukan perjalanan selama sekitar satu jam ketika tiba-tiba mobil melenceng tajam ke kanan. "Tuan!" teriak Rinjani karena mobil mereka hampir saja menghantam pembatas jalan. Beruntung, Elian dengan cepat menginjak rem. Mobil berhenti mendadak di bahu jalan. "Aku mengantuk sekali," gumam Elian, meletakkan dahinya di kemudi. Dia diam di sana, beberapa saat. Sudah satu jam mereka berjalan, dan Rinjani tetap tidak tahu arah tujuan mereka yang sesungguhnya. "Tuan, ingin istirahat sejenak?" tanya Rinjani hati-hati, tidak ingin memicu amarahnya lagi. "Ya. Aku tidak berniat mati muda," ucapnya. Elian menegakkan badannya, merogoh saku jasnya, dan menyerahkan dompet kulit tebalnya, lalu membuka kunci mobil. "Aku akan tidur sebentar," kata Elian

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 12 - Mawar dan Bunga Liar

    "Duduk, Rinjani. Ceritakan padaku, bagaimana rasanya menjadi pengganti Kirana?"Rinjani menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia tidak boleh bereaksi emosional, tetapi ia harus mempertahankan martabatnya."Saya tidak pernah menjadi pengganti Kirana, Bu Dian," jawab Rinjani, suaranya tenang sedikit bergetar. Dian tertawa renyah, tawa yang menusuk seperti jarum. "Oh, tentu. Benar sekali! Tidak ada yang bisa menggantikan Kirana."Dian bangkit, berjalan mengitari Rinjani, mengamati Rinjani dari ujung kepala hingga ujung kaki. Elian masih duduk di sofa seberang, pura-pura sibuk menonton berita, tetapi Rinjani tahu Elian mendengarkan setiap kata."Kamu tahu, Nak?" Dian berhenti di belakang Rinjani. "Kirana itu seperti Bunga Mawar yang berharga—anggun, mahal, dan sulit didapatkan. Dan kamu?" Dian kembali ke depan Rinjani, matanya menyiratkan penghinaan total. "Kamu terlihat seperti sampah. Sederhana, mudah didapatkan, dan tidak berkelas. Jelas sek

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 11 - Seseorang yang melebihi "pedasnya" Elian

    Rinjani bangun dengan memar di pipinya yang tertutup riasan tipis. Ia bersiap-siap untuk kembali ke mode patuh. Pukul lima pagi, saat Rinjani membereskan ruang makan, Elian menuruni tangga. Ia sudah berpakaian rapi, siap untuk keberangkatan."Tuan Elian..." sapa Rinjani, menghindari kontak mata."Aku akan di luar kota selama seminggu,Kamu ingin ikut?" TawarnyaRinjani terkejut. Itu adalah tawaran yang tak terduga, terutama setelah kekerasan semalam."Tuan ingin mengajak saya ke luar kota?" ucap Rinjani, nada suaranya terdengar senang, sejenak melupakan tamparan semalam. Ia melihat kesempatan untuk keluar dari rumah yang terasa seperti penjara ini."Ada pekerjaan, dan di sana aku lebih mudah mengawasimu," Elian menjelaskan alasannya dengan dingin, menghancurkan ilusi romantis Rinjani. "Aku tidak ingin ada Cleo lain yang mendekati 'milikku'.""Persiapkan semua yang aku butuhkan, dalam setengah jam. Kita akan berangkat pukul enam pagi,"

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 10 - Logika Yang Lumpuh

    Ia segera berbalik, menyambar jubah mandinya, dan keluar kamar dengan langkah kaki yang berat. Amarahnya sudah di ubung-ubun. Saat ia tiba di teras, Cleo sudah tidak terlihat, sementara Rinjani bersiap masuk ke rumah. Langkah gadis itu terhenti seketika saat melihat sosok Elian menghalangi pintu, tampak mengerikan di bawah cahaya lampu teras yang temaram. "Tuan..." suara Rinjani tercekat, jantungnya mencelos melihat kilatan amarah di mata suaminya.Elian tidak membalas. Tanpa peringatan, ia mengangkat tangannya yang dingin.Plaaaak!Tamparan keras itu memecah kesunyian malam. Kepala Rinjani terhempas ke samping, rasa panas menjalar hebat di pipi kirinya. Ia memegang wajahnya dengan napas tersengal, air mata langsung merembes jatuh karena kaget dan perih yang luar biasa."Tuan, ada apa? Apa salah saya?" tanya Rinjani dengan suara bergetar hebat.Elian tidak membentak. Ia justru membungkuk, mendekatkan wajahnya hingga Rinjani bisa merasakan napasnya yang mematikan. "Murahan," bisiknya

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 9 - Badai

    Rinjani berdiri di taman samping, mencoba mengusir rasa sepi dengan menyiram deretan krisan yang mulai layu. Suara langkah kaki di atas kerikil membuatnya menoleh. ​"Siang, Nyonya," sapa Cleo. Pemuda itu berdiri dengan posisi tegak, tangan tertaut di depan tubuh—posisi formal seorang bawahan. ​Rinjani mematikan keran air, lalu menyeka peluh di keningnya. "Tuan Elian membawa mobil sendiri?" ​"Benar, Nyonya," jawab Cleo kaku, pandangannya tertuju lurus ke depan, seolah takut salah menatap. ​Rinjani tertawa kecil melihat kekakuan itu. Ia meletakkan selang air ke rumput. "Jangan bersikap terlalu kaku begitu, Cleo. Aku sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan semua formalitas ini. Anggap saja kita sedang di desa." ​"Maaf, Nyonya... saya hanya menjalankan prosedur rumah ini." ​"Prosedur itu untuk Tuanmu, bukan untukku," sahut Rinjani santai, mencoba mencairkan suasana. Ia duduk di pinggiran pembatas semen taman. "Jadi, apa yang biasanya kamu lakukan kalau sedang bosan? ​Cleo tampak rag

  • Kesayangan Tuan Elian   bab 8 - Trauma & cinta tak tersentuh

    Setelah memesan makanan, Rinjani kembali ke dapur. Makanan yang dipesan datang lima belas menit kemudian. Rinjani memisahkan nasi goreng kebuli Elian dan sup ayamnya. Ia membawa tas makanan itu, jantungnya berdebar, siap kembali melayani.Saat Rinjani berjalan di lorong menuju ruang kerja Elian, ia tiba-tiba berhenti. Pintu ruang kerja yang tadinya tertutup rapat, kini sedikit terbuka. Dan ia mendengar suara lain di dalam."Nona Sarah," bisik Rinjani. Rinjani terlihat menenteng kantong makanan, diam sejenak, di depan pintu ruang kerja Elian dia berdiam diri lama. Ia tidak berani melangkah masuk, takut merusak momen yang jelas-jelas intim itu."Aku senang kamu berkunjung," sapa Elian, nadanya yang lembut itu kembali muncul, sama seperti saat di hari duka."Kamu terlihat kurang sehat. Kantung mata itu," ucap Sarah, penuh kekhawatiran yang tulus.Tangannya terulur ke kening Elian, mengukur suhu tubuh pria itu. Sentuhan itu membuat senyuman kecil yang jarang terlihat itu kembali muncul d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status