Share

Kesempatan Kedua untuk Cinta
Kesempatan Kedua untuk Cinta
Author: Takhingga19

Alkisah

"Kenapa sih akhir-akhir ini Biru susah sekali makan? Apa mau makan di luar? Di mall?" tanyanya berusaha mengganti topik pembicaraan. 

Shabiru menempelkan kepalanya ke meja, bersandar dengan lesu. Ia tak lantas menjawab dan hanya diam saja beberapa saat. 

"Tidak. Biru tidak ingin makan di luar. Kenapa ayah tidak sarapan di rumah? Biru hanya ingin sarapan dengan ayah." ucapnya dengan suara pelan seraya menggeleng. 

Sepia menelan ludah, niat hati ingin mengalihkan perhatian Shabiru, justru ia malah membuatnya kembali murung. Sepia juga baru sadar perubahan pola makan Shabiru memang bersamaan dengan kesibukan ayahnya yang akhir-akhir ini jarang sekali ada di rumah. 

"Apakah ayah benar-benar sangat sibuk Ibun?" 

Sepia mengangguk pelan, kenyataannya perempuan itu juga sangat membenci kesibukan suaminya. Kesibukan yang berhasil memupuk kerinduan begitu besar, sekaligus menciptakan kekhawatiran yang mungkin semakin hari juga semakin berlebihan.

"Sabar ya sayang, ibun juga sudah mengatur jadwal liburan kita loh," Sepia menarik kursi dan mengambil piring. 

"Nasinya sedikit saja ya Ibun!" protesnya ketika melihat piring yang hampir penuh.

"Ayah sibuk sekali. Ayah tidak akan berbohong 'kan?" Lengkungan senyum Shabiru membuat kekesalan di hati Sepia perlahan meluruh sejenak, sebelum akhirnya kalimat yang terlontar dari mulut mungil itu kembali menghantam perasaannya bagai sebongkah batu tajam. 

Ia hanya mampu menjawab dengan gelengan kecil dan segaris senyum. Berharap keyakinan yang ia miliki juga dapat tumbuh dengan kukuh pada Shabiru.

"Ayah menyebalkan..." Shabiru menyangga wajah dengan kedua telapak tangannya.

Sepia beranjak mendekati putranya, sekali lagi membelai lembut rambutnya, "Rupanya putra Ibun ini sangat rindu ya dengan ayah. Sabar ya sayang, restoran ayah benar-benar sedang ramai loh sekarang ini, banyak orang yang senang makan disana. Jadi terpaksa deh ayah selalu berangkat lebih awal dan pulang larut."

"Ah, itu tidak adil ibun. Masa ayah lebih memperhatikan makanan untuk orang lain daripada kita," protesnya lagi. 

"Sekarang makan dulu, nanti ibun akan menegur ayahmu agar meluangkan waktu untuk putra yang sangat merindukannya,"

Sepia mengulas senyum, hal itu juga turut membuat raut lesu Shabiru perlahan mulai menghangat. 

"Janji ya Ibun?" Shabiru mengulurkan jari kelingkingnya yang mungil. 

Sepia menautkan kelingkingnya, lalu merengkuh putranya dengan erat, "Iya ibun janji."

Pintu tinggi dengan ukiran khas Jawa kental pada kayu jati di rumah mewah bergaya tradisional modern milik keluarga Mahesa itu berdiri begitu megah, bak menggambarkan betapa kokohnya hubungan di dalam rumah itu. 

Kehidupan Sepia memang nyaris terbilang sempurna, kehidupan yang didambakan banyak wanita diluaran sana, paras yang cantik, sukses dalam karir, memiliki keluarga harmonis, dan berkecukupan. Usianya sekarang 26 Tahun. Sepia memiliki karir yang cemerlang sebagai  editor dan penulis di salah satu penerbit mayor di Jakarta, sayangnya dua tahun lalu setelah anak laki-lakinya yang bernama Shabiru genap berusia 3 tahun ia memutuskan untuk hibernasi dari pekerjaannya agar lebih fokus mengurus keluarga. Di samping karirnya yang sukses, Sepia juga berhasil membina rumah tangganya bersama seorang pengusaha, Ray Mahesa.

... 

Siang hari, Sepia bergegas keluar rumah untuk menemui Ray suaminya. Sesuai informasi yang ia dapatkan, suaminya sedang berada di restoran cabang Malioboro. Ditemani supirnya, ia pun segera berangkat ke sana. 

Nada sambungan telepon terdengar berulang tanpa pernah mendapat jawaban. Sudah tiga kali Sepia berusaha menelepon Ray, namun hasilnya tetap sama.

"Sesibuk itukah di restoran?" Sepia menurunkan ponsel dengan raut muka kesal.

Selain untuk membicarakan perihal Shabiru, ia juga mendapati sebuah map yang sepertinya merupakan berkas penting Ray tertinggal di ruang tengah. Untuk itu ia juga bermaksud mengantarkan berkas itu. 

"Ah, gak papalah sekali-kali memberikan kejutan untuknya," batin Sepia dalam hati sembari memperhatikan pemandangan luar jendela mobil. 

"Pa Man, nanti mampir ke toko kue langganan ya." ucap Sepia. 

"Baik Non," sahut lelaki yang separuh rambutnya sudah memutih itu. 

Mobil langsung menepi ke deretan ruko berwarna nyentrik tak jauh dari jalan besar. Dengan cepat, Sepia melenggang keluar menuju toko kue langganannya. Tangannya mendorong pintu kaca, kemudian disambut pelayanan ramah pramuniaga disana. 

"Mau pesan seperti biasa kah Bu? Cupcake cokelat avokado?" tanya perempuan itu memastikan. 

Sepia mengangguk, "Ya, seperti biasa."

Ray sangat menyukai cupcake avokado cokelat. Sepia ingin memberikan sedikit kejutan manis juga siang ini.

Tak berselang lama, ponselnya tiba-tiba berdenting berulang kali pertanda banyak pesan yang menumpuk di kolom pesan masuknya. Namun hal itu tidak terlalu ia risaukan, paling-paling Shabiru yang iseng mengiriminya voice note karena tadi tidak sempat bilang mau keluar saat ia tengah tidur siang. 

"Ini Bu, Pia. Totalnya seperti biasa, Rp. 61.000," sebuah boks persegi panjang berwarna emas mentereng disodorkan kepadanya. 

Setelah membayar, Sepia langsung beranjak meninggalkan toko itu, "Oke Terima kasih,"

Ketika sampai di mobil, ia kembali membuka ponselnya. Ia pikir jika bukan dari putranya, pesan itu mungkin berasal dari suaminya. Namun lagi dugaannya salah. Pesan-pesan yang dikirimnya sejam lalu tidak berbalaskan sepatah kata pun oleh Ray, hanya memampangkan dua centang biru. Sebagai seorang perempuan, tentu saja ia benar-benar merasa kesal terhadap suaminya. Ia jadi berpikir bahwa suaminya bukan sibuk, tapi sudah tidak peduli dengannya lagi. 

Keningnya kembali dibuat mengerut seketika, ternyata pesan dan telepon itu berasal dari salah satu sahabat lama yang sudah jarang bertukar kabar dengannya. 

"Alea?"

Dengan perasaan senang, Sepia langsung mengangkat panggilan itu. 

"Halo Ale! Aku seneng banget kamu telpon-"

"Hai, Pi. Aku lagi di Jogja nih, bisa ketemu sekarang?" Nada suara Alea terdengar begitu tenang seperti biasanya. 

Sepia melirik ke arah arloji yang bertengger di pergelangan tangannya, "Harus sekarang banget ya? Soalnya ini aku mau ketemu Ray dulu,"

"Iya, soalnya nanti sore aku harus pulang lagi ke Jakarta. Bisa kan ya? Sebentar kok."

"Ayolah Pi, cuma sekali ini aja," rayu lagi Alea.

Setelah menimbang-nimbang, ia pikir tak ada salahnya jika mampir sebentar menemui Alea. Lagipula sudah lama sekali mereka tidak bertemu, terpisah karena kesibukan masing-masing. 

"Pa, kita ke Kafe Kaktus dulu, letaknya tidak jauh dari restoran Ray yang kita tuju kok."

Sekitar dua puluh menit berlalu, mobil kembali menepi di sebuah kafe minimalis berciri khas tumbuhan gurun itu. Seperti namanya, kafe Kaktus memang dihiasi beraneka ragam jenis Kaktus yang berbaris rapi di depan dinding kaca. Juga kaktus-kaktus kecil di atas meja. 

Sepia berjalan pelan menyusuri setiap sudut tempat itu, mencari dimana kiranya keberadaan Alea. Sampai akhirnya sebuah pelukan hangat merengkuh badannya dari belakang. 

"Bagaimana kabarmu Pia?"

Sepia membalikan badan dan meraih kedua tangan sahabatnya itu, "Aku baik, kamu apa kabar?"

Percakapan keduanya tak lepas dari sorot mata haru dan rindu. Rupanya pertemuan singkat itu benar-benar mampu melipur kehausan kabar masing-masing. Sayangnya percakapan hangat mereka tak berlangsung lama, ketika ternyata Alea meminta Sepia datang bukan sekedar mampir basa-basi. Ada kabar pahit yang Alea bawa.

Bukan, kabar pahit itu bukan perihal Alea sendiri, namun justru menyangkut Sepia. 

Setelah Alea menyodorkan layar ponselnya dan memperlihatkan beberapa foto, Sepia langsung terduduk lemas. 

"Ini gak mungkin Ale!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status