Home / Romansa / Kesayangan Tuan Elian / Bab 5 - Rahasia Dibalik Pintu yang selalu tertutup rapat

Share

Bab 5 - Rahasia Dibalik Pintu yang selalu tertutup rapat

Author: Pipin
last update Last Updated: 2025-12-12 13:32:10

Rinjani membuka halaman berikutnya.

15 Februari.

Sarah, kenapa aku bisa secemburu ini? Dan kenapa aku merasa kalau kata cinta dari Elian tidak sepenuhnya hadir untukku? ​Aku tahu Elian sangat mencintaiku. Dia merawatku seperti ratu, dia membelikanku rumah. Tapi saat dia menatapku, kadang aku melihat bayangan lain—bayanganmu. Aku tahu dia sudah mencoba mengubur perasaannya padamu, tapi hatinya yang beku itu, apakah aku yang membuatnya beku, ataukah ia memang sudah mati rasa sejak lama? Aku lelah mencoba mencairkan sesuatu yang bahkan tidak yakin ingin dicairkan.

Rinjani menelan ludah. Jadi, Kirana juga merasa Elian tidak sepenuhnya hadir? Rasa sakitnya sendiri kini terasa divalidasi oleh duka mendiang istri Elian.

Di halaman berikutnya kosong. Rinjani membalik halaman demi halaman yang kosong, sampai di bagian tengah buku harian itu. Tiba-tiba, ia menemukan tulisan tangan Kirana lagi, kali ini lebih cepat, lebih emosional.

30 Maret.

Aku ingin kita berpisah. Tapi kenapa kamu berkata begitu mencintaiku? Tapi tidak dengan sikapmu yang begitu mengekangku? Bahkan saat tahu umurku tidak lama lagi, kau tetap pada keras kepalamu.

Rinjani membulatkan mata. Umur tidak lama lagi? Kirana ternyata sakit parah?

Napas Rinjani tercekat saat ia membaca kalimat berikutnya.

Pagi ini, kamu menamparku karena aku marah di kantormu, padahal kamu tahu, aku hanya cemburu, karena kamu makan malam dengannya.

Dan untuk "Dia", aku sudah mengambil keputusan, kamu harus merelakan nya bukan, aku takut, kalau kau juga menyakitinya, seperti kamu menyakiti ku"

Rinjani menjatuhkan buku harian itu ke pangkuannya. Tamparan? Elian yang begitu dingin, Elian yang begitu sempurna di mata publik, ternyata pernah melukai istrinya secara fisik? Dan, siapa "dia" yang Kirana maksud?"

Saat mengangkat buk itu kembali, tiba-tiba, sebuah foto polaroid jatuh dari sela-sela buku. Foto itu lusuh, menunjukkan Elian sedang tertawa lepas bersama seorang wanita. Wanita itu Sarah.

Di bagian belakang foto, tertulis dengan tinta memudar: Kala itu, Sarah memilih tunangannya dan meninggalkan Elian. Luka itu tak pernah sembuh.

Rinjani menyadari, hubungan Elian dan Sarah jauh lebih rumit daripada sekadar persahabatan. Sarah adalah cinta pertama Elian yang menolaknya, meninggalkan luka dan rasa tidak aman yang tersembunyi di bawah kesempurnaan Kirana.

Rinjani mulai merangkai fakta: Elian adalah pria yang sangat mencintai, namun posesif dan pemarah, mungkin karena rasa tidak aman yang ditinggalkan Sarah. Ia mencintai Kirana, tetapi saat Kirana sakit, tekanan itu membuat Elian semakin keras kepala dan mengekang.

Rinjani menutup buku harian itu dengan hati-hati. Ia menyadari, duka Elian bukan hanya karena Kirana meninggal. Duka Elian adalah rasa bersalah karena gagal mencintai Kirana dengan benar di saat-saat terakhirnya.

Rinjani mengembalikan buku harian itu ke tempatnya semula. Meninggalkan kamar, mengunci pintunya kembali.

Saat ia berjalan menuruni tangga, tiba-tiba, terdengar suara pintu utama terbuka. Elian telah pulang. Terlalu cepat untuk hari pertamanya bekerja. Elian melangkah masuk. Saat pandangannya terangkat, ia melihat Rinjani berdiri di tengah tangga, setengah jalan menuruni anak tangga. Ekspresi Rinjani yang tegang, matanya yang memancarkan campuran rasa bersalah dan kesedihan yang baru, membuat nalurinya berteriak tajam, Rinjani sudah melanggar aturannya.

"Kamu di sini, Rinjani," sapa Elian, nadanya tenang, terlalu tenang, seperti ketenangan sebelum badai.

"Kupikir kamu akan tetap di kamarmu. Apakah ada yang mengganggu ketenangan Nyonya Baskara?"

Rinjani mencoba terlihat normal. "T-tidak ada, Tuan Elian. Saya hanya... baru saja dari taman belakang."

Elian tidak terpengaruh oleh kebohongan yang buruk itu. Ia tersenyum tipis—senyum yang menakutkan.

"Taman belakang? Bukankah itu di lantai dasar? Kenapa kamu turun dari lantai dua?" Elian mengorek informasi dengan santai, memanfaatkan kepolosan Rinjani. "Juga, aroma di pakaianmu... Itu bukan bau tanah basah. Itu lavender. Wangi yang sangat spesifik."

Wajah Rinjani seketika pucat. Aroma lavender,Wangi ruangan Kirana, masih melekat di pakaiannya.

"Aku lupa, di lantai dua hanya ada kamarku, kamar tamu, dan... kamar Kirana," Elian melanjutkan, suaranya kini mendesis rendah, penuh bahaya. "Jadi, dari mana tepatnya kamu datang, Rinjani?"

Rinjani tahu ia tidak bisa berbohong lagi.

"Saya... saya ingin mengerti. Saya ingin tahu kenapa Tuan begitu sedih. Saya..." bisiknya

"Kamu ingin mengerti?" Suara Elian mendadak meninggi, bentengnya pecah. "Siapa kamu sampai berani-beraninya mengorek kehidupan pribadiku?! Aku sudah peringatkan, jangan pernah mengganggu masa laluku!"

Elian melangkah maju, meraih pergelangan tangan Rinjani dengan cengkeraman keras.

"Di mana kuncinya? Di mana kamu mendapatkannya?" tuntut Elian.

"Di... di laci Tuan. Saya minta maaf, Tuan Elian, saya hanya ingin tahu..." Panik nya.

"Tahu?! Kamu tidak punya hak untuk tahu apa-apa!"

"Kamu adalah kontrak! Kamu adalah istri palsu! Kamu hanyalah gadis yang kubayar untuk menjaga penampilan di depan orang tuaku yang sekarang sudah mati! Sekarang kamu berani-beraninya melanggar batas yang sudah kutetapkan!"

Elian tidak memberi kesempatan Rinjani untuk berbicara. Tanpa berpikir panjang, Elian menarik Rinjani dengan paksa menuruni sisa anak tangga, menyeretnya melewati lobi dan menuju kamar tidurnya sendiri yang selalu tertutup rapat.

"Masuk! Untuk pertama kalinya, kamu akan masuk dan tahu siapa dirimu sebenarnya di sini!" teriak Elian.

Ia mendorong Rinjani ke dalam kamar itu. Rinjani tersandung, jatuh ke karpet tebal. Ruangan itu gelap, dingin, dan maskulin. ​Elian menutup pintu kamar itu dengan bantingan keras, lalu menguncinya.

"Lihat sekelilingmu, Rinjani! Ini kamarku! Tempat di mana aku hidup dalam kebenaran, tempat di mana aku tidak butuh kepura-puraan! Dan kamu—kamu masuk ke sini bukan sebagai istri, tapi sebagai orang yang melanggar dan penghancur!"

Rinjani merangkak mundur, menjauh dari sosok Elian yang kini tampak sangat menakutkan. Matanya penuh ketakutan, tetapi entah dari mana, sebuah keberanian baru muncul.

"Saya melanggar, tapi Tuan Elian yang menyembunyikan kebenaran! Tuan adalah orang yang memukul Kirana! Tuan adalah orang yang membuatnya sedih di akhir hidupnya!" Rinjani keceplosan mengucapkan apa yang ia baca di buku harian itu.

Suara Rinjani yang keras dan menuduh itu menghentikan amarah Elian seketika.

"Apa yang kamu katakan..." desis Elian, suaranya hampir tidak terdengar.

Saat itu injani tahu, ia telah menyentuh luka paling dalam Elian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 14 - Kecupan tak disengaja

    Setelah sesi pengobatan dan fashion show yang canggung, Rinjani membereskan barang Elian. Ia menaruh pakaian Elian di lemari dan meletakkan koper di sudut ruangan."Tuan, kamar saya di mana?" tanya Rinjani setelah selesai membereskan barang. Ia berasumsi, di suite penthouse ini, pasti ada kamar tidur terpisah untuknya."Di sini. Kamu tidak lihat, ada dua kasur."Ucap Elian tanpa menoleh, dan kembali ke laptopnya.Rinjani menatap sekeliling. Benar. Ada dua kasur ukuran queen yang terpisah oleh nakas kecil di tengah ruangan yang sama. Kamar ini memang disiapkan untuk satu keluarga atau dua kolega, bukan honeymoon. Rinjani merasa sedikit lega, tetapi juga tersinggung. Elian benar-benar ingin mengawasinya, bahkan saat tidur."Oh, baik, Tuan..." Rinjani berbisik, mengambil tempat duduk di karpet di bawah tempat tidurnya.Jam sudah pukul 9 malam. Elian masih sibuk dengan laptopnya, sementara Rinjani duduk diam. Ia sesekali mengintip ke arah Elia

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 13 - Hampir Saja

    Elian melajukan mobil dengan kecepatan tinggi setelah meninggalkan rumah Dian. Suasana di dalam mobil kembali tegang. Mereka telah melakukan perjalanan selama sekitar satu jam ketika tiba-tiba mobil melenceng tajam ke kanan. "Tuan!" teriak Rinjani karena mobil mereka hampir saja menghantam pembatas jalan. Beruntung, Elian dengan cepat menginjak rem. Mobil berhenti mendadak di bahu jalan. "Aku mengantuk sekali," gumam Elian, meletakkan dahinya di kemudi. Dia diam di sana, beberapa saat. Sudah satu jam mereka berjalan, dan Rinjani tetap tidak tahu arah tujuan mereka yang sesungguhnya. "Tuan, ingin istirahat sejenak?" tanya Rinjani hati-hati, tidak ingin memicu amarahnya lagi. "Ya. Aku tidak berniat mati muda," ucapnya. Elian menegakkan badannya, merogoh saku jasnya, dan menyerahkan dompet kulit tebalnya, lalu membuka kunci mobil. "Aku akan tidur sebentar," kata Elian

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 12 - Mawar dan Bunga Liar

    "Duduk, Rinjani. Ceritakan padaku, bagaimana rasanya menjadi pengganti Kirana?"Rinjani menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia tidak boleh bereaksi emosional, tetapi ia harus mempertahankan martabatnya."Saya tidak pernah menjadi pengganti Kirana, Bu Dian," jawab Rinjani, suaranya tenang sedikit bergetar. Dian tertawa renyah, tawa yang menusuk seperti jarum. "Oh, tentu. Benar sekali! Tidak ada yang bisa menggantikan Kirana."Dian bangkit, berjalan mengitari Rinjani, mengamati Rinjani dari ujung kepala hingga ujung kaki. Elian masih duduk di sofa seberang, pura-pura sibuk menonton berita, tetapi Rinjani tahu Elian mendengarkan setiap kata."Kamu tahu, Nak?" Dian berhenti di belakang Rinjani. "Kirana itu seperti Bunga Mawar yang berharga—anggun, mahal, dan sulit didapatkan. Dan kamu?" Dian kembali ke depan Rinjani, matanya menyiratkan penghinaan total. "Kamu terlihat seperti sampah. Sederhana, mudah didapatkan, dan tidak berkelas. Jelas sek

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 11 - Seseorang yang melebihi "pedasnya" Elian

    Rinjani bangun dengan memar di pipinya yang tertutup riasan tipis. Ia bersiap-siap untuk kembali ke mode patuh. Pukul lima pagi, saat Rinjani membereskan ruang makan, Elian menuruni tangga. Ia sudah berpakaian rapi, siap untuk keberangkatan."Tuan Elian..." sapa Rinjani, menghindari kontak mata."Aku akan di luar kota selama seminggu,Kamu ingin ikut?" TawarnyaRinjani terkejut. Itu adalah tawaran yang tak terduga, terutama setelah kekerasan semalam."Tuan ingin mengajak saya ke luar kota?" ucap Rinjani, nada suaranya terdengar senang, sejenak melupakan tamparan semalam. Ia melihat kesempatan untuk keluar dari rumah yang terasa seperti penjara ini."Ada pekerjaan, dan di sana aku lebih mudah mengawasimu," Elian menjelaskan alasannya dengan dingin, menghancurkan ilusi romantis Rinjani. "Aku tidak ingin ada Cleo lain yang mendekati 'milikku'.""Persiapkan semua yang aku butuhkan, dalam setengah jam. Kita akan berangkat pukul enam pagi,"

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 10 - Logika Yang Lumpuh

    Ia segera berbalik, menyambar jubah mandinya, dan keluar kamar dengan langkah kaki yang berat. Amarahnya sudah di ubung-ubun. Saat ia tiba di teras, Cleo sudah tidak terlihat, sementara Rinjani bersiap masuk ke rumah. Langkah gadis itu terhenti seketika saat melihat sosok Elian menghalangi pintu, tampak mengerikan di bawah cahaya lampu teras yang temaram. "Tuan..." suara Rinjani tercekat, jantungnya mencelos melihat kilatan amarah di mata suaminya.Elian tidak membalas. Tanpa peringatan, ia mengangkat tangannya yang dingin.Plaaaak!Tamparan keras itu memecah kesunyian malam. Kepala Rinjani terhempas ke samping, rasa panas menjalar hebat di pipi kirinya. Ia memegang wajahnya dengan napas tersengal, air mata langsung merembes jatuh karena kaget dan perih yang luar biasa."Tuan, ada apa? Apa salah saya?" tanya Rinjani dengan suara bergetar hebat.Elian tidak membentak. Ia justru membungkuk, mendekatkan wajahnya hingga Rinjani bisa merasakan napasnya yang mematikan. "Murahan," bisiknya

  • Kesayangan Tuan Elian   Bab 9 - Badai

    Rinjani berdiri di taman samping, mencoba mengusir rasa sepi dengan menyiram deretan krisan yang mulai layu. Suara langkah kaki di atas kerikil membuatnya menoleh. ​"Siang, Nyonya," sapa Cleo. Pemuda itu berdiri dengan posisi tegak, tangan tertaut di depan tubuh—posisi formal seorang bawahan. ​Rinjani mematikan keran air, lalu menyeka peluh di keningnya. "Tuan Elian membawa mobil sendiri?" ​"Benar, Nyonya," jawab Cleo kaku, pandangannya tertuju lurus ke depan, seolah takut salah menatap. ​Rinjani tertawa kecil melihat kekakuan itu. Ia meletakkan selang air ke rumput. "Jangan bersikap terlalu kaku begitu, Cleo. Aku sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan semua formalitas ini. Anggap saja kita sedang di desa." ​"Maaf, Nyonya... saya hanya menjalankan prosedur rumah ini." ​"Prosedur itu untuk Tuanmu, bukan untukku," sahut Rinjani santai, mencoba mencairkan suasana. Ia duduk di pinggiran pembatas semen taman. "Jadi, apa yang biasanya kamu lakukan kalau sedang bosan? ​Cleo tampak rag

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status