LOGINRumah Reya sudah kembali hangat pagi ini. Tidak ada lagi air mata, amarah tertahan atau rahasia yang menggantung di ujung lidah. Hanya sarapan sederhana. Obrolan, canda, dan perdebatan kecil mengalir seperti biasa. Badai kecil kemarin sudah berlalu, meski tidak semua sepenuhnya kembali utuh.Langit.Nama itu kini seperti debu tipis di sudut ruangan yang sengaja dibiarkan tak tersentuh. Semua sadar debu itu di sana, tapi pura-pura tak melihat. Wendy berangkat kerja lebih pagi. Hatinya ringan karena kini rahasia antara Sky dan Reya akhirnya selesai. Tapi masih ada yang mengganjal bagi Wendy. Sesuatu yang membuat langkahnya berat begitu menginjak lobby Skywave.Bagaiamana dengan Langit? Apa dia baik-baik saja?Reya dan Sky sudah selesai dengan rahasia mereka, tapi Langit masih terjebak di sana. Raut wajah Langit kemarin terus menempel di kepala Wendy. Tatapan kosong, langkahnya yang gontai− Langit terlihat seperti petarung yang baru saja dibantai habis-habisan. Telak. Hari ini ada week
Sky tak beranjak dari depan pintu kamar Reya sejak Ramon masuk beberapa saat lalu. Tatapannya tak lepas dari daun pintu. Nyaris tak berkedip, seolah takut melewatkan sesuatu.Begitu terdengar suara kenop berputar, punggung Sky langsung tegak. Nafasnya tertahan. Ramon keluar pelan. Pandangannya bertemu dengan Sky. Ia lalu menyunggingkan senyum tipis sambil menepuk bahu Sky, “You can go in now.”Sky mengangguk, menelan ludah. Ia menatap Wendy sekilas, seakan mencari keberanian terakhir, lalu memutar kenop dan melangkah masuk.---Mendengar pintu berderit, Reya buru-buru menghapus air mata. Ia paksakan senyum hangat tersungging di bibir meski sembab di matanya belum benar-benar surut. “Come here,” bisiknya, membuka kedua tangan.Sky tidak berpikir dua kali untuk langsung menghambur dalam dekapan ibunya. Jari-jarinya mencengkram bagian belakang kaos Reya erat-erat, seolah takut kesempatan ini akan hilang jika ia melepasnya. Bahunya yang kaku perlahan turun. Helaan nafasnya pelan dan pan
KlikReya menutup pintu kamarnya lalu melangkah gontai. Nafasnya pendek, seperti ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Ia merosot duduk di lantai, memeluk lutut. Tangannya gemetar. Amarah dan lelah bercampur menjadi sesak yang tidak terdefinisi. Bohong. Sky berbohong padanya.Wendy… juga ikut mengelabuhinya.Dan Langit— Dia sama sekali tidak berubah. Sama seperti enam belas tahun lalu, pria itu hanya percaya pada apa yang dia lihat. Reya memejamkan mata keras-keras. Dadanya seperti ditarik dari dua arah. Satu sisi dia ingin marah pada semuanya. Sky, Wendy, bahkan Langit juga. Tapi sisi lain, lebih dari semua itu, Reya marah pada dirinya sendiri.Ia sadar betul, semua ini rumit karena keputusan yang ia buat dulu. Karena ketakutannya sendiri.Reya menggigit bibir. Ia membenamkan wajah diantara lutut. Mencoba menahan isaknya hingga bahunya bergetar. Kenapa harus begini?Kenapa Sky harus bertemu Langit secepat ini?---Tok. Tok. Tok. Ketukan terdengar dari luar.“Reya, we need
Pizza kotak besar terbuka di tengah meja. Potongan steak masih mengepulkan aroma panas. Suara gelak tawa Lyra dan Elio bercampur dengan komentar sarkastik Bian dan celetukan santai Noah.Di satu sisi meja, Sky hampir tidak berhenti tersenyum. Hari ini, untuk pertama kalinya dia naik ke atas podium dan mengangkat piala di depan orang yang paling ingin ia buat bangga.Langit memeluknya di tengah arena. Langit … Ayahnya, tersenyum penuh kebanggaan pada Sky.Mimpinya, benar-benar terwujud. Finally.Tapi di balik gemuruh perayaan kecil itu, ada sosok yang diam-diam menahan getir.Reya duduk dengan punggung tegak, tangan terlipat di pangkuan. Senyumnya ada, tapi hanya di bibir, tidak sampai ke mata. Sesekali ia meneguk cola di depannya untuk menyembunyikan getaran emosinya.Wendy duduk di sebelah Reya, mencoba tertawa saat Lyra bercerita tentang bagaimana lawan Sky tersungkur, tapi matanya beberapa kali melirik Sky dengan gelisah. Seolah ia sedang menunggu sesuatu meledak.Ramon?Tentu saja
Langit tidak ingat bagaimana ia keluar dari gedung itu. Seperti tubuhnya bergerak tanpa jiwa. Tatapannya kosong. Ia berjalan tapi tidak benar-benar tahu arah mana yang dituju. Di belakang, Orion mencoba mengejar. Nafasnya terengah, alisnya bertaut cemas. “Langit! Lang!” Tapi alih-alih berhenti, Langit bahkan tidak menoleh. Langit tidak mendengar apapun. Telinganya mendadak tuli. Seperti ada yang meredam semua suara di luar. Yang Langit dengar di kepalanya hanya cemoohan suaranya sendiri.Bodoh.Kamu sudah dibuang.Gema itu menghantamnya. Mengambil alih seluruh logika dan menghancurkan sisa kepercayaan dirinya. Rasanya orang-orang menatapnya seperti sampah. Padahal tidak ada seorang pun yang melihat ke arahnya, tapi kepalanya berhalusinasi. Sampai akhirnya ia tiba di parkiran.Tangannya gemetar meraih handle pintu mobil.BRUK.Pintu tertutup keras.Mesin menyala.
Arena mulai sedikit lebih sepi setelah pengumuman pemenang. Satu persatu orang beranjak. Beberapa juga tampak sibuk meminta foto dengan para finalis. Sky masih dikerubungi Elio, Lyra, Noah, dan Bian. Piala kemenangan ia dekap erat di dada. Senyumnya malu-malu saat mereka memujinya, tapi matanya mengkilat, penuh rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan. Di pinggir arena, Langit memperhatikan. Matanya berkaca-kaca. Aneh. Dia tak pernah seterharu ini, bahkan di pertandingan-pertandingan besar yang telah ia menangkan dulu. Orion mendekat, memukul bahu Langit pelan. “Good job, Coach.”Senyum Langit terulas. “Itu anak kerja keras banget.” “That’s literally you. Reborn.” Orion terkekeh. “Elo liat nggak matanya pas tanding tadi?” Ia menepuk dada Langit, “Tekadnya persis kayak elo kalau terobsesi menang supaya dapet duit buat traktir Reya.”Langit mendengus lemah. Tentu saja Orion ingat bagian itu. Dia saksi hidup. “Lanjut … Ledek aja terus,” gumam Langit pasrah. Tapi ia tahu Orion benar







