LOGINRuang rapat GCP di Toronto siang itu sepi. Hanya ada Reya dan atasannya, Mr. Hamilton. Di atas meja, dokumen kontrak terbuka lebar dengan beberapa highlight mencolok.
“Mrs. Reya,” suara Mr. Hamilton tenang tapi tegas, “As I mentioned before. We’ve been watching your performance. You’re sharp, reliable, and consistent. That’s why the board wants you to lead our expansion in Southeast Asia. Jakarta regional office will be yours, if you accept.” Reya menelan ludah. Jakarta. Kata itu saja sudah cukup membuat jantungnya berdegup lebih keras. Mr. Hamilton mendorong dokumen ke arahnya. “The position comes with higher salary, housing allowance, international school benefit for your son, and a full relocation package. You deserve this.” Reya tersenyum tipis, meski hatinya kacau. “Thank you, Sir. I… I’ll think about it.” “Sure. But we’re hoping to get your response soon. Jakarta office needs someone who can deliver, and you’re our best candidate.” *** Malam ini, sepulang kerja Reya memilih untuk tidak langsung pulang. Ia bersama Ibrar, duduk di bar kecil dekat kampus tempat mereka kuliah dulu. Segelas virgin mojito dengan hiasan potongan jeruk nipis dan daun mint tersaji di depan mereka. “Kamu benar-benar dapat tawaran itu?” Ibrar menatapnya lekat. Reya mengangguk. “Posisi tinggi, gaji besar, sekolah bagus untuk Sky. Semua fasilitas lengkap.” Ibrar menyandarkan punggungnya, menarik napas panjang. “Tapi itu artinya kamu harus kembali ke Indonesia.” Keheningan sejenak. Reya menatap gelas mojitonya yang mulai basah karena es batu yang mencair. Bertahun-tahun lalu saat awal ia tinggal di Kanada, Reya juga sering di bar ini. Bukan sebagai pengunjung melainkan sebagai seorang pelayan. Siapa sangka gadis kumal itu kini kembali kesini dengan setelan bermerek dan membicarakan kontrak kerja bernilai jutaan dolar. Secara kasat mata, Reya yang sekarang memang bukan Reya yang sama seperti sembilan tahun lalu. Namun apa yang ada dalam hatinya, nyaris tak pernah berubah. “Gue takut, Brar,” bisiknya lirih. “Takut semua yang gue tinggalkan dulu… akan gue temukan lagi. Gue nggak tahu apakah gue sudah siap.” Ibrar memutar kursinya hingga bisa menatap Reya penuh. Wajahnya yang teduh menatap prihatin dibalik kacamata tipis yang bertengger di hidungnya. Tidak ada yang berubah dari Ibrar selain usianya. Kini Ibrar bukan lagi remaja yang dulu membantu Reya ke klinik saat tengah malam karena konteraksi yang makin menjadi. Ibrar sudah tumbuh jadi pria dewasa yang berwibawa dan penuh perhatian. Bagi Reya, Ibrar bukan hanya anak pemilik panti tempat ia kabur dan bersembunyi. Ibrar adalah teman, sahabat, saudara dan orang yang sangat ia hormati. Mereka tumbuh bersama dan berbagi banyak kisah. Bahkan Ibrar yang membawa Reya ke Kanada. Ia seperti pelindung yang selalu hadir saat Reya butuh. Banyak yang bilang Ibrar terlalu serius, tapi di matanya, Ibrar adalah kebaikan yang hangat. Itulah kenapa malam ini Reya ingin mendengar pendapat Ibrar. “Kalau menurutku, kamu lebih nyaman di sini. Di Kanada, kamu sudah settle, Re. Kamu dihargai, Sky juga sudah punya teman. Dia cerdas. Masa depannya cerah disini. Kalau kembali… akan banyak luka yang terbuka.” Reya menggigit bibir. Ia tahu Ibrar benar. Tapi di sisi lain, ia juga tahu Sky selalu ingin tahu tentang Indonesia, tentang tanah kelahirannya. Juga tentang ayahnya. “Kamu sudah diskusi sama Sky?” Reya menggeleng. “Aku takut dia terlalu excited… Sky sekarang semakin sering membahas soal kemungkinan kuliah di Singapur. Aku tahu itu hanya alibi. Tujuannya jelas. Dia ingin lebih dekat ke Indonesia. Dan aku nggak bisa menahannya selamanya.” Ibrar menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Apapun keputusanmu, aku akan dukung. Tapi satu hal, Reya… jangan sakiti dirimu lagi.” Reya menunduk. Kata-kata itu terasa seperti doa. *** Aula Maplewood Middle School malam ini berkilau oleh cahaya lampu. Kursi-kursi yang tertata rapi sudah penuh dengan orang tua dan keluarga murid. Suara riuh orang-orang yang sedang mengobrol dan tertawa bercampur dengan dentingan piano yang sedang diuji coba. Spanduk besar bertuliskan “Winter Year-End Performance” tergantung megah di atas panggung. Di barisan tengah Reya dan Wendy duduk berdampingan. Sejak tadi Wendy gelisah tak bisa diam. Tangannya sibuk merapikan gaun Reya, lalu beralih mengusap rambut Sky yang sudah disemprot hairspray sejak rumah. “Oh my gosh, Sky… don’t forget to smile up there on stage. Jangan kayak ibumu yang mukanya datar terus udah macam kertas HVS itu.” bisiknya keras-keras sampai beberapa orang di kursi depan menoleh. “Wen!” Reya menepuk tangan Wendy, menahan malu. “Pelan dikit dong, diliatin orang-orang ini.” “Biarin! Anak gue ganteng banget hari ini. Ya Tuhan,” balas Wendy tanpa rasa bersalah. Reya mendengus, protes, “Anak gue ya, enak aja ngaku-ngaku lo. Gue yang ngeden.” ‘ “Please. Gue yang nyebokin, yang nyuapin, jadi setengahnya punya gue dong.” Sky mendongak dari partitur yang masih ia hafalkan, lalu memutar bola matanya. “Oh, c’mon… Masih aja kalian ini ngeributin itu terus.” Tawa kecil pun pecah di antara mereka bertiga. Sky berdiri, meraih ranselnya. ““I’m gonna get ready backstage now. Wish me luck, okay? See you later!” Reya mengangguk dengan senyum lembut. “Good luck, Sayang.” *** Tak lama, giliran Sky dan teman-temannya tampil. “Alright, enjoy the performance from class 9-1!.” Sorak sorai terdengar, beberapa siswa bersiul, ada yang bertepuk tangan heboh. Sky dan teman-temannya berdiri di panggung. Bersiap memberikan penampilan terbaik mereka. Di balik piano besar, Sky menunduk sebentar dan menarik nafas panjang. Rambut hitamnya yang sedikit bergelombang berkilau tertimpa cahaya. Wendy langsung berdiri, “Go, Sky! You’re gonna rock the stage!” teriak Wendy sambil mengacungkan dua jempol seperti cheerleader. Beberapa penonton menoleh. Reya buru-buru menarik lengan Wendy supaya duduk. “Wen, please… bisa nggak sih?” katanya setengah berbisik. Reya menarik lengan Wendy agar duduk kembali. “Wen, please…” Wendy cengengesan. “Apa? Gue kan bangga.” Meski di depan Wendy ia bilang malu, tapi dalam hati, Reya bersyukur. Ada Wendy di sisinya yang bisa melakukan itu mewakilinya. Pandangan Reya tak lepas dari sang putra. Ia memperhatikan Sky yang sempat gemetar. Sky melihat ke arahnya dan Reya membalas dengan senyum menenangkan. Bibir Sky lantas menyunggingkan senyum yang sama - senyum yang hanya dimengerti satu sama lain. Nada pertama terdengar. Lembut. Mengalun perlahan. Lagu itu… Reya langsung mengenalinya. When I see you smile… I can face the world… Reya membeku. Dadanya bergemuruh. Lagu ini…Setiap bait lirik yang Sky nyanyikan, menyeret Reya ke memori yang selalu ia tepis sekuat tenaga. Yang Reya lihat bukan lagi Sky. Di mata Reya, di hadapannya adalah Langit yang sedang menyanyi lagu itu untuknya. Seperti enam belas tahun lalu. Dengan gitar tua dipangkuan, Langit menyanyikan lagu yang sama dengan senyum lebar dan mata berbinar. Membuat Reya merasa amat dicintai terasa kembali begitu nyata. Dada Reya bergemuruh. Air mata hangat jatuh begitu saja. Makin lama makin deras, bhunya bergetar. Reya buru-buru menutup mulut dengan tangan agar tangisnya tak terdengar. “Re? Elo nangis?” Wendy memeluk lengannya, wajah panik sekaligus haru. “Astaga, terharu banget, ya?” “Gue juga terharu.” Tangan Wendy mengelus-elus Reya. “Dia kayak… bener-bener lahir buat ini,” gumam Wendy, matanya ikut berkaca. Reya mengangguk pelan, tak mampu berkata-kata. Pandangannya tak pernah lepas dari Sky. Jemari anak itu menari di atas tuts piano dengan keyakinan yang mempesona. Tapi disaat yang sama setiap bait lagu seperti menusuk hatinya. “Kenapa masih sesakit ini?” bisiknya dalam hati. Di atas panggung, Sky menutup penampilannya dengan nada terakhir yang panjang dan manis. Tepuk tangan menggema memenuhi aula. Wendy berdiri paling pertama, bertepuk tangan sekuat tenaga sambil bersorak, “Bravo! That’s my boy!!” Reya terdiam sejenak, mengatur nafasnya. Setelah cukup yakin ia bisa mengendalikan diri, ia pun berdiri perlahan, masih mengusap air matanya. Pandangannya kabur, tapi ia ikut melambai ketika Sky melirik ke arahnya dengan sebuah senyum hangat. Di panggung, Sky menatap ke arahnya, lalu tersenyum, senyum yang sama persis dengan senyum Langit dulu. Hati Reya kembali terguncang. Di balik kebanggaan yang membuncah, ada ketakutan yang merayap. Enam belas tahun sudah berlalu, tapi rasanya Reya masih di tempat yang sama. Masih menyimpan nama yang sama. Masih takut… Bagaimana jika Langit sudah bahagia dengan hidupnya tanpa Reya? Apa dia siap jika Langit ternyata sudah melupakannya? Bagaimana dengan Sky? Reya selalu meyakinkan Sky bahwa Langit bukan tidak menginginkan kehadiran Sky. Langit hanya tidak bisa bersama Sky karena suatu alasan. Tapi bagaimana jika ia salah? Bagaimana kalau ternyata sebaliknya. Mungkin saja Langit telah bahagia dengan hidupnya dan keberadaan Sky justru membuatnya terganggu. Sorak sorai mulai mereda. Anak-anak menunduk memberi salam, lalu berjalan ke belakang panggung. Reya masih berdiri terpaku, menahan perasaan yang berkecamuk. Ia tahu, di balik alasan pekerjaan dan masa depan, ada hal lain yang membuatnya harus kembali ke Indonesia. Dan saat tatapan Sky menyapu penonton lalu berhenti tepat padanya, Reya sadar akan satu hal, keputusan pulang kali ini bukan hanya soal karier. Ini tentang hati. Tentang dirinya. Dan tentang seorang pria yang mungkin tak lagi menunggu.Rumah Reya sudah kembali hangat pagi ini. Tidak ada lagi air mata, amarah tertahan atau rahasia yang menggantung di ujung lidah. Hanya sarapan sederhana. Obrolan, canda, dan perdebatan kecil mengalir seperti biasa. Badai kecil kemarin sudah berlalu, meski tidak semua sepenuhnya kembali utuh.Langit.Nama itu kini seperti debu tipis di sudut ruangan yang sengaja dibiarkan tak tersentuh. Semua sadar debu itu di sana, tapi pura-pura tak melihat. Wendy berangkat kerja lebih pagi. Hatinya ringan karena kini rahasia antara Sky dan Reya akhirnya selesai. Tapi masih ada yang mengganjal bagi Wendy. Sesuatu yang membuat langkahnya berat begitu menginjak lobby Skywave.Bagaiamana dengan Langit? Apa dia baik-baik saja?Reya dan Sky sudah selesai dengan rahasia mereka, tapi Langit masih terjebak di sana. Raut wajah Langit kemarin terus menempel di kepala Wendy. Tatapan kosong, langkahnya yang gontai− Langit terlihat seperti petarung yang baru saja dibantai habis-habisan. Telak. Hari ini ada week
Sky tak beranjak dari depan pintu kamar Reya sejak Ramon masuk beberapa saat lalu. Tatapannya tak lepas dari daun pintu. Nyaris tak berkedip, seolah takut melewatkan sesuatu.Begitu terdengar suara kenop berputar, punggung Sky langsung tegak. Nafasnya tertahan. Ramon keluar pelan. Pandangannya bertemu dengan Sky. Ia lalu menyunggingkan senyum tipis sambil menepuk bahu Sky, “You can go in now.”Sky mengangguk, menelan ludah. Ia menatap Wendy sekilas, seakan mencari keberanian terakhir, lalu memutar kenop dan melangkah masuk.---Mendengar pintu berderit, Reya buru-buru menghapus air mata. Ia paksakan senyum hangat tersungging di bibir meski sembab di matanya belum benar-benar surut. “Come here,” bisiknya, membuka kedua tangan.Sky tidak berpikir dua kali untuk langsung menghambur dalam dekapan ibunya. Jari-jarinya mencengkram bagian belakang kaos Reya erat-erat, seolah takut kesempatan ini akan hilang jika ia melepasnya. Bahunya yang kaku perlahan turun. Helaan nafasnya pelan dan pan
KlikReya menutup pintu kamarnya lalu melangkah gontai. Nafasnya pendek, seperti ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Ia merosot duduk di lantai, memeluk lutut. Tangannya gemetar. Amarah dan lelah bercampur menjadi sesak yang tidak terdefinisi. Bohong. Sky berbohong padanya.Wendy… juga ikut mengelabuhinya.Dan Langit— Dia sama sekali tidak berubah. Sama seperti enam belas tahun lalu, pria itu hanya percaya pada apa yang dia lihat. Reya memejamkan mata keras-keras. Dadanya seperti ditarik dari dua arah. Satu sisi dia ingin marah pada semuanya. Sky, Wendy, bahkan Langit juga. Tapi sisi lain, lebih dari semua itu, Reya marah pada dirinya sendiri.Ia sadar betul, semua ini rumit karena keputusan yang ia buat dulu. Karena ketakutannya sendiri.Reya menggigit bibir. Ia membenamkan wajah diantara lutut. Mencoba menahan isaknya hingga bahunya bergetar. Kenapa harus begini?Kenapa Sky harus bertemu Langit secepat ini?---Tok. Tok. Tok. Ketukan terdengar dari luar.“Reya, we need
Pizza kotak besar terbuka di tengah meja. Potongan steak masih mengepulkan aroma panas. Suara gelak tawa Lyra dan Elio bercampur dengan komentar sarkastik Bian dan celetukan santai Noah.Di satu sisi meja, Sky hampir tidak berhenti tersenyum. Hari ini, untuk pertama kalinya dia naik ke atas podium dan mengangkat piala di depan orang yang paling ingin ia buat bangga.Langit memeluknya di tengah arena. Langit … Ayahnya, tersenyum penuh kebanggaan pada Sky.Mimpinya, benar-benar terwujud. Finally.Tapi di balik gemuruh perayaan kecil itu, ada sosok yang diam-diam menahan getir.Reya duduk dengan punggung tegak, tangan terlipat di pangkuan. Senyumnya ada, tapi hanya di bibir, tidak sampai ke mata. Sesekali ia meneguk cola di depannya untuk menyembunyikan getaran emosinya.Wendy duduk di sebelah Reya, mencoba tertawa saat Lyra bercerita tentang bagaimana lawan Sky tersungkur, tapi matanya beberapa kali melirik Sky dengan gelisah. Seolah ia sedang menunggu sesuatu meledak.Ramon?Tentu saja
Langit tidak ingat bagaimana ia keluar dari gedung itu. Seperti tubuhnya bergerak tanpa jiwa. Tatapannya kosong. Ia berjalan tapi tidak benar-benar tahu arah mana yang dituju. Di belakang, Orion mencoba mengejar. Nafasnya terengah, alisnya bertaut cemas. “Langit! Lang!” Tapi alih-alih berhenti, Langit bahkan tidak menoleh. Langit tidak mendengar apapun. Telinganya mendadak tuli. Seperti ada yang meredam semua suara di luar. Yang Langit dengar di kepalanya hanya cemoohan suaranya sendiri.Bodoh.Kamu sudah dibuang.Gema itu menghantamnya. Mengambil alih seluruh logika dan menghancurkan sisa kepercayaan dirinya. Rasanya orang-orang menatapnya seperti sampah. Padahal tidak ada seorang pun yang melihat ke arahnya, tapi kepalanya berhalusinasi. Sampai akhirnya ia tiba di parkiran.Tangannya gemetar meraih handle pintu mobil.BRUK.Pintu tertutup keras.Mesin menyala.
Arena mulai sedikit lebih sepi setelah pengumuman pemenang. Satu persatu orang beranjak. Beberapa juga tampak sibuk meminta foto dengan para finalis. Sky masih dikerubungi Elio, Lyra, Noah, dan Bian. Piala kemenangan ia dekap erat di dada. Senyumnya malu-malu saat mereka memujinya, tapi matanya mengkilat, penuh rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan. Di pinggir arena, Langit memperhatikan. Matanya berkaca-kaca. Aneh. Dia tak pernah seterharu ini, bahkan di pertandingan-pertandingan besar yang telah ia menangkan dulu. Orion mendekat, memukul bahu Langit pelan. “Good job, Coach.”Senyum Langit terulas. “Itu anak kerja keras banget.” “That’s literally you. Reborn.” Orion terkekeh. “Elo liat nggak matanya pas tanding tadi?” Ia menepuk dada Langit, “Tekadnya persis kayak elo kalau terobsesi menang supaya dapet duit buat traktir Reya.”Langit mendengus lemah. Tentu saja Orion ingat bagian itu. Dia saksi hidup. “Lanjut … Ledek aja terus,” gumam Langit pasrah. Tapi ia tahu Orion benar







