Home / Romansa / Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia) / Malam yang Mengubah Segalanya

Share

Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)
Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)
Author: Eng_

Malam yang Mengubah Segalanya

Author: Eng_
last update Last Updated: 2025-08-31 23:39:24

15 Mei 2008

Api unggun di halaman penginapan berkerlap-kerlip, menebar percikan yang menari di udara. Tawa teman-teman sekelas mereka pecah bersahutan, gitar Orion mengalun riang dengan lagu-lagu yang mereka hafal bersama. Malam terasa hangat meski udara pegunungan menusuk kulit.

Namun tidak semua larut dalam keramaian. Di lantai dua, balkon kamar penginapan yang menghadap langsung ke danau, Reya duduk bersila bersandar pada tembok. Angin malam membelai rambutnya, membuat beberapa helai terlepas menutupi wajah.

Langit menyusul keluar dengan dua gelas coklat panas di tangannya. “Biar anget,” ucapnya sembari menyodorkan satu gelas.

Reya tersenyum, “Thanks.” Uap hangat menyeruak. Reya memegang gelas dengan telapak tangannya, mengusir rasa dingin.

Beberapa saat mereka hanya diam, menikmati riuh suara di bawah bercampur dengan desir angin dan aroma asap kayu bakar. Lalu, tiba-tiba Reya bersuara.

“Nggak kerasa ya, tiba-tiba udah tiga tahun aja. Rasanya kayak baru kemarin kita ketemu di kelas untuk pertama kali, eh sekarang udah mau lulus aja.” 

Langit menoleh, mengamati wajah Reya dari samping. “Iya, nggak kerasa.” Ia tersenyum bahagia. 

“Aku inget banget pertama kali liat kamu di kelas. Kamu pakai hoodie hitam, duduk di pojokan sambil main gitar sama Orion, sama Dewa juga. Rasanya kayak… wah… ternyata cowok secakep itu bisa jadi nyata juga ya, aku pikir cuma bisa ada di komik doang.”

Langit tertawa. “Kamu emang paling bisa. Itu maksudnya lagi muji Orion apa Dewa?”

Reya ikut tertawa. “Kamu ini, aku beneran muji kamu ya.”

“Masak?” Langit mencebik tak percaya.

“Iyalah. Kamu nggak tahu aja sedeg-degan apa aku waktu dapet tempat duduk di depan kamu.”

Langit menyenggol bahu Reya, matanya memicing jahil, “Masak sih?” ucapnya dibuat-buat.

“Tau ah. Langit ih. Males aku kalau kamu kayak gitu.” Reya cemberut, dan itu justru membuat Langit tertawa puas.

Tapi Langit tidak membiarkan Reya kesal berlama-lama. Ia merengkuh Reya dalam pelukannya. Mengusap punggung Reya lembut. Hangat sekali rasanya. Jika Reya bisa menghentikan waktu. Ia akan membuatnya berhenti pada detik ini agar bisa menikmati pelukan Langit tanpa perlu mengkhawatirkan hari esok.

Reya melonggarkan pelukannya sedikit agar bisa menatap Langit. “Kalau dulu aku nggak nekat ngajak kamu pacaran, kayaknya kamu nggak akan pernah ngelirik aku sih. Iya kan?” 

Kening Langit berkerut, tidak terima, “kata siapa? Kalau kamu nggak ngajak aku pacaran, ya akulah yang ngajak. Aku dulu cuma keduluan aja.”

Reya mencebik, “Gombal banget.”

“Nggak ya. Aku serius. Tanya aja sama Orion atau Dewa. Mereka saksinya. Sampai muak kayaknya aku ngomongin kamu mulu tiap hari.”

“Kalau aku tanya mereka, ya pasti bakal dukung omongan kamu lah, kan mereka temen kamu.”

Langit tertawa melihat Reya menggebu-gebu begitu. Tubuh Reya lantas dipeluk lagi, lebih erat. “Aku serius, Re. Aku nggak pernah sesayang ini sama orang lain. Cuma sama kamu doang.”

“Makin pinter aja ya gombalnya,” ucap Reya. “Nanti kamu kalau udah jadi mahasiswa juga bakal ketemu sama yang lebih dari aku, terus lupa deh sama aku.”

Reya tahu dia seharusnya tidak bicara begitu, tapi sepertinya kekhawatiran dalam dadanya menemukan jalannya sendiri untuk terucap meski Reya tidak bermaksud mengatakannya. 

Perlahan pelukan Langit terlepas. Ia menunduk, menatap Reya sungguh-sungguh, keningnya berkerut. “Kenapa ngomongnya gitu sih?” 

Reya tersenyum getir. “Kamu bakal jadi mahasiswa di kampus elit. Pasti bakal banyak cewek-cewek cantik dan pinter yang ngantri buat jadi pacar kamu. Apalah aku yang bukan siapa-siapa ini.”

“Apan si, Re. Aku nggak suka ya kamu ngomong kayak gitu. Mau sebanyak apapun cewek di luar sana, yang aku mau cuma kamu. Titik.”

Reya menunduk, makin lama makin dalam. “Tapi kamu berhak kok, Lang, dapat yang lebih dari aku. Kayak yang Mama kamu mau.”

Langit tercenung. Untuk sesaat ia tidak bicara. Reya sudah berusaha untuk menahan diri, tapi ternyata ia tak berhasil mencegah rasa rendah dirinya mengambil alih. 

“Reya dengar,” Langit membawa dagu Reya naik agar bisa menatap matanya langsung. Sorot mata Langit tajam tapi sendu, mengunci Reya hingga tak berkutik. 

“Aku cuma sayang sama kamu. Nggak peduli apapun itu, akan aku hadapi asal bisa terus sama kamu. Kalau kamu mau aku tinggalin semuanya,... aku bisa. Asal aku tetep sama kamu, Re.”

Reya hampir menangis. Tenggorokannya tercekat. “Jangan konyol, Lang,” ucapnya parau. “Kamu nggak perlu sampai segitunya. Kamu punya masa depan yang cerah, jangan sia-siain itu cuma demi aku. Jangan sampai nanti kamu nyesel.”

Langit menggeleng cepat. “Atu tahu ini kedengarannya konyol, apalagi di umur kita sekarang. Tapi percaya sama aku, Re. Aku siap lakuin apapun demi kamu. Apapun…”

Keduanya terdiam. Tatapan mereka saling bertaut. Waktu seolah berhenti detik itu seperti keinginan Reya. Sesaat, Reya teringat bagaimana saat pertama kali Langit menggenggam tangannya, jantung Reya berdetak tak karuan saking senangnya. Juga waktu mereka berdua kabur dari kelas hanya untuk makan es krim di bawah pohon flamboyan belakang sekolah. Langit dengan wajah ceria menyanyikan When I See You Smile dengan gitar tuanya, membuat Reya tertawa bahagia, merasa sangat dicintai. 

Memori-memori manis yang telah mereka lewati muncul kembali seperti ledakan kembang api kebahagian. Setelah tiga tahun berlalu, tapi semuanya masih sama, tawa, cinta dan detak jantung yang berlari lebih cepat.

Kini, di balkon kecil itu, tatapan mereka saling mendekat, entah siapa yang bergerak lebih dulu. Tahu-tahu tidak ada lagi jarak diantara mereka. Reya tak lagi punya alasan untuk menjauh. Bibir Langit menyentuh milik Reya, lembut. Ciuman pertama itu… begitu canggung, tapi juga begitu indah. Reya merasakan ketulusan, rasa takut, juga keberanian yang bercampur jadi satu.

Tidak ada satu detik pun dalam hidup Reya yang membuatnya meragukan cinta Langit padanya. Begitupun sebaliknya. Reya tahu Langit mencintainya dengan sama besar. Maka ketika ciuman lembut itu perlahan berubah menjadi lebih intens, Reya tak mau berhenti. Ia sepenuhnya menyerahkan diri. 

***

Lampu kamar sudah padam ketika Reya membuka mata. Nafasnya masih memburu, pipinya panas, dan jantungnya berdetak tak karuan. Ia menatap langit-langit kayu, lalu menoleh. Di sebelahnya, Langit duduk di tepi ranjang, tubuh condong ke depan, kedua tangannya menutupi wajah.

“Langit…” suara Reya pelan.

Langit mendongak, matanya memerah, bibirnya bergetar. “Re… I’m sorry. Aku harusnya bisa nahan diri. Aku… aku nggak seharusnya lakuin ini ke kamu.” Ia meremas rambutnya sendiri, wajahnya kalut oleh rasa bersalah.

“Maafin aku Re,” Langit merintih. “Apapun yang terjadi, aku bakal tanggung jawab, Re. Sumpah demi Tuhan.”

Reya terdiam sejenak, lalu duduk lebih dekat. Tangannya terulur, mengambil tangan Langit dan menggenggamnya erat. “Lang, liat aku!”

Langit menoleh. Kacau sekali. Sorot matanya rumit, jelas sekali dalam hati Langit sedang terjadi pergolakan besar yang membuatnya terlihat sangat berantakan.

“Kalau ini salah,” suara Reya bergetar, “itu salah kita berdua. Bukan cuma kamu. Lo narik gue, iya. Tapi gue juga nggak nolak.”

Langit menggeleng cepat. “Tapi kalau kamu kenapa-kenapa? Kalau ada yang buruk terjadi? Aku nggak akan bisa maafin diriku sendiri.”

Reya menahan tangis, lalu tersenyum getir. “Jangan salahin diri kamu, Lang. Aku nggak papa. Dan aku nggak nyesel. ”

Hening sejenak. Langit menunduk, menempelkan keningnya ke punggung tangan Reya, berbisik lirih, “Aku sayang banget sama kamu, Re… dan aku janji, aku nggak akan pernah ninggalin kamu.”

Reya mengangguk. Matanya terpejam.

Jauh dalam lubuk hatinya, Reya justru takut dia baru saja merusak masa depan Langit yang cerah. Jika benar takdir mempermainkan mereka, apakah Reya sanggup menyeret Langit dalam kesulitan bersamanya? Apakah janji untuk tidak berpisah itu bisa bertahan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Wendy Vs Skywave

    Wendy sengaja datang lebih pagi dari yang diminta, jadi ketika ia tiba, belum ada siapa-siapa di studio. Salah seorang staf produksi bilang kalau Sagara, bos Wendy, sedang meeting pagi bersama kepala divisi yang lain. Staf itu juga yang akhirnya mengarahkan Wendy untuk menunggu di studio Saga, tempatnya akan bekerja nanti.Bau kayu dari panel akustik dan sedikit bau elektronik hangat dari peralatan menyambut Wendy ketika ia mendorong pintu tebal ruang studio itu. Lampu warm white redup menggantung di langit-langit dan beberapa lampu sorot mengarah ke meja mixing memberikan kesan yang cenderung serius dan fokus. Wendy melihat area mixing di ujung ruangan dan booth rekaman di sisi kanan. Di sisi kiri, sedikit kebelakang, ada meja tambahan lengkap dengan laptop dan headphone. Staf yang tadi mengantarnya bilang bawa meja itu akan jadi meja kerja Wendy di sini.Pintu studio terbuka. Seorang pria berkulit pucat masuk tanpa menoleh, wajahnya datar, langkahnya mantap. Dengan pakaian serba hi

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Yang terjadi, Terjadilah

    Pagi ini tidak seperti biasanya. Alih-alih berkutat di dapur dengan apron, Wendy justru sudah duduk rapi di meja makan. Sweater rajut berkerah warna krem dengan garis-garis hitam dan celana bahan warna putih membalut tubuh. Memberi kesan santai tapi juga cukup formal. “Udah rapi banget pagi-pagi. Tumben,” komentar Reya begitu keluar dari kamar. Ia menenteng tas, blazer krem tergantung di lengannya.Wendy meletakkan cangkir kopinya. “Yes. This is my first day.” Bibirnya tersenyum tapi sorot matanya jelas menyimpan gelisah. Reya mengangguk kecil sambil menyalakan mesin kopi. Uap panas bercampur aroma kopi yang khas langsung memenuhi ruangan. Ia membawa cangkirnya, duduk di seberang Wendy. Pandangannya meneliti sahabatnya yang sedari tadi terlihat menerawang ke arah meja. Jari-jarinya mengetuk permukaan kayu dengan ritme yang terdengar gelisah. Alis Reya terangkat. “Are you nervous?”Wendy menghela nafas lalu mengangkat cangkirnya lagi. “Dikit,” jawabnya.Ekspresi Wendy membuat Reya t

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Berbagi Kisah, atau rahasia?

    Selalu ada hari pertama dalam hidup. Begitu juga bagi Reya, Sky dan Wendy. Hari ini, hari pertama mereka di Jakarta hampir berakhir, ditutup dengan makan malam sederhana dan obrolan hangat. Meja makan penuh dengan nasi hangat, tumis sayur, ikan goreng dan juga sambal, sesuatu yang jarang mereka temui di Kanada. Aroma gurih dan sedikit pedas menguar mengisi ruangan.Reya menyendok nasi ke piringnya, tapi matanya melihat ke arah Sky. “How’s your first day been? Fun or what?” tanyanya lembut. Ia berusaha terlihat santai, tapi Sky juga tahu bahwa ibunya merasa agak khawatir.Alis Sky terangkat. “Not bad. Just a normal day at school. And…I made a new friend.” Ia tersenyum. “Bagus dong. Siapa namanya?” Wendy menyahut sambil meletakkan daging ikan yang telah dia bersihkan durinya ke piring Sky.“Elio….” Sky menyuap nasi bersama ikan yang Wendy berikan, sambil mengunyah ia terlihat berfikir, “Sama Bian,” imbuhnya dengan nada lebih pelan. Yah, Bian mungkin belum bisa dikatakan sebagai teman S

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Perjodohan

    Telepon berdering untuk kesekian kalinya di meja Langit. Nama Mama berkedip-kedip di layar ponsel. Ia menekan tombol reject tanpa ragu, lalu kembali menatap layar komputer di mejanya. Baru sebentar, dering itu datang lagi, makin nyaring.“Bang, nggak mau diangkat dulu?” Orion menyeletuk.Langit mengangkat wajahnya, menatap Orion sebentar, “Biarin aja, entar juga capek sendiri.” tandasnya. Melihat Langit yang acuh, Orion hanya mengangkat kedua alisnya sambil mengangkat bahu pasrah. Tak lama, pintu ruangan diketuk. Sabil, sekretaris Langit muncul di ambang pintu. Langit dan Orion sama-sama mengalihkan perhatian.“Kenapa, Bil?” tanya Langit.“Ada Pak Bumi di luar, Pak. Ingin menemui Bapak.”Orion menatap Langit cepat. Keningnya berkerut. “Bang Bumi? Ngapain, Lang, tumben amat sampai sini.”Langit mengedik sekilas lalu kembali menekuri layar. “Suruh masuk aja, Bil,” perintahnya santai. Sabil mengangguk lalu menghilang di balik pintu. Tak sampai semenit, Bumi melangkah masuk. Setelan ja

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Pertemuan Tak Terduga

    Pertemuan dan perpisahan adalah hal paling misterius di dunia. Sebaik apapun kita merencanakan sebuah pertemuan, itu bisa saja gagal di detik terakhir. Pun seberapa kuat mencegah perpisahan, itu juga bisa tetap terjadi.Bel pulang sudah berlalu sekitar tiga puluh menit lalu, halaman Maplewood International High School Jakarta yang tadi penuh dengan siswa yang menunggu jemputan kini mulai lengang. Hanya ada beberapa anak yang masih menunggu, duduk di bangku panjang dekat gerbang sambil memainkan ponsel atau berbincang dengan teman lain. Beberapa juga masih bermain di halaman atau di kelas yang sudah spi. Sky duduk di bangku salah satu panjang yang kosong. Ranselnya disandarkan di lutut, tangannya sibuk dengan ponsel, mencoba menghubungi Wendy yang janji akan menjemputnya. “Seriously, where is Wendy? She’s the one who said she wouldn’t be late.” Sky bergumam kesal. Tangannya mengibas-ngibas, mencoba mengusir panas. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, tapi matahari Jakarta masih c

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    GCP Jakarta

    Suasana aula rapat GCP Jakarta pagi itu tampak sibuk. Dari balik kaca transparan, Reya bisa melihat jajaran manajerial dan staff duduk dengan wajah serius, sebagian sibuk mengetik di laptop mereka, sebagian lagi berdiskusi dengan berkas di tangan. Reya menarik napas panjang. This is it. New chapter.Ia menegakkan bahu, mengikuti langkah Pak Aditya, Managing Director GCP Jakarta masuk ke ruang meeting itu. Interiornya yang didominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu yang lembut memberikan kesan profesional tapi hangat. Dalam balutan blazer abu-abu, Reya duduk di samping sang direktur. “Selamat pagi semua,” suara Pak Aditya terdengar mantap, menarik perhatian semua yang hadir pagi itu. “Hari ini saya ingin memperkenalkan Regional Finance Director baru kita. Beliau datang langsung dari Kanada, pengalaman internasionalnya luar biasa, dan sekarang beliau akan memimpin divisi keuangan Asia Tenggara kita.”Semua mata serentak beralih ke Reya. Ia menunduk sopan, senyum profesional men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status