Share

Bab 4 Amarah Pak CEO

Tidak ada yang bisa Rani lakukan. Walau ia masih kaget, tetapi keberadaan Lidia dan Ivan di belakang membuatnya mau tidak mau mengikuti arahan pria itu.

Pria itu memimpin jalan. Ia memegang pergelangan tangan Rani dan membawanya masuk ke dalam lift.

“Kenapa … Pak CEO ada di sini?” batin Rani.

Ya, pemilik punggung lebar yang ia lihat dari tempatnya adalah milik dari atasan tertinggi tempatnya bekerja. Jas yang mahal dan aura yang berkelas tampak sangat mencolok walau hanya dilihat dari belakang. Tidak ada sosok lain yang memiliki aura itu kecuali CEO mereka, Eric.

Rani memiliki banyak pertanyaan. Namun, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah lari terlebih dahulu. Selama ia melangkah, ia bisa merasakan kalau Lidia mulai mengejarnya dari belakang. Rasa aman akhirnya terasa ketika Eric membawa Rani masuk ke dalam lift khusus CEO dan menutup pintunya.

Bruk!

Suara benturan terdengar keras karena tubuh Rani ambruk ke bawah. Tidak peduli seberapa kuat Rani, tetap saja kejadian menegangkan yang beruntun terjadi barusan telah memakan terlalu banyak energi, sampai-sampai kakinya jadi lemas.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Eric, sambil mengulurkan tangan ke arah wanita yang bersimpuh tidak berdaya di sudut lift.

“Sa-saya tidak apa-apa, Pak! Te-terima kasih karena telah membantu saya!” seru Rani.

Daripada merepotkan atasannya lebih jauh, Rani mengabaikan uluran bantuan dari Eric dan memilih untuk bangkit sendiri. Melihat itu, Eric pun menarik tangannya yang menganggur dengan canggung.

“Saya minta maaf karena menanyakan ini, Pak. Tapi, kenapa Bapak bisa ada di sana?” tanya Rani, sambil saling mencengkeram jari-jarinya sendiri untuk menekan rasa gugup.

Eric adalah pria idaman yang diincar oleh seluruh pegawai wanita yang masih lajang. CEO tampan yang penampilannya memancarkan aura kepercayaan diri yang memikat, menjadikannya sebagai contoh sempurna dari keanggunan dan karisma yang luar biasa.

Belum lagi jika menilai latar belakang sebagai generasi ketiga dari keluarga konglomerat, dan posisi CEO yang menjanjikan.

Ya, semua wanita akan menjadikan Eric sebagai calon suami idaman sebelum … ia membuka mulutnya. 

“Apa hak kamu menanyakan hal itu kepada saya?” ketus Eric “Bukankah tempat itu adalah tempat umum yang bisa dilalui oleh siapa saja yang ada di perusahaan? Atau apakah posisi kamu sudah menjadi lebih tinggi daripada saya sehingga bisa melarang saya untuk berada di sana?”

“Sa-saya minta maaf, Pak! Saya tidak bermaksud seperti itu! Sa-saya hanya ingin tahu apakah mungkin Bapak ada mendengar sesuatu….” Keberanian yang menciut membuat suara Rani lama-kelamaan jadi semakin samar.

Sejujurnya Rani tidak tahu sampai sejauh mana batas ia bisa berbicara dengan atasannya. Akan tetapi, kekacauan yang tidak tertanggung lagi membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Ingatan tentang pintu tangga darurat yang memiliki celah, membuat Rani berpikir kalau atasannya itu bisa mendengar semua percakapan yang terjadi dari luar.

“Mendengar apa?” tanya Eric.

Pertanyaan balasan dari Eric bagaikan kabar baik bagi Rani. Rani mengira kalau itu arti dari ketidaktahuan Eric.

“Ti-tidak, Pak. Saya hanya salah bicara. Maafkan saya!” seru Rani sambil membungkuk rendah sebagai tanda hormat.

Rani pikir tubuh yang membungkuk adalah penutup resmi dari percakapan mereka, dan urusannya dengan sang atasan akan berakhir. Sayangnya, Eric tidak memikirkan hal yang sama.

“Kamu bertanya apakah saya mengetahui perbuatan tidak senonoh mereka di perusahaan ini? Atau, apakah kamu memaksudkan pembicaraan yang dilakukan oleh Ivan dan Lidia di tangga darurat? Atau….” Eric memberikan jeda yang penuh arti sebelum melanjutkan, “Apakah saya mendengar tentang perselingkuhan mereka dan rencana jahat mereka tentang pernikahanmu?”

Tidak ada satu pun yang terlewat. Eric mengetahui semuanya dengan sangat rinci. Secara tidak langsung Eric mengatakan bahwa ia sudah ada di sana sejak awal.

“Sa-saya minta maaf, Pak!” seru Rani. Sekali lagi, Rani membungkukkan badannya.

Eric mengernyit dan membalas, “Kenapa kamu yang minta maaf? Memangnya kamu yang sedang berbuat salah?” 

Masih dalam posisi badan membungkuk, Rani menjawab, “Bukan, Pak. Tapi mau bagaimana pun, Bapak jadi mengetahui hal yang tidak menyenangkan karena keteledoran saya. Seharusnya saya memastikan kalau pintu tangga darurat itu tertutup dengan rapat.”

“Apa kamu pikir saya bodoh sehingga saya akan membenarkan pola pikir yang bodoh itu? Yang salah adalah mereka yang melakukan hal yang tidak benar di perusahaan. Mereka bahkan telah berselingkuh!” geram Eric. “Saya tidak akan membiarkan hal ini, dua orang itu harus mendapatkan sanksi karena telah mencemarkan perusahaan! Mereka harus dipecat!” 

“Sekali lagi saya minta maaf, Pak!” seru Rani.

Seruan itu cukup kuat. Rani tiba-tiba melontarkan permintaan maaf yang tidak cocok dengan konteksnya. Padahal Eric sudah mengatakan kalau Rani tidak salah apa-apa, tetapi Rani malah mengucapkan permintaan maaf untuk kedua kali.

Rani melanjutkan, “Saya tahu kalau saya bersikap lancang jika mengatakan ini. Akan tetapi, bolehkah saya memohon kepada Bapak untuk membiarkan hal ini? Saya mohon dengan sangat agar Bapak berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi.”

“Apa? Apa kamu pikir aku akan menyetujui omong kosong itu?!” protes Eric. “Apa kamu tidak tahu situasinya? Seharusnya kamu yang lebih marah! Calon suamimu berselingkuh dengan teman dekatmu, tepat sehari sebelum pernikahan kalian!” 

“Saya sudah tahu itu, Pak!” balas Rani. “Saya yang terlibat di sini, dan saya tidak apa-apa. Oleh karena itu, saya memohon agar Bapak berpura-pura tidak tahu apa pun. Jika Bapak merasa mereka telah mencemarkan perusahaan dan ingin menghukum mereka, Bapak bisa melakukannya dengan cara Bapak sebagai atasan, asal tidak memecat mereka dan tidak menyebarkan hal ini.”

“Tunggu! Jadi maksudmu kamu tidak apa-apa meskipun telah diselingkuhi? Kamu masih akan melanjutkan pernikahanmu dengan pria brengsek itu besok?” tany Eric.

“Itu benar, Pak,” jawab Rani. “Jika Bapak masih merasa belum cukup untuk menghukum mereka, tidak apa-apa jika Bapak juga ingin memberikan sanksi kepada saya karena telah bersikap lancang.”

Sejak tadi Rani masih terus membungkuk. Sudah mendengar omong kosong dari Rani, Eric malah hanya bisa menatap punggung rapuh wanita itu dari atas, dan itu membuat Eric jadi semakin emosi.

“Aku tidak bisa memahaminya. Kamu pasti sudah gila,” ucap Eric. “Apa kamu sangat mencintai pria itu sampai kamu tetap mau menerimanya padahal sudah dikhianati?”

“Saya minta maaf, Pak, tetapi saya tidak bisa menjawab pertanyaan pribadi seperti itu,” jawab Rani.

TING!

Pintu lift terbuka. Eric sudah tiba di lantai paling atas tempat ruangannya berada.

“Mari berhenti. Aku tidak bisa melanjutkan percakapan ini lagi. Sebaiknya kamu kembali bekerja sekarang!” perintah Eric, sambil memegang keningnya yang semakin berdenyut.

“Baik, Pak,” balas Rani.

Percakapan mereka sudah selesai. Akan tetapi, Rani masih tetap membungkuk ke arah Eric, dan itu membuat Eric diliputi perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.

Ia pun berdecak jengkel. “Ck! Kamu tidak perlu membungkuk seperti itu. Kalau kamu merasa bersalah atas masalah ini, temui aku sepulang kerja. Masih ada yang perlu kita bicarakan.”

“A-apa?!” Rani ingin memprotes panjang. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, Eric sudah melangkah keluar dari lift untuk menghentikan percakapan mereka. 

Pintu lift pun tertutup, meninggalkan Rani sendirian di dalam. Walau tidak melihat wajah Eric secara langsung, tetapi Rani bisa merasakan kalau emosi pria itu sedang bernyala-nyala.

“Aku bisa memahami itu. Pak Eric pasti sangat marah karena mengetahui tindakan Ivan dan Lidia di kantor,” gumam Rani dalam kesendiriannya. “Sudah begitu, aku malah lancang mengatur-ngaturnya dalam membuat Keputusan sementara aku hanyalah seorang bawahan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status