Share

Bab 5 Sahabat dan Kekasih yang Munafik!

“Rani! Kamu dari mana saja?” tanya Lidia.

Begitu Rani muncul, Lidia langsung datang dan merangkul lengan Rani. Sentuhan itu terasa tidak nyaman dan sontak membuat Rani segera menghempasnya.

Lidia terpaku. Matanya yang membesar menandakan kalau wanita itu terkejut dengan reaksi penolakan tidak terduga dari sahabatnya.

“Rani, kamu kenapa?” tanya Lidia.

Awalnya Rani tidak sadar karena semuanya terjadi secara spontan. Pertanyaan Lidia-lah yang baru saja menyadarkannya.

“A-ah, maaf. Aku hanya kaget. Aku pikir siapa yang langsung merangkulku,” jawab Rani dengan senyuman paksa.

“Apakah kamu masih merasa tidak nyaman jika disentuh orang lain?” tanya Lidia berpura-pura khawatir. “Tapi ini ‘kan aku. Kamu tidak mungkin menyamakan aku seperti orang lain, bukan? Hanya aku satu-satunya sahabatmu, kamu ingat?”

“Iya, Lidia. Aku akan mengingat itu,” jawab Rani.

Bibir Rani berkedut ketika ia harus mengakui kebohongan yang menjijikkan. Tubuhnya juga merespon secara spontan, karena bulu kuduknya langsung berdiri saat disentuh Lidia.

“Tapi, Rani,” lanjut Lidia. “Kamu belum menjawabku. Kemana saja kamu? Kenapa baru kembali?”

Rani menatap kedua bola mata Lidia. Kontak langsung yang terjadi dalam posisi dekat membuat semuanya jadi terlihat lebih jelas.

“Bagaimana aku tidak mengetahui ini sejak dulu? Semua bukanlah tatapan kekhawatiran karena peduli, melainkan tatapan kekhawatiran karena takut niat jahatnya ketahuan,” batin Rani. “Bodoh sekali aku baru menyadarinya sekarang.”

“Rani? Halo? Apakah kamu mendengarku?” tanya Lidia, sambil mengayunkan telapak tangannya di hadapan Rani.

Tepat pada saat itu, Ivan muncul. Ia masuk ke percakapan mereka dan bertanya, “Ada apa?”

“Lihat, Ivan! Rani sepertinya banyak melamun hari ini. Aku bertanya dari mana saja ia dari tadi, tetapi ia tidak menjawab dan malah bengong,” jawab Lidia.

“Benarkah?” Ivan mengalihkan pandangannya dari Lidia ke Rani. Seperti seorang kekasih yang perhatian, ia mengelus kepala Rani dan bertanya, “Ada apa, Rani? Apakah ada yang mengganggumu? Atau kamu sakit perut yang membuatmu jadi kurang fokus?”

Tidak ada hubungan gangguan pencernaan dengan pemahaman kata-kata. Dari cara Ivan berbicara saja, terlihat jelas kalau pria itu sama sekali tidak menghormati atau menghargai Rani sebagaimana kekasih.

“Aku baik-baik saja,” jawab Rani. “Aku hanya sedikit melamun karena pekerjaan yang belum aku selesaikan. Kalau begitu, aku akan menyelesaikannya dulu.”

Rani meninggalkan Ivan dan Lidia. Ia menuju meja kerjanya dan melanjutkan pekerjaan yang menumpuk.

“Apa kamu sudah mau bekerja lagi? Bukankah ini masih jam istirahat siang?” tanya Lidia.

“Aku tahu. Aku hanya ingin cepat menyelesaikan ini agar aku bisa cepat pulang.” Senyuman palsu tampak di wajah Rani ketika ia melanjutkan kata-katanya. “Besok adalah hari besarku, bukan? Jadi aku harus cepat istirahat malam ini.”

Keheningan merambat dengan cepat. Setelah itu tidak ada yang berani membalas perkataan Rani yang sudah berkutat dengan pekerjaannya.

“Apakah aku terlalu kritis? Aku hanya merasa tidak enak karena Rani terus bekerja keras di saat-saat seperti ini. Aku juga tidak tahu apakah Rani sudah makan siang atau belum,” ucap Lidia.

Ivan meletakkan tangannya di atas kepala Lidia, lalu mengelus wanita itu dengan cara yang sama persis seperti yang ia lakukan dengan Rani. 

“Kamu tidak salah apa-apa. Aku tahu kalau kamu hanya khawatir padanya. Rani yang salah karena tidak memahami maksudmu,” bela Ivan. “Coba lihat aku! Aku juga menikah besok, tetapi aku tidak sesibuk itu. Aku juga masih bisa menikmati waktu istirahat siangku dengan baik.”

Setelah itu Ivan dan Lidia saling bersenda gurau dengan akrab, di dalam ruangan yang sama dengan tempat Rani berada. 

Sungguh suatu kesialan karena Rani berada dalam satu departemen dengan dua manusia tidak tahu malu itu. Satu-satunya keuntungan yang ia miliki hanyalah posisinya yang berada di atas mereka karena menempati posisi kepala Departemen.

“Bersenang-senanglah selagi kalian tidak mengetahui apa pun. Jika ada yang melihat, mereka akan mengira kalau kalian berdua-lah yang akan menikah, bukan aku,” geram Rani dalam hati.

Tujuan Rani bukan hanya sekedar menyelesaikan pekerjaannya, terlebih untuk memfokuskan dirinya demi acara pernikahan besok. Begitu pekerjaannya selesai, Rani langsung mengambil buku catatan. Di sana, ia menuliskan semua hal yang terjadi pada kehidupan pertamanya.

“Aku langsung hamil tidak lama setelah kami menikah,” pikir Rani sambil mengamati coretannya. “Kalau begitu, yang perlu aku hindari adalah bulan madu. Apa pun yang terjadi, aku tidak boleh membiarkan Ivan menyentuhku.” .

Jam enam tepat, satu jam sudah berlalu sejak waktu pulang kerja tiba. Setiap orang sudah meninggalkan tempat duduk mereka dan pulang ke rumah masing-masing, tidak terkecuali Ivan dan Lidia.

“Aku beruntung karena sudah pernah menyelesaikan pekerjaan ini dalam kehidupan sebelumnya,” ucap Rani sambil menatap tumpukan laporan yang sudah selesai. “Dengan begini, pekerjaanku selama seminggu ke depan sudah lebih longgar. Setidaknya aku bisa berfokus untuk mengatur rencana balas dendamku.”

Detakan jarum jam memenuhi keheningan tempat itu, menarik perhatian Rani ke arah benda melingkar yang terpajang tinggi di atas kepalanya.

“Tadi Pak Eric bilang untuk menemuinya sepulang kerja. Apa maksudnya sekarang aku harus datang ke ruangannya? Atau…apa mungkin Bapak itu asal cetus saja?” tanya Rani, berharap agar dugaan yang kedua yang benar

Rani mengoceh dalam kesendirian. Logikanya sedang menimbang-nimbang tentang kemungkinan yang lebih masuk akal tentang perjanjian yang ia lakukan dengan atasannya tadi.

“Ya, itu tidak mungkin. Mana mungkin itu terjadi,” gumam Rani. “Lagipula apa yang akan dibicarakan oleh seorang atasan dengan bawahannya di luar jam kantor? Kami bukannya melakukan kencan atau apa. Tadi bahkan menjadi pertama kalinya aku berbicara dengan Pak Eric selama itu.”

Saat sibuk bergumam, tiba-tiba terdengar suara orang lain yang merespon ucapan Rani.

“Apakah itu membuatmu takut?”

“ASTAGA!” Rani melompat dari tempatnya. Hampir saja ia mengulang sejarah, dan mempermalukan diri untuk kedua kali karena terjatuh.

“Apa perlu kamu sampai sekaget itu?” tanya Eric sambil mengerutkan alis karena merasa aneh dengan reaksi Rani.

“Ha-halo, Pak CEO! Sa-saya hanya terkejut, Pak. Takut apanya? Tidak mungkin saya sebagai seorang bawahan akan merasa takut kepada atasan sendiri, Ha ha ha….” 

Tawa canggung di penghujung kata-katanya membuat pernyataan Rani justru lebih meragukan. Jadi, ia kembali berbicara kembali untuk meluruskan kesalahpahaman. 

“Saya minta maaf, Pak. Saya tidak bermaksud untuk membicarakan Bapak di belakang. Saya hanya sedang mengira-ngira apakah kita akan melanjutkan percakapan kita atau tidak,” ucap Rani.

“Kenapa kamu ragu? Bukankah percakapan kita memang belum selesai? Sekarang ikut aku! Kita harus membicarakan semua itu dengan sejelas-jelasnya,” ucap Eric.

Eric melangkah pergi. Namun, isyarat tubuhnya memberi tanda kepada Rani untuk segera mengikuti. Rani pun mengambil barang-barangnya dengan terburu-buru dan mengikuti Eric.

Rani tidak sempat berpikir. Pikiran yang panik membuatnya meraih apa saja yang terlihat di meja, agar barang-barang pribadinya tidak tertinggal.

“Kenapa orang itu seenaknya menyuruhku tanpa memberi waktu untuk bersiap dan–” 

Rani sibuk menggerutu. Akan tetapi, ocehannya terhenti karena melihat pemandangan yang memanjakan mata.

Sinar senja menembus kaca dan menyinari sisi kanan Eric. Tubuh yang menjulang tinggi itu jadi tampak seperti sebuah pahatan dan mahakarya. 

Saat ia melintas di lorong kantor, sinar mentari tampaknya bersinar lebih terang hanya untuk menyoroti keindahan yang menyilaukan dari sosok CEO tampan itu. Dengan setiap langkahnya, aura kepercayaan dirinya menyapu ruangan seperti angin segar, membuat hati wanita yang memandangnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. 

Rambutnya yang mengalir lembut di belakangnya seakan-akan terbang bebas di atas awan biru, menciptakan gambaran dari pangeran yang turun dari surga untuk menyelamatkan hari. Tidak ada yang bisa menahan diri untuk tidak terpesona oleh pesona dan kekekarannya yang menggetarkan hati, membuatnya menjadi objek kekaguman yang tak terbantahkan.

“Kamu tidak jalan?” cetus Eric, memecahkan lamunan Rani.

Rani terkesiap. Sambil memeluk barang-barangnya di lengan yang kecil, ia tertatih-tatih untuk mengejar langkah panjang atasannya itu,

“P-Pak! Tunggu saya!” seru Rani.

Malam itu, Eric membawa Rani ke sebuah restoran mewah. Daftar makanan yang tertera di buku menu bergaya Eropa dengan minuman beralkohol sebagai pendampingnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status