"Apakah ayah benar-benar sangat sibuk Ibun?"
Sepia mengangguk pelan, kenyataannya perempuan itu juga sangat membenci kesibukan suaminya. Kesibukan yang berhasil memupuk kerinduan begitu besar, sekaligus menciptakan kekhawatiran yang mungkin semakin hari juga semakin berlebihan.
"Sabar ya sayang, ibun juga sudah mengatur jadwal liburan kita loh," Sepia menarik kursi dan mengambil piring.
"Nasinya sedikit saja ya Ibun!" protesnya ketika melihat piring yang hampir penuh.
"Ayah sibuk sekali. Ayah tidak akan berbohong 'kan?" Lengkungan senyum Shabiru membuat kekesalan di hati Sepia perlahan meluruh sejenak, sebelum akhirnya kalimat yang terlontar dari mulut mungil itu kembali menghantam perasaannya bagai sebongkah batu tajam.
Ia hanya mampu menjawab dengan gelengan kecil dan segaris senyum. Berharap keyakinan yang ia miliki juga dapat tumbuh dengan kukuh pada Shabiru.
"Ayah menyebalkan..." Shabiru menyangga wajah dengan kedua telapak tangannya.Sepia beranjak mendekati putranya, sekali lagi membelai lembut rambutnya, "Rupanya putra Ibun ini sangat rindu ya dengan ayah. Sabar ya sayang, restoran ayah benar-benar sedang ramai loh sekarang ini, banyak orang yang senang makan disana. Jadi terpaksa deh ayah selalu berangkat lebih awal dan pulang larut.""Ah, itu tidak adil ibun. Masa ayah lebih memperhatikan makanan untuk orang lain daripada kita," protesnya lagi. "Sekarang makan dulu, nanti ibun akan menegur ayahmu agar meluangkan waktu untuk putra yang sangat merindukannya,"Sepia mengulas senyum, hal itu juga turut membuat raut lesu Shabiru perlahan mulai menghangat. "Janji ya Ibun?" Shabiru mengulurkan jari kelingkingnya yang mungil. Sepia menautkan kelingkingnya, lalu merengkuh putranya dengan erat, "Iya ibun janji."Pintu tinggi dengan ukiran khas Jawa kental pada kayu jati di rumah mewah bergaya tradisional modern milik keluarga Mahesa itu berdiri begitu megah, bak menggambarkan betapa kokohnya hubungan di dalam rumah itu. Kehidupan Sepia memang nyaris terbilang sempurna, kehidupan yang didambakan banyak wanita diluaran sana, paras yang cantik, sukses dalam karir, memiliki keluarga harmonis, dan berkecukupan. Usianya sekarang 26 Tahun. Sepia memiliki karir yang cemerlang sebagai editor dan penulis di salah satu penerbit mayor di Jakarta, sayangnya dua tahun lalu setelah anak laki-lakinya yang bernama Shabiru genap berusia 3 tahun ia memutuskan untuk hibernasi dari pekerjaannya agar lebih fokus mengurus keluarga. Di samping karirnya yang sukses, Sepia juga berhasil membina rumah tangganya bersama seorang pengusaha, Ray Mahesa.... Siang hari, Sepia bergegas keluar rumah untuk menemui Ray suaminya. Sesuai informasi yang ia dapatkan, suaminya sedang berada di restoran cabang Malioboro. Ditemani supirnya, ia pun segera berangkat ke sana. Nada sambungan telepon terdengar berulang tanpa pernah mendapat jawaban. Sudah tiga kali Sepia berusaha menelepon Ray, namun hasilnya tetap sama."Sesibuk itukah di restoran?" Sepia menurunkan ponsel dengan raut muka kesal.Selain untuk membicarakan perihal Shabiru, ia juga mendapati sebuah map yang sepertinya merupakan berkas penting Ray tertinggal di ruang tengah. Untuk itu ia juga bermaksud mengantarkan berkas itu. "Ah, gak papalah sekali-kali memberikan kejutan untuknya," batin Sepia dalam hati sembari memperhatikan pemandangan luar jendela mobil. "Pa Man, nanti mampir ke toko kue langganan ya." ucap Sepia. "Baik Non," sahut lelaki yang separuh rambutnya sudah memutih itu. Mobil langsung menepi ke deretan ruko berwarna nyentrik tak jauh dari jalan besar. Dengan cepat, Sepia melenggang keluar menuju toko kue langganannya. Tangannya mendorong pintu kaca, kemudian disambut pelayanan ramah pramuniaga disana. "Mau pesan seperti biasa kah Bu? Cupcake cokelat avokado?" tanya perempuan itu memastikan. Sepia mengangguk, "Ya, seperti biasa."Ray sangat menyukai cupcake avokado cokelat. Sepia ingin memberikan sedikit kejutan manis juga siang ini.Tak berselang lama, ponselnya tiba-tiba berdenting berulang kali pertanda banyak pesan yang menumpuk di kolom pesan masuknya. Namun hal itu tidak terlalu ia risaukan, paling-paling Shabiru yang iseng mengiriminya voice note karena tadi tidak sempat bilang mau keluar saat ia tengah tidur siang. "Ini Bu, Pia. Totalnya seperti biasa, Rp. 61.000," sebuah boks persegi panjang berwarna emas mentereng disodorkan kepadanya. Setelah membayar, Sepia langsung beranjak meninggalkan toko itu, "Oke Terima kasih,"Ketika sampai di mobil, ia kembali membuka ponselnya. Ia pikir jika bukan dari putranya, pesan itu mungkin berasal dari suaminya. Namun lagi dugaannya salah. Pesan-pesan yang dikirimnya sejam lalu tidak berbalaskan sepatah kata pun oleh Ray, hanya memampangkan dua centang biru. Sebagai seorang perempuan, tentu saja ia benar-benar merasa kesal terhadap suaminya. Ia jadi berpikir bahwa suaminya bukan sibuk, tapi sudah tidak peduli dengannya lagi. Keningnya kembali dibuat mengerut seketika, ternyata pesan dan telepon itu berasal dari salah satu sahabat lama yang sudah jarang bertukar kabar dengannya. "Alea?"Dengan perasaan senang, Sepia langsung mengangkat panggilan itu. "Halo Ale! Aku seneng banget kamu telpon-""Hai, Pi. Aku lagi di Jogja nih, bisa ketemu sekarang?" Nada suara Alea terdengar begitu tenang seperti biasanya. Sepia melirik ke arah arloji yang bertengger di pergelangan tangannya, "Harus sekarang banget ya? Soalnya ini aku mau ketemu Ray dulu,""Iya, soalnya nanti sore aku harus pulang lagi ke Jakarta. Bisa kan ya? Sebentar kok.""Ayolah Pi, cuma sekali ini aja," rayu lagi Alea.Setelah menimbang-nimbang, ia pikir tak ada salahnya jika mampir sebentar menemui Alea. Lagipula sudah lama sekali mereka tidak bertemu, terpisah karena kesibukan masing-masing. "Pa, kita ke Kafe Kaktus dulu, letaknya tidak jauh dari restoran Ray yang kita tuju kok."Sekitar dua puluh menit berlalu, mobil kembali menepi di sebuah kafe minimalis berciri khas tumbuhan gurun itu. Seperti namanya, kafe Kaktus memang dihiasi beraneka ragam jenis Kaktus yang berbaris rapi di depan dinding kaca. Juga kaktus-kaktus kecil di atas meja. Sepia berjalan pelan menyusuri setiap sudut tempat itu, mencari dimana kiranya keberadaan Alea. Sampai akhirnya sebuah pelukan hangat merengkuh badannya dari belakang. "Bagaimana kabarmu Pia?"Sepia membalikan badan dan meraih kedua tangan sahabatnya itu, "Aku baik, kamu apa kabar?"Percakapan keduanya tak lepas dari sorot mata haru dan rindu. Rupanya pertemuan singkat itu benar-benar mampu melipur kehausan kabar masing-masing. Sayangnya percakapan hangat mereka tak berlangsung lama, ketika ternyata Alea meminta Sepia datang bukan sekedar mampir basa-basi. Ada kabar pahit yang Alea bawa.Bukan, kabar pahit itu bukan perihal Alea sendiri, namun justru menyangkut Sepia. Setelah Alea menyodorkan layar ponselnya dan memperlihatkan beberapa foto, Sepia langsung terduduk lemas. "Ini gak mungkin Ale!""Ini gak mungkin Ale! Kalian gak lagi kerja sama buat ngerjain aku 'kan?! Sumpah ini gak lucu..." perlahan wajah Sepia berangsur memucat.Alea menelponnya setengah jam lalu dengan suara tenang dan penuh kerinduan. Namun sekarang, bagaimana bisa sahabat dekat Sepia itu justru mengutarakan sesuatu yang membuat Sepia bahkan nyaris kehilangan kesadaran. Mereka tidak duduk lama di kafe itu, ia juga tidak meneruskan perjalanannya ke restoran Ray. Ia memilih memutar balik, kembali ke rumah. Ia hanya ingin menunggu suaminya pulang.Sepia masih berusaha menghubungi Ray, namun hasilnya tetap percuma. Bahkan pesan singkatnya kini sepertinya tak dilirik sedikit pun.Suara Alea terus berdengung sepanjang perjalanannya. Membutnya terus menerus dirundung ketakutan. Ketakutan bahwa hal yang Alea beritahukan adalah hal yang benar."Maaf Pia, aku tahu kamu pasti kaget banget. Makannya aku minta kamu dateng langsung, aku mau jelasin apa yang aku lihat dan apa yang aku dengar secara langsung ke kamu. Se
Sekitar pukul dua pagi, Sepia keluar dari kamar. Rupanya menangis semalaman membuatnya dehidrasi. Ia lantas pergi ke dapur. Suara air yang mengalir dari dispenser terdengar cukup nyaring. Ia kembali meletakan gelas setelah meneguk dua gelas air mineral."Boleh kita bicara sekarang?" Suara Ray menadadak memecah keheningan.Kursi berderit saat Ray menarik kursi dan duduk di hadapan Sepia, jarak mereka hanya terpaut oleh meja makan yang tidak begitu lebar."Aku tidak pernah tidak memilirkan kamu dan Shabiru." ucapnya lagi.Ray memiliki mata yang bulat tegas dengan iris hitam bak gerhana, beberapa detik pandangan mereka saling bertaut."Kamu yang harusnya bicara Ray. Aku akan mendengarkan dan sebisa mungkin berusaha mengerti..." Sepia menjeda kalimatnya beberapa saat. "Itu pun jika memang pantas ada yang masih bisa dimengerti," lanjutnya lagi.Ray menggenggam tangannya sendiri, terlihat betapa ia berusaha untuk berbicara jujur. Beberapa lama, hanya detak jam yang terdengar memecah kesuny
Pagi hari Sepia duduk di kursi kayu, menghadap jendela yang membingkai pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Ia menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan. Raganya mungkin sedang ada disana menatap dinamika gedung-gedung dan segala kesibukannya, namun lamunan menyeret paksa ingatannya pergi jauh ke masa silam. Rasanya baru kemarin, tapi ternyata ia telah sampai sejauh ini. Sampai pada takdir dan nasib yang diluar rencananya. Rasanya baru kemarin ia menerima ajakan Ray untuk hidup bersama, namun hari ini lelaki itu tega berlaku tanpa logika. "Yang lalu-lalu jangan terlalu dipikirkan nak. Kurang baik," seorang perempuan renta menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Rambutnya sudah memutih separuh, Oma Ina panggilannya. Pemilik rumah sekaligus bibi dari Alea. Mendengar Sepia kebingungan mencari tempat tinggal di Jakarta, Alea akhirnya menawarkan kediaman bibinya. Selain karena ia tinggal sebatang kara, ia juga tidak memiliki anak sama sekali. Suaminya meninggal enam tahun la
"Kemarin restoran Ray tertimpa musibah kebakaran Al...""Astaga? Tapi gak ada korban jiwa 'kan?" Alea tampak terkejut karena Sepia memang belum memberitahunya sama sekali.Sepia menggeleng kecil, ia terlihat menarik napas panjang. "Ray bilang dia mau pergi ke restoran. Terus aku ikutin diam-diam, tapi ternyata dia gak pergi ke sana. Dia malah ke apartemen perempuan itu," sorot mata Sepia kembali berkaca."Alea, Ray bohong lagi. Dia bilang kalo dia ngelakuin semua itu terpaksa, tapi sikap dia lagi-lagi kayak gitu."Sepia berbicara pelan dan sehati-hati mungkin, mengingat di depan mereka ada dua anak kecil yang belum dan tidak boleh mengetahui apa-apa.Alea juga tidak berbicara banyak, semakin mereka membahas Ray, Sepia semakin terjebak dalam kecemasannya."Sudah, tenang Pia. Sekarang kamu disini untuk menenangkan diri, semoga kamu cepat menemukan jalan keluar terbaiknya," Alea mengusap bahu Sepia."Eh nostalgia bentar sih, pojok bangku itu." ia mengarahkan telunjuknya ke meja paling
"Apakah jalan terbaiknya adalah berpisah?" batinnya. Sepia tertegun cukup lama, memandangi bayanganya di cermin. Tenggelam dalam banyak pengandaian dan kekhawatiran.Bayangan Ray tiba-tiba saja muncul di cermin itu, seolah nyata ada di belakangnya. Ia mengerejap dan memejamkan matanya dalam-dalam. Rindu dan amarah mungkin tengah berkelahi mengalahkan ego di dalam dadanya."Ah, kepalaku kenapa tiba-tiba sakit sekali..." Ucapnya pelan seraya memijat keningnya.Ia menghela napas berat, setelah minum segelas air ia beralih meraih bedak dan gincu. "Kenapa Biru tidak boleh ikut? Biru tidak akan nakal kok. Janji tidak akan mengganggu nanti di kantor ibun," Shabiru datang dan kembali merengek di samping meja rias. Sedikit mengganggu konsentrasi ibunya yang sedang memoleskan bedak tipis."Enggak Biru. Biru lebih aman di sini sama Oma. Nanti Vanilla juga akan ke sini lho. Nanti kalo ikut ke sana tidak ada teman."Sepia berdiri, merapikan setelan kameja berwarna navy yang ia kenakan. Ia mengunc
"Aku perhatikan, sekarang kamu ini menjadi lebih pendiam. Kamu seperti melamun. Apa ada masalah tentang hari pertamamu ini?" Rupanya Ara memperhatikan Sepia sangat detail. Seharian ini usai meeting, Sepia memang sudah mulai fokus pada pekerjaan yang dipegangnya duduk di depan laptop dan menggulir layar monitor. "Ah, tidak juga Ra. Biasalah, aku juga harus beradaptasi lagi. Banyak yang berbeda sekarang ini, sistem kerja yang baru lebih efesien namun kita harus benar-benar siap on time setiap waktu ya," Kedua perempuan itu keluar meninggalkan ruangan. Kantor sudah sangat sepi karena jam kerja juga sudah selesai setengah jam lalu."Ya, begitulah. Sekarang kita tidak perlu terburu-buru mengadakan meeting, menganggarkan dana besar untuk sewa tempat dan sebagainya. Bekerja dari rumah, lebih nyaman dan bisa hemat transportasi 'kan. Apalagi sekarang segala kebutuhan serba mahal," sahut Ara."Soal Nilam, anggap aja dia gak ada. Setelah naik jabatan, sombongnya bukan main..." bisik Ara tepa
"Seharusnya kita sekarang ini sedang menikmati secangkir kopi hangat, bersantai di balkon atau masih tidur nyenyak. 'Kan, aneh banget emang direktur tercantik kita itu seneng banget ngerjain orang," protes lagi Ara. Entah sudah berapa kali ia terus mengulangi perkataan yang sama."Urgent Ara. Toh sebentar ini," sahut Sepia tetap santai."Justru itu, cuma sebentar juga kenapa gak lewat zoom aja? Aneh kan emang. Itu akal-akalan Nilam aja biar kita semua tahu kalo CEO itu juga punya peran penting di kantor ini. Alias Nilam mau pamer kalo kekasihnya juga punya harta dan tahta mentereng," ungkapnya lagi semakin meradang."Hm, ya..." Sepia hanya mengedikkan bahu, apa yang diucapkan Ara memang ada benarnya juga."Tampang laki-laki kayak CEO tunangannya Nilam itu nih ya paling-paling cewe simpenannya sekecamatan," Ara tertawa sinsis. "Berani taruhan," ia mengacungkan jemari telunjuk dan tengahnya."Sssstttt!" Sepia refleks menutup mulut Ara ketika Nilam tiba-tiba lewat di depan mereka. Beber
Sepia pulang dengan tergesa setelah mendapat telepon dari Oma Ina. Katanya, Shabiru tiba-tiba demam. Tadi pagi, ketika ia berangkat ke kantor putranya itu memang belum bangun terpaksa ia harus meninggalkannya karena rapat dadakan itu.Sepia berlari tunggang langgang turun dari mobil, memasuki rumah Oma Ina. Ia sangat panik, terlebih karena dahulu sewaktu baru lahir putranya itu juga pernah mengalami kondisi drop sehingga harus mendapat penanganan intensif dari dokter. Ia tidak ingin hal yang sama terulang untuk kedua kalinya. Sakit seringan apa pun, sudah naluri seorang ibu akan merasa cemas."Sejak kapan Oma?" pintu berderit pendek saat Sepia memasuki kamar.Pandangannya langsung melihat Shabiru yang masih tertidur, ditemani Oma Ina di sampingnya."Dari tengah hari. Bangun tidur dia menangis menanyakan keberadaanmu, dia murung seharian ini. Dia juga terus mengigau ayah," jelas wanita renta itu."Dia enggak sesak napas 'kan Oma?" tanyanya lagi."Tidak Nak. Tenanglah,"Oma Ina beranja